NovelToon NovelToon

Sabr.

Desa Pringan, Desa kecil penuh kedamaian

Desa...

Jauh dari kata hiruk pikuk kota

Tak mengenal apa itu kehidupan serba cepat

Mengerjakan sesuatu dengan laju kilat

Tebas kanan tebas kiri, tak peduli siapa yang disayat yang terpenting sesuatu ini saya dapat

Yang menetap hanyalah yang punya mental-mental kuat

Perlahan...

Satu demi satu manusia mulai tereliminasi karena nafsunya sendiri

Tak sanggup menghadapi situasi kondisi, yang lemah akan tersubstitusi, karena kekuasaan serba bebas terdistribusi

Kota metropolitan...

Seharusnya didominasi pemuda-pemuda militan

Dengan penuh tekad dan kemantapan akan mereka bela mati-matian kebenaran

Jiwa raga dipersembahkan untuk bangsa dan agama

Membela kaum lemah yang keberadaannya hampir tak terjamah

Menguatkan petinggi-petinggi yang adil agar pasaknya tak goyah

Kobaran api semangat untuk melakukan perbaikan didasarkan atas asas ketakwaan kepada Tuhan

Menebar kebaikan di bumi Rabb Semesta Alam

Percikan-percikan api semangat ditularkan kepada kawan karena berjuang sendiri sama saja bunuh diri

Angin-angin jahat mulai mengintai

Bersiap menerjang agar terjadi badai

Membuat barisan pemuda tercerai berai

Dalam hidup

Ada saja yang membuat rusuh

Menimbulkan peluh, hingga memaksa tubuh bersimpuh

Rintangan dan cobaan datang bertubi-tubi

Menghampiri tanpa ucapan permisi

Akan tetapi, perlu dipahami, bahwa itulah media untuk mendewasakan diri

Sarana agar diri ini naik tingkat

Punya jiwa kesatria yang lebih kuat

Tidak sekadar menjadi budak yang terus diperalat

#

    Berangkat dari kehidupan yang tenang dan damai di sebuah desa. Terlahir seorang anak muda. Suasana sejuk pada sore hari, di gubuk yang dikelilingi hamparan sawah nan hijau jadi tempat kesukaannya. Banyak sekali inspirasi yang ditemui. Terangkai jadi sekumpulan mimpi-mimpi untuk melakukan hal-hal bermanfaat di bumi Sang Ilahi.

    “Yah, Kek, di bagian sini padi-padinya banyak yang dimakan burung, bisa sedikit keuntungan panen kita nanti,” keluh Faiha sambil mengamati padi-padi yang kosong tak berisi. Badannya jongkok. Dipegangnya padi itu. Dibolak-balik, ternyata benar-benar kosong. Dahinya mulai mengerut, wajahnya cemberut.

    “Ikhlaskan saja, Nduk ( Nak, perempuan ~ Bahasa Jawa ) . Padi yang disitu sudah Allah tetapkan jadi rezeki burung-burung itu dan Allah pun telah menetapkan rezeki atas kita.”

    “Kakek tidak takut rugi?”

    “Masih ada yang dimakan untuk hari ini saja itu sudah cukup. Lagipula, Kakek juga sudah berusaha menjaga dengan memasang orang-orangan sawah ini dan memasang plastik-plastik agar burung-burungnya takut dan tidak memakan padi, kan?”

    Faiha mengangguk-angguk perlahan. Alisnya sedikit diangkat, membuat kedua matanya melebar. Ia melihat-lihat keadaan sekitar. Memang, di sekitar sawah Kakek banyak orang-orangan sawah dan gantungan plastik-plastik yang tersebar.

    "Faiha, sini! duduk di samping Kakek, " Kata Kakek yang saat itu mulai mempersiapkan diri untuk duduk di gubuk. Celana hitam yang dikenakannya itu dihiasi lumpur. Kakinya tak beralas. Di bagian telapaknya ada goresan-goresan kasar. Sedangkan, pada bagian pungggung terlihat garis-garis yang memanjang akibat dari kulitnya yang mengeriput. Di samping tubuhnya tergeletak caping, tudung kepala berbentuk kerucut yang dibuat dari anyaman bambu.

    "Iya, Kek," Faiha berdiri dari posisi jongkoknya. Meninggalkan sekumpulan padi-padi yang kosong tak berisi. Menuju Kakek yang sangat ia sayangi. Duduk disampingnya saja sudah bisa membuat orang bahagia. Kakek seperti memiliki energi positif yang dijalarkan kepada orang-orang disekitarnya.

    "Salah satu sifat Allah itu Hayyun حي. Yang Maha Hidup. Ia juga menghidupkan serta menghidupi. Maka, Allah itu ketika menciptakan makhluknya pasti tanggung jawab. Tanggung jawab untuk menghidupi. Rezeki semua makhluk yang diciptakan itu tidak akan habis sampai dia mati. Kakek ini hidup, rezekinya sudah diatur sama Allah. Burung-burung itu rezekinya sudah diatur sama Allah. Rezeki Faiha juga sudah diatur sama Allah. Maka, janganlah sekali-kali khawatir kalau dalam hidup ini kita akan kekurangan ketika perintah Allah sudah kita jalankan dan larangan-Nya kita tinggalkan," kata Kakek pada Faiha. Satu-satunya cucu perempuan yang dimilikinya.

    "Rezeki semua makhluk, Kek? Makhluk itu kata Mas Yusuf tidak hanya manusia. Padahal di dunia ini manusia saja jumlahnya miliaran. Tidak sekadar miliaran, bahkan lebih. Apalagi semua makhluk. Bagaimana Allah mengaturnya?" kata Faiha polos.

    "Ya itulah Maha Hebatnya Allah, Kuasanya Allah. Cara Allah dalam mengatur hidup makhluknya, termasuk rezeki itu jika kita pikir terkadang tidak masuk di akal, karena akal yang digunakan untuk berpikir itu akal manusia. Manusia itu makhluk. Akal, pikiran, dan ilmu makhluk itu terbatas, kekuasaan Allah lah yang tidak terbatas dan tidak mungkin memiliki batas. Mudah saja bagi Allah memelihara, mencukupi rezeki makhluk-makhluknya yang jumlahnya kamu bilang miliaran, bahkan lebih itu,"

    "MasyaAllah, Allah baik sekali, Kek, semua makhluk-Nya diberi rezeki."

    "Iya, maka kita ini harus terus berusaha untuk menjadi hamba yang beradab. Bukan malah jadi hamba yang biadab."

    "Hamba yang beradab dan biadab itu yang bagaimana, Kek?"

    "Hamba yang beradab itu yang manut (patuh ~ Bahasa jawa) sama aturannya Allah. Allah perintah laksanakan, Allah larang tinggalkan. Hamba yang biadab kebalikan dari yang beradab. kasarannya Ngeyelan. (eyel ~ Bahasa Jawa)."

