...Aku harus menghilang… demi keselamatan banyak orang dan demi dia,”...
Udara dingin laboratorium menyelimuti Robert, menusuk kulitnya hingga ke tulang. Bau antiseptik yang tajam dan aroma kopi basi semalam masih tercium samar, menggantung di udara seperti bayang-bayang yang tak mau pergi. Sepatu bot hitamnya bergema pelan di koridor yang sunyi, setiap langkah seakan mengetuk-ngetuk rasa takut yang disembunyikan di balik ketenangannya. Dia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan detak jantungnya yang berdebar tak menentu. Di balik wajahnya yang tenang, pikirannya bergejolak, dipenuhi dengan ketakutan dan tekad yang bercampur aduk.
“Aku harus menghilang… demi keselamatan banyak orang dan demi dia,” gumamnya, suaranya nyaris tak terdengar. Dia berhenti sejenak di depan pintu besi laboratoriumnya, tangannya meraih kartu akses, jari-jarinya sedikit gemetar. Bunyi klik yang pelan terasa begitu keras di telinganya, diikuti oleh desisan mekanis pintu otomatis yang membuka.
Ruangan itu terang benderang, diterangi oleh cahaya putih lampu neon yang mencolok. Aroma khas larutan kimia memenuhi udara, sebuah aroma yang biasa membuatnya nyaman, tetapi sekarang terasa menyesakkan. Tabung-tabung reaksi berjajar rapi di rak-rak, seperti pasukan yang siap tempur, siap untuk menjalankan perannya dalam percobaan rumit yang dia lakukan. Layar monitor besar menyala dengan warna biru, menampilkan grafik dan data yang rumit, sebuah representasi dari pekerjaannya yang begitu dekat dengan penyelesaian. Tetapi, bukan perasaan senang yang dia rasakan, melainkan beban berat yang semakin mencengkeram hatinya.
Dia meletakkan tas ranselnya, lalu menepuk tangan dua kali, sebuah kebiasaan yang biasanya menandakan awal dari suatu eksperimen. Tetapi kali ini, itu terasa lebih seperti sebuah ritual, sebuah usaha untuk mengumpulkan keberanian yang nyaris habis.
“Baiklah,” gumamnya lagi, suaranya masih serak. “Hari ini, aku harus menyelesaikan formula ini. Dunia mungkin bergantung padaku, tapi yang lebih penting, Misel bergantung padaku.” Pikirannya melayang kepada Misel, kekasihnya, yang selalu mendukungnya, yang selalu ada di sisinya, meskipun dia seringkali terlalu tenggelam dalam pekerjaannya.
Matanya tertuju pada ponselnya di atas meja, wallpapernya menampilkan foto Misel, senyumnya yang cerah seakan menerangi ruangan yang dingin dan sunyi ini. Rambutnya sedikit beterbangan tertiup angin, sebuah gambaran kebebasan yang kini terasa begitu jauh dari jangkauannya. Dia tersenyum, sebuah senyum yang dipaksakan, berusaha menyembunyikan rasa takut dan keraguan yang menggerogoti hatinya. Dia menekan tombol panggilan.
Di sebuah kantor yang terletak di gedung pencakar langit Jakarta, Misel duduk di meja sekretarisnya, dikelilingi oleh tumpukan dokumen kasus perdata. Blazer putih gadingnya tampak kontras dengan suasana kantor yang serius dan formal. Bau kopi dari cangkir di sampingnya sedikit mengurangi rasa kantuk yang mulai menyerang. Jari-jarinya bergerak lincah di atas keyboard, mengetikkan kata demi kata dengan kecepatan yang mengagumkan. Dia memeriksa email dari klien ayahnya, Pak Mark Albertus, seorang pengacara senior yang sangat dihormati, reputasinya setinggi langit Jakarta.
Ponselnya berdering, menampilkan nama “Sayang” di layar. Senyum mengembang di wajahnya, rasa khawatir yang tiba-tiba muncul tadi sirna seketika.
