NovelToon NovelToon

Polwan Cantik Vs Gus Manis..

Part 01.

...Assalamu'alaikum......

...Hai Teman setia Emak May, ketemu lagi enggeh sama Emak yang manis dan imut, semanis kisah cinta sepasang sejoli ini, iya ini.. siapa sih Mak mereka..?....

...Mau tau aja apa mau tau banget..??...

...Yuk kenalan sama cucu cucu Emak.....

...BTW, Emak mau ngucapin makasih dulu kepada seluruh Teman setia Emak May, yang enggak bisa di sebut satu satu, pokoknya Emak Love njenengan semua.. 💖💖...

Happy Reading...

🍁🍁🍁🍁🍁🍁

Matahari pagi baru saja bersinar memberi kehangatan di setiap jengkal bumi di kota Gandrung ini, setiap sinar yang jatuh menerpa tanah berpasir di pinggir tambak ini membuat seorang pemuda tampan, bertubuh tegap, dengan Hoodie menutup topi di atas kepalanya, memecing kesilauan saat cahaya dari matahari jatuh menimpa air tambak, cahayanya yang bak kristal memendar dengan indahnya, terlebih saat angin meniupnya dan menimbulkan riak riak kecil yang semakin mempercantiknya.

Lengkungan bibir dari sang pemuda terus saja melebar saat netra coklatnya, menatap jauh ke depan, di mana sebuah bangunan tinggi menjulang berada, lengkungan bibir itu juga mengisaratkan rindu yang mendalam..

"Ali pulang Nda.." ucap pemuda itu sambil membetulkan ransel besar yang berada di pundak nya. 8 tahun lamanya dia menimba Ilmu di kota orang, dan di tambah 4 tahun lamanya dia pergi dari tanah air tercinta untuk belajar dimana Abinya pernah belajar disana dan kini tiba juga waktunya dia kembali dan mengamalkan segala yang telah di dapatkanya di luar sana.

Langkah tegap dari pemuda itu membuat beberapa pasang mata yang tengah melintas di jalan menatapnya penuh kagum dan tak jarang pula yang juga menyapanya.

"Assalamu'alaikum, Pak Madi.." sapa pemuda itu dengan mengulas senyum tipis, meskipun sangat tipis tapi itu mempu membuat orang yang di sapa dengan sebutan Pak Madi itu berhenti sejenak dari kegiatanya mencangkul selokan untuk membetulkan air yang mengaliri tambaknya..

"Wa'alaikumussalam, cah bagus, sopo tho iki kok koyok tau weruh..( Anak tampan, siapa ya ini, kok sepertinya pernah lihat..)" jawab Pak Madi sembari terus memandang tubuh tegap yang tinggi menjulang itu..

"Estu, mboten kemutan kalehan kulo pak, (beneran tidak ingat saya ya pak.)." kata pemuda itu sambil duduk di atas rumput dan di ikuti oleh Pak Madi yang duduk di sampingnya sambil terus memandang wajah dari pemuda itu. Wajah putih bersih dengan alis hitam tebal, di tambah dengan bibir tipis, menampakan dirinya sangat manis sebagai seorang pemuda, dan juga tampan.

"Siapa tho Le, maklum saya ini sudah tua.." jawab Pak Madi..

"Monggo Pak, di ingat ingat sambil ngeses.." kata pemuda itu sambil mengeluarkan sebungkus rokok dari sakunya dan menaruh di tengah tengah mereka berdua..

"Saya sudah berhenti merokok Le.." kata Pak Madi sambil menoleh ke arah air yang sudah sedikit menggenang.. "Sek tho, jane ki sampean sopo, aku kok temenan lali, tapi kok koyok ileng lamat lamat,.( Sebentar, sebenarnya sampean ini siapa, saya kok benar benar lupa, tapi seperti ingat sedikit tidak terlalu jelas..)" lanjut Pak Madi..

"Saya dulu yang sering ngambil ikan sampean Pak Madi, juga yang sering membongkar bendungan air selokan sampean, dan sampean tida...." jawab pemuda itu belum selesai namun sudah di potong duluan oleh Pak Madi..

"Gus Ali, ya Allah Gus Ali,.. " kata Pak Madi sambil hendak mencium tangan Gus Ali namun dengan cepat di tarik olehnya dan ganti mencium tanga Pak Madi. Ya pemuda itu adalah Salman Ali Ridho Maulana putra tunggal dari Gus Farid Hazmi Maulana dan Bunda Afiqah Akmalia.

Kenakalanya waktu kecil sudah dapat di maklumi oleh seluruh warga kampung ini, apa lagi oleh Pak Madi yang setiap harinya selalu mendapat ulah jahil dari Gus Ali, namun semua kenakalanya itu sejalan dengan nilai juga hafalan Al-Qur'annya. Dan dari sekian kenakalanya yang sangat banyak waktu kecil dulu ada satu yang membuatnya begitu Istimewa di hati masyarakat sekitar, yakni setiap habis di usili oleh Gus Ali selalu mendapat rizki yang tidak di sangka sangka, maka dari itu Pak Madi selalu membiarkan saja Gus Ali bersikap sesukanya di lahan tambaknya, meski tidak jarang dia harus berbenah sesudahnya.

Mereka berdua terus bercengkrama mengenai tambak dan hal hal lain hingga matahari sedikit naik, sampai Gus Ali pamit untuk segera pulang ke rumahnya lantas berjalan kembali menyusuri jalan berlapis cor coran ini. Langkah lebar dan panjangnya kembali berhenti di dekat pintu gerbang Pondok Pesantren Tahfidzul Qur'an Al-Ma'aly, yang di asuh oleh Ayah juga di bantu Kakak Iparnya Gus Nayif. Di sana dia membetulkan baju juga topi yang di gunakanya, sebenarnya bukan membetulkan melainkan membuatnya semakin berantakan, dan bagi yang tidak tahu menahu soal Gus Ali akan mengira dia sama sekali tidak berilmu dan berahlak, padahal dia adalah seorang Hafidzul Qur'an seperti Abinya, juga bergelar sebagai Sarjana Tehnik seperti Ibunya saat usianya masih 21 tahun.