    "Oo, begitu.."

    "Kakek, mau tangkap belut dulu, biar dimasak Ibumu," Kakek beranjak dari duduknya. Capingnya ia kenakan kembali di kepala. Mulai melangkahkan kaki, berjalan pergi. Faiha di gubuk itu seorang diri.

Dalam hidup, memang tidak selamanya hati bisa merasa tenang. Terkadang menyelinap rasa khawatir. Akan tetapi, rasa khawatir bisa diminimalisir dengan menajamkan pola pikir dan senantiasa mengingat pasti ada yang namanya Hari Akhir.

    "Doorrr.." tiba-tiba ada suara manusia yang datang dari belakang gubuk. Ternyata itu suara Mas Yusuf, kakak Faiha.

    "Ndak kaget, Wlee.. "

    "Gagal ya, ngagetinnya? Kapan-kapan coba lagi, deh,"

    "Suka kalau nanti adiknya jantungan terus meninggal?"

    "Iyalah, kan nanti Mas Yusuf jadi cucu Kakek satu-satunya."

    Faiha hanya diam, tak membalas apa yang Mas Yusuf katakan. Reaksinya jauh dari yang Mas Yusuf harapkan. Ia kira Faiha akan marah, lalu mengejarnya dan melemparinya dengan lempung. ( Tanah liat yang biasanya ditemukan di persawahan ), tapi ternyata ia hanya diam mematung.

    "Mas Yusuf cuma bercanda, Fa. Jangan dianggep serius gitu dong,"

    "Faiha tau, cuma kurang receh becandanya, ndak ada yang bisa diketawain,"

    "Dih, sadissss."

    "Tumben sudah pulang dari sekolahnya, Mas."

    "Yaa, hari Jumat, pulangnya cepet."

    "Oo, iya, ya."

    "Untung saja tadi Mas Yusuf cepat-cepat kesini, jadi ndak ketinggalan wejangan dari Kakek."

    "Loh, berarti disini sudah dari tadi?"

    "Iya, pas Mas Yusuf datang, Kakek sedang kasih wejangan ( petuah, nasihat ), ndak enak nyelani, ( Menyela ~ Bahasa Jawa ) jadi Mas Yusuf tunggu saja di belakang tadi, sembari mendengarkan wejangan yang diberi," kata Mas Yusuf yang kini sedang mempersiapkan diri untuk duduk menyila di samping Faiha, mereka bernaung di bawah gubuk yang sama. Tubuhnya menghadap ke sawah.

    "Kakek benar, daya makhluk itu terbatas, daya dan kekuasaan Allah lah yang tidak memiliki batas, " kata Mas Yusuf. Matanya menatap tajam pada hamparan sawah nan luas di depannya.

    "Faiha, coba lihat hamparan sawah yang ada di depan kita. Di sana tak ada sama sekali halangan yang menghalangi pandangan, tapi di titik pandang terjauh apakah Faiha masih bisa melihat objek yang ada di sana dengan jelas?"

    "Yang di depan-depan sini jelas, tapi jalan raya yang ada di seberang sawah itu, lampu dari kendaraan-kendaraan yang melintas saja yang terlihat," Faiha meriyip, berusaha memfokuskan pandangan.

    "Lihat telapak tangan Mas Yusuf!" Mas Yusuf menempatkan telapak tangannya dekat sekali dengan mata Faiha.

    "Kelihatan sih, Mas, tapi burem. Sakit liatnya." Mas Yusuf menjauhkan telapak tangannya. Masih di depan mata Faiha, tetapi dengn jarak yang berbeda. kali ini lebih jauh, sekitar 30 cm.

    "Nah, ini jelas. enak dipandang."

    "Oke, sekarang tutup mata Faiha."

    "Ndak mau. Kenapa ndak Mas Yusuf sendiri yang tutup mata?"

    "Mas Yusuf mau tunjukkan sesuatu."

    "Bagaimana cara Faiha melihat apa yang ditunjukkan Mas Yusuf kalau Faiha disuruh tutup mata?"

    "Sudah, tutup saja matanya, jangan banyak tanya,"

    "Aaa Faiha tau, nanti kalau Faiha sudah tutup mata, Mas Yusuf mau pergi, kan? ninggalin Faiha di sini sendirian.  Kalau ndak Mas Yusuf mau tangkap bekicot atau kodok terus ditaruh di depan mata Faiha biar pas Faiha buka mata, Faiha kaget. Kalau ndak..." belum selesai Faiha bicara Mas Yusuf menyela.

    "Faiha! jangan sekali-sekali mengomentari sesuatu yang tidak kamu mengerti dan jangan pernah membenci sesuatu yang belum kamu pahami," kata Mas Yusuf. Sorot matanya tajam. Kali ini ia serius.

    "Iya, iya.. ini ditutup matanya, tapi jangan ngerjain Faiha lho ya," Faiha memajang wajah memelas.

    "Nggaaaaakkkkk,"

    "Ini sudah ditutup."

    "Apa yang Faiha liat?" tanya Mas Yusuf.

    "Gelap, ndak kelihatan apa-apa."

    "Oke, boleh dibuka matanya." Faiha pun membuka mata.

    "Itu apa?" kata Mas Yusuf, tangannya menunjuk ke langit.

    "Burung."

    "Orang disamping Faiha ini?"

    "Mas Yusuf."

    "Nah, mata kita ini bisa melihat suatu objek karena ada gelombang cahaya yang masuk ke mata. Tadi, pas Faiha merem gak ada gelombang cahaya yang masuk ke mata, makanya gelap. Mata kita ini juga, hanya bisa menangkap cahaya dengan panjang gelombang tertentu saja, dengan rentang sekitar 400-750an nanometer. Objek yang memiliki panjang gelombang cahaya di luar rentang itu mata manusia tidak mampu melihatnya dan kenapa ketika Faiha lihat kendaraan yang jauh di sana cuma kelihatan lampunya aja dan telapak tangan Mas Yusuf yang Mas Yusuf deketin ke mata Faiha sampai deket banget kelihatan rada burem, itu karena ada hubungannya dengan titik dekat dan daya urai mata manusia yang memiliki batas. Kemudian, pendengaran kita. Kita bisa mendengar suara karena ada gelombang bunyi. Jika mata hanya mampu menangkap cahaya dengan rentang panjang gelombang tertentu. Maka telinga juga begitu, hanya mampu menangkap bunyi dengan frekuensi-frekuensi tertentu. Yaitu bunyi yang memiliki frekuensi dalam rentang 20-20.000 Hertz. Ini disebut bunyi audiosonik,"

Faiha masih mendengarkan Mas Yusuf dengan saksama, Mas Yusuf pun masih terus melanjutkan penjelasannya.

