NovelToon NovelToon

Misteri Ikat Rambut Berdarah

Wanita Kusut

“Duh! Hampir Maghrib!” seru Parto seraya melirik jam tangannya setelah turun dari bus antarkota yang ditumpanginya hampir selama delapan jam perjalanan.

Seorang pria paruh baya menghampiri Parto dengan senyum penawaran disertai tatapan harap. “Ojek, Mas! Mau kemana?”

“Nggak Pak, anu … mau nyari angkot atau bus yang ke arah kampung Kalibaru, apa masih ada, ya?”

Si tukang ojek mengernyitkan dahi, lalu mengangkat sebelah alisnya, terheran dengan tujuan Parto. “Kalibaru? Yang di bawah gunung itu? Sampeyan yakin, Mas?” tanyanya kemudian.

“Iya, Pak. Bisa bantu saya nyari jalur bus-nya?”

Masih dengan wajah keheranan tak percaya, si tukang ojek mengangguk-angguk pelan, “Bisa sih. Ayo ikuti saya!” ucapnya terdengar ragu. Ia kembali mengamati Parto dari ujung kepala hingga ke ujung kaki, kemudian beralih menatap ransel yang ditenteng Parto.

“Mudik toh, Mas? Orang tuamu tinggal di kampung itu?” tanya-nya lagi seakan masih tak percaya dengan tujuan Parto.

Sedangkan Parto gantian yang terheran dengan sikap si tukang ojek yang rasanya begitu ingin tahu banyak. “Nggak, Pak. Cuma mau ke tempat teman aja,” sahut Parto mulai merasa tak nyaman.

“Nah itu bus-nya pas dateng, Mas!” seru si tukang ojek sambil menunjuk pada sebuah bus tua berwarna biru yang baru saja terlihat memasuki areal terminal.

Si tukang ojek menepuk punggung Parto, “Ati-ati ya, Mas.”

Satu pesan yang membuat Parto melongo. Pasalnya setelah mengatakan hal itu, si tukang ojek langsung berlari kecil meninggalkan Parto tanpa memberinya kesempatan untuk sekedar berucap terimakasih.

Kesan pertama yang cukup membuat Parto berpikir. ‘Kenapa nada bicaranya seperti orang khawatir, apa ada yang salah dengan kampung itu?’ pikirnya sambil menapakkan kaki menaiki dua tangga kecil untuk masuk ke dalam bus itu.

Parto sembarang duduk pada sebuah kursi tunggal penumpang yang kosong, tepat di samping jendela.

Sunyi, dingin, bau kampas kotor, bau bensin, dan reyot.

Kesan tak menyenangkan selanjutnya dari bus yang sebagian besar catnya telah terbuka, digantikan pemandangan body bus yang berkarat.

‘Bus ini sudah nggak layak jalan, kenapa nggak diperbaiki dulu sih?’ batinnya lalu melirik ke beberapa penumpang yang sibuk dengan ponsel masing-masing, seakan sudah terbiasa dengan kondisi bus yang mereka tumpangi.

Sayup-sayup terdengar seruan adzan dari masjid, yang menandakan waktu sudah beralih menuju ke malam hari. Situasi terasa damai sejenak, hingga tepat saat suara adzan terhenti, seorang wanita masuk ke dalam bus.

Wanita itu tampak kusut, dengan atasan kaos berwarna biru tua, dan bawahan rok merah panjang hampir menutupi seluruh kakinya.

Wanita itu berdiri tepat di sisi Parto, membelakangi dirinya, karena tak lagi kebagian kursi penumpang.

Plok!

Dari sudut matanya, Parto melihat sesuatu jatuh dari tubuh wanita itu.

Kesan tak menyenangkan dari penampilan si wanita, membuat Parto hanya mampu melirik perlahan, mencari tahu benda apa yang jatuh.

‘Eh? Kayak ikat rambut ya? ’ batinnya lalu beralih menatap si perempuan.

