Dena menatap rumah megah dua lantai itu dengan tatapan datar. Dia tak mampu beranjak dari taksi yang membawanya ke rumah tempatnya dibesarkan.
Dulu rumah ini adalah tempat terhangat yang dia miliki. Tempatnya pulang melepas semua penat ketika pulang sekolah. Rumah ini pernah menjadi tempat ternyaman baginya
Ya... itu dulu. Sebelum maminya meninggal dan kebahagiaan itu lenyap.
" Bener ini alamatnya, mbak?" tanya supir taksi yang dari tadi merasa keheranan karena Dena tak kunjung turun dari mobilnya.
Bahkan sejak memasuki komplek si supir mulai melihat gelagat tak nyaman di wajah cantik penumpang di belakang melalui kaca di depannya.
"Bener pak, saya cuma lagi mikir. Dan siapin mental." ucap Dena lalu terkekeh saat melihat ekspresi khawatir lelaki paruh baya itu.
"Ooh... Saya kira salah alamat." kata si supir dengan lega.
Dena membuka pintu mobil setelah menghela nafas panjang. Siap tidak siap dia memang harus kembali. Saat ini Dana, saudara kembarnya sangat membutuhkan dirinya.
Kaki Dena terasa berat melangkah ke arah pagar, sembari menunggu supir taksi mengeluarkan kopernya dia pun memencet bel yang ada di pagar.
Ada yang berbeda dari rumah ini.
Ah... ya. Pagarnya baru dan lebih tinggi dibanding lima tahun lalu. Bagian terasnya juga sudah direnovasi dan garasi yang kini terlihat lebih luas.
"Ini kebanyakan, mbak." kata supir taksi sambil mengembalikan beberapa lembar uang seratus ribuan ke arah Dena.
"Ngga apa-apa, pak. Ini rezeki bapak dan keluarga." kata Dena sambil tersenyum dan mengucapkan terimakasih.
Selang taksi tersebut pergi, Dena menatap penuh luka. Rumah yang menjadi tempatnya merasakan kebahagiaan, kehangatan sekaligus kehancuran.
Ingatan Dena kembali ke beberapa waktu sebelumnya.
"Seluruh harta berupa aset dan juga usaha nyonya Vania diwariskan kepada kedua anak kandungnya. Ardana dan Aldena." ucapan pengacara yang membacakan surat wasiat itu membuat tiga orang yang sedang duduk di ruang kerjanya menatap tak percaya.
Jika dua orang di sana justru merasakan kesedihan saat mengingat mendiang yang membuat surat wasiat itu. Berbeda dengan salah satunya, ekspresi tak terima, marah dan kesal justru terlihat jelas.
"Apa-apaan ini!!! Bohong... Surat itu pasti palsu!!" ucap seorang lelaki paruh baya yang begitu emosi saat mendengar isi wasiat mendiang istrinya.
Sementara di depannya ada dua orang yang terlihat berdecih, dengan tatapan meremehkan dan benci.
"Kalau memang Vania buat surat wasiat kenapa baru sekarang dibacakan. Itu tak masuk akal. Anda itu mau menipu ya." ucap lelaki yang bernama Tedi.
"Maaf pak Tedi, saya adalah pengacara yang ditunjuk resmi oleh almarhum bu Vania, bahkan sebelum beliau kecelakaan. Saya tidak melebih-lebihkan atau mengurangi isi wasiat beliau. Dan almarhum juga yang meminta agar surat ini dibacakan setelah lima tahun." kata Roland yang merupakan pengacara almarhum Vania.
"Tidak saya tidak terima. Ini pasti palsu. Kalian pasti bekerja sama." ucap Tedi menunjuk ke arah dua orang di depannya.
"Maaf, saya nggak setamak kamu. Untuk urusan warisan, hartaku jauh lebih banyak. Dan juga aku tak punya anak, jadi otomatis semua hartaku pasti akan jatuh ke tangan kedua keponakanku. Jadi jangan asal menuduh kami." ucap seorang lelaki yang terlihat berwibawa dalam balutan jas abu-abu.
