NovelToon NovelToon

Office Crush

Chapter 1

Prok prok prok....

Lalita bertepuk tangan tanpa semangat, hanya ikutan rekan-rekan kerjanya saja. Dia bahkan tidak terlalu mendengarkan apalagi mengerti apa yang disampaikan oleh CEO (Chief Executive Officer) perusahaan tempatnya bekerja. Intinya laki-laki pemegang kekuasaan tertinggi di perusahaan PT. CJR itu mengucapkan bla bla bla untuk menyambut kedatangan CFO (Chief Finance Officer) baru yang mulai hari ini akan bergabung di perusahaannya.

Mata Lalita memperhatikan dua laki-laki yang berdiri di balik nasi tumpeng besar beberapa meter di depannya, sang CEO Christian Joseph Reynolds, bule Belanda bermata biru yang sangat tinggi dengan kulit pucat itu sedang menceritakan tentang pengalaman kerja dan prestasi CFO baru, Zidan Arkan, yang meskipun masih berusia 37 tahun tapi sepak terjangnya dalam hal ekonomi bisnis sudah mendapat pengakuan di Indonesia dan Singapura.

"He is single," kata Mr. Reynolds yang langsung mendapat sambutan ramai terutama dari para wanita jones alias jomblo ngenes di divisi keuangan. Secara otomatis semua mata langsung memandang ke arah CFO baru. Badannya tinggi tegap, setinggi pemain basket profesional dunia meski dia jelas produk lokal. Rambutnya dipotong model pompadour sehingga membuat postur tubuhnya yang sudah tinggi tampak lebih tinggi lagi. Kulitnya kecokelatan, tampak sangat kontras saat berdiri di sebelah Mr. Reynolds. Namun kulit kecokelatan tersebut bukannya mengurangi, tapi malah membuatnya melengkapi ketampanannya. Wajahnya, jangan ditanya, mungkin hidungnya tidak terlalu sempurna, tapi antara mata, hidung, tulang pipi, bibir, semua bersinergi dengan sangat baik untuk membentuk sesuatu yang indah dan menyenangkan untuk dilihat.

Tidak lama kemudian giliran CFO baru yang bicara memberikan sambutan. Laki-laki itu terlihat sangat dewasa dan tampak sedikit lebih tua dari umurnya, mungkin karena dia terlalu sering bekerja menggunakan otaknya untuk berpikir, tetapi dia terlihat sangat bersemangat.

Lihat saja beberapa tahun ke depan, atau mungkin dalam hitungan bulan, apakah dia masih akan terlihat bersemangat setelah mengetahui lingkaran setan yang ada di perusahaan ini?

Kenapa Lalita bilang lingkaran setan? Apakah karena di perusahaan tempatnya bekerja banyak sekali setannya? Tidak, bukan seperti itu. Para owner yang masih aktif berada di Board of Director sering semaunya sendiri dalam mengambil keputusan atau bahkan strategi bisnis, dan banyak dari para manajer terutama yang sudah cukup berumur biasanya akan mencari aman atau bahkan ada yang lepas tangan. Sehingga ketika ada masalah, kadang hanya didiamkan saja atau dilempar ke sana ke mari atau bahkan berputar-putar tanpa menemukan jalan keluar, akhirnya jadi terasa seperti berada di dalam sebuah lingkaran setan. Lalita yang sudah bekerja hampir 10 tahun di PT. CJR cukup paham dan terbiasa dengan lingkaran setan yang terjadi di perusahaannya. Tapi Lalita hanyalah seorang supervisor, yang tidak berhubungan langsung dengan para Board of Director, jadi hanya sedikit merasakan dampak dari lingkaran setan tersebut. Kalau seorang CFO yang sehari-harinya bakalan berhubungan langsung dengan para Board of Director, pasti nanti bakalan lebih sering dan lebih besar merasakan dampaknya saat mulai masuk ke dalam lingkaran setan di PT. CJR.

"Umur 37 tahun dia sudah menjadi CFO. Aku saja umur 38 tahun masih setia menjadi staf. Dia bahkan lebih muda dari manajer kita yang umurnya sudah 40 tahun," kata Reeta, salah seorang bawahan Lalita yang juga merupakan teman dekatnya di perusahaan ini.