Melihat rambut si wanita tergerai, membuat Parto berpikir bahwa itu pasti milik si wanita. Lalu tangan kirinya meraih benda yang tergeletak di lantai bus itu perlahan.

“Mbak … ikat rambutnya jatuh!” ujar Parto seraya mengacungkan tangannya yang memegang ikat rambut berwarna peach itu.

Entah karena rusak atau lupa, sang sopir belum menyalakan lampu sehingga hanya pantulan cahaya dari toko-toko yang berjajar di pinggir terminal itu yang menjadi sumber pencahayaan di dalam bus.

Dari remang-remang lampu itulah, Parto menangkap senyum tipis dari wanita pemilik ikat rambut.

‘Kenapa senyumnya agak mengerikan begitu ya? Apa cuma perasaanku saja?’ pikir Parto seraya mengangguk menyunggingkan senyum kikuk.

Parto buru-buru memalingkan wajah serta menarik kembali tangannya setelah si wanita itu mengambil pita dari tangannya tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

“Anu ….” Parto mencondongkan sedikit tubuhnya ke arah wanita itu lagi, “Kalau tujuan mbak-nya jauh, silakan mbak-nya duduk!” Dengan sopan, Parto menawarkan tempat duduknya untuk si wanita.

“Nggak usah, Mas. Tujuan saya deket kok!” sahut si wanita tanpa menoleh dengan suara yang lirih, bahkan hampir tak terdengar.

Wanita itu bergeming. Dalam pandangan Parto, wanita itu mengenakan baju yang basah hingga beberapa tetes airnya membasahi lantai bus.

‘Merinding!’

Tiba-tiba Parto merasakan hembusan dingin menerpa kulitnya, membuat bulu kuduknya berdiri. Parto bergidik berusaha mengusir perasaan ngeri.

Brum!

Deru mesin bis terdengar, sang sopir pun mulai melajukan kendaraan tua itu.

Bus tua itu melaju dengan kecepatan sedang. Ketika mulai melewati area pegunungan. Hawa dinginnya malam membuat Parto semakin kedinginan. Ia mendekap ransel yang dipangkunya agar tetap hangat.

‘Ah, namanya juga di pedesaan dekat gunung, hawa dingin seperti ini ya wajar kan, wong udah mau malem,’ batin Parto berusaha mengabaikan perasaan aneh dan tak nyaman.

'Aku benar-benar khawatir bus ini tiba-tiba macet,' imbuhnya, kembali menyandarkan punggung sambil menghela nafas beberapa kali.

Seorang kondektur mendekatinya, “Ongkos!” todongnya seraya mengulurkan telapak tangan yang terbuka.

“Kalibaru, Mas, berapa?” tanya balik Parto seraya merogoh saku celananya.

“Hm? Kalibaru? Dua puluh ribu wae, Mas.”

Tanpa bertanya lagi, Parto menyerahkan selembar uang sesuai yang diminta sang kondektur.

Udara dari luar menerobos bebas masuk ke dalam rongsokan besi tua itu, karena jendela-jendela bus itu telah banyak yang tak bisa ditutupkan dengan baik, membuat hawa dingin semakin terasa menusuk ke dalam tulang.

Parto membenahi duduknya,menyandarkan kepalanya pada sisi body bus, sedikit melamun sambil melihat pemandangan malam yang gelap. Beruntung lampu-lampu perkampungan yang jauh terbatas petakan-petakan sawah itu justru menciptakan kerlap-kerlip cahaya bagai kunang-kunang yang beterbangan di malam hari.

Parto membuka google map, hanya untuk memperkirakan jarak tempuh dan waktu yang akan dihabiskannya di dalam besi tua penuh dengan bau asap dan kampas yang membuatnya mulai merasa pusing dan semakin tak nyaman.

“Ck! Masih setengah jam lagi!” gerutu Parto dalam hati, lalu sebuah pesan masuk.

—”Wes nyampe belum Le?” tanya Bu Sutarmi, ibunda Parto.