    "Intinya mata sebagai organ penglihatan dan telinga sebagai organ pendengaran yang dimiliki manusia itu terbatas. Makanya daya makhluk itu terbatas. Untung diberi sama Allah batas, kalau ndak ya manusia nanti bisa melihat apa-apa, bisa mendengar apa-apa. Ketika kita lihat kerumunan orang yang sedang melakukan aktivitasnya masing-masing saja terkadang sudah pusing. Bagaimana kalau semua kejadian di dunia dilihat secara bersamaan. Bahayanya lagi. Fa. Kalau pendengaran manusia ini tak terbatas. Semua bunyi bisa kita dengar. Semut ngobrol sama temennya kita denger, para kelelawar lagi diskusi untuk menjalankan ekspedisinya pada malam hari kita denger. Bayangkan kalau semuanya kita dengar secara bersamaan," Kedua tangan Faiha spontan memegang kedua telinganya, ternyata Ia hanyut dalam penjelasan yang diberikan Mas Yusuf.

    "Sakit telinga Faiha, Mas, bising."

    "Maka, itulah kekuasannya Allah. Allah sudah mengatur mata dan telinga kita dengan sedemikian rupa sehingga. Ini baru mata dan telinga belum lain-lain yang berkaitan dengan manusia dan juga baru manusia belum makhluk-makhluk Allah lainnya. Jadi, benar dan tak terelakkan kalau kekuasaan Allah itu tak terbatas, infinitely...... "

    "MasyaAllah, Mas Yusuf......"

    "Biasa aja, ngga usah lebay. Sampai terkesima gitu sama Mas Yusuf,"

    "Sosok Bapak, pasti tidak jauh beda sama Mas Yusuf," kata Faiha lirih. Mas Yusuf yang mendengar perkataan Faiha spontan terdiam. Lidahnya kelu, tak mampu mengatakan sesuatu, tapi harus bisa, demi adiknya.

    "Juga pasti pasti ndak jauh beda sama Kakek," kata Mas Yusuf dengan sedikit senyum.

    "Ada apa ini sebut-sebut Kakek," kata Kakek yang tiba-tiba sudah ada samping Mas Yusuf. Tangan kanannya membawa satu ember kecil berwarna hitam.

    "Eh, Kakek... Ngapunten nggih, Kek ( Maaf, ya~Bahasa Jawa). Yusuf ndak bantuin Kakek. Tadi kesini niatnya mau bantu, tapi gara-gara Faiha, terus ndak jadi."

    "Loh, kok Faiha?" kata Faiha geram. Mas Yusuf ini memang selalu pintar membuat alasan.

    "Wes-wes ( Sudah-sudah~Bahasa Jawa ), ayo pulang. Yusuf, bawakan cangkul Kakek!"

    "Injih, Kek, ( Iya~Bahasa Jawa Krama )," Akhirnya, mereka bertiga berjalan pelan untuk pulang. Melewati sebuah pematang. Kakek berada di garda terdepan, memimpin barisan. Dibelakangnya ada Faiha, kemudian Mas Yusuf. hujan tidak turun satu bulan ini, membuat pematang itu mudah untuk dilewati.

    "Mas Yusuf, tadi Mas Yusuf bilang mata manusia bisa melihat karena ada gelombang cahaya yang masuk dan tidak sembarang gelombang yang bisa dilihat, hanya gelombang cahaya yang memiliki panjang gelombang tertentu saja."

    "Iya, kenapa?"

    "Malaikat Allah ciptakan dari apa?"

    "Dari nur atau cahaya"

    "Tampak oleh mata manusia?" tanya Faiha serius.

    "Tidak."

    "Mas Yusuf! Kalau begitu keberadaan malaikat bisa dijelaskan secara ilmiah. Mungkin Allah ciptakan malaikat dengan panjang gelombang cahaya yang tidak bisa dijangkau oleh mata manusia, sehingga malaikat itu gaib, tidak kasat mata, tetapi keberadaannya benar-benar ada."

    "Emm, Faiha mau Mas Yusuf terangkan sesuatu lagi?"

    "Mau-mau," jawab Faiha bersemangat.

    "Berdasarkan panjang gelombang, cahaya tampak yang bisa dilihat manusia itu di bawahnya ada sinar ultraviolet dan di atasnya ada sinar infrared atau inframerah. Kedua sinar ini tidak bisa dilihat oleh manusia secara kasat mata. Faiha tahu hadis Nabi yang menjelaskan bahwa ayam jantan bisa melihat malaikat?"

    "Iya, Ustadz Zaenurri pernah menerangkan,"

    "Pada tahun 2010 ada sebuah penelitian yang dipaparkan dalam jurnal Public of Science ONE. Publikasi ilmiah ini sempat menghebohkan sejumlah situs berita di Arab. Sejumlah blog berbahasa Arab mengulas hasil penelitian ini lengkap dengan perbandingannya dengan salah satu hadis Nabi yang dikutip dari Kitab Hadis Riwayat Imam Bukhari dan Muslim.

'Bila engkau mendengar suara ayam jantan maka mintalah karunia kepada Allah karena ia melihat malaikat, sedangkan bila engkau mendengar ringkikan keledai, maka berlindunglah kepada Allah dari setan karena dia melihat setan,'

Penelitian itu menyebutkan bahwa, ayam mempunyai kelebihan yang tidak ditemukan pada hewan lain. Kelebihan itu adalah kerucut retina tambahan yang tidak ada pada mata manusia,"

    "Kerucut retina itu apa, Mas?"

    "Dengarkan dulu Mas Yusuf bicara, jangan dipotong!"

    "iya-iya.. maaf."

    "Ilmuan di Washington University, Dr.Josep Corbo, menyebutkan kemampuan mata untuk melihat warna berasal dari sel cahaya khusus yang ditemukan di retina. Sel-sel ini disebut sel kerucut. Datang dalam berbagai rasa yang masing-masing dapat mendeteksi panjang gelombang cahaya yang berbeda. Kerucut retina inilah yang mampu menganalisa dan membedakan warna tambahan. Manusia memiliki tiga jenis kerucut yang memungkinkan kita untuk melihat warna-warna dasar yaitu merah, hijau dan biru. Namun, sosok ayam itu memiliki kerucut ekstra untuk melihat warna dari spektrum yang tidak dapat dijangkau oleh manusia. Terlebih lagi, kerucut ayam ini didistribusikan secara merata di seluruh retina, sehingga meningkatkan kemampuan untuk melihat warna di seluruh bidang visual mereka. Jadi, terbukti bahwa ayam bisa melihat malaikat sebagai suatu sinar lain dari spektrum cahaya yang tidak dapat dijangkau oleh mata manusia. Wallahu a'lam."