"Saya juga, ngapain kerjasama buat hal begituan. Hidupku sekarang jauh lebih tenang dibandingkan hidup dengan anda. Apalagi om Albert selalu memenuhi semua kebutuhanku. Sesuatu yang tak pernah dilakukan oleh ayah kandungku." ucap wanita muda di sebelah lelaki bernama Albert.
"Kamu...Kamu kurang ajar ya Dena! Mentang-mentang kamu ikut sama om kamu. Durhaka kamu sama papi."
"Cih, papi." Dena berdecih sambil memalingkan wajahnya.
Tedi menunjuk Dena dengan marah, hendak mengeluarkan kata makian. Namun dia tak berani melakukan hal itu, karena sosok di samping Dena, putrinya bukanlah orang sembarangan.
Albert adalah kakak dari mendiang istrinya. Lelaki itu merupakan pengusaha yang cukup disegani di kota tempat tinggalnya kini.
"Saya tidak terima! Pokoknya saya tidak setuju dengan isi surat itu. Saya akan laporkan kamu, penipu." ucap Tedi sambil menatap Roland si pengacara.
"Terserah, jika anda keberatan silahkan tindak lanjuti. Kami tidak akan menghalanginya." kata Roland dengan merentangkan kedua tangannya.
Tedi yang merasa sudah kalah pun segera berjalan menuju pintu. Dia keluar dengan kemarahan yang akhirnya dilampiaskan pada pintu ruangan si pengacara bernama Ronaldo itu.
Brak!!!
"Gila bisa rusak tuh pintu." ucap Ronald sambil menggelengkan kepalanya tak percaya kelakuan Tedi yang dikiranya kalem ternyata tak punya etika.
"Kita lanjut saja ya. Masih ada beberapa poin yang belum saya bacakan."
"Salah satunya, Aldena Faradila putri kandung Vania harus menikah dengan lelaki yang sudah dipilihkan oleh Bu Vania sebelum dia meninggal dunia." kata Roland.
"Apa??!!!" Albert dan Dena berteriak bersamaan.
"Yang bener aja om, masa aku pake dijodoh-jodohkan sih. Ini bukan jamannya Siti Nurbaya. Om aku nggak mau!! Lagian, kalau soal harta, aku malas balik ke rumah itu lagi." kata Dena yang tak terima jika dia dijodohkan.
Kali ini gadis itu terlihat histeris seperti ayahnya tadi.
"Harus, Dena. Ini wasiat terakhir dari mami kamu. Dan sebaiknya kamu segera melangsungkan pernikahan di usia kamu ke dua puluh lima tahun. Dan juga...."
Ronal menjeda sejenak lalu menghela nafasnya sambil menatap Albert sebelum ke arah Dena.
"Dana... Dia juga sedang butuh kamu." ucap Ronal akhirnya.
"A_apa... maksud om?" tanya Dena yang seketika mendadak pias mendengar saudara kembarnya yang membutuhkan dirinya.
Kenapa? Apa Dana sedang kesusahan di Australia dan membutuhkan dirinya.
"Dana.. Dia sakit, dan butuh donor." kata Om Albert akhirnya.
Mata lelaki itu tak dapat menyembunyikan kesedihannya. Bagaimanapun, kedua ponakannya ini sudah dia anggap sebagai anak kandungnya.
"Waktu kamu nggak banyak, Na. Maka segera putuskan." ucap Om Ronald yang menatapnya dengan penuh harap.
Dan kini, Dena sudah memutuskan. Dia kembali, mengambil apa yang menjadi haknya juga hak saudara kembarnya.
Dena berjalan mendekati pagar dan melihat seorang wanita paruh baya yang keluar dari arah garasi.
Kini giliran wanita itu yang terlihat kaget dan hampir berteriak.
"Mbak Dena!!!" Bik Yun histeris sambil setengah berlari menuju pagar.
Wanita yang sudah lama bekerja di rumah ini bahkan tak bisa membendung air mata yang keluar bak keran bocor.
Bik Yun terlihat syok bahkan tangannya terlihat tremor, gemetar tak sabaran saat membuka gembok.