—Belum, Bu. Masih naik bis kota seperti yang ibu tunjukkan kemarin.—

Parto masih memandangi layar ponsel, namun sudah beberapa lamanya ia menunggu, tak ada balasan apapun lagi, padahal jika saja sang ibu mau berbalas pesan dengannya, cukup bagi Parto untuk mengusir perasaan aneh yang sejak tadi terus mengganggu.

Pikiran Parto melayang kembali ke rumah, mengingat pesan sang ibu saat ia hendak berangkat.

…………..🫒

“Ibu nggak melarang atau menghalangi semua keinginanmu, Le. Tapi ingat, rejeki, jodoh, maut, itu semua sudah diatur sama Gusti Allah. Semoga Walji ada dirumah, jadi kamu nggak usah lama-lama nginep di sana.” Nasehat Bu Sutarmi seraya membereskan meja setelah mereka berdua selesai sarapan.

“Bersyukurlah Le, Gusti Allah menunjukkan sifat aslinya Risma.” Bu Sutarmi menghela napas sejenak, menghentikan beberapa saat kegiatannya mencuci piring, lalu berbalik mendekati sang putra yang masih duduk di meja makan.

“Bukan maksud Ibu jahat. Tapi, Ibu juga tak menyangka kalau keluarga itu sangat matre. Ikhlasno ya Le!” Bu Sutarmi memeluk punggung sang putra, lalu mengelus kepalanya.

………🫒

Tes

Tes

Tes

Lamunan Parto tersadar saat ia merasakan tetesan hangat di punggung tangannya. Meski dalam gelap, secara reflek Parto menatap ke langit-langit bus tua itu. Namun tentu saja ia tak bisa melihat apapun selain hanya ruang hampa yang sangat gelap dan dingin.

‘Hm?! Apa ini? Kenapa baunya anyir, tetesan apa ini?’ batin Parto. Karena gelap, ia hanya mendekatkan punggung tangannya ke indra penciumannya, untuk memeriksa.

...****************...

Bersambung.

Komentarnya ya gess,, othor baru kerasukan Jumini. Kita lihat nanti akan jadi seperti apa.🙏

Alasan

Malam semakin gelap, padahal baru saja Maghrib lewat.

‘Oh! Jangan hujan dulu, please!’ protes Parto dalam hati saat merasakan aroma khas yang terbawa angin yang bertiup. Aroma tanah yang basah oleh siraman air dari langit.

Namun tampaknya cuaca memang tak bisa ditawar. Meski tak terlalu deras, namun rintik gerimis itu semakin riuh, membuat suasana hati Parto yang tengah gundah semakin membuat lamunannya teringat pada alasan kuat yang membuatnya nekat pergi mencari Walji, teman sekantornya yang telah resign beberapa bulan lalu.

………..🫒

“Kamu melamar anakku cuma modal satu set perhiasan murahan ini saja? Aku juga bisa beli sendiri untuknya!” cibir Bu Yanti seraya mengangkat sebelah sudut bibirnya, menambah kesan kejam dengan tatapan tajam dan tak suka.

Parto mengulum senyum getirnya, menggertakkan rahang-rahangnya, dengan kedua tangan yang terkepal kuat, Parto berusaha menahan gemuruh yang membuat wajahnya terasa panas karena marah.

“Mau kamu kasih makan apa kalau aku memberi kalian restu untuk menikah? Lagian apa?! Melamar sekarang, tapi menikahnya tahun depan, hahaha … kamu mau mengambil keuntungan ya, Hah?!” Bu Yanti terus mencerca Parto dengan ejekan-ejekan yang menguji kesabarannya.

“Pulang sana! Dan jangan pernah kembali lagi! Aku malu kalau punya menantu cuma pegawai swasta kayak kamu!”

Setali tiga uang, Risma, wanita yang telah dipacari Parto hampir dua tahun ini pun bukan-nya membela sang kekasih di hadapan sang Ibu, namun justru bersekongkol menolak Parto.

“Maafkan aku, Mas!” ucapnya acuh.

