NovelToon NovelToon

Tentang Rasa

Aku Tidak Bisa

Pov Daniza

"Aku tidak peduli dia menyukaiku atau tidak, yang penting aku menyukainya"

Aroma Mint bercampur dengan bau rokok yang tidak terlalu kentara terhirup oleh ku saat seorang lelaki lewat ditengah aku melepas sepatu. Tanpa mendongak aku mengenal sepatu besar berwarna hitam itu bersamaan dengan itu jantungku pun berdetak kencang menyenangkan sampai menghasilkan sakit perut juga, hal biasa yang kerap terjadi saat aku menyadari-itu dia Haneul Kamandaka.

Seseorang yang telah bertahun-tahun singgah dihatiku, sayangnya dia tidak pernah tahu atau mungkin menyadari. Perasaan ku hanyalah untukku, tapi.. tidak apa selain dia aku juga menyukai Perasaan ku ini. Hal g\*la lain tentang rasa ini adalah aku beranggapan bahwa sebenarnya dia juga menyukaiku bahkan dialah yang paling awal jatuh cinta hanya saja aku perempuan yang sulit.

"Daniza"

A..apa?

Kenapa tiba-tiba memanggil?

Jantungku!

Dengan perlahan aku menoleh pada asal suara- Haneul berjalan perlahan menghampiri ku saat ini dengan tampang datarnya itu dan tatapan itu...bisakah dia berhenti disana dan bisakah, bisakah dia tidak menatap ku seperti itu.

"Daniza" benar, berhentilah disana. Di hitungan lima langkah jika diambil dari jarak langkah kaki ku, tanpa sadar aku menghembuskan napas lega.

Itu membuat ku bertanya apakah sedari tadi aku menahan napas ku yang otomatis dan sekarang bagaimana cara bernapas dengan benar, jantungku benar-benar bermasalah sekarang.

"Rumahmu berdekatan dengan Ali kan?, boleh titip buku paket Sejarah"

Apa ini alasannya saja agar aku dan dia bisa bicara, bisa dekat. Dia modus, dia menyukaiku. Kembali lagi dengan anggapan yang naif yang tercipta sebab percaya diri atau pemikiran lain yang tiba-tiba berubah rendah diri seperti, kenapa dia ingin menyodorkan ku pada orang lain, meskipun dia sekalipun tidak menyukai ku. setidaknya biarkan aku disini bertahan dengan perasaan ku sampai aku tidak menyukai nya lagi, apa dia tahu perasaan ku sekarang?, lalu dia muak karena telah tahu?

Tidak! Aku yang terlalu berlebihan dalam berpikir, ini hanya tentang minta tolong.

"Tidak!.." dia tertegun, aku menjawab terlalu cepat dan ringkas.

Tapi mau bagaimana lagi aku tidak suka ide itu, Bersosialisasi terlalu berat untukku.

"Baiklah"begitu saja, dia terlalu pengertian atau bagaimana?. lalu dia berbalik dan masuk kedalam kelas dengan sepatu yang tidak dilepas, dia berandalan dan aku tahu itu tapi..dia tampan. Nilai plus yang harus di toleransi.

Aku menghela napas, kesempatan yang sia-sia. Menyadari sepatu ku masih menggantung ditangan, aku lalu meletakkan sepatu ku dirak yang terbuat dari bambu. Haneul membuat ku melupakan keberadaan sepatu ku.

Aku baru saja masuk ke dalam kelas dan akan duduk dikursi ku saat itulah Haneul melangkah lagi keluar ruangan. Itu membuat ku sibuk dengan pemikiran ku sendiri, apa dia kesal karena telah ku tolak? Tidak bisakah dia bertahan barang sebentar agar aku tidak tersinggung. Bagaimana pun sepertinya dia tidak tahu cara menjaga hatiku. Bagaimana jika aku mencoba melupakan nya, dia bisa menyesal akan kelakuannya hari ini.

Tapi...benarkah begitu?, benarkah dia akan menyesal?, masalahnya dia belum tentu menyukaiku bisa saja selama ini aku salah paham padanya.

"Lihat ini Han, Gato kaya penampakan" seperti saat ini didepan mataku, dia nampak akrab dengan Rina. Tertawa dan berbincang dengan jarak yang dekat, bisa saja sebenarnya dia menyukai Rina kan?. Karena dengan ku pun dia tak pernah sekalipun mengatakan perasaannya.

