NovelToon NovelToon

In Between

Punya Suami?

"Gak mau. Gue gak gila"

Gue berontak. Di depan gue sudah ada dua petugas rumah sakit jiwa yang siap bawa gue. Jelas gue berontak. Sudah cukup sekali gue mendekam di rumah sakit jiwa, ga ada kali kedua. Gue menatap muak ke arah Om Yuda.  Laki-laki setengah baya itu dalang di balik semua ini. Semua ketidakberuntungan yang harus gue hadapi setelah Papi Mami meninggal.

Om Yuda. Dia adik bokap gue. Satu-satunya keluarga yang gue punya setelah Kakek meninggal lima hari yang lalu. Dan sekarang dengan liciknya dia bikin seolah gangguan jiwa gue kambuh. Gue benar-benar tersudut. Secara umur, gue sudah berhak untuk menentukan hidup gue sendiri.  Tapi karena vonis dokter yang menyatakan gangguan jiwa gue kambuh, secara otomatis gue kehilangan hak otoritas gue. Dan sekarang pria licik itu punya kekuasaan sebagai satu-satunya wali gue.

Setelah kecelakaan yang menyebabkan kematian kedua orang tua gue tujuh tahun yang lalu, gue mengalami post-traumatic stress disorder. Hal itu wajar karena gue menyaksikan sendiri gimana detik-detik terakhir orang tua gue meninggal. Ini yang menjadi alasan gue dimasukkan ke tempat biadab itu. Jika bukan karena Kakek, mungkin gue masih mendekam di sana.

"Lepasin!" gue teriak. Tangan gue dicengkram kuat. Gue diseret keluar. Dari sudut mata gue bisa melihat senyum kemenangan Om Yuda. Brengsek. Umpat gue dalam hati.

Di tengah perjuangan gue meronta-ronta, tiba-tiba terdengar suara dari arah pintu masuk. "Lepaskan dia"

Kai? Gue mengernyit.  Dia pengacara kakek gue. Satu-satunya orang kepercayaan kakek gue. Ngapain dia disini?

"Kai? Ngapain kamu ke sini?" tanya Om Yuda.

"Pak Yuda, saya kesini untuk menjemput Krystal"

Sebuah senyum mengejek terukir di sudut bibir lelaki separuh baya itu, "Kamu nggak lihat kondisi keponakan saya". Om Yuda kembali memerintahkan dua petugas itu untuk membawa gue ke mobil. Gue meronta-ronta, mencoba melepas cengkraman mereka di tangan gue.

"Berhenti!" teriak Kai. Dia berjalan mendekat. "Lepaskan gadis itu sekarang!"

Gue masih terengah-engah, sementara Om Yuda dengan marah mendatangi Kai. "Kamu tidak punya hak apa-apa di sini, pergi dan jangan ikut campur urusan keluarga saya."

Dengan sangat percaya diri Kai menatap tajam ke arah lelaki yang lebih tua itu. Kemudian dia berkata, "Siapa bilang saya tidak punya hak. Saya punya hak sepenuhya atas istri saya, Krystal".

***

Otak gue masih mencerna apa yang baru saja terjadi. Suami? Gue punya suami?

"Klee". Suara itu membuyarkan lamunan gue. Laki-laki yang menyatakan diri sebagai suami gue beberapa waktu yang lalu itu memanggil nama gue pelan. "Kenapa lo nikahin gue?" tanya gue. Mata gue masih terpaku pada jalanan lenggang di depan. "Kakek kamu yang minta" jawabnya enteng.

"Dan lo mau nerima gitu aja? Gak mungkin. Lo pasti ada maunya kan?" cerca gue. Dia tertawa pelan dibalik kemudinya. "Kamu masih aja ya, ga percayaan sama orang". Iya bener. Sejak kematian kedua orang tua gue, banyak hal berubah. Dan itu menjadi alasan kenapa gue ga bisa percaya gitu aja sama orang-orang.

"Jawab gue!" bentak gue ga sabar.

"Nanti gue jawab, sekarang kita ga punya banyak waktu"

"Emang kita mau kemana?" gue baru sadar gue gak tau tujuan kita sekarang. Setelah Kai mengatakan kalau dia suami sah gue dan memperlihatkan video ijab kabul yang diwalikan Kakek, Kai segera membawa gue pergi dari rumah. Gue shock dan hanya terdiam di mobil sampai dia membuka suara.