“Ris … bukankah kita sudah berjanji?” Parto yang terlanjur jatuh hati pada Risma, masih berharap kekasihnya itu akan membantunya memberi pengertian pada Bu Yanti.

“Mau ngapain lagi? Risma sudah dilamar Robet Minggu lalu!” ketus Bu Yanti. “Dari namanya saja sudah keren, ora ndeso kayak kamu!”

“Meskipun bukan pegawai negri, tapi dia itu pengusaha sukses!” tegas gamblang Bu Yanti. “Noh tuh didepan rumah ada N-max baru, itu yang beliin si Robet!” sombong Bu Yanti seraya menunjuk ke arah teras rumah.

“Noh televisi tipis yang layarnya segede bioskop, sama AC itu, Robet juga yang beliin. Lah kamu, dua tahun pacaran sama Risma, apa yang sudah kamu kasih buat aku?”

“Kalau dateng ngapel, paling bawa martabak, terang bulan, roti bakar. Bukannya aku makin kaya, malah diabetes! Cih! Nggak sudi aku punya menantu kayak kamu!”

Habis manis sepah dibuang memang. Sebenarnya Parto tak sepelit itu, namun sejak sang ayah tiada sekitar tiga tahun yang lalu, ia harus menggantikan posisi sang ayah sebagai tulang punggung keluarga, dengan dua adiknya yang masih butuh biaya sekolah.

“Jika kamu menerima lamaran itu Minggu lalu, jadi ….” Parto semakin merasa terpukul saat mendengar kenyataan itu.

“Iya, Mas … terimakasih ya, gelang yang kamu belikan kemarin, aku suka! Akan aku simpan sebagai kenangan darimu.” Dengan tak tahu malu, Risma melontarkan ucapannya begitu saja.

“Balikin! Mana semua perhiasan itu! Aku juga nggak sudi punya istri matre kayak kamu!” serang balik Parto.

Namun Bu Yanti menghadang langkah Parto yang hendak mendekati Risma. Ia berdiri berkacak pinggang tepat berhadapan dengan Parto.

“Eh! Eh! Jadi laki-laki kok perhitungan! Barang yang sudah diberikan ya jangan diminta balik dong! Dasar miskin dan nggak tahu sopan!”

Tak ingin perdebatan berlarut, Bu Sutarmi yang dari tadi hanya bisa duduk terdiam menahan hati yang panas, kini bangkit berdiri meraih lengan sang putra.

“Cukup Le! Kita memang orang miskin, tapi kita masih punya malu! Cuma perhiasan segitu nggak usah digetuni! Anggap saja kamu sedang memberinya modal buat mereka makan!” Bu Sutarmi menarik lengan Parto untuk segera meninggalkan keluarga matre itu.

“Banyak wanita cantik yang baik di-luar-an sana, Le. Jangan berkecil hati dan lupakan semua penghinaan mereka,” hibur Bu Sutarmi seraya mengelus pundak sang putra.

“Dah, biar Ibu yang bawa motornya, kamu bonceng di belakang, pegangan ya, Ibu mau ngebut, hahaha!” imbuh Bu Sutarmi sekuat tenaga menyembunyikan amarah karena penghinaan dari keluarga Risma.

…………🫒

Kembali ke perjalanan Parto. Suasana dalam bus semakin sunyi. Hujan sudah mulai mereda, kini berganti dengan suara Derik jangkrik dan hewan-hewan malam yang menambah suasana desa semakin kentara.

Tes

Tes

Tes

Cairan hangat tampak menetes di punggung tangan Parto. Namun karena gelap, Parto hanya bisa mengendusnya untuk memperkirakan itu apa.

‘Kok bau anyir sih? Apa ini?’ batinnya seraya mendekatkan punggung tangan itu ke hidungnya lalu berusaha mencari pantulan cahaya dari lampu jalan yang sangat remang. Tak terpikirkan olehnya untuk menggunakan cahaya dari ponsel.