"Han, diacara ini kamu kok nggak kena poto. Kamu dimana waktu ini?" Tapi...menangkap tatapannya yang sekilas tertuju padaku, aku kembali menaruh asa.

"Aku lagi ngerokok dibelakang" dia mungkin tengah ingin membuatku cemburu.

Itu cukup menghangatkan hatiku yang sempat cemburu, jadi senyuman ku mesti ditahan dan harus disembunyikan agar hanya aku yang menyadari karena jika pun ingin dipublikasikan cukup satu orang yang perlu tahu.

___________

"Daniza..."panggilan dengan suara khas yang aku hapal betul itu tidak bisa membuatku menoleh dengan cepat, jika tidak ingin keterkejutan ku pada kenyataannya dapat membuat ku terjatuh dari sepeda.

"Daniza kamu dipanggil tuh sama Haneul"

"Hah..."respon ku seraya menoleh pada Lani, itu membuat Lani berdecak dan dengan terpaksa mengulang ucapannya.

Yang sebenarnya bukan karena aku tidak dengar namun jika harus berhadapan dengan Haneul aku harus pastikan diriku aman terlebih dahulu, jadi aku menghentikan ayuhan sepedaku. Dan dia juga berhenti, tepat...disampingku.

"Daniza, rumah Ali yang mana?. Masih jauh yaa?"

Tidak kah ini terlalu dekat jaraknya? Jantungku lagi-lagi berdetak dengan tidak karuan. Haneul tiba-tiba mematikan motor metic nya juga membuka kaca helm nya.

"Maaf? Nggak jelas kedengaran nya yaa"

Oh.. dia mengira aku tuli, ini pasti karna muka ku bengong. Sudah benar keputusan ku untuk berhenti lebih dulu, jika tidak bisa saja aku celaka.

"Dengar. Rumahnya masih beberapa rumah lagi dari rumah Lani" jawaban apa itu, bisakah terlihat lebih pintar lagi.

"Sebentar lagi aja kok Han, habis tikuangan ini langsung ketemu rumahnya. Yang cat rumahnya warna hijau"

"Kenapa memangnya?, mau main?"

"Ngantar buku paket yang aku pinjam kemarin, Ali katanya butuh tapi hari ini malah nggak sekolah"

"Titip sama Daniza aja, rumah mereka dekat lewat dikit doang" keduanya menatap ku bersamaan, aku pun di buat bingung meski bagaimana beralasan dihadapan Lani.

"Aku nggak mampir Lan" begitu cicit ku yang bersamaan dengan itu merutuki mulutku yang tidak bisa mengarang alasan dengan baik

"Hah..ngapain mampir kamu mau pacaran sama Ali memang nya, kasih buku doang habis itu cabut kan nggak susah." Aku sudah membuka mulut, ingin berdalih. Tapi tidak dapat mengeluarkan apapun selain mangap.

"Biar aku aja yang kasih sekalian mampir, udah nanggung juga. Nanti Daniza kasih tahu aja rumah Ali yang mana? Boleh..?"

Haneul menatap ku dengan tatapan nya yang membuat jantungku tak tahan, jadi aku segera mengalihkan perhatianku setelah mengangguk singkat.

Kami melanjutkan mengayuh sepeda sementara Haneul dibelakang sana membututi, aku ingin menengok ke belakang tapi masih tertahan karena aku masih waras untuk tetap menjaga keseimbangan.

"Dadah Dan.., jaga anak orang jangan sampai kesasar" begitu kata Lani saat sepeda membawa nya membelok memasuki halaman rumahnya.

Lalu sekarang apa hanya tinggal kami berdua, dia masih mengikuti ku?. Apa ini rencanaku? Aku bertanya pada diri sendiri saat ban sepeda ku memasuki tikuangan tapi juga tidak menemukan jawabannya. Namun apapun itu, ini adalah hal yang menyenangkan yang tak dikira.

"Itu rumah Ali!" Tunjuk ku sesaat setelah menghentikan sepedaku, lalu dia juga ikut berhenti. Lagi, tepat disampingku dan aku segera berbicara agar jarak kami segera tercipta.

"Aku duluan"lalu mengayuh sepedaku dengan cepat meninggalkan Haneul yang tidak aku ketahui lagi seperti apa posisi nya saat ini.