    "Amazing! Mas Yusuf bisa tahu hal-hal seperti itu darimana?"

    "Dari membaca. Faiha banyak-banyaklah membaca agar luas cakrawala penegtahuannya. Kalau Faiha sudah tahu bahwa memang ilmu itu sangatlah luas cakupannya, maka Faiha akan sadar bahwa alangkah bodohnya diri ini dan segala puji bagi Allah yang Maha luas ilmu-Nya. Dengan begitu, kita bisa selamat dari hati yang meninggi nanti, alias terhindar dari sifat sombong."

    Kakek yang sedari tadi tidak sengaja mendengar percakapan Faiha dan Mas Yusuf tersenyum. Rasa syukur muncul di dalam hati karena diberikan cucu-cucu seperti ini.

#

    “Mlayu Fa, mlayu! (Lari~Bahasa Jawa) ” sorak Alsha.

    “Gembung, Iq,” teriak Pika.

    Meleset. Bukannya tidak kena, tapi memang sengaja tidak dikenakan. Padahal, Tim Faiq sudah banyak menaruh harapan. Tinggal satu langkah. Jika gembungan bola Faiq mengenai Faiha, maka nasib Tim Faiq akan berubah seratus delapan puluh derajat. Dari yang semula tim penjaga menjadi tim pemukul.

    “Gimana to, Iq? Jaraknya tadi kan dekat, kenapa tidak kena?” protes Pika, seorang yang sangat ambisius dalam permainan kasti sore ini.

    "Bisa saja bola itu tadi mengenai Faiha kalau Faiq mau. Faiq memang sengaja tidak mengenakannya. Iyo to, Iq? (iya kan?~Bahasa Jawa)," celetuk Alan, teman dekat Faiq. Dia memang banyak tahu tentang Faiq. Sementara Faiq hanya tersenyum kecil mendengar apa yang tadi Alan katakan.

    Warna langit disebelah barat mulai memerah. Orang Jawa menyebutnya dengan sandyakala. Sandyakala berasal dari kata sandy dan kala. Sandya=sandi berarti samar-samar, sedangkan kala berarti waktu. Jadi, sandyakala adalah waktu atau saat dimana suasana mulai samar-samar. Sandyakala menunjukkan ketika hari sudah menjelang malam. Saat matahari mulai tenggelam dan warna bumi berubah menjadi merah jingga. Orang-orang kota menyebutnya dengan senja.

    Dari jauh, datang seorang pemuda bersarung dan berpeci khas anak santri, mengendarai sepeda jengki dengan ukuran ban 28 inci. Sepeda kuno yang terkenal masyhur pada masanya. Umum digunakan pada zaman Hindia Belanda. Sekarang, orang menyebutnya dengan sepeda tua dan orang-orang tua lanjut usialah yang biasa memakainya. Untuk pergi ke masjid, sawah atau sekadar pergi ke warung. Bercengkerama dengan teman-teman sebaya. Mengenang masa muda.

    “Sudah mau magrib, Gus. (panggilan untuk anak laki-laki kiai di Jawa) nggo kondur (mari pulang~Bahas Jawa Krama),” kata pemuda itu.

    “Ya,” jawab Faiq.

    Faiq dilahirkan dan dibesarkan di lingkungan yang agamis. Ayahnya seorang kiai, K.H Abdul Malik. Para santri dan orang-orang kampung sekitar biasa memanggil beliau Abah. Abah mendirikan pondok pesantren yang bangunannya tepat berada di sebelah timur sekolah dasar negeri tempat kini Faiq menuntut ilmu. Faiq memiliki sebelas saudara. Ia adalah anak ke-tujuh. Sebelum mengirimkan anak-anaknya ke pondok pesantren untuk menuntut ilmu agama, meneruskan jejak langkah para ulam,  Abah menyekolahkan mereka di sekolah negeri samping pesantrennya itu terlebih dahulu. Toh, sekolah negeri itu jaraknya juga dekat dengan pesantren Abah. Para siswa dipulangkan bakda zuhur. Dengan begitu, anak-anak beliau masih tetap mempunyai banyak waktu untuk mengaji.

    "Teman-teman! Faiq pulang dulu ya," pamit Faiq pada teman-temannya.

    "Iya, Iq."

    Kehadiran pemuda yang tadi menjemput Faiq membuat wajah anak-anak yang wajahnya semula ceria menjadi suram. Bagaimana tidak, kehadirannya menjadi tanda dari berakhirnya permainan kasti yang sedang mereka mainkan dengan penuh semangat, kegembiraan, dan tawa sore ini.

    "Besok setelah pulang ngaji, main lagi ya," teriak Alan, "setengah lima mulai."

    "Siap, insyaAllah," sahut semua anak-anak dengan penuh semangat.

    Sepeda ontel anak-anak yang berjejer di dekat lapangan mulai dikendarai pemilik-pemiliknya untuk dibawa pulang ke kandang. Sepeda anak-anak yang mulai mengenal dunia luar itu memiliki berbagai macam bentuk nan lucu. Ada sepeda yang setangnya di kebawahkan dan bagian boncengan belakangnya dinaikkan. Ada juga yang sengaja membeli minuman kemasan gelasan, kemudian kemasan gelasnya itu ditempatkan di ban bagian belakang. Hal itu dilakukan agar ketika dikayuh sepeda ontelnya bersuara seperti sepeda motor milik orang dewasa. Jangan ditertawakan, ini adalah salah satu kreativitas anak negeri yang patut diberi apresiasi.

Ngaji. Ora bakal rugi tiyang ingkang ngempenake ngaji.

Sekolah Dasar Negeri 1 Pringan adalah salah satu sekolah dasar negeri yang terletak di Desa Pringan. Salah satu desa yang berada di Provinsi Jawa Tengah. Sekolah ini berdiri kokoh dengan bangunan baru pada kelas satu, dua, dan tiga. Lapangannya cukup luas. Para siswa sering membanggakan sekolahnya ini karena bangunannya mewah (mepet sawah).

Meskipun begitu, muridnya tidak banyak. Kelas satu saja hanya terdiri dari tiga orang. Kelas dua kosong, karena tahun lalu tidak ada sama sekali yang mendaftar. Sekolah dasar negeri ini terancam tutup. Zaman semakin berkembang dan peradaban semakin maju. Para orang tua Desa Pringan yang memiliki wawasan lebih tentang masalah pendidikan kini lebih berminat menyekolahkan anak-anaknya di Madrasah Ibtidaiyah.