"Kok kayak darah?" gumamnya lagi disertai bulu kuduk yang tiba-tiba merinding hebat. “Ah! Mungkin cuma air yang bercampur karat,” simpulnya sendiri sembari menatap langit-langit bus yang memang tak lagi memiliki warna di sana.

‘Loh mana wanita dengan ikat rambut tadi? Kayak nggak lihat kapan turunnya?’ Entah kenapa pikirannya teringat pada wanita tadi.

“Sudah sampai, Mas!” panggil sang kondektur saat pak Sopir menghentikan laju bus-nya.

Parto turun di sebuah pertigaan. Gelap dan sunyi. Hanya ada sebuah lampu di sebuah gubuk di pojok pertigaan.

Parto menghela napas, menatap jalanan gelap di depan matanya.

“Nggak jauh kok, cuma sekitar lima ratus meter lagi jalan kaki!” gumamnya menyemangati diri sendiri.

Tujuan utamanya adalah rumah Walji.

Perjalanan tak sulit, meski jalanan kampung melewati sawah di kanan dan kiri, tapi semua sudah mulus di-aspal sehingga tak menyulitkan perjalanan Parto.

Hingga akhirnya setelah dua puluh menit berjalan kaki, sampailah Parto tepat di sebuah gapura yang bertuliskan ‘Selamat Datang di Desa Kalibaru’.

Tampak dua pria sedang duduk mengobrol di sebuah gardu tak jauh dari gapura. Parto mendekati keduanya.

“Kulo nuwun … permisi … mau ke rumahnya Walji, sebelah mana nggih Pak?” tanya sopan Parto.

“Oh? Walji?” Dua pria itu saling menatap lalu saling memberi kode seakan enggan memberi tahu.

“Anu … kalau Walji lagi nggak ada, Mas. Tapi Bapaknya ada. Mau saya antar ke rumah pak Ngatnu?” sahut pria yang satunya.

“Boleh, Pak, terimakasih sebelumnya!” jawab Parto tersenyum lega. “Anu … kalau boleh tahu … memangnya Walji kemana ya, Pak?”

“Katanya sih ke luar negri, tapi entahlah. Sejak kejadian itu, dia tak terlihat lagi di kampung ini!”

“Kejadian?”

“Aduh, Mas, jangan tanya lagi, nanti biar Bapaknya sendiri yang menjelaskan, takut keliru!” tukas warga itu lagi lalu mempercepat langkah kakinya.

“Nah ini Mas rumah Pak Ngatnu, silahkan masuk sendiri ya!”

Entah kenapa warga itu langsung lari terbirit-birit meninggalkan Parto yang masih melongo heran dan bingung tanpa sempat bertanya lagi bahkan berterimakasih karena sudah diantar.

Anehnya juga, setelah melihat Parto melangkahkan kaki ke pekarangan pak Ngatnu, orang yang rumahnya tepat di sebelah rumah itu, tampak terburu-buru menutup pintu.

‘Aneh … tapi kalau dipikir-pikir aku terus saja merinding sejak naik bus tadi, ada apa ya sebenarnya?’ batin Parto seraya melangkah pelan menuju rumah yang tampak sederhana dan normal seperti layaknya rumah kampung pada umumnya.

...****************...

Bersambung

Bertemu Keluarga Walji

Tok

Tok

Tok

Parto mengetuk pintu perlahan, ‘Sepinya ….’ gumamnya dalam hati, seraya melihat ke sekeliling dan hanya mendapati gelap dan riuh suara jangkrik dan katak yang bersahutan.

Ceklek!

Kriyeeet

Terdengar derit engsel pintu dibuka, setelah beberapa saat menunggu. Seorang wanita paruh baya muncul dari baliknya, dengan tatapan datar ia mengamati Parto dari ujung kaki hingga ke ujung kepala.

“Permisi … selamat malam, Bu,” sapa sopan Parto seraya mengangguk kecil disertai senyuman.

“Iya, selamat malam. Anda siapa dan ada perlu apa?” tanya balik si wanita pemilik rumah dengan nada sangat datar, tak terlihat sedikitpun ke-ramah-an.