"KUA"

"Hah? KUA?" gue refleks teriak. Tapi Kai masih dengan tenang mengemudikan mobilnya.

Tanpa ditanya lebih lanjut dia menjelaskan, "Kita memang sudah sah menikah secara agama, tapi belum secara hukum. Kita butuh tanda tangan kamu untuk mendaftarkan pernikahan kita."

Tunggu. Jadi secara hukum gue belum jadi istrinya. Bagus. Dengan sedikit jual mahal gue berlagak. "Kalau gue gak mau? Berarti kita ga jadi nikah dong" senyum simpul menghias bibir gue.

Mendengar perkataan gue, Kai menepikan mobilnya. "Gak masalah. Kamu bisa keluar sekarang kalau ga mau. Tinggal aku bilang talak dan kamu bebas. Kita bukan suami istri lagi."

Setelah mengatakan kalimat itu dengan sangat tenang namun menghanyutkan, dia membalikkan tubuhnya melihat tajam ke arah gue, "Tapi itu berarti kamu berada di bawah perwalian Om kamu lagi".

Cukup satu kalimat itu mampu menjungkir balikkan dunia gue. "Jadi gimana?" tanyanya. Gue masih diam, memikirkan keputusan terbaik yang harus gue ambil.

"Kita ga punya banyak waktu. Kalau Om kamu menyadari kita belum sah secara hukum, dia pasti tidak akan melepaskan kamu gitu aja."

Gue ga bisa berpikir jernih sekarang. Yang gue mau hanya pergi dari rumah itu, keluar dari kendali Om gue yang brengsek, dan yang jelas, gue gak mau masuk rumah sakit jiwa lagi. Dengan pikiran yang masih kalut gue pun menyetujui, "Oke. Kita ke KUA"

"Tapi dengan satu syarat."

Hah? Apa? Bisa-bisanya dia ngasih gue syarat.

"Aku mau nikahin kamu secara hukum kalau kamu terima syaratnya" ujar Kai.

Oke gue ladenin.

"Lo mau apa? Saham? Perusahaan bokap gue? Uang? sebutin nominalnya sekarang" ejek gue. Bener kan. Semua orang itu sama aja, baik kalau ada maunya.

"Gue mau lo kasih gue anak."

Satu Ranjang

Gue menatap pemandangan di bawah sana. Kendaraan berlalu lalang. Gedung-gedung menjulang tinggi di sisi kanan dan kiri. Beberapa orang terlihat berjalan tanpa bertegur sapa. Seolah sibuk dengan dunianya sendiri.

Dan di sini gue, di lantai lima belas sebuah apartemen mewah milik pengacara Kakek gue. Setelah selesai dengan segala urusan untuk mengubah status gue menjadi istri Kai, laki-laki itu membawa gue ke apartemenya. Dia bilang mulai saat ini kita akan tinggal bersama. Kita? Huh, kenapa kata itu terdengar sangat aneh.

Bodoh. Gue merutuki keputusan gue. Gue memang bodoh. Bisa-bisanya gue menyetujui persyaratan bodoh itu. Arrgggghhh...  gue pengen teriak sekencang-kencangnya. Meluapkan kekesalan gue yang membuncah di dada.

Oke. Tenang Klee. Sekarang pikirkan baik-baik. Gue ga punya jalan lain untuk melepaskan diri dari Om Yuda. Menikah dengan Kai memberikan alasan yang kuat agar Om Yuda tidak punya kuasa lagi atas hidup gue. Oke, dari satu sisi gue berhasil lepas dari jeratan Om Yuda. Tapi sekarang gue terikat sama Kai. Gue ga tau apa motif dia nikahin gue. Jadi gue harus cari tahu.

Gue kenal Kai satu tahun yang lalu. Dia pengacara handal, kepercayaan Kakek gue. Dia banyak bantuin gue dan kakek gue. Dia juga orang yang sudah berhasil membuat gue keluar dari rumah sakit jiwa. Berkat dia, gue berhasil mendapat penyataan dokter kalau gue sehat.