"Pagi, sayang. Sudah di lab, ya? Gimana, sudah selamatkan dunia belum?" sapa Misel dengan suara riang, berusaha menutupi rasa cemas yang mulai muncul.
Di seberang sana, suara Robert terdengar berat, meskipun berusaha terdengar lembut. "Belum, tapi aku semakin dekat. Hari ini seharusnya hari penting. Aku mungkin tidak bisa banyak bicara, Sayang…"
Misel mendesah pelan. "Kau selalu bilang begitu setiap kali kau nyaris menemukan sesuatu yang ‘penting’. Aku mulai curiga kau ini agen rahasia atau ilmuwan gila," gumamnya, meskipun sedikit senyum terpatri di bibirnya. Dia tahu Robert, dengan kegigihan dan kecerdasannya yang luar biasa, seringkali terlalu tenggelam dalam pekerjaannya.
Robert tertawa kecil, tetapi cepat hilang. “Aku serius, Sayang. Jika berhasil, ini bisa menyelamatkan jutaan nyawa. Tapi risikonya… sangat besar.” Suaranya terdengar semakin berat, beban yang dia pikul terasa semakin mencekik.
Misel merasakan ada yang berbeda dari nada bicara Robert. “Kalau kau butuh apa pun… aku di sini. Kantor Ayah lagi padat, tapi aku bisa kabur untukmu kapan saja.” Meskipun suaranya terdengar tenang, ada sedikit getaran yang tak bisa disembunyikan.
Robert menutup matanya sejenak, seperti menahan beban berat yang tak mampu dipikulnya sendirian. “Aku tahu. Dan itu yang membuatku kuat.” Kalimat itu terasa lemah, tak mampu menutupi rasa takut yang ada dalam dirinya.
Hening beberapa saat. Misel bertanya dengan nada cemas, “Sayang? Kau masih di sana?”
“Iya… maaf. Aku harus mulai sekarang. Aku telepon lagi nanti. Jaga dirimu, ya.” Sambungan terputus. Misel menatap layar ponselnya yang gelap, rasa khawatir menggantikan kegembiraannya. Ada yang sangat salah. Firasat buruk mulai menghampirinya.
Robert baru saja mempersiapkan larutan uji dalam tabung reaksi, ketika pintu laboratorium terbuka perlahan. Seorang pria berjas panjang, Profesor Carlos, senior di laboratorium, memasuki ruangan. Wajahnya penuh kerutan, tetapi tatapan matanya tajam dan dingin seperti es, tidak seperti biasanya yang ramah dan penuh senyum.
“Robert,” ucapnya pelan, tetapi tegas, suaranya membawa nuansa serius yang membuat Robert merinding.
Robert menoleh cepat, jantungnya berdebar kencang. “Prof? Tumben ke ruangan saya pagi-pagi.” Ada nada sedikit gugup dalam suaranya, yang selama ini selalu tenang.
Profesor Carlos menutup pintu dengan hati-hati, lalu mendekat. Suaranya turun menjadi bisikan, “Kita tidak punya banyak waktu. Aku harus memberitahumu sesuatu, dan ini tentang nyawamu.” Kalimat itu menggema di telinga Robert, seperti vonis mati.
Robert mengerutkan kening, “Tunggu… apa maksudnya?” Pertanyaan itu terlontar tanpa sadar, diiringi oleh rasa takut yang mulai menguasai dirinya.
Profesor Carlos mendesah, melihat sekeliling untuk memastikan tidak ada CCTV yang aktif, lalu bersandar ke meja. “Formula yang kau kembangkan… bukan hanya kau yang memperhatikannya. Ada kelompok—mafia. Mereka dibekingi oleh Direktur Laboratorium ini. Aku tahu karena mereka pernah mendekatiku. Dan mereka tahu kau hampir menyempurnakan formula itu.”
Robert tergagap, “Kelompok… mafia? Tapi… itu cuma rumus molekuler penyembuh sel abnormal! Mereka bisa apa dengan itu?”