Faiha, Alsha, Pika, Dhia, Alan, dan beberapa teman yang lainnya masih tetap bertahan di SD Negeri 1 Pringan. Dulu waktu kelas satu mendaftar, sekolah itu masih memiliki banyak murid. Sekarang mereka sudah kelas enam. Sebentar lagi lulus. Mungkin ini adalah angkatan terakhir. Terdengar kabar simpang siur jikalau sekolah ini akan segera ditutup oleh pemerintah karena kekurangan murid. Walaupun begitu, kegiatan belajar mengajar masih berjalan seperti biasa.

"Faiq! Nakal banget sih. Kalau main bola ya main bola aja, gak usah ditendang-tendang ke arah kita. Semisal kena bagaimana? Mau tanggung jawab?" kata Pika kesal.

"Iya nih, usil banget kamu Iq," sahut Alsha.

"Faiq-Faiq, orang gak salah apa-apa dijahili," batin Faiha sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Bola plastik bercorak biru putih harga lima ribuan masih melekat di kaki Faiq. Bola itu dimainkannya dengan sangat lihai. Bakatnya dalam memainkan bola memang tidak diragukan lagi. Tiap sore, jika ada waktu luang, kalau tidak bersama teman-teman bermain kasti ya main sepakbola dengan para santri. Tak menghiraukan apa kata teman-temannya, Faiq tetap menjahili mereka dengan dukungan teman-teman putranya. Meski sekarang sudah kelas enam, jiwa kekanak-kanakan masih kuat melekat pada mereka. Tak terkecuali Faiq. Anak SD memang begini. Sering terjadi perang sengit antara anak putra dan putri. Bahkan, dalam hal yang sepele. Berebut tempat duduk, misalnya atau saling berebut perhatian Bapak/Ibu Guru. Perbedaan pendapat juga merupakan hal yang sering sekali terjadi.

"Faiq!" teriak Pika. Bola plastik biru putih itu melesat persis di samping kepala Pika. Beruntung, tidak kena. Bola itu melesat lurus hingga mengenai tembok dan memantul kembali ke arah Faiq

"Kita sembunyi saja di belakang Faiha, pasti Faiq tidak akan menendangkan bolanya ke arah kita lagi," usul Alsha.

"Betul betul betul," kata Dhia menirukan salah satu tokoh kartun lokal kesukaanya.

"Faiq! Ayo tendang kalau berani!" teriak Alsha. Raut wajahnya tersenyum yakin. Faiq tidak akan menendangkan bola itu. Perseteruan kali ini akan dimenangkan oleh tim putrinya.

"Wah nantangin kita mereka Iq, ngga bisa dibiarin nih, buruan tendang, Iq!" sahut Alan.

Kaki kanan Faiq mengayun ke belakang, bersiap-bersiap untuk menendang. 'Glek'. Tiba-tiba kaki Faiq terhenti setelah sekilas melihat siapa yang di depannya. Bukan, bukan guru. Bukan juga teman-temannya yang sedari tadi ia ganggu. Ia pun membalikkan badan, berencana menggiring bola ke arah lapangan.

"Ayo main bola di lapangan, ajak anak-anak kelas lima," kata Faiq pada Alan.

"Yeay, kita menang," ucap Pika.

"Tuh kan, aku bilang apa," sahut Alsha.

"Kok ngga ditendang sih, Iq? bisa kegirangan nanti mereka, noh liat!" protes Alan.

"Udahlah, ngga penting." jawab Faiq santai.

"Ngga bisa, Iq. Ini masalah harga diri."

"Ayo!" Faiq menarik lengan Alan. Alan tak bisa melakukan pembalasan kali ini, karena Sang Ketua tak meridhoi.

"Eh, ini belum selesai ya, liat aja nanti!" sorak Alan. Sebagai wakil ketua geng putra ( begitu ia menganggap dirinya ). Alan tidak mau kalah dengan teman-teman putrinya.

"Yee, kalah ya kalah aja," kata Pika yang sedang mempersiapkan diri untuk duduk di depan kelas, mengikuti teman-temannya yang terlebih dahulu mendahuluinya duduk.

“Si Faiq kenapa? Tidak biasanya seperti ini. Kenapa tiba-tiba dia tidak mau menendang ke arah kita tadi?” tanya Faiha pada teman-temannya.

“Fa, apa selama ini kamu tidak sadar?” tanya Dhia. Wajahnya serius. Di mulutnya pun kini dipenuhi kue sus. Tubuh yang gemuk karena sering diisi kue sus membuat orang memanggilnya Brontosaurus.

“Sadar apa?” Faiha balik bertanya sambil menahan tawa, tak kuasa melihat ekspresi Dhia.

“Faiq itu, suka sama kamu,” jawab Dhia polos. Mulutnya masih menyimpan banyak kunyahan kue sus. Entah sudah berapa biji kue susu yang ia makan sejak tadi pagi.

“Ngomong apa si, telen dulu tuh kue,” elak Faiha.

“Eh, tapi apa yang Dhia bilang bener, Fa, Alan pernah cerita sama aku,” sahut Alsha. Alsha ini adalah sepupu Alan. Ayah Alsha kakak dari Ibu Alan. Rumah mereka pun berdampingan.

"Cerita gimana, Sha?" tanya Pika penasaran.

"Ya itu, si Faiq suka sama......" mata dan alis Alsha menunjuk ke arah Faiha.

"Alan kan temen deketnya Faiq banget. jadi ceritanya ini pasti sahih," respons Dhia.

Faiha tak menanggapi obrolan teman-temannya itu dengan kata. Hanya sebuah ekspresi muka yang terkesan tak peduli, masa bodoh.

"Ciyee, Faiha," goda Pika sambil menyenggol pundak Faiha.

"Kalian kurangi menonton televisi. Apalagi sinetron-sinetron orang dewasa. Akibatnya jadi begini." kata Faiha pada teman-temannya.

"Tenang aja, Fa. Kalau Dhia mah yang ditonton bukan sinetron, tapi Mistersep," kata Dhia.

"Iya, percaya, kan Dhia suka makan."

"Haha," semuanya tertawa serentak.

......................................................................

    “Sikap Faiq akhir-akhir ini memang sedikit beda. Sebelum ini sering sekali jahil, membuat orang geram, tapi sekarang lebih pendiam," batin Faiha, "Ndak-ndak. Faiha-faiha.. Mikir apa too.." Tak sadar, Faiha menggeleng-gelengkan kepala agar yang dipikirkannya itu segera membuyar. Masih pada titik yang sama. Faiha tak ingin peduli dan jangan sampai peduli. Hal semacam itu dirasa belum patut untuk saat ini, yang terpenting saat ini adalah belajar dengan sungguh-sungguh meniti harapan di masa depan yang masih jauh. Teman-temannya itu memang suka bercanda.