“Anu … saya mau nyari Walji, apa betul ini rumah orang tuanya?”

Wanita itu sedikit tersentak setelah Parto menyebutkan nama yang disebutkan Parto. Belum sempat si wanita menjawab, dari arah dalam rumah, muncullah seorang pria sedikit lebih tua, berbadan tambun dengan kumis tipis, hanya mengenakan singlet berwarna putih, dan bawahan sarung yang terlihat kumal.

“Siapa yang datang malam-malam begini, Bu?” tuturnya seraya berjalan mendekat, hingga ia melihat Parto yang berdiri di ambang pintu.

“Ini, Pak! Mas-nya ini nyariin Walji,” tukas si wanita.

“Oh? Lha ….” Entah apa yang dipikirkannya, Pria itu sepertinya sengaja tak melanjutkan ucapannya.

“Saya Parto, teman semasa SMP-nya Walji juga teman se-kantor-nya, sebelum Walji resign beberapa bulan lalu.” Parto segera memperkenalkan diri.

“Masuk dulu aja, Mas, ngobrolnya di dalem, sudah malem, nggak enak ngobrol di depan pintu.” Si pria yang ternyata adalah pak Ngatnu, ayahnya Walji mempersilakan Parto untuk masuk dan duduk.

Rumah sederhana dengan interior ruang tamu yang juga sederhana layaknya rumah di kampung. Tak banyak perabot, hanya satu set meja kursi tamu motif bunga-bunga yang sudah usang dan tak lagi empuk, serta sebuah lemari bufet berbahan kayu yang menonjolkan ukiran unik dan kuno sebagai pembatas dengan ruangan lainnya.

“Lha Mas-e ini datang dari mana, kok malem-malem baru nyampe sini? Terus naik apa, kok saya nggak dengar suara kendaraan?”

“Saya dari ibukota Pak, cuma naik bus. Dulu saya pernah tinggal di kampung Jambeasri sebelum akhirnya pindah ke ibukota,” terang Parto sopan.

“Walah jauh tenan … tapi, ada perlu apa kok jauh-jauh sampai ke sini buat nyari Walji, anak saya?”

Belum juga Parto membuka mulut untuk menjawab, Bu Sumiyem, istri pak Ngatnu muncul kembali dengan sebuah nampan. Bu Sumiyem duduk jongkok di lantai, lalu menurunkan dua gelas dengan aroma kopi yang sangat kentara, serta sepiring singkong goreng yang masih tampak mengepulkan asap dari penggorengan.

“Silakan sambil minum kopi, Mas. Sama ini ada kudapan khas kampung, mumpung masih anget,” ujar Bu Sumiyem ramah seraya menggeser piring berisi singkong goreng mendekat ke Parto.

“Terimakasih, Bu, malah repot-repot,” tukas Parto basa-basi.

“Nggak apa-apa, Mas. Wong cuma seadanya,” sahut Bu Sumiyem lagi lalu duduk di sebelah suaminya.

Parto membuka tutup gelas, untuk mengurangi panas di-kopi-nya, sontak aroma kopi yang sangat kuat menyeruak masuk dan menusuk indera penciuman.

“Jadi, maksud saya datang ke sini, untuk menanyakan uang saya yang dipinjam Walji beberapa hari sebelum dia resign, Pak,” ucapnya tanpa lagi berbasa-basi.

Pak Ngatnu mendengus membuang napas kasar, lalu kembali meletakkan gelas kopinya di meja. “Duh! Mas … kami juga sedang dalam upaya mencari keberadaan anak kami.”

Deg!

‘Duh, piye ini! Ngalamat uangku hilang,” batin Parto.

Namun sebisanya ia masih berusaha menetralisir kekhawatirannya, mengingat masih ada orang tua Walji di sana, setidaknya masih ada harapan sebagian uangnya akan kembali, meski entah bagaimana caranya nanti.

“Lha memangnya apa yang terjadi, Pak?” Parto pun tak tahan dengan rasa penasaran sejak mendengar penuturan dari warga di pos, dan keanehan tingkah warga itu.