"Assalamu'alaikum.." ucapnya lantang di depan pintu Ndalem rumahnya sendiri..

"Wa'alaikumussalam.." jawab seorang wanita muda dengan anak kecil berada dalam gendonganya, sorot mata wanita itu terus saja memperhatikan tamu yang berada di ambang pintu itu, wajahnya yang sedikit menuduk di tambah dengan topi yang maju kedepan, masih juga di tambah Hoodie di atas topi yang di gunakanya, membuat wanita muda itu susah melihat wajah dari pemuda itu. "Silahkan masuk Kang,." lanjutnya, lantas masuklah Gus Ali dan mendudukan dirinya di kursi ruang tamu..

"Wonten kepentingan kaleh sinten enggeh, (Ada kepentingan dengan siapa ya..)" tanya wanita yang masih berdiri di sudut ruangan sambil terus menimang nimang anaknya yang baru berusia di bawah satu tahun itu.

"Saya mau bertemu dengan Abi juga Bunda, Ning.." jawab Gus Ali masih dengan mununduk.

"Enggeh, sebentar, monggo kalih di dahar, sekalian nunggu air.." ucap wanita itu sembari membukakan toples yang berisi makanan ringan yang berada di atas meja, lantas dengan segera masuk lagi ke dalam, dia tidak tahu saja bahwa tamunya sedang menertawai kesibukanya itu..

"Taruh di sana Kang Hadi.." kata wanita itu lagi saat keluar dengan Kang Santri yang membawakan Teh hangat untuk tamu yang tidak lain adalah Gus Ali itu. "Monggo Kang, sambil nunggu Abi masih di kamar mandi.." lanjut wanita itu sambil berjalan masuk kembali.

"Ti, Uti, Kia maunya yang rasa Coklat.." kata seorang anak kecil berusia 8 tahunan, yang baru saja keluar dengan seorang wanita paruh baya namun masih telihat cantik apa lagi saat dia tengah tersenyum, menandakan bahwa di usia mudanya dulu dia adalah wanita yang memang sangat cantik.

"Iya, nanti kalau Mas Bima kesini sama Bude Dahlia.." jawab wanita itu, "Asalamu'alaikum..." lanjutnya dengan mengulurkan tanganya pada Gus Ali yang tengah duduk di kursi tamu.

"Wa'alaikumussalam.." jawab Gus Ali sambil mencium punggung tangan wanita di depanya lantas mengedipkan sebelah matanya pada ponakanya yang langsung menyembunyikan dirinya di balik tubuh Utinya..

"Ndhok Kia, salim tho sama tamu." kata wanita itu dengan mengajak cucunya untuk menyalami tamunya yang tak lain adalah putranya sendiri. Anak kecil yang di panggil Kia itu justru makin menggelang dan menarik narik tubuh Utinya untuk merunduk, dengan senyum yang di ulas untuk tamunya, ahirnya diapun menunduk dan mendengarkan bisikan dari Cucunya..

"Uti itu kayak Uncle Ali.." bisiknya pelan, dan sontak membuatnya membelalakan mata dan memandang langsung wajah dari tamunya yang masih terus menunduk, wanita itu langsung mendekat ke arah Gus Ali yang tengah duduk dan langsung menyibakan Hoodie yang tengah menutup kepalanya lantas dengan cepat tanganya menutup mulutnya di sertai isakan yang tiba tiba lolos.

"Ahh Bunda, gitu juga nangis..." ucap Gus Ali sambil berdiri dan memeluk Ibunya yang tengah menangis bahagia.

"Anak nakal.." ucap Bunda Ikah yang masih senantiasa menangis sambil memeluk putranya yang 4 tahun ini selalu di rindukanya.Memang selama 4 tahun ini Gus Ali sedang menuntut Ilmu di Yaman, dan baru kembali hari ini.

Gus Ali tumbuh menjadi pemuda yang tampan dengan Kharisma yang di padukan antara Gus Farid dan Bunda Ikah, senyumnya yang manis seperti Bunda Ikah di tambah wajahnya yang tampan persis seperti foto copy dari Gus Farid pada saat masih muda, membuatnya banyak di elu elukan oleh Mbak Mbak Santri, dan pasti itu akan semakin bertambah dengan tingkat kematangan usia juga Ilmu yang di milikinya sekarang. Jadi tidak akan heran jika ada begitu banyak yang diam diam memgaguminya, termasuk Hafiza, yang sudah mengaguminya dari semenjak SMP dulu.

Tapi Gus Ali tetaplah Gus Ali, meski dia sangat nakal dan senang jahil kepada Kang Kang Santri, tapi baginya wanita adalah hal yang paling dia jauhi. Tidak jelas alasanya apa, tapi dari sekian cerita yang ikut mengantarkan kedewasaan Gus Ali adalah menjadinya dia nakal karena di tinggal oleh Zilla atau Mbak Lalanya. Karena bagi Gus Ali Lala adalah teman terbaiknya, yang akan selalu mendengar dan menuruti segala hal yang di katakan oleh Gus Ali.