Ini menyenangkan, dekat dengannya memang begitu tapi juga mengacaukan seluruh debaran jantungku dan tingkah ku. Jadi, jarak juga penting bagiku.

satu pertanda

pov Daniza

"Mengapa bertemu bila tidak berjodoh? tapi bagaimana jika tidak?, itu juga tidak masalah pernah mengenalnya sudah lebih dari cukup"

Ini menyenangkan, dekat dengannya memang begitu tapi juga mengacaukan seluruh debaran jantungku dan tingkah ku. Jadi, jarak juga penting bagiku.

Jarak yang cukup bagus adalah seperti ini saat dia berada diseberang- dirumah Ali, sementara aku diam-diam mencuri pandangan dari rumahku.

"Delia jangan dibuang makanan nya" sambil berdalih mengawasi adik bungsuku sesekali mataku kembali ke rumah Ali.

"Dia belum keluar juga, ngapain yaa?" Ujarku lirih, seraya menyeka keringat di kepala Delia yang asik memainkan plastik cemilan.

"Daniza sambil lihat ikan nya!" Teriak Mama dari teras belakang, aku pun segera bangkit dan cepat-cepat mengerjakan perintah Mama. Lalu kembali lagi ke teras depan, ingin melihat apa Haneul sudah pulang.

Begitu terus, pergi ke dapur menunggu ikan goreng matang lalu kembali lagi ke teras melihat Haneul pulang. Sampai pada waktunya Haneul pun keluar dan Ali mengantar sampai depan teras. Mereka terlibat perbincangan yang menarik sepertinya sampai tertawa-tawa. Dan tanpa disangka Haneul juga melihat ke arah rumahku dan tepat saat itu mata kami pun bertemu. Tidak ada senyuman yang ada hanyalah tatapan datar yang tidak dapat ditafsirkan artinya. Tapi jika saja dia dapat mengerti, dari jendela mataku akan ada banyak yang akan dia temukan. Seperti aku menunggunya karena ingin melihatnya dan aku ingin dia mengerti perasaanku.

"Daniza apa saja yang kamu lakukan, ikan nya gosong" teriakan Mama yang berasal dari dalam mengagetkanku hingga aku segera berlari ke dapur dan memutuskan kontak mata dengan Haneul.

"Aku nggak ngapa- ngapain kok Mama"

"Pantas saja ikan nya gosong kalau begitu, gimana sih kamu kerja nya." Mama mengangkat ikan yang sedikit menghitam itu dari wajan

"Kan masih meletup-letup Ma, kan Mama sendiri yang bilang baliknya nanti tunggu letupannya berhenti biar nggak kena"pelajaran dari Mama yang akhirnya bisa aku gunakan sebagai alasan penyelamat hari ini

"Ngejawab kalau dibilangin" kali ini Mama memberi ku tatapan yang tajam, tetap saja aku yang salah kalau begitu bawa anak kesayangan

"Sambil jaga Delia Mama"

"Ada Vano, jangan banyak alasan kamu. Udah nggak benar kerjaannya, mulutnya seribu bela diri..." dan seterusnya,Mama terus bicara. Dan aku tidak lagi dapat bicara hanya mendengarkan, masuk telinga kanan keluar telinga kiri.

Lalu aku tidak tahu lagi apa yang dikatakan Mama saat perhatianku kini tertuju pada kedatangan Vano yang menggendong Delia, dia hanya diam memperhatikan .

"Itu karena kakak, ngeliatin rumah Kakak Ali terus Mama." Aku terhenyak, tidak ku sangka bocah yang aku sepelekan yang mungkin tidak mengerti apa yang aku alami saat ini malah menjadi musuh nyata yang ternyata mengamatiku tingkahku selama diteras tadi.

Aku menggeleng sambil menatap Mama yang berkerut kening nya, "Kakak pacaran sama kakak Ali" sungguh mulut kecil yang mematikan, tukang ngadu yang ulung.

"Nggak mungkin lah, orang kita tetangga. Pacaran lima langkah dari rumah itu memang mungkin seru buat beberapa orang tapi nggak buat aku Ma"

Karena aku sukanya sama Haneul yang paling mustahil bisa kecapaian !, itu tantangan untuk jiwa yang penuh percaya diri.

"Benar, mana mau si Ali sama kakak kamu yang pemalas, nggak pintar dan nggak terawat ini" Mama malah menghina anaknya sendiri, itu menyakitkan hati tapi masih mendingan karena beliau adalah Mama ku kurang lebih aku seperti beliaukan?.