“Sebenarnya, sudah seminggu anak saya nggak pulang.” Pak Ngatnu tertunduk.

“Tadi warga di depan juga mengatakan hal yang sama, memangnya ada apa toh, Pak? Soalnya sepanjang saya berteman sama Walji, dia tuh nggak neko-neko, orang-e juga baik. Kenapa tiba-tiba seperti itu?”

“Saya bingung, Mas, harus mulai cerita darimana, tapi intinya sejak lima bulan lalu, setelah Walji buka toko kelontong, banyak orang yang tak suka dengan usaha Walji, mereka melempar fitnah kalau Walji buka warung dengan modal hasil ngepet.”

“Itu jelas fitnah, Pak. Walji bilang mau pindah ke kampung saja, lalu minjem uang ke saya tiga puluh juta, dia nggak bohong ternyata memang buat buka toko kelontong, kan?”

“Bener, Mas. Tokonya juga masih ada, lengkap dengan semua dagangannya. Tapi, saya juga kaget karena bilangnya itu uang pesangon dari kantornya.”

“Walji kerja di kantor itu belum ada setahun, Pak. Saya tidak yakin ada pesangon untuknya,” terang Parto lirih, seakan takut salah memberikan informasi dan justru menambah kekecewaan pak Ngatnu.

“Kasihan Walji Mas ….” ucap pak Ngatnu lirih dan menggantung menahan kecewa, membuatnya tak sanggup melanjutkan ucapan.

Parto pun harus terima, meski ada rasa kecewa, namun tak ada juga yang bisa diperbuatnya. Ia hanya bisa berharap semoga teman baiknya itu pun segera pulang.

“Kalau begitu, saya pamit dulu, Pak. Tolong kalau Walji pulang, suruh menghubungi saya.” Parto mencatat nomor ponselnya di sebuah kertas, lalu di sobeknya dan diserahkan pada pak Ngatnu.

“Malam-malam begini, Sampeyan mau langsung balik ke kota, Mas?” sahut Bu Sumiyem yang sedari tadi hanya diam saja. “Sudah nggak ada bis lagi loh, Mas.”

“Oh, iya saya tahu, Bu. Saya mau jalan kaki saja ke kampung Jambeasri, saya mau nginep di tempat kerabat, di sana.”

Pak Ngatnu dan Bu Sumiyem saling pandang sejenak, entah apa yang mereka pikirkan.

“Nggak bisa loh, Mas. Jembatan yang menghubungkan ke desa itu putus karena banjir dua hari lalu, belum sempat diperbaiki karena cuaca masih tidak menentu, jadi kalau malam jalannya harus turun jurang, gelap dan sulit!” terang Pak Ngatnu

“Sampeyan kan temennya Walji, nginep aja dulu, besok pagi baru ke sana,” imbuh Bu Sumiyem.

Entah kenapa rasanya ada kesan terburu-buru dalam setiap ucapan pak Ngatnu dan Bu Sumiyem. Seakan mereka sekuat tenaga berusaha mencegah agar Parto tak pergi dari rumahnya.

“Betul Mas, nginep saja dulu di sini, sukur-sukur nanti Walji pulang pas sampeyan masih di sini.”

Parto menimbang sejenak, sebenarnya ia juga tak terlalu ingat dengan jalan menuju ke kampung yang dulunya ia pernah tinggal di sana, saat sang ibu masih bekerja di puskesmas desa.

“Tapi … apa saya nggak merepotkan kalian?”

“Justru kami yang nggak enak hati karena anak kami ternyata menggunakan uang Mas ….” ucap mengambang pak Ngatnu seraya mengingat nama tamunya itu.

“Parto, saya Parto, Pak!” tukas Parto menyadari hal itu.

Malam itu pun Parto akhirnya setuju untuk menginap di rumah orang tua Walji.

“Tidur ya tidur aja! Jangan menyentuh apapun selain kasur, selimut, sama bantal!” ujar ketus Lasmi, adik perempuan Walji sambil berdiri bersedekap tangan di ambang pintu kamar.