“Diperas, Robert. Pemerintah. Dunia. Mereka bisa menjualnya sebagai obat eksklusif, atau justru menciptakan ketergantungan baru,” suara Carlos mengeras, “Kau harus pergi. Sembunyi dulu.” Kalimat itu diiringi oleh tatapan mata yang serius, penuh dengan peringatan.
Robert melangkah mundur, wajahnya pucat. “Pergi ke mana?” Pertanyaan itu terlontar dengan suara gemetar, ketakutan telah menguasai seluruh dirinya.
Profesor Carlos mengeluarkan kotak kecil dari saku jasnya. Di dalamnya terdapat ponsel baru, masih tersegel. “Laboratorium kecil milikku di luar kota. Aku akan membawamu ke sana sekarang juga. Tapi sebelum itu… ganti nomor ponselmu. Simpan hanya nomor teleponku dan satu lagi… pacarmu, Misel. Jangan sampai kau membahayakan nyawanya dengan membuatnya terlibat.”
Robert menghela napas panjang. Wajah Misel terbayang di pikirannya. “Aku harus memberi tahu dia. Sedikit saja. Biar dia tidak panik.” Keputusan itu diambil dengan berat, dia harus melindungi Misel dari bahaya yang mengintainya.
Profesor Carlos mengangguk. “Boleh. Tapi satu pesan. Jangan pernah sebutkan lokasi tempat persembunyianmu ke siapa pun, dan pastikan dia pun tidak membocorkan nomor barumu.” Peringatan itu terasa berat, Robert harus sangat berhati-hati.
Robert menatap layar ponselnya yang masih menyala. Ia menghubungi Misel, menjelaskan situasi yang sangat berbahaya ini. Percakapan telepon mereka dipenuhi dengan ketegangan, cinta, dan keputusasaan. Robert menjelaskan tentang ancaman mafia, dan betapa pentingnya bagi Misel untuk menjaga kerahasiaan nomor telepon barunya. Misel, meskipun takut, menunjukkan kekuatan dan dukungannya yang tak pernah padam.
Robert mematikan sambungan. Ia mencabut kartu SIM-nya, menatapnya sesaat, lalu menjatuhkannya ke dalam larutan asam yang ada di laboratorium – kartu SIM itu perlahan larut, seperti harapannya akan kehidupan normal yang dulu dia miliki.
Ia memasang SIM card baru, ponselnya menyala. Ia menyimpan dua nomor: Prof. Carlos dan Misel. Nomor Misel disimpan dengan nama samaran, "Bintangku." Nama itu menjadi simbol dari harapan dan cinta yang akan selalu membimbingnya melewati masa-masa sulit ini.
Robert menarik napas dalam-dalam. Dunia luar terasa asing dan berbahaya.
“Baik, Profesor,” katanya akhirnya. “Aku sudah siap. Tapi aku ingin singgah dulu ke rumahku, lalu ke jalan Capital North. Ada sesuatu yang harus kukembalikan ke brankas pribadiku di sana.” Dia harus memastikan semua jejaknya terhapus, untuk melindungi dirinya dan orang-orang yang dicintainya.
“Baiklah,” kata Profesor Carlos.
Mereka meninggalkan laboratorium, langkah mereka terburu-buru, bayangan ketakutan dan misteri mengikuti mereka. Kehidupan baru Robert telah dimulai, penuh dengan ketidakpastian dan bahaya yang mengintai di balik setiap sudut. Tetapi dia memiliki tekad, dan dia memiliki Misel, Bintangnya, yang akan selalu membimbingnya melewati kegelapan ini.
...Robert menghilang, meninggalkan pesan penuh kode. Ayahnya dan Misel harus memecahkan teka-teki itu sebelum semuanya terlambat. Jejak mereka mengarah ke Capital North, tempat rahasia yang bisa menjadi kunci... atau bahaya baru....