"Nasib orang kan memang beda-beda. Tidak usah iri, rejeki sudah ada yang mengatur," jawab Lalita sok bijaksana. Setelah mengalami cobaan dalam hidupnya terkait perceraiannya dengan Adit, mantan suaminya, Lalita memang menjadi jauh lebih bijaksana daripada sebelumnya. Karena saat-saat itu adalah titik terendahnya, belum pernah dia merasakan sedih dan sakit hati sebesar itu sebelumnya. Rasanya seolah dunia mau kiamat saja, seringkali Lalita terpikir untuk melakukan bunuh diri. Saat menyetir sendirian dia terpikir untuk menabrakkan mobilnya ke sebuah bangunan, atau saat sedang memasak dan memegang pisau dia terpikir untuk memotong nadinya, untung saja imannya masih cukup kuat untuk menahannya melakukan hal-hal buruk tersebut.

"Lapar nih, kapan sih sambutannya selesai?" Lilac, salah satu teman dekat Lalita yang lain mengelus perutnya yang mulai protes minta diisi. Wanita yang telah melahirkan tiga bulan lalu ini memang sering sekali kelaparan karena sedang menyusui anaknya. Lalita hanya mengangkat bahu, pertanda kalau dia juga tidak bisa menjawab pertanyaannya.

Mbak Dina, asisten CFO, mengundang semua karyawan dan karyawati dari divisi Finance and Accounting, yang terdiri dari bagian hutang, piutang, kasir, pajak, akuntansi, internal audit, anggaran, dan bagian treasury untuk berkumpul di depan ruangan CFO untuk menyambut kedatangannya jam 11.30, 30 menit sebelum jam makan siang. Tapi sampai jam 12.15 sambutannya belum juga selesai. Lilac dan Reeta sudah sibuk memilih dari kejauhan, lauk apa saja yang akan mereka ambil dari kumpulan makanan yang mengelilingi tumpeng nasi kuning yang akan mereka makan bersama-sama siang ini. Sedangkan Lalita dari tadi mengecek dua jarum yang bergerak pada jam tangannya.

Ini benar-benar membuang waktu, aku kan bisa mengerjakan laporan keuangan saja?! Mana targetnya sore ini sudah harus dikirimkan. Lalita mengoceh dalam hati, lalu mengganti tumpuan berdirinya dari kaki kanan ke kaki kiri. 45 menit berdiri mulai membuatnya capek.

Akhirnya semua sambutan dan bla bla bla itu selesai tepat pukul 12.30. Semua orang langsung menyerbu ke arah nasi tumpeng, kecuali Lalita. Lalita berjalan sendirian melawan arus, dia lebih memilih untuk kembali ke meja kerjanya dan menyelesaikan pekerjaan yang sudah menunggu. Sepasang mata tajam memperhatikan kepergiannya meninggalkan kerumunan yang tampak sangat mencolok, raut wajahnya tampak tidak suka melihat punggung perempuan yang semakin lama semakin menjauhinya.

"Kemana? Tidak ambil makanan?" tanya Even yang berpapasan dengan Lalita.

"Nanti saja, masih banyak pekerjaan," jawab Lalita.

Sampai di meja kerjanya, Lalita langsung menghempaskan tubuhnya di kursi putar berwarna hijau, lalu memutar kursinya menghadap ke arah monitor, mengetikkan "holiday" di papan keyboard sebagai password untuk masuk ke sistem komputernya. Setelah masuk, langsung terpampang deretan angka di layar monitornya, lalu Lalita melanjutkan membuat sebuah laporan keuangan lengkap dengan detail-detailnya, beserta analisis terhadap kenaikan dan penurunan yang terjadi selama 3 bulan terakhir. Saat jam istirahat kurang 10 menit, Lalita bangkit dan berjalan menuju ke meja nasi tumpeng yang sudah tidak lagi berdiri tegak, dengan sisa-sisa lauk yang berserakan tipis mengelilinginya.

"Lho, kamu belum ambil, La?" tanya Mbak Dina yang meja kerjanya memang berada di dekat meja nasi tumpeng.

"Belum Mbak, tadi mengerjakan laporan." jawab Lalita lesu karena perutnya lapar.

"Harusnya tadi bilang, biar bisa kuambilkan. Ini daging ayamnya sudah habis, tinggal sisa sedikit tuh lauknya," Mbak Dina merasa bersalah.