Semua lebih menjadi lagi saat Mbak Lalanya sudah kembali lantas menikah dan pergi lagi tanpa pamitan kepadanya. Pada saat acara pernikahan sederhana itu Gus Ali tidak mau di ajak oleh Bunda Ikah dan Gus Farid untuk turut hadir di pernikahan Mbak Lalanya. Dia memilih tinggal di rumah menjaga gadis kecil anak dari teman Bunda Ikah SMP yang sedang tidur dan juga sering berkunjung atau akan di jemput oleh Bunda Ikah saat sedang berkunjung kerumah orang tuanya, itu semua awalnya juga karena Gus Ali yang merengek minta adik, tapi begitu yang di bawa seorang anak kecil perempuan Gus Ali jadi sering menjahilinya.

Juwahir, nama gadis kecil itu dan akrab di sapa Juju oleh Gus Ali dan lantas menjadi kebiasaan bagi semua orang memanggilnya dengan sebutan yang sama yakni Juju. Dia adalah putri kedua dari Anne dan Taufiq sahabat Bunda Ikah juga merupakan Ipar Bang Hanan Kakak kandung Bunda Ikah. Juwahir adalah gadis kecil cantik dengan mata bulat, pipi tembem khas anak Balita dan rambut kriting kecil kecil, hingga Gus Ali akan suka sekali mengoloknya dengan sebutan rambut Sosis.

Pertengkaran pertengkaran kecil sering sekali terjadi ketika Juju dan Gus Ali bertemu, dan puncaknya adalah saat Gus Ali mendorong tubuh kecil Juwahir ke dalam kolam mandi Kang Santri hingga harus di rawat di rumah sakit beberapa hari, tidak tahu persis kejadianya seperti apa hingga peristiwa tersebut terjadi, namun yang pasti dari kejadian itu Gus Ali menjadi fobia dengan kolam renang ataupun air yang menggenang.

Dan setelah kejadian itu Gus Ali langsung di masukan ke Pesantren yang berada di luar kota dan hanya pulang setahun sekali saja, lantas bisa merubahnya menjadi sosok yang lebih pendiam, pemalu dan sopan kepada setiap orang, tapi tidak jika bersama dengan keluarganya. Lalu bagaimana dengan Juju, setelah kejadian itu Juju tidak pernah lagi datang ke Pesantren ini, meski kedua orang tuanya sering berkunjung kesini jika sedang berada di pulau Jawa.

Bersambung..

####

Juwahir yang memiliki arti Permata, dan semoga akan menjadi Permata di hati Gus Ali..

Diam-Diam mencintai

Happy Reading...

🍁🍁🍁🍁🍁🍁

Suara ngaji sorokan sahut menyahut di teras Musholla Asrama Santri Putri. Di sudut ruangan yang sedang riuh itu terlihat dua Mbak Santri yang sedang terlibat obrolan. Dapat terlihat jika itu sedikit serius, karena keduanya sedikit berbisik bisik seperti apa yang sedang di bicarakan adalah rahasia untuk mereka berdua saja.

Dan suara riuh ini langsung seketika berhenti, saat dua orang pemuda melintas di depan Musholla dan mengalihkan fokus mereka semua, termasuk dengan kedua Mbak Santri yang tengah berbisik bisik tadi.

"Masya'Allah Gusse kok makin manis ya, Za." Ujar salah satu dari Mbak Santri tersebut.

"Rendahkan pandanganmu, Mur." Jawabnya sembari menundukkan pandangannya semakin dalam.

"Za, Za. Ya, ini namanya rezeki. Gusse baru rawuh tadi pagi, sudah bisa lihat. Biasanya kan Gusse suka ilang-ilangan gitu kalau pas lagi di rumah." Jawab Mbak Santri yang di panggil Mur tadi. "Pasti, tadi kamu sudah bertemu dengan Gusse kan, ayo ngaku." Lanjutnya, hingga membuat Mbak Santri yang di panggil Za, semakin menunduk.

"Aku ke Dhalem kan karena di panggil Bunda, bukan untuk ketemu Gusse. Lagian kita ini siapa sih Mur." Jawabnya dengan satu tangannya yang memegang erat ujung mukena yang tengah di gunakannya.

"Ya, kita ini Santri lah, Za. Kan enggak ada salahnya kalau kita menggumi Gusse. Siapa tahu saja Gusse juga kagum sama kita, kalau enggak Gusse, Mas Naufal juga boleh, Mas Naufal juga manis kayak Gusse." Jawab Mbak Mur.

"Mbak Hafiza, di timbali Bunda." Kata salah satu Mbak Santri dari balik tembok pembatas, dan langsung menyudahkan obrolan kedua sahabat yang tengah berlangsung itu.

"Enggeh Mbak." Jawab Hafiza.

"Cie cie, yang bisa curi-curi pandang sama Gusse." Kata Mbak Mur, saat melihat Hafiza melepas mukenanya.

"Jaga lisanmu, Mur. Jangan sampai itu menjadi fitnah." Jawab Hafiza, dan bergegas berjalan menuju ke Dhalem, tanpa memerdulikan candaan dari Murtafi'ah.

Hafiza Kanaya Humairo'. Seorang abdi Dhalem, dan sudah berada di Pesantren Al-Ma'aly ini selama sepuluh tahun lamanya. Hafiza di bawa oleh Abi Farid dan Bunda Ikah saat usainya baru menginjak 10 tahun. Dan tumbuh besar di Pesantren ini oleh bimbingan Bunda Ikah. Bahkan sekolah juga di biayai oleh keluarga Dhalem hingga dia kuliah saat ini.

Hafiza, seorang gadis cantik dengan wajah bulat di tambah dengan bentuk mata yang besar dan bulu mata yang lentik serta tebal, dan jika di pandang sekilas akan terlihat seperti Artis India Kajol, hanya saja kulit Hafiza lebih bersih dan putih.

Banyak dari Kang Santri yang sudah terpaut hatinya oleh Hafiza, bahkan ada yang secara terang terangan sudah mengiriminya surat untuk menyatakan perasaannya. Namun, nyatanya Hafiza lebih suka menenggelamkan dirinya pada belajarnya dan menganggap semuanya seperti tidak ada.