Tapi gue hanya beberapa kali ketemu dia. Gue ga tahu sifat asli dia atau latar belakang keluarganya. Gimana kalau dia cuma manfaatin gue? Pokoknya gue ga boleh lengah. Gue harus tetap hati-hati.

Dan tentang syarat yang dia ajukan, gue emang menyetujui, tapi jangan ngira dia bisa dapetin kemauannya gitu aja. Gue juga punya Plan B.

***

"Kamu ga suka makanannya?" Kai bertanya.

"Hah? E..enggak kok" buru-buru gue masukan makanan itu ke mulut gue. Kai pasti memperhatikan gue yang cuma membolak-balikkan makanan gue dari tadi. Bukan karena gue ga suka makanannya, tapi karena pikiran gue yang mengembara.

"Kamu lagi mikirin apa?"

Gue diem. Gimana bisa ngomonginya? Gue berusaha merangkai kata-kata.

"Jadi mulai sekarang gue tinggal disini" tanya gue mengawali perbincangan.

"Iya" jawabnya santai

"Ga bisa ya gue tinggal di tempat lain?" gue mencoba peruntungan.

"Ya ga bisa. Kita kan udah suami istri, sudah seharusnya kita tinggal bareng."

Enteng banget sih jawabnya. Kalau bukan keadaan gue ga bakal sudi nikah sama situ.

"Ya kan kita ga saling cinta. Gue mau nikah sama lo cuma karena mau lepas dari Om Yuda." Gue mencari pembelaan.

"Kalu gitu kamu tinggal belajar mencintai aku, beres kan masalahnya"

Brengsek memang tuh mulut. Dia pikir sesimple itu permasalahannya.

"Lo bisa serius ga sih? Kamu pikir sesederhana itu?" bentak gue.

Dia menghentikan makannya dan menatap gue. "Kamu pikir aku ga serius? Kamu sekarang sudah sah jadi istri aku. Itu artinya kamu tanggungjawab aku sepenuhnya. Kebutuhan kamu, keamanan kamu, keselamatan kamu, seluruh hidup kamu itu tanggungan aku. Dan sebagai istri kamu harus patuh sama suami kamu. Mengerti?"

Gue mengkeret. Ga salah dia disebut pengacara handal. Kharismanya sangat mengintimisasi. Gue terdiam. Ga bisa berkata sepatah kata pun. Gue cuma liatin piring gue, ga sanggup menatap lurus ke matanya.

"Habiskan makananmu. Setelah itu kau bisa mandi. Malam ini kau pakai saja dulu bajuku untuk ganti. Sudah aku siapkan di kamar kita. ".

"Huukhukkk" gue tersedak. Apa dia bilang? Kamar kita?

"Pelan-pelan". Kai menyodorkan satu gelas air putih yang langsung gue minum.

"Kamar kita?" tanya gue mencari kepastian.

"Ya. Kamar kita"

"Tunggu sebentar. Kenapa gue harus satu kamar sama lo? Gue ga mau." berontak  gue.

Masih dengan gaya santainya dia menjawab, "Ada yang salah kalau suami istri tidur satu kamar? Enggak kan?". Kai berdiri dari kursinya dan berjalan mendekat, meletakkan kedua lengannya di sisi kanan kiri pundak gue, memenjarakan gue dalam tatapannya. "Suka nggak suka kita akan tidur satu ranjang." Wajahnya semakin mendekat, "Bukankah sudah kubilang sebelumnya, aku ingin kau memberikanku anak, Klee"

Pesona

Tok tok tok.

"Klee? Kamu nggak pa pa kan di dalam?" suara Kai manggil-manggil gue dari luar. Sudah satu jam lebih gue berdiam di kamar mandi.

"Bentar" jawab gue asal. Duh! Gimana ini. Gue ga berani keluar. Berbagai macam spekulasi terbesit di pikiran gue. Apa yang akan terjadi setelah gue keluar dari sini? Gue perempuan dan dia laki-laki, kita sama-sama dewasa, cuma berdua dalam satu kamar, dan di kamar ini cuma ada satu ranjang. Sementara, kita sudah sah menjadi suami istri. Aduuhhh... gue ga siap.