#

"Alhamdulillah. Semakan ngaji Alqurannya disudahi dulu. Berarti besok kita ganti ngaji kitab, Mabadiul Fiqh ya, yang jilid satu, sampulnya warna oren," kata Ustadz Zaenurri.

"Ngapunten (Maaf~Bahasa Jawa) Ustadz. Beli kitabnya di mana?"

"Cari saja di toko pesantrennya Abah, Kiai Malik, tanya sama mbak santrinya. Murah, ndak sampai 5000. Kalau bisa belinya pakai uang saku Faiha yang disisihkan setiap harinya, biar ada sedikit pengorbanan. Jangan minta Ibu atau Kakek,"

"Iya, Ustadz."

"Ajiibb... Oh ya, Meskipun ngajinya ndak semakan (menyimak~Bahasa Jawa) Quran lagi. Al-Qurannya jangan dilupakan. Diistiqomahkan nderesnya. Setiap harinya dibaca. Orang yang hidup bersama Alquran hatinya dipenuhi cahaya. Ora bakal rugi tiyang ingkang ngempenaken ngaji. (tidak akan rugi orang yang sungguh-sungguh dalam mengaji~Bahasa Jawa)," kata Ustadz Zaenurri.

"Nggih, Ustadz (Ya~Bahasa Jawa). Bismillah," jawab Faiha dengan penuh rasa takzim.

Ustadz Zaenurri. Dahulunya adalah santri dari Abah, ayah Faiq. Beliau berasal dari Kebumen. Setelah mondok selama lima belas tahun. Beliau dijodohkan oleh Abah dengan seorang gadis Desa Pringan. Akhirnya, beliau menetap di Desa Pringan dan mendirikan taman pendidikan Alquran bagi anak-anak kecil di Desa Pringan di rumahnya. Perjodohan di kalangan santri oleh para kiainya sudah lazim terjadi di kalangan pondok pesantren.

TPQ Darul Falah. Bangunan gubuk kecil yang amat menentramkan hati dan jiwa. Tempat dimana ilmu agama dasar dikaji oleh anak-anak usia dini. Mayoritas mereka teridiri dari anak-anak TK dan SD. SD kelas enam sudah dianggap anak paling senior disini. Membantu Ustadz Zaenurri bersama istri mengajar anak-anak yang masih dalam tahap iqra. Tempat ini tak akan mungkin Faiha lupa sepanjang hayatnya. Disinilah pertama kali ia mengenal dan menempa ilmu agama. Belajar agama sama saja belajar tentang kehidupan. Entah kenapa, Tiba-tiba Faiha teringat sabda Rasulullah bahwa salah satu dari taman-taman surga adalah majelis ilmu.

"Tamannya saja seperti ini, damai dan menentramkan. Apalagi surganya," gumam Faiha dengan memejamkan kedua mata. Terbawa arus suasana yang ada. Setelah beberapa saat menikmati aura kesejukan gubuk kecil itu. Matanya terbuka. lalu, ia tanggalkan standar sepeda ontelnya.

"Hati-hati Mbak Faiha, " kata seorang anak kecil berusia lima tahun yang ternyata sedari tadi memperhatikan gerak-gerik Faiha dari emperan rumah Ustadz Zaenurri yang dijadikan TPQ ( Taman Pendidikan Quran ). anak kecil itu dipangku oleh sang Ibu. Ia adalah anak Ustadz Zaenurri.

"Iya, Ziya.." jawab Faiha dengan senyuman yang lebar.

"Dadaaa... " ucap perempuan dewasa yang memangku Ziya. Ibu dari anak kecil itu dengan halusnya memegang tangan anak kecil yang sedang ia pangku. Diajarkannya melambai-lambai ke arah Faiha.

Setelah membalas dengan lambaian tangan, Faiha pun membalikkan sepedanya. Lalu dikayuh untuk dibawa pulang. Ia mengayuhnya pelan-pelan sembari melihat keadaan sekitar. Di Sore hari, mentari tidak terlalu bersemangat untuk menghangatkan bumi, tapi juga tidak terburu-buru untuk pergi. Maka, terciptalah di waktu itu suasana yang sejuk, menghilangkan suntuk. Apalagi sepulang dari ngaji, semua penat terobati. Faiha merasa menjadi orang yang paling bahagia di bumi, sore ini.

"Nggo, Bude... (B. Jawa~Mari, Bude)" sapa Faiha kepada seorang Ibu yang sedang meramban dong so di depan rumahnya. Dong so ini bukan nama dari Bahasa Korea atau semacamnya. Dong so adalah sebutan orang Jawa untuk daun yang masih muda dari pohon melinjo. Masyarakat biasa menggunakan daun ini untuk dibuat sayur lodeh.

"Yoo, Nduk.. " jawab Ibu itu, "Bar mantuk ko ngaji to? (Habis pulang dari ngaji ya?~Bahasa Jawa)

"Nggih , Bude, (B. Jawa~Ya, Bude)

Yang muda menghormati yang tua. Yang tua menyayangi yang muda. Saling sapa, menebar bahagia. Grapyak. Salah satu budaya Jawa yang mungkin kini mulai hilang eksistensinya. Banyak anak muda yang sekarang tak acuh dengan hal ini. Melintas di hadapan yang tua tanpa ucap sama sekali. Apa susahnya menyapa mereka, orang lain yang lebih tua. Para orang tua itu hatinya senang apabila disapa. Bukan, karena gila hormat agar terlihat lebih bermartabat. Akan tetapi ini tentang adab. Bagaimana seorang manusia itu memanusiakan manusia. Para orang tua yang disapa itu akan merasa dihargai, diakui keberadaannya walau hanya sekadar dengan ucapan "Nggo.. (Mari~Bahasa Jawa)"

Faiha kini sudah sampai di rumah. Terlihat Ibu sedang menaiki kursi, mengambil sesuatu di atas empyak (genteng rumah~Bahasa Jawa). Ternyata yang diambil ibu adalah tampah. Tampah adalah perabot rumah tangga yang sering digunakan orang Jawa untuk menampi beras, yaitu membersihkan beras dari kotoran-kotoran sebelum dicuci dan dimasak dengan cara di ayak secara manual dengan tangan. Tampah terbuat dari anyaman bambu, berbentuk bulat seperti piring, tetapi ukurannya besar. Kali ini Ibu tidak menggunakannya untuk menampi beras. Akan tetapi, untuk menjemur karak. Karak adalah kerupuk yang terbuat dari irisan-irisan gendar (adonan nasi yang telah diulen dengan bumbu rempah) yang dikeringkan dengan dijemur di bawah panas matahari. Karak-karak itu nantinya akan Ibu ditipkan ke warung-warung, seperti Warung Mbok Sumi. Sebagian disisihkan menjadi lauk untuk dimakan sendiri.