Sepuluh tahun tinggal di Pesantren dan hanya pulang setahun sekali, itupun hanya dua tiga hari saja, membuat Hafiza hafal betul seluruh seluk beluk keluarga Ndalem, tak terkucuali dengan Gus Ali dan mereka berdua tergolong dekat, meski tidak bisa di katakan dekat sekali.

"Mbak Fiza, Kia mau bareng." Triak putri sulung dari Ning Afiqah, sembari tubuh kecilnya berlari dan dengan cepat menubruk tubuh Hafiza.

"Hati-hati Ning Kia." Jawab Hafiza.

"Mbak Fiza, Mbak Fiza besok ke Kampus apa enggak.?" Tanya Kia yang sudah berjalan pelan menggandeng tangan Hafiza.

"Insya' Allah, iya Ning Kia." Jawabnya dengan menyunggingkan senyum manis ke arah gadis kecil itu.

"Kia mau Ice cream yang sama seperti kemarin ya." Ucapnya.

"Insya'Allah, kalau ada Mbak Fiza akan belikan." Jawab Hafiza sambil mendorong pintu dapur bagian luar. Saat pintu sudah terbuka dengan serta merta Hafiza langsung menundukan kepalanya dan di ikuti dengan degub jantung yang membahana, ketika dirinya menangkap dua sosok tubuh tegap yang selalu menjadi Idola bagi Mbak Mbak Santri itu. Tetutama dengan senyum tipis yang di ulas oleh Gus Ali, membuat jantung Hafiza benar benar tidak ingin diam seperti semula.

Sama seperti Hafiza salah satu dari pemuda tampan itu juga merasakan hal yang serupa, setiap kali melihat wajah merona milik Hafiza. Muhammad Naufal Fikri Karim, mas Naufal biasanya dia di panggil oleh para Santri, sementara di keluarga Ndalem dia biasa di panggil Fikri. Dia merupakan anak ke dua dari Kakak Laki-Laki Bunda Ikah, dan bisa di bilang juga bahwa Mas Naufal merupakan sepupu dari Gus Ali.

"Poh Fikri." Teriak Ning Kia dan segera menghambur di pelukan Mas Naufal yang tengah tertekun melihat wanita pujaannya yang berdiri tidak jauh darinya.

"Ndhok Kia, darimana kok dari luar." Tanya suara lembut Gus Ali.

"Habis ikut deresan Mbak Santri Uncle." Jawabnya masih senantiasa bermanja di pelukan Mas Naufal. "Poh Fikri, kapan kesini tadi Kia enggak lihat." Lanjutnya.

"Baru saja sampai, ini masih mau bikin minum. Kia mau bikinin buat Apoh.?" Tanya Mas Naufal dengan sembari berusaha setenang mungkin.

"Mbak Fiza, apa kabar.?" Tanya Gus Ali tiba-tiba kepada Hafiza yang tengah berdiri mematung di samping pintu dengan kepala yang tertunduk dalam.

"Alhamdulillah, baik Gus." Jawab Hafiza dengan sedikit terbata.

"Alhamdulillah. Bunda ada di dalam, silahkan masuk saja Mbak." Lanjut Gus Ali dan dengan bergumam pelan mohon diri, Hafizapun berjalan masuk ke dalam dengan di iringi pandangan yang penuh arti dari Mas Naufal hingga tubuh kurus Hafiza hilang di balik pintu.

Kedua pemuda itu jika sudah bersama maka akan senang sekali menghabiskan waktu mereka di dapur dan dulu yang akan menjadi korban adalah Hafiza, yang akan senantiasa membersihkan kekacauan mereka. Sesungguhnya usia Mas Naufal dua tahun lebih tua dari Gus Ali, namun wajah imut dari Mas Naufal membuat dirinya nampak terlihat seperti lebih muda dari Gus Ali, di tambah pekerjaan Mas Naufal yang seorang guru membuatnya tambah awet muda.

Ning Afiqah, sering menyebut kedekatan mereka seperti dirinya, Zilla, Dahlia dan Hafidz, meski mereka tidak tumbuh secara bersama-sama seperti mereka dan usia mereka terpaut cukup jauh juga. Hafiza kini berusia 20 tahun, sementara Gus Ali berusia 25 tahun, dan Mas Naufal berusia 27 tahun.

Pandangan Mas Naufal yang masih tertambat oleh Hafiza, nyatanya di sadari juga oleh Gus Ali, hingga membuat Gus Ali berdehem pelan agar Mas Naufal kembali fokus pada Kopi yang hendak mereka seduh.

Hembusan nafas berat dari Mas Naufal sungguh sulit sekali untuk di tafsirkan, seiring menghilangnya tubuh kurus milik Mbak Hafiza. Sementara Gus Ali yang menyadari tatapan itu, cukup tau makna dari tatapan yang mengandung arti dalam juga sudah cukup lama di pendam dalam oleh Mas Naufal.

Empat tahun tidak berjumpa dengan saudara sepupunya itu, Gus Ali masih bisa melihat tatapan yang sama dari Mas Naufal untuk Mbak Hafiza, dan itu masih sama persis ketika Mas Ali diam diam memergoki Mas Naufal yang sering curi curi pandang ke Mbak Hafiza beberapa tahun silam. Bahkan, kalau boleh di katakan itu jauh lebih dalam lagi.

Ada banyak soal, yang sebenarnya tidak perlu untuk di jawab pula. Mengingat dari mana Mas Naufal ataupun Gus Ali berasal, juga Mbak Hafiza, dan nyatanya itu akan tetap indah saat beralun lewat do'a saja, agar rasa itu benar benar sampai pada tuannya dengan cara yang indah tanpa harus ada ungkapan sebuah kata. Karena cara kerja Allah itu, sungguh tidak bisa di duga dan di nyana.