Gak, gue ga boleh panik. Oke, let's think, Klee. Gue menarik nafas panjang mencoba menenangkan diri. Apa gue pura-pura pingsan aja? Tapi kalau nanti dia malah ambil kesempatan gimana? Atau mengendap-endap keluar lalu kabur? Hmm, gue ga bawa uang sepeserpun, mau nggelandang di jalan apa. Haduh gue harus gimana..?? Ayo dong Klee, pikir Klee.

Gue masih gelisah mondar mandir di dalam kamar mandi ketika suara Kai terdengar lagi dari luar. "Klee kalau kamu nggak segera keluar aku dobrak pintunya".

Mampus! Dengan perasaan was-was gue buka perlahan pintu kamar mandi. Sebotol parfum Bvlgari Man milik lelaki itu yang gue temuin di kamar mandi tergenggam erat di tangan gue. Attack on the eye! Hanya itu langkah pertama pertahanan diri yang bisa gue pikirkan kalau nanti Kai berbuat macam-macam.

Setelah membuka pintu, gue liat dia, bersandar di tempat tidur dengan satu tangan memegang buku dan tangan lainnya menggerakkan pena. Menyadari kehadiran gue, dia tutup buku itu dan menaruhnya di sebelah nakas. "Kamu kenapa diem di situ? Ga mau tidur?"

"Gue ga mau tidur sama lo!"

"Kenapa?"

"Gak mau ya ga mau"

"Ya udah terserah" Dia pun berbaring membelakangi gue, menyingkap selimut putih itu dan menutup separuh tubuhnya.

Gue pandangi sekeliling, tidak ada sofa, hanya ada kursi kecil di depan meja rias. Setelah meletakkan botol parfum di atasnya, perlahan gue mendekat ke arah pintu. Gue putar handlenya berharap  bisa keluar dan mendapat tempat untuk tidur di ruang lain. Tapi sial. Pintunya terkunci. Dasar brengsek.

Gue berbalik melihat Kai yang masih bergeming pada posisinya. Ego gue terlalu tinggi untuk merangkak ke tempat kosong yang tersedianya di sisinya itu. Akhirnya gue memilih tidur di lantai. Bodo kalau sekujur tubuh gue bakalan sakit-sakitan besok pagi.

Dinginnya lantai langsung menusuk setiap inchi tubuh gue. "Hatchuuu.... hatchu...." gue bener-bener ga bisa nahan buat ga bersin. Walaupun sudah payah mencoba untuk memejamkan mata, tetap saja tidak bisa tertidur.

Gue merasakan pergerakan seseorang yang mendekat. Seketika membuka mata, tubuh gue sudah berada di dalam rengkuhan Kai. Dia mengangkat gue dan menjatuhkan gue ke kasur. Sial! Kenapa parfumnya harus gue tinggalin tadi. Belum sempat gue berteriak memprotes, kedua lengan kekarnya memenjarakan gue, tubuhnya tepat di atas gue, dan wajahnya sangat dekat sehingga deru nafas hangatnya menyapu kulit gue. Gue tercekat. Dia sangat dekat dan menawan. Ya, harus gue akui dia punya pesona yang luar biasa. Pesona yang dapat membuat otak gue berhenti bekerja  hanya karena ditatap sedekat ini. Gue bisa lihat wajahnya dengan jelas. Rambutnya yang masih agak basah menjuntai menutup dahinya, matanya yang hitam kelam menenggelamkan kesadaran gue, dan bibirnya.. ohh, bibirnya yang tebal itu sungguh sangat menggoda. Belum lagi wangi maskulin yang menyeruak dari tubuhnya. Gue benar-benar terhipnotis.

Di tengah keadaan gue yang masih hanyut dalam pesonanya, Kai memecah keheningan dengan berkata, "Jangan tidur di lantai. Aku ga akan ngapa-ngapain kamu malem ini. Jadi tidurlah yang tenang di sini." Kai bangkit dari posisinya, menutup  separuh tubuh gue dengan selimut, kemudian kembali berbaring membelakangi gue. Sementara gue masih mematung dalam posisi yang sama. Sial.

Sadar Klee..!! Lo ga boleh lengah.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!