Rumah itu terasa sunyi, mencekam. Pak Mark Albertus, seorang pengacara kenamaan Jakarta dengan reputasi yang tak perlu diragukan, berdiri di ambang pintu kamar putranya, Robert. Udara di dalam kamar terasa dingin, seolah-olah es telah mencair di sana. Aroma khas Robert—campuran buku tua dan kopi—tidak ada. Hanya aroma hampa yang menusuk hidungnya, meninggalkan rasa hampa yang lebih besar di dalam hatinya.
Ia melangkah masuk, langkahnya berat, hati berdebar-debar. Setiap desis langkah kakinya di lantai kayu menggema di dalam ruangan yang sepi, memperkuat kegelisahan yang mulai menguasainya. Pandangannya tertuju pada secarik kertas kecil yang tergeletak di atas meja, kertas yang sederhana dan terlipat rapih namun memiliki bobot lebih berat dari apapun yang pernah ia pegang.
Dengan tangan bergetar, ia mengambil kertas itu. Jari-jarinya yang terbiasa menelaah dokumen-dokumen hukum kini gemetar bagai daun kering diterpa angin. Ia membentangkan kertas itu, matanya menyusuri setiap kata yang tertulis dengan tinta biru, kata-kata yang ditulis oleh putranya, namun terasa asing dan penuh misteri.
"Maaf Ayah, aku terpaksa sembunyi dulu. Ada sesuatu masalah di laboratorium. Ayah jangan tanya kenapa. Oh ya, Ayah siapkan penjagaan ketat di rumah, terus kalau boleh kabari Misel sekretaris Ayah. Dia pacarku. Kasihkan kode ini kepada dia,"
Berikutnya, sebuah kalimat yang tampak acak dan tidak masuk akal:
"Dalam darurat Internasional, Nicolaus Copernicus akan mendengarkan:
a. Freakin’ It – Will Smith
b. Adventure of a Life Time – Coldplay
c. Black Magic – Little Mix"
Pak Mark terdiam, jantungnya berdebar kencang. Kata-kata Robert berputar di kepalanya, menciptakan kekhawatiran yang mendalam. Ia tidak mengerti sepenuhnya apa yang terjadi, tetapi instingnya sebagai seorang ayah mengatakan bahwa anaknya sedang dalam bahaya yang sangat serius. Pengalamannya yang panjang dalam dunia hukum tak mampu menafsirkan kode aneh ini. Hanya ada satu hal yang jelas: Robert membutuhkan bantuannya.
"Robert!" teriaknya, suaranya menggema di dalam rumah yang sunyi. Namun, hanya keheningan yang menjawab, keheningan yang terasa lebih berat dari beban dunia yang dipikulnya. Ia merasa terjebak dalam ketidakpastian, dan rasa cemas mulai merayap ke seluruh tubuhnya, mencengkeram jantungnya bagai cakar besi.
"Apa yang kau lakukan, Nak?" gumamnya, sambil menatap kertas itu seolah-olah bisa memberikan jawaban. Ia mengusap wajahnya yang penuh dengan keriput, tangannya bergetar.
Ia segera meraih ponselnya, jari-jarinya bergerak dengan tergesa-gesa. Ia menghubungi Misel, sekretarisnya, yang ternyata adalah kekasih putranya. Suara dering terdengar panjang, setiap detik terasa seperti sebuah abad. Akhirnya, telepon terjawab.
"Halo, Pak Mark?" suara Misel terdengar ceria, meskipun Pak Mark bisa merasakan sedikit ketegangan yang disamarkan di balik nada suaranya. Suasana hati Misel yang biasanya bersemangat selalu mampu menenangkan Pak Mark, tetapi kali ini, suasana itu tak mampu menembus kecemasannya.
"Misel, ada yang tidak beres. Robert… dia menghilang. Dia meninggalkan pesan untukmu. Kode ini…" Pak Mark menjelaskan dengan cepat, menyampaikan isi surat tersebut, suaranya bergetar menahan kepanikan. Dia menceritakan tentang kode lagu yang aneh, yang membuat kebingungannya semakin memuncak.