Di lain pihak, dada yang berdetak lebih untuk seorang Gusse dari seorang abdi Ndalem seperti Mbak Hafiza, juga akan lebih baik tidak perlu ada yang mengetahuinya. Dan sebisa mungkin Mbak Hafiza selalu mengatakan pada dirinya sendiri bahwa itu hanya rasa kagum semata, lantas berusaha sekuat yang ia bisa untuk tidak memupuk, meski nyatanya hatinya tetap menghianati perintah otaknya, dengan masih selalu kurang ajar berdetak lebih kencang saat mendengar nama Gus Ali di sebut.

🍁🍁🍁🍁🍁🍁

Hafiza sampai juga di ruang tengah, dan disana dia tengah melihat Bunda Ikah yang sedang memijit kaki dari Abi Farid, dan sekilas kemesraan mereka berdua di masa tua itu membuat pikiran Hafiza berkelana jauh entah kemana. Dan membuat dirinya terpaku di tempatnya hingga suara bariton dari Mas Naufallah yang menyadarkan dirinya.

"Mbak Fiza." Ucap Mas Naufal singkat saja dengan membawa cangkir kopi, dan dengan segera Mbak Hafiza segera memutar tubuhnya dan menundukan kepalanya saat tanpa sengaja matanya bersitatap dengan netra teduh milik Gus Ali yang tengah berdiri di belakang Mas Naufal, hingga kembali membuat dada Mbak Hafiza berpacu lebih kencang lagi.

"Nda, Mbak Fiza sudah disini." Ucap Gus Ali kepada Bunda Ikah, saat melihat Mbak Hafiza yang tengah gelageban.

"Ow enggeh. Mbak Fiza mendekatlah kemari." Ucap Bunda Ikah. "Sudah selesai Bi, tukang urutnya capek." Lanjut Bunda Ikah dengan memukul pelan bahu Abi Farid.

"Tukang urutnya belum di lantik sama yang profesional, Paman." Jawab Mas Naufal.

"Iya bener katamu Fik. Besok kalau Kak Dahlia pas berkunjung ke Banyuwangi suruh ngajarin Bundamu, Fik." Ujar Abi Farid sambil berdiri. "Kopi buat Abi juga sudah ada Al." Lanjut Abi Farid menanyai Gus Ali.

"Sudah siap Bi." Jawab Gus Ali dengan menagcungkan dua cangkir kopi yang di bawanya.

"Abi, tidak boleh minum kopi dulu. Nanti asam lambungnya naik lagi, Bunda yang musti bergadang." Timpal Bunda Ikah.

"Sedikit, itu juga untuk teman ngaji bareng mereka. Ayo anak anak." Jawab Abi Farid lantas mengajak kedua pemuda tampan itu masuk ke ruang perpustakaan.

Gus Ali dan Mas Naufal berjalan menjauh mengikuti langkah Abi Farid, dan melewati tubuh kecil Mbak Hafiza yang tengah tertunduk. Dan entah itu kebetulan atau memang kesengajaan yang di buat oleh Mas Naufal. Lengannya bersenggolan dengan lengan Mbak Hafiza hingga membuat mata keduanya bertemu dan tatapan teduh milik Mas Naufal sama sekali tidak bisa membuat hati Mbak Hafiza berpaling dari tatapan mata yang labih teduh milik Gus Ali.

Rasa itu memang sangat aneh, dan kadang cendrung kurang ajar sekali. Juga seperti itu pula yang di rasakan oleh Mbak Hafiza. Sudah sangat mati matian dia berusaha untuk tidak menumbuhkan tunas yang berada di hatinya, namun tanpa kemauannya dan keinginannya terlebih undangan darinya, rasa itu semakin bermekaran dan berbunga kemana mana, hingga itu menjadi sesak tersendiri baginya di setiap kali sujud malamnya.

Miris memang yang di alami oleh Mbak Hafiza, karena telah jatuh cinta pada Gusse sendiri. Dan ketika Mbak Hafiza mengingat dari keluarga seperti apa dia berasal, maka dengan serta merta semua keindahan akan cerita cinta pertama akan lenyap begitu saja.

"Cinta pertama itu, seumpama engkau berjalan di atas tanah berlumpur. Karena engkau akan sulit hanya sekedar menghapus jejaknya. Meski, tidak alasan bagimu untuk tetap mengingatnya." Kata mutiara sebuah buku yang pernah Mbak Hafiza baca, dan itu persis yang di rasakan oleh Mbak Hafiza saat ini. Cinta pertamanya yang mungkin tidak akan pernah sampai pada tujuannya.

Setiap cerita cinta itu akan indah. Seperti, diam diam mencintai seseorang yang memang pantas untuk di kagumi, itu merupakan cerita yang indah. Diam diam ada yang mencintai kita lewat do'a yang mengalun syahdu di sepertiga malam, itu juga akan menjadi cerita yang indah. Namun, ada yang lebih indah lagi, ketika Diam Diam kita di cintai orang yang kita cintai, dan mengabadikan nama kita di dalam do'anya.

"Mbak Fiza." Sapa Bunda Ikah lembut, dan membuyarkan seluruh lamunan Mbak Fiza.

"Enggeh Bunda." Jawab Mbak Fiza dengan takdzim, padahal sebelumnya Mbak Fiza sama sekali tidak mendengar apa yang di ucapkan oleh Bunda Ikah.

"Jadi apa Mbak Fiza besok bisa." Kata Bunda Ikah.

"Besok ada apa Bunda.?" Tanya Mbak Hafiza dengan mengangkat kepalanya sedikit untuk mencari jawaban dari Bunda Ikah, dan justru senyum manislah yang sedang di ulas oleh Bunda Ikah dan itu membuat Mbak Hafiza menundukan kepalanya dengan rasa malu yang teramat sangat.