Dia ingin segera memeluk dan memastikan apakah benar gadis yang berdiri di balik pagar itu adalah nona mudanya yang telah lama pergi.
"Ya... Allah... Ya... Allah... Ini beneran mbak Dena. Ya... Allah. Akhirnya mbak Dena pulang." ucapnya di sela tangis.
"Iya, Bik. Ini Dena, si cantik dan imut." ucap Dena, mengingatkan kata-kata yang dulu sering dia gunakan di depan orang-orang terdekatnya.
Hanya saja sekarang Dena enggan menunjukkan sisi manja dan imutnya seperti dulu. Dia bahkan merasa bodoh jika mengingat tingkah centilnya dulu.
Bik Yun pun terkekeh lalu memeluk Dena, begitu erat seolah-olah takut jika gadis itu pergi lagi.
"Masuk yuk, mbak. Mulai panas ini." ucap Bik Yun sambil mengarahkan tangannya hendak mengambil koper milik Dena
"Eits.... Biar aku yang bawa, Bik. Di sini isinya harta karunku. Nanti bibik bawa kabur." ucap Dena yang segera mengambil kopernya.
Bik Yun pun mendelikkan matanya sambil mengomel seperti dulu.
Ya... Wanita itu tau, sebenarnya tidak ada harta karun di dalam koper biru dongker itu. Hanya saja gadis cantik ini terlalu baik dan tak ingin bik Yun kerepotan membawa benda itu di usianya yang menginjak lima puluh tahun.
Dena memejamkan matanya sejenak, sebelum memasuki rumah orang tuanya. Entah mengapa kini Dena merasa jika aura rumah ini sudah jauh berbeda.
Tak ada lagi kehangatan hanya ada dinding keangkuhan dan kesombongan yang terlihat dari pilar besar pada dua sisi yang menopang teras depan.
Koleksi bunga anggrek almarhum maminya pun kini berubah menjadi deretan tanaman dedaunan yang katanya berharga ratusan ribu bahkan jutaan per lembar daunnya.
Sialan.... Nenek lampir itu berani mengubah peninggalan maminya. Sepertinya, dia terlalu nyaman dan menganggap semua adalah miliknya.
Dena berbalik dan mengedarkan pandangannya ke sekeliling rumah dengan luas tanah empat puluh kali enam puluh itu. Tanah dan bangunan yang merupakan warisan peninggalan kakek neneknya kini dikuasai oleh parasit yang tak tau malu.
Home sweet home nya kini berubah jauh, menjadi scary house.
"Mbak Dena, bibik lupa. Kamar mbak Dena dikunci, disuruh sama mas Dana. Kuncinya bibik simpan di kamar." kata Bik Yun saat mereka hendak menaiki tangga menuju lantai dua di mana kamar Dena berada.
"Ya udah, bik Yun ambil aja. Aku masih ingat letak kamarku... Ya.. Jika belum diubah sama perempuan itu." ucap Dena sambil menahan kesal saat melihat isi rumah ini banyak berubah.
Beberapa furniture sudah diganti dan warna dinding yang dulunya berwarna putih kini sudah ada tambahan ornamen gold yang membuat Dena merasa sakit hati.
Rumah ini milik mendiang maminya. Wanita itu yang merancang dan mendesain bangunan yang berdiri kokoh ini. Tapi lihatlah wanita benalu itu berani mengganti dan merubah semuanya.
Bahkan berani memajang pigura besar berisi foto keluarganya.
Dena menatap foto itu dengan tatapan luka, berbanding terbalik dengan raut wajah empat orang yang terlihat bahagia dalam potret pernikahan seorang wanita yang dulu sering dikasihani nya dan lelaki yang begitu dikasihinya.
"Cih, tertawalah selagi bisa tertawa. Sudah cukup kalian bahagia diatas penderitaan orang lain." ucap Dena sinis sambil menatap tajam pada foto orang yang memberikannya luka begitu dalam.
Tak...tak... tak...
Suara hak sepatu terdengar memecah suasana sunyi rumah ini. Membuat Dena melengos malas saat melihat wanita licik yang berbalut pakaian mahal.