"Oh tidak, Pak!" Misel terdengar panik. "Apa yang terjadi? Ada apa, Pak?" Suaranya bergetar, mencerminkan ketakutan yang sama yang kini dirasakan Pak Mark.
"Aku tidak tahu, tapi kita harus bersiap. Aku akan mengatur penjagaan di rumah. Kau harus tetap waspada dan siap jika dia menghubungimu." Pak Mark berusaha untuk tetap tenang, tetapi suaranya tetap gemetar, mengkhianati emosinya.
"Baik, Pak. Saya akan segera ke rumah. Kita harus mencari tahu apa yang terjadi." Misel menjawab, tekadnya terasa kuat di balik suaranya yang masih sedikit gemetar.
Setelah menutup telepon, Pak Mark merasa sedikit lebih tenang, setidaknya beban tanggung jawabnya sedikit terbagi. Ia tahu bahwa Misel akan membantunya, tetapi rasa khawatir akan keselamatan Robert terus menghantuinya, seperti bayang-bayang yang tak pernah lepas. Ia bergegas keluar dari kamar, bertekad untuk melindungi anaknya, apapun yang terjadi, walau nyawanya menjadi taruhannya.
Sesampai di rumah Pak Mark, Misel segera menekan bel pintu. Suara deringnya menggema di ruang tamu yang sepi, sebuah suara yang seolah memperkuat kesunyian dan ketegangan yang menyelimuti rumah itu. Tak lama kemudian, pintu terbuka, dan Pak Mark muncul dengan wajah cemas, mata merah sembab, dan rambut yang acak-acakan.
"Misel, terima kasih sudah datang cepat," ucap Pak Mark, membuka pintu lebar-lebar agar Misel bisa masuk. Ia berusaha terlihat kuat, tetapi keriput di wajahnya dan getaran tangannya mengkhianati usahanya.
Setelah duduk di kursi ruang tamu yang mewah namun terasa dingin, Pak Mark mengeluarkan secarik kertas dari saku celananya dan memperlihatkannya kepada Misel. "Ini pesan dari Robert. Dia menghilang, dan aku tidak tahu harus berbuat apa." Suaranya terdengar lemah, penuh dengan keputusasaan.
Misel mengambil kertas itu, matanya menyusuri setiap kata yang tertulis. "Apa maksud semua ini? Kenapa dia tidak memberi tahu lebih banyak. Malah pesan seperti kode ini? Dasar ilmuwan penyuka Sherlock Holmes," ucapnya, masih bingung dengan arti tulisan itu. Nada sarkastiknya sedikit menutupi kepanikan yang dirasakannya.
"Aku sudah mencoba menghubunginya, tapi ponselnya tidak berdering. Seolah-olah dia memang ingin menghilang," jawab Pak Mark, suaranya bergetar. Ia merasa putus asa, tidak tahu harus berbuat apa lagi.
Misel menghela napas, berusaha menenangkan diri. "Sebenarnya tadi siang, Robert juga meneleponku. Dia bilang akan bersembunyi sementara waktu. Ada yang mengincar hasil penelitiannya." Ia mengingat-ingat percakapan teleponnya dengan Robert, mencoba mencari petunjuk lebih lanjut.
"Mengincar hasil penelitian? Apa maksudnya?" Pak Mark bertanya, wajahnya semakin pucat. Ia mulai menyadari bahwa ini bukan sekadar masalah kecil.
"Aku tidak tahu, Pak. Tapi sepertinya ini serius. Kita harus mengikuti saran Robert untuk memberi pengamanan ketat di rumah. Kita tidak bisa membiarkan kejadian tak terduga terjadi," Misel menjelaskan dengan tegas, mencoba untuk mengambil alih kendali.
Pak Mark mengangguk, tetapi ada keraguan di matanya. "Tapi kita harus melapor ke polisi. Ini sudah terlalu berbahaya." Instingnya sebagai seorang pengacara mengatakan bahwa ia harus melibatkan pihak berwajib.