"Tidak apa-apa, Mbak, seadanya saja." Namanya orang kelaparan, seadanya makanan pun sudah cukup bagus.

Lalita lalu mengambil piring plastik yang disediakan di meja, mengambil sedikit nasi kuning, telur rebus yang dimasak dengan bumbu Bali beserta tahunya, kering tempe, srundeng kelapa, dan urap-urap kesukaannya.

"Tidak ambil sambal, Mbak?" tanya Anton, salah satu bawahan Lalita yang besar tubuhnya 3 kali tubuh Lalita saat kebetulan lewat.

"Mbak Lalita kan tidak suka pedas," timpal Radit yang berjalan bersamanya dan Adriel. Radit dan Adriel sama tingginya, bedanya Radit sedikit lebih berisi sedangkan Adriel kurus. Bertiga dengan Anton, mereka tampak terlihat seperti angka 101.

"Mbak, makannya jangan sambil mendengarkan Anton ngomong ya, nanti kepedasan. Omongannya Anton pedas banget soalnya," kata Adriel yang lalu mendapat pukulan ringan dari Anton. Anton dan Adriel adalah lulusan universitas yang sama, mereka berdua sudah berteman dekat sejak duduk di bangku kuliah, tapi kelakuan mereka berdua lebih seperti film kartun kucing dan tikus Tom and Jerry.

Lalita tidak menggubris omongan mereka, hanya ikut tertawa melihat kelakuan Adriel yang selalu usil. Lalita kemudian ikut berjalan bersama mereka menuju ke meja kerjanya. Saat melewati sebuah ruangan, laki-laki yang duduk di kursi kebesarannya memperhatikan tindak tanduknya, dan menyadari bahwa dia adalah bawahannya yang tadi berjalan melawan arus dan meninggalkan acara syukuran penyambutannya.

Sore itu juga, Zidan sang CEO baru, mengumpulkan para manajer, asisten manajer, dan supervisor di ruang rapat. Dia ingin mengenal satu persatu orang-orang yang memegang jabatan tersebut karena nantinya dengan merekalah dia akan bekerja sama.

Semua terlihat antusias mendengarkan kecuali Lalita, seorang Supervisor bagian Akuntansi, dia memutar bola matanya dan terus-terusan menguap saat pertemuan berlangsung. Setelah satu jam berada di ruang rapat, pertemuan dibubarkan. Lalita menjadi orang yang pertama kali keluar dengan antusias, sedangkan beberapa orang lainnya masih berada di dalam dan berdiskusi dengan Zidan.

Lagi-lagi, kepergian Lalita mendapatkan tatapan tajam dari sepasang mata laki-laki yang sejak di ruangan memerhatikannya. Eh, sejak siang sebenarnya Lalita sudah terus diperhatikan olehnya.

Chapter 2

Akhirnya tim ganda campuran Lalita dan Adriel memenangkan pertandingan badminton malam ini, setelah permainan yang berat dengan tim dari divisi lain, 21-19, 18-21, 25-23. Dengan bangga Lalita dan Adriel bisa mempertahankan gelar juara 1 kepada rekan-rekan sedivisi Finance and Accounting. Gelar itu sudah disandang selama lima tahun terakhir sejak diadakannya pertandingan badminton di acara ulang tahun perusahaan.

Lalita sedang duduk-duduk beristirahat di pinggir lapangan sambil membicarakan tentang jalannya pertandingan barusan dengan teman-temannya, saat tiba-tiba terdengar suara di belakangnya yang bicara dengan sangat keras.

"Jadi bagaimana rasanya? Sudah berhasil menaklukkan seorang playboy hingga dia menikahimu? Tapi tetap saja, dia cuma **** yang sukanya main perempuan. Pada akhirnya kalian cerai juga, kan?" itu suara Chandra, mantan pacar Lalita sebelum menikah dengan Adit, yang notabene juga teman dari Adit, lebih tepatnya teman karena mereka bertetangga.

Seketika seluruh ruangan hening. Di kantor tidak ada satu pun yang mengetahui kalau Lalita sudah bercerai dan suara Chandra yang begitu keras membangkitkan rasa penasaran yang tinggi, hingga membuat mereka semua menghentikan obrolannya dan menoleh ke arah Lalita.