"D_Dena???" terdengar suara lirih dari wanita yang tak bisa menyembunyikan kekagetannya.
Dia adalah Karnasih alias Kana, istri baru papinya juga penghianat yang menusuk maminya dari belakang.
"Ka_kamu ngapain disini?" tanyanya lagi yang masih belum bisa menghilangkan rasa kagetnya.
"Cih... Harus saya jawab pertanyaan yang sudah pasti jawabannya." sahut Dena sinis.
"Setelah buat malu keluarga, kamu masih berani kembali ke rumah ini. Nggak tau diri kamu, Dena." ucap Kana yang berusaha menyembunyikan kagetnya saat mendengar ucapan Dena.
"Rumah ini..... rumah saya dan Dana. Hanya mengingatkan anda jika lupa." balas Dena lalu tersenyum miring.
"Dan saya juga bisa menuntut anda karena berani merubah dan mengganti peninggalan mami saya dengan benda-benda jelek ini." ucap Dena lamat-lamat sambil menunjuk foto pernikahan Asta, putri Kana.
"Kurang ajar kamu, Dena. Saya akan bilang ke papi kamu, kalau kamu berani melawan saya." suara Kana yang sudah mulai meninggi menunjukkan jika wanita itu sudah mulai emosi.
Dena tertawa keras mendengar ucapan istri baru papinya itu. Ya, walaupun Dena tau kalau Kana berani melapor pada papinya tapi gadis cantik itu sama sekali tak gentar.
Papinya memang cinta dan tunduk pada perempuan ular ini. Bahkan rela mengorbankan perasaan putrinya demi kebahagiaan putri wanita di depannya ini. Tapi, Dena yang sekarang bukanlah Dena yang dulu.
Dia kini punya kartu AS yang bahkan membuat Tedi, papinya itu tak bisa berkutik sama sekali.
"Silahkan...." ucap Dena sambil tersenyum manis, lebih tepatnya senyum penuh ejekan.
Matanya melirik dan mengkode Bik Yun untuk segera ke atas, membuka kamarnya.
"Ah... Jangan lupa sampaikan kepada papi jika Dena sudah kembali. Jadi, papi harus melakukan apa yang diperintahkan dalam wasiat mami." kata Dena sambil bersiap-siap mengangkat kopernya menaiki tangga.
"Apa maksudmu, Dena?!" tanya Kana yang wajahnya kini terlihat merah karena menahan emosi.
"Ups... Anda belum tau?" ucap Dena lalu meletakan sebelah tangannya ke bibirnya seolah menyesal karena keceplosan.
"Padahal kami baru bertemu beberapa hari yang lalu. Di kantor pengacara mami. Ya... Kami mendengarkan pembacaan surat wasiat resmi dari almarhum mami. Legal dan sah secara hukum, bukan cuma coret-coretan di selembar kertas." kata Dena dengan wajah mengejek Kana.
Sementara Kana mendadak pias mendengar kabar itu. Tedi, suaminya selama ini tak pernah menyembunyikan apapun darinya bahkan dari sebelum mereka menikah.
"Jadi anda paham dong kenapa saya bisa ada di sini. Masa nggak...." ucap Dena dengan wajah penuh kemenangan sebelum berbalik menaiki tangga menuju kamarnya.
Sembari itu, Dena mencoba mengatur nafas dan juga jantungnya yang berdegup kencang. Bukan karena takut, tapi karena mencoba menahan diri untuk tak menghancurkan wajah pelakor yang ternyata menyakiti maminya selama ini.
Dan bodohnya, selama ini Dena justru pergi meninggalkan semua milik mendiang maminya hingga bisa dikuasai oleh perempuan ular dan putrinya yang berhati busuk itu.
Dena akan mengambil kembali semua milik mereka, termasuk papinya. Bukan karena dia tamak, tapi itu memang hak Dena dan saudaranya.