Misel menatapnya dengan serius. "Jangan, Pak. Tadi siang, Robert sempat berucap untuk jangan melaporkan ini kepada polisi. Kita harus menghormati keputusan Robert. Jika dia merasa perlu bersembunyi, mungkin ada alasan yang lebih besar. Percayalah pada intuisi Robert, dia selalu lebih pintar dari yang kita bayangkan."
"Tapi, Misel…" Pak Mark mulai ragu, tetapi Misel memotongnya.
"Kita harus percaya pada Robert dan melindunginya. Mari kita buat rencana pengamanan. Kita bisa mulai dengan memeriksa semua pintu dan jendela, pastikan semuanya terkunci. Aku bisa menghubungi teman-teman ayah di kepolisian untuk membantu kita, secara diam-diam, tentu saja." Misel mencoba untuk tetap tenang, berusaha merumuskan strategi.
"Baiklah, kita lakukan itu. Tapi aku tidak bisa berhenti memikirkan apa yang terjadi padanya," kata Pak Mark, suaranya penuh kekhawatiran. Wajahnya menggambarkan kesedihan dan kecemasan seorang ayah yang kehilangan putranya.
"Kita akan menemukannya, Pak. Bersama-sama, kita akan memastikan dia aman," Misel berjanji, berusaha memberikan harapan di tengah ketidakpastian yang melanda. Ia memegang tangan Pak Mark, memberikan dukungan dan kekuatan.
..."Tak ada yang benar-benar hilang—kadang, hanya disembunyikan di tempat yang tak pernah kita kira akan jadi kunci segalanya."...
Kabut tipis menyelimuti kota Jakarta saat sore itu, menciptakan suasana misterius yang selaras dengan misi yang akan mereka jalani. Gedung penyimpanan Capital North menjulang tinggi, siluetnya yang gagah terlihat seperti benteng baja di tengah kabut yang menari-nari. Mobil Land Cruiser hitam Pak Mark berhenti di halaman depan gedung yang megah namun dingin itu. Pak Mark, seorang pengacara kenamaan dengan reputasi yang tak terbantahkan, turun lebih dulu, membukakan pintu untuk Misel. Sejak perjalanan tadi, Misel tak henti-hentinya menatap catatan Robert, matanya seolah ingin membaca lebih dalam makna di balik setiap kata.
Misel menatap gedung itu dalam diam, matanya menangkap setiap detail arsitektur yang kokoh dan penuh teka-teki. “Gedung ini… aku pernah lihat sekilas waktu Robert mengajak jalan-jalan waktu kami kencan pertama. Tapi tak menyangka Robert menyimpan sesuatu di sini,” gumamnya, suaranya bercampur dengan rasa takjub dan sedikit ketakutan.
Pak Mark mengangguk pelan, tangannya menggenggam erat kemudi, merasakan beban tanggung jawab yang begitu besar. “Aku juga tak pernah dengar ia punya akses ke tempat ini. Tapi dari semua kode dan petunjuk yang ia tinggalkan dan kamu uraikan… hanya gedung ini yang masuk akal. Semoga ini benar,” jawabnya, suaranya sedikit bergetar, mengungkapkan kecemasan yang terpendam.
Mereka melangkah masuk, melewati pintu putar yang besar dan kokoh, memasuki lobi yang luas dan sunyi. Aroma lembap dan sedikit berdebu memenuhi udara, menciptakan suasana yang menegangkan. Mereka berjalan menyusuri lorong sempit yang panjang, melewati beberapa ruangan arsip yang gelap dan sunyi, dinding-dindingnya dipenuhi dengan rak-rak besi yang penuh dengan berkas-berkas usang. Suara langkah kaki mereka bergema pelan, menciptakan gema yang semakin memperkuat rasa misterius yang menyelimuti tempat ini.