"What's your point?" tanya Lalita setelah berdiri dan menghadapi Chandra, dia sudah terlanjur membongkar rahasia tentang perceraiannya di hadapan teman-temannya. Sekarang Lalita sedang berpikir untuk menghadapinya dengan cara yang keren.

"Nothing. Just want to say it loud," jawab Chandra sambil menyunggingkan senyum culasnya.

"Kamu tidak terima karena aku lebih memilih menikah dengan Adit daripada dengan kamu? Terus sekarang kamu mau mengolokku dan mengatakan kalau aku sudah salah memilih?" Lalita mulai terbawa emosi. "Memang benar aku sudah bercerai sama Adit, terus kamu mau apa?"

Chandra hendak membuka mulut saat kemudian seorang laki-laki datang. "Wah wah wah, ada apa ini? Apa yang sedang kalian berdua lakukan di sini sambil menyebut namaku?" laki-laki itu menatap tajam Chandra.

Ya, yang datang adalah Adit, mantan suami Lalita. Baik Lalita, Adit maupun Chandra, memang bekerja di lokasi kantor yang berdekatan karena bidang usahanya sama yaitu perdagangan ekspor-impor. Lokasi lapangan badminton ini sendiri berada di dekat lokasi kantor mereka, sehingga bukan tidak mungkin pertemuan seperti ini akan terjadi. Sebenarnya Chandra dan Adit yang lebih sering bermain di lapangan badminton tersebut. Lalita hanya datang karena kebetulan sedang mengikuti turnamen kantor yang diselenggarakan di sana.

"Kamu tidak apa-apa?" tanya Adit saat melihat wajah perempuan yang sampai saat ini masih dicintainya terlihat marah, memang dari dulu Chandra masih suka menggodanya, Adit pernah melihatnya sendiri beberapa kali.

Lalita mengacuhkan pertanyaan Adit, dia mulai membereskan barang-barangnya dan bersiap pergi.

"Terima kasih sudah membuat mereka semua tahu tentang perceraianku, aku jadi tidak perlu merahasiakannya lagi sekarang," kata Lalita kepada Chandra yang langsung terdiam sejak kedatangan Adit. Chandra selalu merasa terintimidasi dengan Adit.

"Kamu mau ke mana?" tanya Adit sambil menahan tangan Lalita yang hendak melewatinya. Perempuan itu mengabaikannya sejak dia datang.

"Pulang. Ini urusan laki-laki, kan? Selesaikan sendiri. Aku tidak peduli dengan kalian." Lalita menjawab sambil melepaskan tangannya dari Adit, lalu berjalan meninggalkan lapangan badminton.

Beberapa menit setelah pergi meninggalkan dua pria tersebut, Lalita mendengar suara pukulan dan seseorang jatuh, lalu teriakan beberapa orang menyusul. Tanpa menoleh pun Lalita sudah tahu kalau Adit pasti yang memukul Chandra hingga terjatuh, dan saat ini pasti orang-orang di sekitarnya sedang berusaha melerai.

"Hei, kamu tidak apa-apa?" tanya Adriel yang menjajari langkah Lalita saat di tempat parkir. Adriel adalah salah satu anak buah Lalita yang cukup dekat dengannya.

"Aku tidak apa-apa," jawab Lalita santai.

"Sorry, aku tidak tahu kalau kamu sudah bercerai. Selama ini aku sering melihatmu menangis dalam diam atau bekerja tanpa fokus. Kadang aku ingin bertanya, apa kamu sedang ada masalah berat? Tapi aku tidak pernah berani karena sepertinya terlalu pribadi." Meja Adriel berada di samping meja Lalita, jadi sudah pasti dia melihat apa pun yang sedang dilakukan Lalita. Dan ketika masa-masa sulit dengan Adit, Lalita memang sering diam-diam meneteskan air mata saat matanya sedang berkamuflase menghadap ke layar komputernya.

"Sekarang kamu sudah tau, kan?" Lalita hanya menjawabnya ringan sambil membuka pintu mobil dan meletakkan tasnya di kursi penumpang.