"Sudah pulang, Fa?" kata Ibu basa-basi sesaat setelah melihat putrinya menanggalkan standar sepeda ontelnya.

"Iya, Bu. Mas Yusuf dimana, Bu?"

"Ada, di kamarnya."

#

"Mas Ucuuuppp"

"Wa'alaikumussalam"

"Eh iya, lupa, Assalamu'alaikum"

"Wa'alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh"

"Mas Ucup sedang baca apa?"

"Yusuf. Y U S U F. Bukan Ucup!"

"Hehe, abisnya bagus Ucup. lucuu..."

"Ngejek apa gimana nih?"

"Mbah Jito panggil Mas Yusuf, Ucup, Mas Yusuf ngga papa, ngga marah. Ini kenapa kalau Faiha yang panggil mukanya jadi pahit gitu?"

Mbah Jito adalah tetangga Faiha. Rumahnya persis di samping Rumah faiha, hanya terpisah oleh sepetak kebun kecil yang ditanami bayam. Setiap kali di pagi hari ketika Mas Yusuf membuka jendela kamarnya terlihat Mbah Neni, istri Mbah Jito meramban bayam.

"Lah, kalau Mbah Jito mah udah tua, Fa. kalau kata burung kakatua yang hinggap di jendela giginya tinggal dua. Jadi Susah kalau mau panggil Yusuf, jadinya Ucup. Ya, Mas Yusuf maklumin, Orang kalau manggil Faiha aja jadinya PeHa kan? Mas Yusuf kira tingkat derajat keasaaman, Haha. "

"Derajat keasamaan itu apa?"

"Dahlah, pelajaran kimia anak SMA, mau dijelaskan pun Faiha ngga akan paham juga, ," kata Mas Yusuf malas. Adiknya ini selalu saja bertanya kalau mengenal hal baru yang belum diketahuinya.

"Oh ya, Mas Yusuf nanti mau ndak antar Faiha ke pesantrennya Kiai Malik?"

"Boleh, kesana mau ngapain?"

"Beli kitab."

"Kitab apa?"

"Mabadiul Fiqh."

"Mabadiul Fiqh Mas Yusuf punya."

"Oh iya ya. Mas Yusuf kan dulu pas kecil ngajinya juga di tempat Ustadz Zaenurri, kenapa Faiha bisa lupa?"

"Hmm.. coba cari di rak Mas Yusuf, yang sampulnya warna oren jilid 1, biru jilid 2, ungu jilid 3, hijau jilid 4."

"Yap, ketemu.." kata Faiha setelah celingak-celinguk di rak buku milik Mas Yusuf.

"Dah khatam kamu ngaji Qurannya?"

"Dah.. Baru sore tadi."

"Oh ya, Fa. titip ini buat Ustadz Zaenurri," Mas Yusuf memberi sebuah kotak pada Faiha. Kotak itu diambil dari lemarinya.

"What is it?"

"Apa sih, kepo, tinggal kasih aja."

"Kenapa ndak Mas Yusuf sendiri yang kasih? Kan setiap hari ketemu di masjid."

"Ngga akan mau Ustadz Zaenurri kalau Mas Yusuf sendiri yang kasih."

"Emang isinya apa sih?" Faiha menggoyang-goyangkan kotak itu.

"Sarung sama baju koko," Jawab Mas Yusuf segera agar Faiha berhenti menggoyang-goyangkan kotaknya.

"Nah, tinggal jawab aja gitu kan bisa, pake ngatain Faiha kepo segala," kata Faiha sambil tertawa kecil.

"Yayaya" kata terakhir yang keluar dari mulut Mas Yusuf sebelum ia kembali ke kursi kebesarannya untuk kembali membaca.

"Itu orang, belajar terus, ngga capek apa?" Faiha menggerutu lirih seorang diri, mengherani kakaknya, lalu Ia teringat kitab yang tadi diambilnya dari rak, ia raih, dibuka, dan mulai dibaca.

"Mal islaamuu, huwaddiinulladzii ba'atsallaahu bihii sayyidinaa muhammadan......" ucap Faiha, nada suaranya seperti anak kecil yang sedang membaca Alquran.

Mas Yusuf yang sedang melanjutkan membaca buku di kursi kebesarannya itu seketika mengeluarkan suara, ia sedikit tertawa..

"Itu kitab, Fa, ngga gitu bacanya, ya ngga salah sih, cuma lucu aja."

"Hehe, Faiha ndak tau, Mas. Susah bacanya, trus ini tulisan-tulisan arab kecil miring ini apa? kok beda sama yang biasanya,"

"Sini, biar Mas Yusuf kasih spoiler," kata Mas Yusuf yang seketika itu langsung menutup buku yang sedang dibacanya, "Ah, jadi keinget dulu pas Ustadz Zaenurri bacakan kitab ini persis di depan Mas Yusuf. " Mas Yusuf tersenyum kecil.

"Bismillahirrahmanirrahim.

(sual= soal) س

***Maa?***\, iku opo?

Al-islaamu, utawi kang aran islam.

ج (jawab)

Huwa, utawi kang aran islam iku..

Addiinu, agomo...

Alladzi ba'atsallahu, kang wus ngutus sopo Allahu, Allah...

Bihii, kelawan ad-din...

Sayyidanaa, ing bendoro kito...

Muhammadan, Nabi Muhammad..

Sholallahu 'alaihi wa sallam, mugo-mugo Allah paring rohmat ta'dzim lan keslametan , ing ngatase Nabi Muhammad.

Lihidaayatinnasi, kerono nuduhake para manungsa...

Wasa'aadatihim, lan kebahagiyaane para manungsa................................"

Mas Yusuf terbangun dari lamunannya. Ada selembar kertas yang jatuh dari halaman paling belakag kitab. Tulisan yang ada di kertas itu sepertinya ia kenal. Ah iya, itu tulisannya ketika ia masih duduk di bangku SMP.

-Goresan Pena -

Tentang Perbedaan

*Apa - apa yang dipandang oleh mata dan yang didengar oleh telinga memengaruhi cara pandang dan berfikir seseorang. Maka, BERBEDA itu wajar.*

Ketika kita tidak sama dalam cara, itu tak apa. Akan tetapi, kita harus saling bekerja sama demi mencapai tujuan yang sama, meskipun caranya beda. Saling menguatkan bukan menyalahkan, memberikan dukungan bukan melontarkan cacian. Memang susah mempraktiknya di lapangan, tapi bukankah bisa jika kita melakukannya dengan kelapangan?

BEDA itu jangan dijadikan sebagai ajang perpecahan, tapi himpun jadi sebuah kesatuan, berdasar asas keyakinan dalam ketakwaan kepada Tuhan.