"Mbak Fiza lagi melamunkan apa.?" Tanya Bunda Ikah, yang menyadari bahwa Mbak Hafiza sedang tidak fokus.

"Anu, itu, Mboten enten Bunda." Jawab Mbak Hafiza dengan tergagap.

"Kelihatannya Mbak Fiza capek kayaknya." Tutur Bunda Ikah lalu berdiri mengambil sebuah amplop kecil dari lemari kaca di sudut ruangan itu. "Ini untuk membayar Kuliah semester ini." Lanjut Bunda Ikah begitu memberikan amplop itu kepada Mbak Hafiza.

"Tap Nda, Fiza sudah tidak perlu membayar untuk Kuliah semester ini." Jawab Mbak Hafiza dengan berusaha untuk mengembalikan amplop dari tanagannya.

"Ya sudah di simpan saja, buat jaga-jaga jika nanti butuh membayar apa-apa." Kata Bunda Ikah lantas kembali duduk di tempanya.

"Nda, Fiza sudah punya sedikit penghasilan lewat jualan Online." Kata Mbak Hafiza dengan nada takut takut.

"Ya berari itu buat tambahan modal saja." Kata Bunda Ikah santai saja. " Mbak Fiza, selain dari ingin menyampaikan amanat dari Abi, berupa Amplop itu. Bunda juga ingin meminta kesediaan sampean." Tutur Bunda Ikah lembut dengan senyum tipis yang senantiasa menghiasai bibirnya.

"Enggeh Bunda. Apa saja asal Fiza bisa akan Fiza lakukan." Jawab Mbak Fiza dengan cepat.

"Sampean pasti bisa, wong ini mudah untuk sampean." Jawab Bunda Ikah dengan senyum yang semakin melebar. "Besok, Mbak Fika dan Gus Nayif akan pergi ke Sidoarjo, mungkin akan sedikit lama, karena Ayah mertua Mbak Fika sedang sakit keras. Jadi, saya minta Mbak Fiza untuk mengantikan posisi Mbak Fika di kelas Wustho dulu." Tutur Bunda Ikah setelah menjeda sebentar ucapannya yang lebih dulu..

"Tap, tap, tapi Nda. Fiza rasa belum mampu untuk itu dan."

"Bagaimana sampean bisa bilang belum mampu, wong belum di coba. Besok di coba dulu, dan tak lihat e, mampu apa enggak e." Kata Bunda Ikah lantas berdiri karena tengah di panggil oleh Mas Naufal.

Degan santai Bunda Ikah meninggalkan Mbak Fiza yang tengah di landa gundah gulana, di tambah dengan dada yang berdetag cukup kencang hanya karena matanya menangkap punggung tegap milik Gus Ali yang tengah duduk membelakangi pintu yang di buka sedikit lebar oleh Mas Naufal, dan ekor mata Mas Naufal masih selalu tertambat oleh wajah yang tengah tertunduk milik Mbak Hafiza.

Bersambung...

####

Pengumumamn enggeh,

Ini Novel sekuel enggeh, jadi agar tidak bingung mohon di baca dulu Penantian Panjang Afiqah, dan Perjuangan Zazilla. Agar tahu asal muasal mereka..

Mamasih..

Love Love Love..

💖💖💖💖💖💖

By: Ariz kopi

@maydina862

Pemilik kaca mata renang.

Happy Reading...

🍁🍁🍁🍁🍁🍁

Kamar bernuansa putih bersih ini, di isi dengan kepulan kepulan asap rokok yang mengudara mencari celah untuk keluar lewat jendela yang tengah terbuka lebar. Dua orang pemuda itu masih asik dengan bedahan kitab Tafsir Jalalen di tangan masing masing, dengan di temani secangkir kopi dan rokok yang terselip di jari jari mereka.

Waktu itu seakan tidak akan pernah cukup, jika seorang alim tengah haus akan Ilmu. Selayaknya mereka berdua yang masih terus saja membaca, menulis dan berdiskusi, dan tak jarang pula sambil tertawa terbahak-bahak. Padahal jam sudah menunjukan pukul 23.00 dan sebagian besar penghuni Pesantren juga sudah lelap seusai dari kegiatan Deresan malam mereka. Kalaupun ada yang masih membuka mata mereka, tentu itu termasuk dari Santri yang Rajin.

Namun, di balik tembok pembatas itu, ada seorang gadis yang masih terjeda, dan mendengarkan kedua saudara yang tengah mencurahkan rindu dengan cara mereka itu dengan helaan nafas dalam sekaligus panjang. Hafiza, ya Hafiza yang masih terjaga dan mendengar sayup sayup suara yang sudah sekian tahun mengetarkan hatinya. Hingga suara itu menghilang seiring dengan di tutupnya jendela yang tidak jauh dari letak kamarnya.

Sementara di dalam ruangan itu, kedua pemuda itu masih bergadang tapi dengan memelankan suara mereka, hingga Bunda Ikah masuk menyuruh mereka untuk Istirahat.

"Sudah malam Mas, ayo lekaslah istirahat." Ujar Bunda Ikah, sambil menutup jendela, lantas menuju kemeja kedua pemuda itu.

"Sebentar lagi Nda, sudah mau selesai." Jawab Gus Ali dan Mas Naufal hampir bersamaan.

"Apa perlu Bunda carikan alasan untuk mengurangi bergadang kalian berdua." Jawab Bunda Ikah.

"Apa itu Nda.?" Tanya Mas Fikri dengan memalingkan kepalanya dari rangkuman kitab yang tengah di tulisnya.