Itu adalah kebanggaan!

_____________________________

Aku tambahkan kecepatan ku mengayunkan sepeda agar bisa lebih cepat sampai ke sekolah Vano, karena hari ini adalah jadwal bagianku mengantar si mulut ember. Sesuai kesepakatan ku dengan Verrel.

"Kenapa sih kita mesti sekolah" Tanyanya tiba-tiba dibalik punggungku, suaranya lirih bagai menyimpan perasaan sedih.

Apa kira-kira yang dipikirkan anak kelas 5 SD, cinta, sekolah atau apa?.

"Biar ada kewajiban kayaknya" Balas ku ngarang, lalu menurunkan kecepatan sepedaku.

Angin sepoi-sepoi menerbangkan beberapa helai anak rambut yang lolos, dan suara keramaian dari sekolah mulai terdengar.

"Kewajiban belajar?, sama kaya orangtua yang berkewajiban berkerja?"

"Mung..kin...kamu pikirkan sajalah sendiri, kakak sudah repot dengan isi kepala sama hati sendiri." Lalu tidak lagi terdengar suara Vano membalas, kami sama-sama terdiam sampai tiba disekolah nya.

Mulutnya bisa mengadu kejadian kemaren, kenapa sekarang terdiam- tidak bercerita tentang perasaannya atau sebuah peristiwa yang dia alami. Perlukah ku tanya?, si tukang ngadu tapi tidak mau bercerita tentangnya sendiri. Apa itu cocok?. Tidakkah itu aneh dan tidak selaras?.

Aku pun menghentikan sepedaku dengan rem kaki dan badan yang langsung melompat dari sepeda. Vano turun dan mengulurkan tangannya-meminta bersalaman.

"Sekolah aja tiap hari sesuai jadwal, belajar, bermain, lalu pulang kerumah. Tunggu hari libur main, belajar gitu aja terus Vano sampai akhir masa sekolah." Ujarku seraya menyambut salaman nya, tapi dia malah mendongak dengan alis hampir menyantu menatap ku tepat dimata.

"Maksud Kakak? jalani saja, begitu?"

Apa itu..ekspresi dan ucapannya, aku tersinggung. Oh...dia ingin mempermalukan aku, dia kira dia dewasa dan pintar.

"Tepat sekali yang aku lakukan dengan menggunakan bahasa yang sederhana, kamu jadi ngerti kan?" Dia mengangguk, sama sekali tidak keberatan dengan ucapanku.

"Baiklah.. kalau begitu kakak berangkat dulu, kamu belajar dengan baik untuk memberikan hidup yang lebih baik sama seperti orangtua yang berkerja dengan baik agar punya kehidupan yang lebih baik. Oke.."

Wow aku quotes sekali..

Setelah nya, aku pun berbelok membawa sepeda ku menuju jalan dari mana aku datang. Ditengah jalan mata ku menemukan seseorang yang paling ingin aku lihat-dia Haneul Kamandaka. Kami berpapasan tanpa sengaja di pagi yang cerah ditempat yang tak disangka, apalagi jika tidak pertanda semesta merestui.

Tatapannya datar sekali tanpa senyum saat melihatku, wajar saja kami tidak dekat hingga harus bertegur sapa. Dengan yang lain juga, aku begitu bila bertemu tidak heran jika teman ku sedikit. Tapi..siapa gerangan yang dia gonceng dibelakang nya, bocah seusia Vano. Adik?, keponakan?.

Aku menoleh kebelakang sekilas dan meskipun dia tidak tahu karena memunggungi ku, tapi tidak apa. Aku hanya perlu memberi tahu diriku, sebenarnya itu adalah caraku memberi pertanda bahwa dia ada dalam hatiku.

Dan itu mungkin jadi keputusan yang salah saat aku lakukan untuk kedua kalinya karena sepeda ku nyaris oleng ke pinggir jalan, saat tiba-tiba Haneul juga menoleh kebelakang dan mata kami bertemu walau hanya sekilas.

"Hati-hati toh, bisa membahayakan itu. Jatuh nanti nangis"tegur Ibu-ibu yang mengantar anaknya, aku meringis setengah malu dan merasa bersalah. Jadi aku mengangguk seraya meminta maaf.

Hampir sepanjang jalan aku merutuki diriku sambil memukul-mukul kepala ku pelan ketika melulu mengingat kejadian pagi ini. Lupakan, biarlah..Ibu-ibu itu akan melupakan nya seiring berjalannya waktu walau entah kapan. Aku mencoba menenangkan diriku dengan cara ini.