Ingat secercah kalimat mutiara dari Sang Guru

Nilai sesuatu berdasarkan ilmu\, bukan hawa nafsu\, karena yang kita cari ini kebenaran\, bukan pembenaran dan kejayaan hanya bisa diwujudkan lewat persatuan bukan satuan-satuan***  \~Yang Terdalam

"Wowww..." kata Faiha yang ternyata juga ikut membaca tulisan itu.

"Faiha paham nggak maksud dari tulisan ini apa?" Faiha menggeleng. Mas Yusuf tersenyum kecil.

"Suatu saat pasti paham, yang penting jangan pernah berhenti belajar," ucap mas Yusuf meyakinkan.

Balkon pondok.Semuanya sudah diatur dalam syariat. Tugas kita hanya taat.

"Gus, sedang buat apa?"

"Mas Nawir! mengagetkan saja," kata Faiq tersentak. Dengan cepat ia membereskan kertas-kertas yang bercecer di depannya.Faiq seperti tak mau Mas Nawir tahu apa yang sedang ditulisnya.

"Hehe, ngapunten,Gus (Maaf~Bahasa Jawa) Lagian Gus Faiq serius sekali, memangnya yang ditulis apa, to? Sini tak pirsani (Sini, biar saya lihat~Bahasa Jawa)," kata Mas Nawir.

"Eh, jangan-jangan," tolak Faiq. Kertas yang tadi digenggam oleh tangan kanannya kini dipindah ke sisi badan sebelah kiri karena Mas Nawir mulai mempersiapkan diri untuk duduk di sebelah kanan Faiq. Bagi Faiq, kertas itu teramat keramat. Perlu dijaga karena ini rahasia. Lebih rahasia daripada kertas soal ulangan semester yang bertuliskan 'dokumen rahasia negara' di pojok atas sebelah kiri.

"Kertas yang akan menghasilkan nilai untuk dituliskan di rapor saja dilindungi negara, apalagi kertasku ini, kertas yang akan menghasilkan keputusan untuk keberlangsungan hidupku di masa depan," batin Faiq, "tak ada yang boleh mengetahui isinya kecuali aku, dia, dan Dia."

"Mas Nawir," panggil Faiq.

"Nggih? (ya?~Bahasa Jawa)"

"Mas Nawir, nate remen kaliyan tiyang estri? ( Mas Nawir pernah suka sama anak perempuan?~Bahasa Jawa)" tanya Faiq membuka obrolan antara ia dan Mas Nawir malam ini.

"Kenapa tiba-tiba panjenengan (Kamu, Anda~Bahasa Jawa Krama) tanya seperti itu, Gus?" jawab Mas Nawir terkejut. Selang beberapa detik kemudian ekspresi wajah Mas Nawir berubah menjadi cengar-cengir, "Wah jangan-jangan.................." lanjut Mas Nawir.

"Sudah, jawab saja pertanyaan Faiq," potong Faiq. Ia tahu pasti Mas Nawir akan menggodanya. Mata Faiq melirik ke arah Mas Nawir sejenak, lalu pandangannya ia alihkan ke langit. Entah mengapa langit malam ini seolah memiliki magnet yang menarik pandangan Faiq.

"Haha, Nate, ( Pernah~Bahaasa Jawa)" jawab Mas Nawir.

"Terus?"

"Nggih mpun (Ya sudah~Bahasa Jawa)."

"Eemmm, Mas Nawir tidak coba menyatakan perasaan ke dia?" tanya Faiq. Tangan kanannya menggaruk kepala dengan alis sebelah kiri yang sedikit terangkat, sedangkan Mas Nawir, bibirnya tersenyum, menyungging kecil. Sepertinya ia sadar bahwa anak kiainya ini sedang dilanda masalah hati. Waktu berjalan begitu cepat. Tak terasa, anak kecil yang sejak kecil selalu lengket dengan dirinya ini, kini telah beranjak remaja.

"Mboten, Gus. ( Tidak, Gus~Bahasa Jawa)"

"Kenapa?"

"Lare estrine mboten remen kaliyan kulo, ( anak perempuan itu tidak suka sama saya~Bahasa Jawa)" jawab Mas Nawir dengan cekikik.

"Tau darimana? Kan belum dinyatakan perasannya."

"Perasaan sayaaaa, bilang seperti itu, Gus." Jawab Mas Nawir dengan cekikik yang lebih keras dari sebelumnya.

"Ah, Mas Nawir bercanda saja," timpal Faiq kesal, tapi ia sendiri tidak kuasa untuk menahan tawa. Mas nawir sedang tidak berekspresi saja mukanya sudah membuat orang ingin tertawa. Apalagi kini ia sedang tertawa. Anak-anak santri lain bilang Mas Nawir ini memang punya wajah-wajah dagel.

"Lare jaler remen kaliyan lare estri niku wajar. Malah bahaya menawi lare jaler remen kaliyan lare jaler. Niku malah mboten dibeneraken dening syariat. Tentang hal-hal dan perasaan seperti itu semuanya dikembalikan kepada diri kita, Gus. Bagaimana cara kita mengelolanya. Maka, penting sekali kita belajar agama agar diri kita ini selamat."

"Memangnya, bagaimana cara mengelolanya?" tanya Faiq dengan polosnya.

"Yaa.. dikembalikan pada syariat, Gus. Biarkan saja dulu. Diamkan. Kalau bisa hilangkan. Jangan dipupuk atau disiram agar bertambah mekar. Jika sudah waktunya baru dinyatakan. Sayang, jika seorang pemuda waktunya ia habiskan untuk memikirkan hal yang pasti telah ditentukan untuknya. Mendingan dibuat ngaji to."

Tak merespon apa-apa. Faiq hanya manggut-manggut mencerna apa yang disampaikan oleh Mas Nawir, Hubungan Mas Nawir dan Faiq memang sangat dekat. Ibarat kakak dengan adik. Mereka tak punya hubungan darah tapi serasa sedarah karena dari kecil, Mas Nawirlah yang mengurusi Faiq.

"Yang ndak dibolehkan itu pacaran, tapi jika menyatakan agar dia tau? karena mungkin setelah ini kita akan lama tidak bertemu.. kan ndak pacaran, orang jauhan, agar sama-sama saling menjaga saja, " batin Faiq.

"Gus, nggo ngaos riyen," Ajak Mas Nawir, membuyarkan lamunan Faiq.

"Nggih,"

Keduanya beranjak dari balkon pondok lantai atas. Dari balkon itu ketika malam hari akan tampak rembulan yang memancarkan cahayanya dan bintang-bintang yang berkedip menyapa setiap pasang mata. Anak-anak santri menggunakan balkon itu sebagai tempat mengagumi ciptaan Tuhan-Nya. Sepasang mata menangis karena takjub. Sepasang mata lainnya menangis karena kerinduan akan ibu bapak.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!