Akhirnya, mereka tiba di lorong bawah tanah tempat penyimpanan brankas digital. Lampu-lampu neon tua menggantung di langit-langit, memancarkan cahaya dingin dan redup, seolah menambah kesan menyeramkan. Udara terasa lebih dingin dan lembap di sini, meninggalkan jejak dingin di kulit mereka.
“112…” gumam Misel, berhenti di depan sebuah dinding besi yang besar dan kokoh, bertuliskan LOKER 112 dengan cat yang sudah mulai terkelupas. Angka itu seakan berbisik, menggemakan petunjuk yang telah mereka pecahkan.
Namun, yang mereka temukan membuat keduanya terdiam. Di bawah tulisan itu, tidak ada satu, melainkan enam brankas, masing-masing bertuliskan: 112A, 112B, 112C, 112D, 112E, dan 112F. Enam brankas yang berdiri berdampingan, seakan memperlihatkan teka-teki baru yang lebih rumit.
“Apa ini… maksudnya?” tanya Pak Mark pelan, nafasnya mendesah panjang. “Kita hanya tahu angka 112. Tapi ternyata… masih ada lagi kelanjutannya. Kode-kode ini buat otak tua ini tambah pusing.” Kerutan di wajahnya semakin dalam, mencerminkan kebingungan yang dirasakannya.
“Sabar, Pak. Dari apa yang ditulis Robert, apa yang kita nanti temukan ini adalah sesuatu yang sangat penting. Bahkan tidak satu orang pun kecuali kita berdua yang diberi tahu dan diberi misi ini,” kata Misel, berusaha menenangkan Pak Mark. Suaranya lembut, namun tegas, mencerminkan kekuatan batinnya.
Pak Mark mengangguk pelan, “Iya sih. Padahal kalau mau perlindungan hukum, ada ayahnya yang seorang pengacara ini.” Ia mencoba sedikit bercanda, untuk mengurangi ketegangan yang menyelimuti mereka.
“Mungkin maksud Robert supaya tidak terlalu banyak yang terlibat dengan masalah ini, Pak,” Misel menjelaskan.
Pak Mark lalu bertanya kembali kepada Misel, “Ada banyak loker bernomor 112 ini. Bagaimana kita bisa tahu?”
“Ada enam,” lanjut Misel. Ia menatap satu per satu brankas itu, lalu kembali pada catatan ponselnya. “Kode dari Robert mengarah ke 112. Tapi dia tidak sebut huruf mana.” Ia memutar ponselnya di tangannya, seakan mencari jawaban yang tersembunyi di balik layar kecil itu.
Pak Mark melangkah lebih dekat ke brankas, menekan panel sentuhnya. “Semua pakai kode digital enam digit pula. Kira-kira apa ya kodenya? Ah… pusing.” Ia mengusap wajahnya yang mulai berkeringat, merasakan tekanan yang semakin kuat.
Namun sebelum mereka mencoba, Misel kembali mengingat pesan Robert: “Pilih dengan hati, bukan logika.”
Ia memejamkan mata sejenak, lalu berkata, “Kita tidak bisa asal tebak. Ini bukan soal angka. Ini soal… apa yang Robert ingin kita pahami.” Suaranya tenang, tetapi matanya berbinar dengan tekad.
Pak Mark memutar tubuh, memandangi kelima loker lainnya. “Kalau aku… aku akan memilih A. Karena itu awal, permulaan.” Ia berpikir secara logis, sesuai dengan kebiasaan berpikirnya sebagai seorang pengacara.
“Tapi Robert… dia bukan orang yang berpikir linear. Dia selalu pakai simbol. Emosi. Kenangan,” Misel melangkah pelan ke arah brankas 112F. Ia punya firasat yang kuat bahwa jawabannya tidak terletak pada logika sederhana.
Ia memejamkan mata sejenak, mengingat-ingat kenangannya bersama Robert. Saat membuka matanya, suaranya mantap. “Kita tidak bisa asal tebak. Ini bukan sekadar angka. Ini tentang… apa yang Robert ingin kita pahami.”