"Istri." Jawab Bunda Ikah dengan santainya sambil mengelus punggung keduanya dengan lembut. Dan sontak karena perkataan Bunda Ikah, Gus Ali langsung meletakan Bolpoin yang di pegangnya dan segera membatasi kitab yang berada di depannya, begitupun dengan Mas Naufal, dan keduanya kompak memeluk tubuh kecil Malaikat mereka. "Terutama untuk Mas Fikri, sudah saatnya nikah, supaya Bude Rany di rumah ada temannya saat di tinggal bergadang disini." Lanjut Bunda Ikah.

"Kalau sudah punya Istri, Enggak mungkin berani bergadang lagi Nda, takut di Gemplang sama Istrinya. ha.ha.ha." Jawab Gus Ali dengan berdiri dan semakin mengeratkan pelukannya pada Bunda Ikah yang sekarang seperti menyusut di balik tubuh tinggi besar milik Gus Ali.

"Istri Sholehah, tidak akan seperti itu." Ucap Mas Fikri.

"Memang sudah di pastikan akan dapat Istri yang sholehah. Wong kita saja belum tentu cukup bekal untuk membimbing ke arah yang yang benar dengan bekal Ilmu yang kita punya." Jawab Gus Ali lagi.

"Sudah, sudah. Sudah malam ini, ayo lekas tidur sana." Tutur Bunda Ikah kepada kedua pemuda itu.

"Ayo, Bunda juga harus Istirahat, jaga kesehatan buat kami semua yang masih selalu menginginkan tangan ini menegadah mendo'akan kami semua tentunya." Ucap Gus Ali sambil mencium kedua telatak tangan Bunda Ikah bergantian.

Tangan Bunda Ikah berlahan terulur, mengarah ke pipi mulus milik Gus Ali dan membelainya pelan lantas beralih ke arah pipi milik Mas Naufal.

"Kalian cepat sekali tumbuh dewasa, seperti baru kemarin Bunda menidurkan kalian di ranjang kalian sendiri dan kalian menangis karena takut tidur hanya berdua." Ujar Bunda Ikah.

"Karena kami tumbuh dengan cinta makanya, tidaka terasa begitu cepat waktu berlalu." Jawab Mas Naufal.

Dengan memeluk erat tubub Bunda Ikah, Mas Ali mengajak Ibundanya keluar dari ruang Perpustakaan dan mengantarnya hingga sampai di depan kamarnya, sementara Mas Naufal sudah lebih dulu masuk ke kamar Gus Ali.

"Istirahat yang cukup Bunda." Kata Gus Ali seusai mencium kening Bunda Ikah, lantas membukakan pintu kamar Bunda Ikah dan dengan ulasan senyum tipis Bunda Ikah menutup pintu kamarnya. Setelah memastikan lampu di kamar Bunda Ikah mati, Gus Alipun bergegas berabalik menuju kamarnya.

Seperti itulah Gus Ali, dia yang jarang terlihat mau berbicara dengan seorang wanita, namun akan bersikap sangat manis jika sudah di hadapan Bundanya dan Mbak Afiqah. Mungkin juga karena sikapnya yang seperti itulah, Mbak Hafiza di buat tidak kuasa menolak perasaannya tumbuh semakin subur tanpa keinginannya.

Berada di dalam kamar bernuansa biru itu, dengan bufet kaca besar di sisi sudut kamar di samping jendela. Bufet itu berisi penuh dengan Kitab Kitab serta buku buku milik Gus Ali, dan Gus Ali baru saja hendak mendekat ke arah Bufet kaca itu, saat Mas Naufal yang tiba-tiba sudah bersuara dengan gaya khasnya.

"Sudah larut, sudah bergadangnya. Nanti, cepat di carikan Istri lho." Ucap Mas Naufal seraya melepas peci yang bertengger di atas kepalanya, lantas menaruhnya di nakas samping ranjang standart milik Gus Ali.

"Mas Fikri saja duluan." Jawab Gus Ali, dan mengurungkan niatnya yang sudah hendak membuka bufet kaca itu, dan berpindah haluan menuju kamar mandi.

Keluar dari kamar, Gus Ali melihat Mas Naufal yang masih memegangi benda pipih di tangannya dengan sedikit bersenandung syi'iran dari sebuha kitab yang terkenal dengan kata-kata cintanya kepada Robnya, dan itu biasa sekali aku dengar ketika Kang Santri sedang jatuh cinta, ataupun Mbak Santri yang sedang jatuh cinta.

"Lekas Istirahat Mas, jangan hanya di pandang saja. Matur sama Abi, sama Bunda, pasti di kasih ijin untuk Ta'aruf. Kalau perlu di khitbah sekalian." Ujar Gus Ali sambil menarik selimut yang masih tertata rapi di ujung ranjang, lantas Gus Alipun segera merabahkan dirinya di samping Mas Naufal.

"Siapa yang Dek Ali maksud." Tanya Mas Naufal dengan memiringkan tubuhnya dan ikut menyelimuti tubuhnya dengan selimut yang telah di buka melebar oleh Gus Ali.

"Al mar'ah ( Seorang wanita )." Kata Gus Ali singkat lalu membalikan tubuhnya membelakangi Mas Naufal. Dan di belakang Gus Ali, Mas Naufal hanya bisa mendengus kesal sambil berujar pelan.

"Enyah, enyahlah kamu. Aroma farfum semerbak mu tidak akan berguna untuk ku. Selamat malam, sudah baca do'a belum." Ucap Mas Naufal pelan, lantas sesudahnya tidak terdengar kata lagi yang keluar dari mereka berdua hingga suara deruan halus nafas keduanya bersahut sahutan, menandakan bahwa mereka telah berselancar ke alam indah yang tanpa batas yakni MIMPI.