Lalu...

Tiiit...

Traktiran yang mengalahkan

Pov Daniza

"Rasa cemburu ku nyata yang membuatku jadi kesal padanya, tapi perasaan suka ku mampu mengatasi rasa kesal ku"

Tiiit...

Seseorang memberi klakson padaku tepat saat melewati ku, memecahkan semua lamunan. Mungkinkah aku sudah membahayakan jalan raya kali ini. Kepala ku pun refleks mencari seseorang yang menegur ku atau ke pencet mungkin. Tapi yang aku dapati adalah punggung Haneul yang dibalut Hoody hitam.

Apa lagi ini maksudnya? Dia menyapa ku?, karena dia tahu aku hampir jatuh saat dijalan Selatan. Dan klakson tadi adalah peringatan darinya bahwa aku harus hati-hati.

Mungkinkah dia memperhatikan ku? Berprasangka seperti ini membuatku merasa senang dan merasa tenang dari bayangan memalukan yang telah berlalu.

Akan tetapi apa ini? Kenapa dia berhenti didepan rumah Rina? Seraya berbicara dengan ibu Rina dan pandangan matanya mengarah padaku yang lewat. Aku segera mengalihkan pandanganku darinya, merasa cemburu dan kesal. Tidak mengerti apa maksudnya dengan tatapan nya yang datar dan lekat itu.

Mungkinkah dia lagi-lagi sengaja ingin membuatku cemburu sama seperti lirik lagu tak rela. Pikir ku sepintas dan itu cukup ampuh menawar perasaan ku yang tidak karuan.

Tapi ternyata itu tidak lama, sama seperti pemikiran yang datang sepintas maka penawarnya pun habis begitu saja. Hatiku tetap panas saat melihat kedatangan keduanya bersamaan, jadi aku memilih menunduk.

Jika biasanya aku memperhatikan Haneul secara sembunyi atau terang-terangan, maka hampir seharian ini aku terus menghindar- membuang muka lebih cepat disetiap tidak sengaja bertatapan, itu karena mataku yang bergerak mencari padahal hatiku masih cemburu tapi juga tidak bisa menghilangkan rasa penasaran ku padanya.

"Kenapa marah- marah mulu kamu Han?,udah kaya cewek yang lagi PMS"

"Tau nih anak, punya masalah apa Han?. Tiang nggak salah juga dimaki, kaki kamu yang salah nendang bola malah nendang tiang"

"Semua orang dimarahin padahal kapten juga bukan, lagi berantem sama cewek kamu, Han?. Nggak profesional sekali anda ini, muka doang ganteng, jakun nongol, badan jangkung tapi soal tempat Nggak tau."

Pembicaraan para lelaki ini cukup keras, apalagi dikelas anak-anak yang lain sedang keluar sehingga telinga ku dapat diam-diam menyimak. Namun ucapan terakhir yang dilontarkan Dimas, membuat ku tanpa sadar mendongak dan melihat kearah mereka yang tanpa sengaja membuatku bersitatap dengan Haneul.

"Cewek ku?"

Merasa tertangkap karena menguping aku lalu segera memalingkan muka ke jendela disamping, melihat keramaian anak-anak lain latihan untuk acara perlombaan bulan depan.

Aku tidak menguping, mereka saja yang berbicara terlalu keras sehingga aku jadi kebagian.

"Maaf, lagi banyak pikiran soalnya"

"Gampang sekali minta maaf saja. Traktir lah...yang lain nggak usah dikasih tahu, kami dua Gato aja sama sepuluh ribu"

"Nggak apa-apa kasih tahu sekalian yang lain, mumpung Bokap habis kirim uang bulanan."

"Asyik...enak benar punya kawan kaya raya, dermawan dan nggak sombong." Lalu terdengar tawa mereka yang kompak.

"Tapi nggak ngabisin uang jajan kan, Han?"

"Tenang..nggak sampe tiga ratus ribu jumlahnya. Lagian segitu, ekor nya juga belum"

"Sombong juga Haneul tapi nggak papa asalkan baik" lalu terdengar lagi tawa mereka, suara Dimas yang paling kencang sepertinya.

Mereka lalu keluar bersamaan. Dan aku segera berpaling dari jendela saat Haneul lewat, fokos kembali pada buku novel yang kupinjamkan dari Winda.