Apalagi sekarang Dana sakit parah dan perlu biaya besar untuk pengobatan. Tak mungkin mereka membebani om Albert terus menerus. Walaupun Dena yakin om nya itu pasti selalu berada di garda depan untuk mereka
Dena berhenti di depan sebuah kamar. Manik coklatnya menatap sendu ke arah pintu berwarna hitam itu. Kamar ini milik saudara kembarnya, Ardana yang kini harus berjuang melawan penyakitnya.
Dana, saudara satu kandungannya divonis mengidap leukimia. Dan kini harus dirawat intensif di rumah sakit. Salah satu alasan kepulangan Dena juga karena ingin mendonorkan sel sumsum tulang belakangnya untuk Dana.
Karena hanya Dena yang cocok menjadi pendonor. Sedangkan paman Albert sudah tua, membuat Dena merasa tak tega jika lelaki itu melakukan transplantasi pada Dana.
"Mami.... Mas Dan... Aku pulang." ucap Dena sambil tersenyum sedih. Suaranya yang lembut menyebutkan nama panggilan kesayangan Dana sambil menatap pintu seolah-olah benda itu adalah kembarannya.
"Mas Dan, kamu harus sembuh, seperti janjimu. Maafin aku karena ninggalin kamu selama ini." ucap Dena sambil menahan diri untuk tak menangis walaupun matanya sudah mulai berembun.
Dena tak ingin menangis di rumah ini lagi. Sudah cukup dia lakukan lima tahun yang lalu. Tak hanya air mata, bahkan Dena meninggalkan rumah ini dengan berdarah-darah.
Namun, semuanya tak ada yang perduli. Kecuali Dana, saudara kembarnya dan juga Bik Yun.
Dena memasuki kamar lamanya, tak ada yang berubah. Bik Yun membuka gorden dan pintu balkon agar ada udara segar yang masuk.
"Mas Dan selalu minta bibi buat bersihin kamar mbak Dena. Katanya biar kalau mbak Dena pulang, kamarnya udah siap ditempati lagi." kata Bik Yun.
Dena hanya mengangguk mendengar ucapan Bik Yun.
Gadis itu melangkah ke arah balkon kamarnya dan menghirup udara sedalam-dalamnya. Matanya menyorot tajam ke arah taman samping. Dulu di sana ada beberapa pohon buah yang ditanam maminya, kini berubah taman dengan rumput sintesis dengan gazebo dibagian tengahnya.
"Nyonya Kara yang renovasi kebun samping, mbak. Biasanya Nyonya Kara pakai tempat itu kalau ada acara arisan atau kumpul sama teman-temannya." kata Bik Yun saat melihat mata Dena yang terpaku pada taman samping.
"Stop panggil dia nyonya di depan saya, Bik. Dia bukan siapa-siapa, hanya orang tak tau diri yang menumpang di rumah ini." ucap Dena datar.
Bik Yun mengangguk paham.
Tak lama terdengar suara mobil yang keluar dari garasi. Dena tersenyum miring saat melihat mobil merah itu.
Dena sudah menebak, akan pergi kemana si pengemudi mobil merah itu. Sudah pasti ke kantor suami laknatnya itu.
Ya memang keduanya sangat cocok, penghianat dan peselingkuh. Sungguh pasangan yang serasi.
Kana membanting tas mahal miliknya lalu tubuhnya ke atas ranjang di kamar yang sudah ditempatinya selama hampir enam tahun ini.
Raut wajahnya terlihat lelah dan menahan marah. Bagaimana tidak, ternyata suaminya menyembunyikan perihal wasiat yang ditinggalkan oleh Vania, istri pertama suaminya.
Setelah mendengar ucapan Dena, Kana segera pergi ke kantor suaminya. Perusahaan agen properti yang berada di pusat kota.
Perusahaan itu peninggalan Juan, ayah Vania. Dan satu-satunya aset yang tak bisa dikuasai oleh Tedi. Karena Juan memang mewariskan pada cucu lelaki satu-satunya, Dana.
"Vania sialan, udah pada mati masih aja ganggu hidupku dan mas Tedi. Kenapa jadi kacau begini, sih?!" Kana memaki wanita yang merupakan ibu dari Dena juga atasan tempatnya bekerja dulu.