🍁🍁🍁🍁🍁🍁

Usai mewakili ngaji subuh Abinya, Gus Ali kembali ke kamarnya dan disana sudah di temui Mas Naufal yang kemungkinan sudah dalam perjalanan pulang. Ahirnya Gus Alipun duduk di meja belajarnya dan membuka beberapa kitab untuk kembali mengulangi materi yang hendak di berikan nanti siang untuk mengantikan Gus Nayif yang hendak pergi hari ini, hingga beberapa hari ke depan.

Tidak butuh waktu lama bagi Gus Ali untuk menenggelamkan dirinya ke kitab di hadapannya, karena itu salah satu kelebihan Gus Ali adalah konsentrasinya saat membaca dan mengingat apa yang di baca atau di lihatnya, dan itu semua adalah turunan dari Abi juga Bundanya tentunya.

Setelah cukup lama menenggelamkan dirinya, ada hal yang mengusiknya. Yakni, bunyi sapu lidi yang bergerak seirama, dan itu membuat Gus Ali bergerak menuju ke jendela dan melonggak ke bawah untuk melihat siapa yang tengah menyapu di halaman belakang rumahnya tersebut.

Tampak dari kamar Gus Ali, dua orang santriwati yang tengah menyapu, yang satu senantiasa fokus dengan pekerjaanya sedang yang satunya sering celingak clinguk memperhatikan ke Asrama Putra. Gus Ali sentiasa memperhatikan kedua Santriwati tersebut hingga pekerjaan mereka usai.

Gus Ali hendak berbalik dari jendela, saat tiba-tiba mata bulat milik Mbak Santri yang sedari tadi menunduk itu di angkat dan bersitubruk dengan netra teduh milik Gus Ali untuk seperkian detik, dan nyatanya Mbak Santri tersebut memilih untuk kembali menunduk dan melangkah pergi dari tempatnya, begitupun dengan Gus Ali.

Gus Ali kembali duduk di tempatnya, sembari memikirkan satu dua hal, lantas berjalan pelan menuju ke bufet kaca di ujung kamarnya. Tangan Gus Ali sudah terulur hendak meraih laci di depannya, namun seperti ada sebuah keraguan saat tangannya sudah menyentuh handle dari laci tersebut, dan dengan helaan nafas dalam Gus Alipun ahirnya membuka laci tersebut.

Sebuah Geogle ( kaca mata renang ) berwarna biru muda terlihat disana, dan dengan sangat pelan Gus Ali meraihnya lalu membawa langkahnya kembali ke meja belajarnya. Dengan netranya yang tak sedetikpun meninggalkan kaca mata renang tersebut.

Sebuah kenangan yang terjadi lima tahun silam kembali mengusik hatinya di saat kaca mata renang itu berada di tangannya. Dimana waktu itu Gus Ali yang tengah di ajak ikut liburan keluarga Mbak Zilla ke sebuah water park di kota Jogja.

Mbak Zilla, ataupun orang lain tidak pernah tau jika Gus Ali fobia dengan air yang menggenang, bahkan Gus Ali akan terasa sangat sesak saat kakinya sudah menyentuh air yang kedalamannya di bawah lututnya. Tapi, karena rasa tanggung jawabnya terhadap Aby putra dari Mbak Zilla, dia rela menyeburkan dirinya di kolam renang anak itu demi menyelamatkan Aby saat hendak tenggelam.

Na'as, yang terjadi malah Gus Ali lah yang di selamatkan oleh orang lain. Karena, saat Gus Ali berhasil meraih tubuh kecil dari Aby dna berjalan membawanya kepinggir kolam, justru tubuhnya gemetaran hebat dan bayangan wajah Juju yang membiru memenuhi kepalanya lantas membuat dirinya tiba-tiba limbung tepat saat Aby sudah di raih oleh dr.Rama.

Dan Gus Ali terengah engah di dalam air dengan memorinya yang tengah berusaha berenang sekuat tenaga untuk menyelamatkan Juju. Antara sadar dan tidak sebuah tangan lembut seorang wanita menariknya keluar dari air, dan membawanya kembali ke pinggir kolam.

Tepukan pelan terus mendarat di pipi Gus Ali sampai dia mendapatkan kesadarannya, dan saat Gus Ali membuka matanya tampak kerumunan orang yang sedang mengitarinya dan seraut wajah tersenyum lega di sampingnya. Gadis kecil usia mungkin masih 15 tahunan dengan kostum renang sebuah sekolah SMP di Jogja, tersenyum lembut ke arahnya. Demi apapun Gus Ali tidak pernah bisa melupakan senyum gadis itu, senyum yang seolah mengejek sekaligus heran, karena seorang pria berusia 20 tahun tenggelam di kolam renang anak anak.

Nuril. Begitulah teman gadis itu memanggilnya dan dengan tergesa-gesa dia berdiri dan menjatuhkan kaca mata renangnya di samping tubuh Gus Ali. Dan kini kaca mata renang itu berada di tangannya dengan senyum gadis itu yang masih segar di ingatan Gus Ali.

Jika hati bisa di suruh untuk jatuh cinta kepada siapa, seharusnya Gus Ali memilih untuk jatuh cinta dengan Mbak Hafiza seperti Mas Naufal. Yang sudah jelas kepandaiannya, kearifannya, kebaikan ahlaqnya, juga sudah di kenalnya sedari dulu. Tapi, nyatanya hati Gus Ali masih mengingat senyum Nuril gadis misterius pemilik kaca mata renang di tangannya saat ini.

Bersambung...

####

Hemm, Nuril. Siapa kamu, semanis apa senyum mu, hingga membuat Cucu Emak masih mengingatnya meski sudah lima tahun berlalu...

Like, Coment dan Votenya masih di tunggu....

Love Love Love...

💖💖💖💖💖💖

By: Ariz kopi

@maydina862

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!