"Daniza.."

Aku mendongak cepat merespon merasa terkejut hingga jantungku bertalu-talu. Bukan hanya karena panggilan yang tiba-tiba tapi juga kerena suara dari seseorang yang memanggil.

"Mau ditraktir apa?, biar dibawakan!" Tapi aku hanya bisa melongo mendengar penuturan itu, dia mengatakan nya dengan wajah datar.

Seakan itu hanya kalimat biasa seperti 'Hai', tapi sekalipun itu hanya satu kata atau bahkan gumaman jika itu dia..maka hatiku tidak bisa jika tidak bersorak sorai.

"Daniza..."

"Ya..."

"Atau mau langsung pilih di kantin kaya teman-teman yang lain?. kalau iya, ayo bareng!"

"A-aapa.."

Haneul menarik napas dan membuangnya lewat mulut seraya mendongak menatap langit-langit, apa dia selelah itu berbicara dengan ku. Beda sekali sikapnya jika sedang dengan Rina dan perempuan lain- dia pasti akrab dan terus menerus tersenyum bahkan tertawa-tawa dan mengobrol dengan semangat juga.

"Nggak usah mentraktir aku, aku masih kenyang dan nggak mau apapun" jawab ku cepat lalu segera menunduk

"Baiklah, kalau begitu aku pergi.."aku hanya menjawab dengan berdehem seraya melirik Haneul yang melangkah pergi.

Aku lalu menghela napas dalam saat teringat bagaimana aku menjawab pertanyaan Haneul yang dia katakan dengan tutur yang halus. Terpikir kemudian oleh ku, tidakkah itu terlalu ketus?. Rasa cemburu ku yang tidak berdasar, padahal siapa aku untuk Haneul?. Mungkin itulah penyebab ucapan impulsif ku barusan.

¥¥¥

"Daniza ini buat kamu" Winda meletakkan satu kantong kresek hitam didepan mejaku yang berisi berbagai jajan

"Kamu nggak ikut kita ke kantin tadi, jadi kami inisiatif beliin ini buat kamu."

"Padahal udah diajak Han yaa katanya, kenapa kamu nggak ikut?"

"Malu nih pasti"

"Traktiran Han?" Tanya ku memastikan, lalu ketiganya mengangguk.

"Kan udah aku bilang nggak usah" ketiganya pun duduk dikursinya masing-masing seraya menatapku.

"Lah terus gimana?, mau kamu balikin?" Aku berpikir cepat, jika aku kembalikan itu akan terlalu rumit. Terlalu banyak drama dan komunikasi yang akan terjadi dan aku tidak bisa, belum lagi rasa kesal ku masih ada.

"Lagian Han nggak maksa dia udah bilang kamu nggak mau, ini semua memang ide kami sendiri biar adil..kamu kebagian juga" jika sudah seperti ini aku bisa apa?, lantas aku mengambilnya dan menaruhnya ke dalam tas. Biar tidak panjang urusannya.

"Makasih Win, Ca, Lan"

"Bilang juga gih sama Haneul langsung, kan ini dia yang bayar."

Kata-kata itu terus terngiang di kepala ku, memang sudah sepantasnya bukan seseorang yang memberikan sesuatu mendapatkan terimakasih. Aku mulai merencanakan nya setelah memikirkannya. Dan melihat kedatangan Haneul bersama temannya seraya tertawa membuatku tanpa sadar menekan kantong kresek dari balik tas, hatiku tiba-tiba menghangat begitu saja.

Inilah saat yang tepat untuk berterima kasih pada Haneul seperti yang disarankan Lani, disaat anak-anak yang lain masih sibuk menulis diruang kelas. Dan hanya kami berdua yang boleh keluar karena telah selesai. Aku hanya perlu bersuara memanggil nya seperti yang biasa dia lakukan lalu mengatakan bagian terimakasih dari Traktiran yang tidak aku harapkan.

Begitu saja seharusnya dan itu mudah, namun aku hanya bisa menatap kepergian nya. Menghilangkan kesempatan ku untuk mulai bicara dan menjadi dekat dengannya, tidak hanya memperhatikan dan membuat asumsi sendiri tentang perasaannya. Melupakan rasa kesal dan cemburu, bagaimana bisa? Berubah begitu cepat hanya karena sekantong kresek jajan yang juga atas inisiatif teman ku. Apa hati yang diberi rasa suka memang semurah itu?.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!