Kana merasa terjebak, ternyata Vania tak sebodoh yang dia kira. Wanita itu diam-diam membuat surat wasiat yang sah dan legal melalui pengacaranya tanpa sepengetahuannya juga Tedi.
Mungkin Vania sudah mencium perselingkuhannya dengan Tedi sebelum dia meninggal. Sayangnya, saat itu Kana tak berpikir ke arah sana.
Dia terlalu senang saat mendengar jika Vania yang sempat sekarat karena kecelakaan, hingga Vania mengalami kelumpuhan pada kakinya.
Saat itu Kana fokus pada kondisi kesehatan Vania, tapi bukan untuk menyembuhkan melainkan sebaliknya. Kana mengganti obat-obat Vania dengan obat tidur.
Bahkan, Tedi pun tak mengetahuinya. Lelaki itu mengira jika Kana adalah wanita baik hati yang mau merawat Vania.
Padahal saat itu Kana hanya memasang topeng malaikat agar Tedi semakin terpikat dan tak mau lepas darinya.
Dan akhirnya, rencananya berhasil. Tedi menikahinya secara siri, seminggu setelah Vania meninggal.
Tentu saja hal itu karena Kana selalu menggoda dan membuat Tedi tergila-gila hingga bergulat panas di atas ranjang, bahkan jauh sebelum istrinya meninggal.
Klek...
Suara kenop pintu kamar yang diikuti suara lengkingan seorang wanita muda membuat Kana menjadi semakin pusing.
"Mama.... Beneran perempuan bego itu udah balik?" Asta langsung masuk ke dalam kamar dan tanpa basa basi lagi dia segera menanyakan kembali kabar yang didapatkannya.
"Jaga mulut kamu. Dan tutup pintunya sebelum ngomong." ucap Kana pada putrinya yang nyelonong begitu saja.
Asta pun melakukan perintah ibunya lalu duduk di ranjang tepat sebelah ibunya.
"Jadi beneran ma, Dena balik ke rumah ini?" tanya Asta sambil menggoyangkan lengan Kana.
"Iya, Asta." jawab Kana kesal.
"Dasar perempuan sundal. Ngapain lagi dia balik ke rumah ini. Padahal aku udah ngasih ancaman ke dia buat pergi jauh dari sini." Asta pun ikut kesal mendengar jika Dena sudah kembali.
"Kayaknya anak itu mau dikasih pelajaran lagi biar kapok." ucap Asta yang mengepalkan tangannya merasa ingin meremukkan Dena.
"Jangan macem-macem Asta. Posisi kita lagi nggak bagus. Papi kamu bisa ngamuk kalau tau apa yang kita lakukan malam itu." Kana memperingatkan putrinya.
"Lagipula, Dena sudah banyak berubah. Dia bukan lagi perempuan bodoh seperti dulu. Apalagi setelah surat wasiat Vania yang menunjuk jika Dana dan Dena adalah pewaris semua hartanya." ucap Kana dengan raut kesal.
Jika saja dia tau ada klausul itu, mungkin saat ini dia memilih menjadi istri rahasia Tedi.
"A_apa ma? Wasiat? Tante Vania buat surat wasiat?" Asta bahkan mengulang beberapa kali pertanyaan karena merasa tak percaya dengan apa yang di dengarnya.
"Si sialan itu, dia buat surat wasiat diam-diam dan melegalkannya secara hukum. Jika papi kamu nikah lagi setelah dia meninggal maka semua harta Vania hanya akan jatuh pada Dana dan Dena tanpa terkecuali." ucap Kana yang terlihat tak terima.
Sama saja dia menikah dengan Tedi yang miskin karena tak memiliki harta apapun. Dan Kana tak mau hidup miskin lagi.
"Ini nggak mungkin kan, ma. Setelah lima tahun kenapa baru sekarang surat wasiat itu dibacakan." kata Asta tak percaya.
"Papi kamu sudah membuktikan keabsahan surat itu, Asta." ucap Kana sedikit meninggi karena memang sangat kesal.
Memang surat itu dibuat oleh Vania, dan Roland, pengacara yang ditunjuknya adalah saudara dari ipar Vania.