Parto hanya bisa tersenyum kecut seraya mengangguk, ada sungkan dan perasaan tak enak hati pada gadis tomboy itu. Bukan hanya ucapannya yang ketus, namun tatapan bocah SMP itu begitu kasar dan tak ramah sama sekali.

Brak!

Bahkan pintu kamar itu pun ditutup dengan begitu kasar oleh Lasmi, cukup membuat Parto berjingkat karena kaget.

Parto mengedarkan pandangnya ke sekeliling ruangan. “Apanya yang mau di-kepo? Orang adanya cuma lemari usang, meja belajar, sama rak buku. Dasar bocah!” gumamnya lalu merebahkan tubuh melintang dan telentang di atas kasur.

“Ah … akhirnya punggungku nyaman juga.”

…….🫒

“Mas! Tolong aku!” Terdengar panggilan seorang perempuan dari arah yang tak jelas.

“Mas! Ikat rambutku!” seru suara yang sama.

Parto duduk bingung, masih di dalam bus, di kursi yang sama, dengan suasana bus yang sama. Yang berbeda adalah wanita yang berdiri di sampingnya.

Dari sudut matanya, Parto menangkap sebuah kaki yang basah penuh lumpur, tanpa alas kaki. Bahkan benar, pakaian wanita itu basah hingga tetesan air terlihat jelas dari ujung-ujung rok panjangnya.

Parto membulatkan mata, mengamati aliran air dari tetesan demi tetesan, lalu mengalir di lantai bis, semakin terkumpul dan mulai agak menggenang.

Parto mengalihkan tatapannya mendongak perlahan untuk melihat wanita yang berdiri terdiam di sampingnya.

‘Ikat rambutnya?!’ seru Parto tak sanggup berteriak meski sangat terkejut, saat melihat jelas ujung pita itu meneteskan cairan berwarna merah. ‘Da-darah!’ pekiknya gugup.

Namun Parto tak sanggup menggerakkan tubuhnya lagi, seakan sesuatu menguncinya hingga tak mampu beranjak. Bahkan bersuara pun ia tak sanggup.

Mulutnya terkunci rapat.

Hanya kepala dan matanya saja yang dengan bebas bisa digerakkannya.

“MAS! TOLONG!”

Suara memekik, keras, penuh amarah dan tekanan, begitu menyakitkan telinga Parto. Namun saat ia berusaha menggerakkan kedua tangan untuk menutupi telinga, bahkan kedua tangannya pun terkunci memeluk ransel di pangkuannya.

Parto mulai panik, merasakan telinganya kesakitan, seakan gendang telinganya bergetar dan siap meledak.

Hal lain yang membuat Parto semakin tercekat, wajahnya pucat pasi dan detak jantung semakin memburu ketakutan, saat air dalam bis itu semakin meninggi, dan menenggelamkan semua yang ada dalam bis itu.

Namun anehnya kepanikan hanya ia rasakan sendiri. Saat melihat ke sekeliling, kengerian semakin memuncak saat semua penumpang tampak tak terpengaruh, semua tetap sibuk dengan ponsel masing-masing, persis seperti saat ia melihat pertama kali.

“TOLONG AKU MAS! HAHAHA!”

Suara keras dan pilu seakan seseorang tengah berada diambang kematian, terus terdengar berulang, hingga membuat Parto mulai merasakan mual dan pusing yang begitu hebat.

‘Ap-apa yang harus kulakukan?’ teriak batinnya panik saat air keruh itu mulai mencapai lehernya.

Hingga kemudian, ia merasakan guncangan hebat, seakan bus yang ditumpanginya itu, menabrak sesuatu lalu terguling dan berputar di udara beberapa kali, ditambah suara tawa si wanita yang memekik membuat Parto mulai lemas.

........🫒

...****************...

Bersambung.

#Oke, sampai di sini bagaimana? Cocok nggak author nulis beginian🥴🤣

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!