"Baiklah, kalau begitu hati-hati di jalan," Adriel lalu meninggalkan Lalita dan menuju ke arah tempat parkir motor. Sudah cukup dia mengetahuinya, Adriel pun tidak ingin bertanya lebih jauh lagi, dia cukup sadar dengan posisinya yang hanya sebagai teman kerja Lalita. Adriel tahu, jika Lalita memang ingin cerita, dia pasti akan menceritakannya sendiri tanpa perlu ditanya. Biasanya seperti itu.

Keesokan harinya, berita itu menjadi pembicaraan di kantor. Sebenarnya Lalita sudah bisa menduga, tapi entah kenapa, diperhatikan banyak pasang mata ketika dirinya lewat ternyata sungguh tidak nyaman. Saat melewati ruangan Bu Maya, manajer itu memanggilnya masuk.

“Sepertinya semua sudah tahu, ya?” Bu Maya ingin mengonfirmasi langsung kepada Lalita.

“Iya, Bu, gara-gara semalam,” Lalita lalu menceritakan kejadiannya kepada Bu Maya.

Bu Maya adalah satu dari sedikit orang di kantor yang mengetahui tentang perceraian Lalita. Dulu saat Lalita sering bertengkar dengan Adit, Lalita sering datang terlambat ke kantor atau kadang mengambil cuti mendadak. Suatu hari, Bu Maya mengirimkan pesan WhatsApp kepada Lalita, isinya:

“Saya tahu kamu sedang ada masalah berat, tapi jangan terlalu lama bersedih, kamu harus segera bangkit.”

Saat itu Lalita mengabaikan, tapi suatu hari akhirnya Lalita mengakuinya dan membalas pesan WhatsApp Bu Maya, “Saya memang sedang ada permasalahan berat dalam hidup saya, tolong beri saya waktu, saya sedang berusaha bangkit”. Dan Bu Maya pun membalasnya, “oke, kamu pasti bisa”.

Ketika akhirnya Lalita memutuskan untuk bercerai, dia pun menceritakannya kepada Bu Maya. Bukannya sengaja mau curhat atau apa, tapi Lalita berpikir pasti akan sering mengajukan cuti jika harus mengurus perceraiannya, makanya dia sampaikan di awal kepada Bu Maya, agar manajernya itu tidak lagi bertanya-tanya kalau ke depannya dia akan sering mengajukan cuti.

Oke. Kembali ke meja kerja Bu Maya saat ini.

“Ya sudah mau gimana lagi, kan tidak mungkin disembunyikan juga selamanya,” kata Bu Maya setelah mendengar cerita Lalita.

“Iya, Bu, maaf sudah membuat keramaian seperti ini,” Lalita merasa tidak enak kepada atasannya itu.

“Tidak masalah, nanti lama-lama juga mereda,” jawab Bu Maya sambil tersenyum. Meskipun sangat tegas dan disiplin bahkan sering tampak keras kepada anak buahnya, tapi sebenarnya Bu Maya memiliki hati yang baik dan seringkali memberikan toleransi yang besar kepada anak buahnya yang sedang terkena musibah atau memiliki masalah.

Lalita baru akan berdiri dan kembali ke meja kerjanya saat Zidan masuk ke ruangan Bu Maya dengan marah-marah.

“Ada berita apa, sih? Kenapa pagi ini ramai sekali?” kata Zidan sebelum menyadari ada Lalita di dalam ruangan tersebut.

“Biasa, Pak, namanya juga berita. Kalau baru keluar pasti bikin ramai, tapi cuma sebentar, nanti lama-lama pasti hilang dengan sendirinya,” jawab Bu Maya dengan santai. Perempuan satu itu memang memiliki karakter yang kuat, tidak mudah terintimidasi dengan orang lain, malah dia sendiri yang sering kali mengintimidasi meski bawaannya sebenarnya santai.

“Saya dengar yang diberitakan ini salah satu anak buah kamu. Apa benar?” Zidan terlihat marah dan tidak senang.

“Benar,” Bu Maya menjawabnya tetap dengan santai.

“Siapa?” Zidan mulai penasaran.

“Sudahlah, Pak, cuma masalah pribadi. Tidak penting juga siapa orangnya,” Bu Maya tetap tenang.

“Baiklah. Pastikan saja hal ini tidak membuat kinerjanya menurun.” Dan akhirnya Zidan pun menyerah mengorek informasi dari Bu Maya.