Ia kembali menatap ponselnya. Jari-jarinya mengetuk ringan layar, lalu berhenti pada sebuah catatan: 100524. Tanggal jadian mereka. 10 Mei 2024.
“Bagaimana kalau… kode ini?” Misel mengangkat ponselnya ke arah Pak Mark. “Tanggal jadian kami. 100524. Bisa jadi ini sandi yang ia pilih, karena hari itu… sangat berarti buat kami.” Suaranya penuh dengan harapan, sedikit getar di baliknya.
Pak Mark mengangguk pelan. Tapi pandangannya mengarah ke salah satu brankas—yang bertuliskan 112F. Wajahnya tampak mengenang sesuatu.
“Huruf F…” gumamnya. “Florence. Nama almarhumah ibunya Robert. Istriku. Ia sangat dekat dengan Robert waktu kecil. Kalau ia menyimpan sesuatu penting… bisa jadi di sini.” Kenangan akan istrinya yang telah meninggal muncul kembali, membangkitkan emosi yang dalam.
Misel tertegun. “Robert pernah bilang… sapu tangan kecil yang selalu dia bawa itu… huruf ‘F’ di pinggirnya dijahit ibunya sendiri.” Ia mengingat detail kecil yang pernah diceritakan Robert.
Pak Mark tersenyum kecil, sedikit getir. “Dia sangat menyayanginya.”
Mereka berpandangan sejenak, lalu sama-sama mengangguk. Misel menoleh ke brankas 112F. Tangannya bergerak pelan, seolah takut untuk mengganggu ketenangan yang telah lama tersimpan di balik pintu besi itu. Ia mengetuk layar digital, lalu dengan hati-hati memasukkan kode: 1 – 0 – 0 – 5 – 2 – 4
Sejenak hening. Bip. Brankas terbuka perlahan, dan udara dingin dari dalamnya menguar seperti lemari waktu yang baru saja dibuka. Di dalamnya, hanya ada satu benda: sebuah flashdisk berwarna hitam, dan di bawahnya, secarik kertas kecil yang berbunyi:
"Jangan tanya kenapa dulu. Simpan flashdisk ini baik-baik. Bukalah dengan laptop yang aman. Jangan biarkan siapa pun termasuk pemerintah menyalinnya. Ini bisa menyelamatkan banyak orang. Maafkan aku mempersulit kalian dengan masalah ini. Oh iya, Pah. Jaga diri baik-baik dan tolong jaga juga Misel kekasihku, Pah. Untuk Misel, aku selalu mencintaimu. Aku percaya kalian berdua. – Robert"
Misel menggenggam flashdisk itu erat, sementara Pak Mark berdiri kaku, masih terpaku oleh kenangan dan emosi yang bercampur aduk. Ada banyak pertanyaan di benak mereka, tapi satu hal jadi jelas: apa pun isi flashdisk itu, bukan hanya tentang Robert lagi—ini lebih besar dari yang mereka kira.
Mereka menuju ke mobil Land Cruiser hitam Pak Mark dan meluncur perlahan keluar dari halaman gedung Capital North. Tak terasa kabut semakin menyelimuti, seolah menutup jejak kedua penumpangnya di jalan sepi. Di kursi penumpang, Misel masih menahan degup jantungnya.
“Sudah lega ya?” tanya Pak Mark dari balik kemudi, suaranya berat tapi lembut, mencoba memberikan sedikit ketenangan.
Misel mengangguk, menatap rel kereta api sempat terlihat dari kejauhan. “Iya… tapi masih banyak teka-teki yang harus dipecahkan.”
Pak Mark memberikan senyum tipis. “Kalau begitu, kita pulang ke rumahku. Di sana, kita bisa buka flashdisk itu dengan tenang.”
Mereka melanjutkan perjalanan menuju rumah Pak Mark, tanpa banyak bicara. Di dalam mobil yang sunyi, hanya terdengar suara mesin dan detak jantung mereka yang berdebar-debar, mengiringi perjalanan menuju babak baru dalam misi yang menegangkan ini.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!