Vania yang minta surat itu dibacakan satu bulan sebelum ulang tahun Dana dan Dena yang ke dua puluh lima.
"Sekarang kita jangan gegabah. Dena berani pulang ke rumah ini pasti sudah mempersiapkan semuanya. Kita bisa hancur kalau salah langkah." kata Kana, matanya menatap foto pernikahannya dengan Tedi.
"Maksudnya, ma? Aku hanya diam dan sabar kayak dulu. Nggak ya, ma... Aku nggak mau, inget kelakuan sok cantik dan centilnya dulu aja bikin aku kesel." bantah Asta sambil mendelik kesal pada mamanya.
"Kalau papi kamu aja nggak berkutik dan gak berani bersuara. Kamu bisa?" tanya Kana sambil menatap tajam pada putrinya yang selama ini hanya tau menghabiskan uang.
"Bisa kamu, Asta?" tanyanya lagi dengan nada lebih tinggi dibanding sebelumnya.
Asta yang melihat mamanya marah, mendadak ciut. Dia tak memiliki keberanian besar untuk melawan mamanya.
"Aku hanya takut ma. Gimana kalau Evan tau Dena kembali. Aku takut Evan goyah dan balik ke Dena. Aku cinta mati sama Evan, aku nggak mau kehilangan dia, ma." Asta mengungkapkan kekhawatirannya.
"Salah kamu sendiri. Lima tahun kamu nikah dengan Evan tapi nggak bisa kamu taklukin suami kamu. Padahal udah ada Cila, harusnya Evan bisa kamu kendalikan." bukannya kasihan, justru ucapan Kana malah memojokkan Asta.
Evan dulunya adalah kekasih Dena. Mereka berselingkuh dibelakang Dena hingga Asta hamil dan lahirlah Archila.
Sayangnya setelah menikah, Evan malah menjadi dan sering membawa wanita-wanita selingkuhannya ke hotel atau villa pribadinya.
"Aku udah usaha, ma. Aku udah lakukan semua yang mama bilang. Tapi tetap aja Evan bilang aku nggak cukup buat memuaskan dia. Dan aku lebih milih dia selingkuh daripada dicerai." kata Asta yang pasrah pada tingkah bejat suaminya.
"Tapi aku nggak rela kalau dia milih balikan sama Dena. Aku nggak sudi, ma. Pokoknya mama harus pikirin cara buat nyingkirin Dena."
Kana memijit pelipisnya, kepalanya semakin pusing mendengar ucapan Asta.
Saat ini Kana lebih fokus mengamankan apa yang sudah dia kumpulkan. Jangan sampai dia kehilangan semuanya.
Dia sudah banyak berkorban bahkan sudah merelakan tubuhnya dijamah banyak pria hidung belang agar bisa mendapatkan posisi ini.
Tanpa mereka sadari, di balik pintu kamar Bik Yun mendengar semua percakapan dua wanita ular itu.
Untung saja nona mudanya belum menikah dengan Evan, jika tidak pasti nasibnya tak akan jauh beda dengan nyonya besarnya.
***
Dena menatap sendu ke arah sosok lelaki yang tengah tidur di atas ranjang rumah sakit.
Lelaki yang dulunya terlihat ceria itu kini terkulai tak berdaya.
Wajahnya tirus dan pucat, tubuhnya pun kini terlihat sangat kurus.
Dena tak sanggup melihat lebih lama, dia pun segera keluar dari ruang rawat inap saudaranya.
Gadis itu pun menangis di depan kamar yang sudah menjadi tempat tinggal saudaranya selama kurang lebih satu bulan ini.
Sampai saat ini Dena belum sanggup menemui Dana jika lelaki itu dalam keadaan sadar.
Dena bingung, tak tau caranya menyembunyikan raut kesedihan di depan kembarannya. Dena tak mau jika Dana melihatnya menangis dan menambah beban pikiran lelaki itu.
Dena melihat Dana yang masih pulas tertidur akibat pengaruh obat dari kaca kecil di pintu.
Biarlah, dia melihat dari jauh dulu. Sampai Dena siap bertemu Dana.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!