“Siap, Pak,” Bu Maya menjawabnya sambil tersenyum.

Lalu Zidan pun pergi meninggalkan ruangan Bu Maya.

“Terima kasih, Bu,” kata Lalita setelah kepergian Zidan, dia merasa berterima kasih kepada manajernya karena mau menutupi identitasnya saat ditanya Zidan.

“Ya sudah, sana kembali bekerja. Segera mintakan tanda tangan direktur untuk surat-surat yang harus segera dikirimkan ke auditor,” kata Bu Maya.

“Iya, Bu, akan saya proses sekarang juga.” Lalu Lalita keluar dari ruangan Bu Maya.

Sejak Zidan keluar dari ruangan Bu Maya tadi, ternyata belum kembali ke ruangannya sendiri. Dia masih berbincang dengan Mario dan Dina di depan ruangan Mario yang berada tepat di samping ruangan Bu Maya, membicarakan tentang perjalanan dinasnya minggu depan. Saat Lalita keluar dari ruangan Bu Maya, kedua bola mata Zidan mengikuti perempuan itu hingga dia sampai di meja kerjanya.

“Apa dia yang menjadi topik hangat di keramaian pagi ini?” tanya Zidan spontan yang dijawab dengan anggukan Dina dan Mario.

“Siapa namanya?” Dia masih mengingat wajahnya saja, belum namanya. Tapi dia bisa menangkap tatapan mata yang berbeda dari para karyawan di lantai tersebut pagi ini kepada perempuan yang baru saja keluar dari ruangan Bu Maya, sehingga dia bisa dengan mudah mengetahui bahwa dialah pemeran utama kehebohan yang dibicarakan pagi ini terutama di lantai 4.

Chapter 3

"Aku capek, tadi banyak rapat di kantor. Kamu saja yang mengurusnya," teriak Ibu yang masih mengenakan setelan baju kerjanya.

"Kamu pikir aku tidak capek? Sama, aku juga capek banyak pekerjaan hari ini. Tapi kamu kan ibunya. Sudah menjadi tugasmu untuk mengurus anak kita," Ayah yang juga masih mengenakan pakaian dinasnya balas berteriak kepada Ibu.

"Nah, kamu tahu kan kalau dia anak kita? Bukan cuma anakku saja. Jadi kamu juga harus bantu aku mengurusnya."

"Tidak mau! Aku capek. Kamu urus sendiri saja."

Kedua orang dewasa itu masih saja bertengkar dan saling berteriak satu sama lain, padahal seorang balita kecil lucu sedang menangis dengan keras di dalam kamar karena kelaparan. Setiap hari selalu seperti itu.

"Ayah dan Ibu sudah berpisah. Kamu akan tinggal dengen Nenek mulai sekarang,” ucap si Ayah, tanpa anak kecil itu sadari kalau itu adalah pertemuan terakhir dengannya.

Awalnya kedua wajah laki-laki dan perempuan itu terlihat sangat jelas. Tapi lama-lama mulai mengabur hingga akhirnya wajahnya sama sekali tidak tampak. Seorang laki-laki dan seorang perempuan tanpa wajah, tampak seperti hantu, terlihat sangat menakutkan.

Zidan seketika terbangun dari tidurnya, keringat bercucuran di dahi, leher, dan seluruh badannya. Zidan duduk di atas tempat tidurnya, mengatur nafasnya, menghapus keringat di wajahnya, lalu mengumpat pelan. Bangun tidur dengan cara seperti ini membuatnya sakit kepala.

Ah, kenapa mimpi itu masih saja menghantuiku.

Zidan melihat jam dinding, masih terlalu pagi, tapi dia sudah tidak bisa tidur lagi. Antara takut mimpi itu datang lagi atau karena jamnya sudah tanggung. Akhirnya Zidan bangkit dan menuju ke kamar mandi untuk mencuci muka dan menggosok gigi, lalu mengganti pakaian tidurnya yang sudah basah karena keringat dengan kaos tanpa lengan dan celana olahraga. Zidan meninggalkan komplek apartemennya yang masih gelap dan sepi lalu mulai berlari. Headset portabel yang menempel di kedua telinganya memperdengarkan suara musik yang menghentak-hendak dari penyanyi favoritnya, Queen, menemaninya berlari beberapa kilometer memutari taman yang berada tidak jauh dari komplek apartemennya.

Saat kembali ke apartemennya, matahari sudah bersinar dengan terang. Moodnya yang tadi jelek karena mimpi buruk, sudah sedikit membaik setelah berlari. Zidan membuat kopi dan setangkup roti isi untuk sarapannya. Setelah kenyang, Zidan menuju kamar mandi. Guyuran air hangat dari shower meredakan sedikit sakit kepalanya. Setelah berpakaian dengan rapi, dan mood yang sudah semakin membaik, Zidan berangkat ke kantor.

***

Zidan duduk di balik meja kerja sambil memperhatikan orang-orang yang berlalu-lalang di depan ruangannya yang berada di ujung ruangan lantai 4. Di sebelahnya adalah ruangan rapat yang bersebelahan dengan pintu kaca ganda. Untuk melewatinya membutuhkan entry pass dan hanya karyawan di ruangan ini serta beberapa orang dari divisi lainnya dengan kriteria tertentu yang mempunyai akses untuk keluar masuk ke ruangan divisi Finance and Accounting.

Meski ruangan berada di ujung, tapi setiap orang yang keluar masuk harus melewati ruangannya, dan Zidan selalu membiarkan pintu ruangannya terbuka, kecuali saat rapat tertutup, meski itu sangat jarang terjadi. Pada awal bekerja, Zidan kadang keluar dan melihat-lihat ruangan di sekitarnya. Dia mencoba memahami alur kerja, kondisi ruangan serta karyawan di kantor. Sebagai CFO, Zidan mendapatkan fasilitas makan siang di café kantor yang berada di lantai 2, hanya level manajer ke atas yang mendapatkan fasilitas tersebut. Tapi kadang Zidan merasa bosan, karena di café tersebut hanya menyajikan menu makanan sehat, tanpa gula dan penyedap makanan serta sedikit garam saja sehingga makanannya sering kali terasa hambar. Belum lagi saat makan siang, pembicaraannya selalu saja terkait pekerjaan, sehingga Zidan merasa tidak nyaman berada di sana karena tidak bisa menikmati makan siangnya dengan tenang. Saat bosan melanda, Zidan makan siang di kantin karyawan yang berada di lantai 3, di sana menunya lebih bervariasi dan lebih lezat, ada televisinya juga, dan lebih ramai karena karyawan-karyawati yang bersenda gurau dengan bebas. Meski Zidan duduk sendirian, karena tidak ada seorangpun yang berani duduk semeja dengannya, tapi dia tetap merasa lebih nyaman makan di kantin karyawan daripada di café. Kadang Mario menemaninya makan di sana kalau dia sedang ada di kantor saat jam makan siang, pekerjaannya sebagai manajer pajak sering kali mengharuskannya keluar dari kantor untuk pergi ke kantor pelayanan pajak setempat maupun tempat lainnya untuk bertemu dengan konsultan pajak. Alasan lain kenapa Zidan suka makan di kantin karyawan adalah karena dia seringkali mendengarkan cerita dari sudut pandang karyawan, sehingga membuatnya mempunyai pandangan yang berbeda terhadap situasi yang ada.

Saat ini sudah enam bulan Zidan menjabat CFO, dia sudah mulai hafal dan mengenal nama-nama karyawan yang berada di lantai 4. Bukan hanya nama bawahannya yang bekerja langsung dengannya, tapi juga karyawan dengan level lebih rendah yang tidak pernah bekerja secara langsung dengannya, tapi mereka semua tetap dianggapnya sebagai tim.

Meski Zidan adalah seorang CFO, tapi dia sering kali datang paling pagi dan pulang paling malam. Karena itulah dia bisa dengan cepat belajar dan mengetahui tentang pekerjaannya serta keseharian di ruangan lantai 4 ini. Zidan tahu karyawan mana yang selalu datang pagi atau karyawan mana yang sering datang terlambat, dan karyawan mana yang selalu pulang tepat waktu atau sering kerja lembur. Bahkan terkadang dia tahu gosip apa yang sedang beredar, karena para penggosip di lantai 4 tanpa sadar bicara terlalu keras hingga bisa terdengar olehnya. Zidan tahu banyak hal yang terjadi di lantai 4.

Sejak awal masuk di PT. CJR, Zidan mendapatkan banyak hal yang sebelumnya dia inginkan. Gaji dan tunjangan yang sudah jelas tinggi, fasilitas apartemen mewah, mobil mewah Vellfire hitam mengkilap dan sopir yang selalu siap mengantarkannya ke mana saja. Pun masih banyak fasilitas pribadi lainnya.

Sejak kecil, Zidan memang dititipkan di rumah nenek dari ayahnya, karena perceraian orang tua. Lalu sejak SMA pindah ke Bandung tinggal bersama Tante Puji (adik ayahnya). Zidan pun merasa dibuang tanpa tahu apa penyebabnya, sejak bercerai kedua orang tuanya tidak ada yang berusaha menemuinya sama sekali.

Dari kehidupannya yang berat, Zidan belajar satu hal, bahwa dia harus menjadi orang yang hebat agar bisa mendapatkan perhatian dari banyak orang. Kepercayaan diri Zidan mulai muncul sejak tinggal bersama Tante Puji. Zidan mulai menyukai perhatian-perhatian yang diberikan teman-temannya, terutama teman-teman perempuan yang tidak bisa mengalihkan pandangan saat melihat wajah tampan dan tubuh atletisnya.

Zidan mulai sombong. Dia tidak lagi mengharapkan perhatian dan kasih sayang dari orang tuanya, bahkan dia sudah melupakan mereka berdua. Zidan tidak ingat lagi wajah kedua orang tuanya, itulah kenapa saat mimpi buruk itu datang selalu tanpa wajah. Tapi meskipun Zidan senang dengan semua perhatian yang diterimanya, dia sama sekali tidak pernah ingin untuk membalasnya. Zidan mengabaikannya, sama seperti orang tuanya yang mengabaikan dia ketika kecil dulu.

Sosoknya tumbuh menjadi pribadi yang dingin, tetapi haus akan perhatian. Namun itu tidak masalah, karena di manapun berada dia selalu mendapatkan perhatian dari para perempuan yang menggilai penampilan fisiknya, perhatian dari para pengusaha yang ingin merekrutnya atau bahkan yang ingin menjatuhkannya, perhatian dari laki-laki lain yang merasa tersaingi olehnya, juga perhatian dari bawahannya yang merasa terintimidasi. Tetap saja, tidak satu pun dari perhatian itu ada yang dibalas oleh Zidan. Dia lebih memprioritaskan egonya yang ingin membahagiakan diri sendiri, serta tidak peduli pada hal lain yang tidak penting di sekitarnya.

Untuk itu, Zidan hanya bisa menertawakan dalam hati betapa lugunya para wanita yang berteriak mengaguminya dan mengatakan kalau mereka semua masih single. Padahal dia sudah lebih dari siap untuk mengabaikan semuanya. Namun ada satu orang yang dengan terang-terangan mengabaikannya. Dia pergi meninggalkan lokasi saat acara tasyakuran penyambutannya di PT. CJR di saat semua orang bergerombol ikut makan bersamanya dan justru berebut tempat ingin berada di dekatnya. Dia menguap dan mengabaikannya saat acara perkenalan dengan rekan-rekan setimnya. Dia mengacuhkannya bahkan tidak menyapa atau memberi hormat kepadanya saat semua karyawan lain melakukan itu.

Dia, perempuan itu, Lalita yang mengabaikannya, mengacuhkannya, sama sekali tidak memperhatikannya, sangat melukai harga dirinya. Zidan tidak menyukai dia. Bukan karena dia tidak cantik, Lalita cantik meski menurutnya biasa saja, badannya juga kurus. Secara fisik tidak ada yang istimewa darinya. Satu-satunya hal yang istimewa dari Lalita hanya karena dia menjadi satu-satunya perempuan yang tampak tidak tertarik dengan Zidan. Dia mulai berpikir untuk membuat perempuan itu tertarik padanya. Ya, bagaimanapun caranya Zidan akan membuat perempuan itu melihatnya atau bahkan kalau perlu membuat perempuan itu bertekuk lutut kepadanya. Dia tidak akan membiarkan kejadian yang sama terulang kembali. Dia tidak akan membiarkan ada orang yang mengabaikannya lagi.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!