"Selamat pagi Mas ku sayang. Sarapan sudah siap meluncur ke perut Mas Nufus. Seperti biasa, aku masaknya dengan penuh cinta." Seru Nadia kepada suaminya dengan nada riang.
"Sudah ku bilang, tidak usah repot-repot melayani ku seperti suami. Itu hanya membuang waktu dan tenaga mu saja." Sahut Nufus datar, bahkan tanpa menoleh. Ia sibuk merapikan bajunya, bersiap pergi bekerja. Nadia tidak terusik dengan penolakan barusan, bahkan berusaha membantu merapikan penampilan suaminya. Namun Nufus menepis bantuannya dengan gerakan tubuh yang dingin.
Nadia Elvira selalu bersikap ceria dan manis kepada Nufus, seolah ia merasakan tidak sakit hati sama sekali dengan penolakan laki-laki itu. Itulah membuat Nufus semakin tidak bisa membuka hati untuk wanita tersebut. Selain karena Nadia pemaksa karena dialah yang menciptakan pernikahan ini terjadi, Nadia juga bukan tipe wanita yang nufus inginkan. Terlalu manja, naif, mudah menangis setiap kali Nufus bersikap membodoh-bodohinya, dan juga gemar mengadu.
Yang lebih membuatnya kesal, setiap kali ia bersikap terlalu keterlaluan, keesokan harinya pasti ia mendapat teguran dari orang yang sangat ia segani. Karena itu, satu-satunya cara agar Nadia pergi dari hidupnya adalah dengan terus membuat wanita itu tidak betah di sisinya. Ia berharap, cepat atau lambat Nadia akan menyerah dan meminta cerai.
"Kira-kira, kapan Mas Nufus bisa menerima kehadiranku sebagai istri?"
Wajah Nadia tidak lagi secerah tadi. Senyum yang sempat merekah kini menghilang, menyisakan setengah luka.
"Entahlah. Kalau aku bilang tidak akan pernah, siapa tahu ke depan berubah. Tapi kalau aku bilang bisa menerimamu, nyatanya saat ini aku bahkan belum bisa mencintaimu. Cinta itu tidak bisa dipaksakan, Nadia."
Nadia menunduk. Sekejap saja, lalu ia menatap kembali pria di depannya dengan suara yang terdengar tegar, meskipun hatinya tidak sekuat itu.
"Aku tidak akan menyerah mengejar cintamu, Mas. Suatu saat nanti, kita akan hidup bahagia kalau sudah saling cinta."
Nufus menghela napas pelan. Namun yang berikutnya keluar dari mulutnya bagaikan pisau.
"Kalau kau pergi, barulah aku bisa disebut bahagia."
Kejam. Tapi Nadia hanya diam. Sudah terlalu sering ia mendengar kalimat menyakitkan dari suaminya sendiri. Dia tahu betul bagaimana proses pernikahan mereka bukan karena cinta, tapi karena balas budi. Orang yang paling ditakuti Nufus, punya hutang budi pada orang tua Nadia. Dan lewat itulah, Nadia meminta bantuan kepada orang tuanya untuk dijodohkan dengan pria yang diam-diam sudah lama ia sukai.
Sayangnya, cinta sepihak seperti ini justru menyeretnya ke dalam luka yang panjang.
"Aku tidak akan pergi."
Nufus mendecak pelan, lalu bangkit dari duduknya.
"Terserah kamu. Tapi malam ini, aku akan mengenalkanmu pada seseorang."
"Siapa, Mas?"
"Perempuan yang akan kunikahi dalam waktu dekat. Dia orang yang aku cintai. Kalau kamu tetap memilih bertahan, kamu harus siap diduakan."
Tanpa menunggu jawaban, Nufus yang sudah rapi langsung melangkah pergi meninggalkan Nadia sendiri dengan perasaannya yang hancur.
...*****...
Nadia gelisah mendengar Nufus ingin menikah lagi. Dia memutuskan keluar rumah, menuju tempat seseorang yang bisa membantunya. Sambil terus bejalan setelah turun dari mobil, Nadia melewati kebun luas dengan langkah tergesa dan juga sambil berusaha menelpon.
Tinggal beberapa langkah lagi menuju tempat tujuan, tiba-tiba terdengar suara krak! dari atas pohon.
Nadia yang sedang tidak fokus, hanya sempat mendongak sepersekian detik sebelum, bruk! sebuah nangka jatuh menimpa kepalanya, lalu menjatuhkannya ke tanah. Meski Nangka itu masih seukuran nangka sayur, bobotnya tetap mampu membuat tubuh Nadia terkapar.
Seseorang yang ada diatas pohon--terduga pelaku tak sengaja penjatuhan nangka-- langsung cepat-cepat turun begitu melihat ada yang celaka dibawah sana. Orang tersebut bukan tengkulak atau pemanen resmi, gerak-geriknya menunjukkan bahwa ia tengah bersembunyi dari sesuatu. Benar saja, alih alih membantu, ia malah menatap sekilas tubuh Nadia yang tergeletak, lalu kabur terbirit-birit tanpa menoleh lagi.
Beberapa menit kemudian, beberapa warga sekitar yang mendengar suara debaman dan teriakan samar segera mendatangi lokasi. Mereka mendapati Nadia tidak sadarkan diri di tanah. Salah satu dari mereka langsung memeriksa nadinya. Masih ada detak meskipun lemah. Tanpa pikir panjang, mereka segera membawanya ke rumah sakit.
Di tempat lain, pada waktu yang hampir bersamaan...
Di sebuah markas tertutup, Nufus tengah menjalankan rutinitasnya sebagai koordinator sekaligus IT developer dari bisnis gelap yang sudah lama ia tekuni. Jemarinya lincah menari di atas keyboard, sementara matanya tidak lepas dari layar laptop yang menampilkan grafik transaksi dan jejak digital para pemain.
Ia menyesap kopi manis yang sudah menghangat. Sesekali matanya melirik ke ruangan di depannya yang berdinding kaca, ruang milik Bos X. Kursi kerja di sana kosong. Tapi hanya sebentar. Tidak lama kemudian, sosok itu melintas di depan meja Nufus.
Refleks, Nufus menunduk hormat.
Bos X bukan tipe pemimpin pendiam atau dingin seperti karakter CEO dalam drama. Wajahnya selalu menampilkan senyum, tapi senyuman menghakimi atau mengejek. Bibirnya seringkali tak pernah lepas dari tusuk gigi yang bergeser-geser saat ia bicara. Sikapnya santai tapi menohok. Seringkali hanya dengan senyum miring, ia bisa membuat anak buahnya merasa seperti tidak berguna.
Setelah memberi salam hormat kepada Bos X yang baru saja duduk di bangku kebesarannya, Nufus kembali fokus ke layar laptopnya. Tapi belum sempat menyesap kopi lagi, seorang rekan kerja menghampirinya dengan ekspresi setengah gugup.
"Fus," bisik rekannya sambil melirik sekilas ke arah ruangan Bos X, memastikan tidak ada yang menguping, "Ada gua dapet laporan kalau lu susah dihubungi. Ada berita penting buat lu."
Memang benar. Sejak beberapa waktu lalu, Nufus memutuskan untuk menonaktifkan semua notifikasi dari istrinya. Nomor Nadia dibisukan. Bahkan nomor tak dikenal pun sering diabaikannya. Baginya telepon yang tidak terdaftar hanyalah gangguan tak penting.
"Berita apa memangnya?" tanya Nufus tanpa menoleh.
Rekannya menunduk sedikit, mendekat ke telinga Nufus.
"Istri lu masuk rumah sakit."
Seketika alis Nufus terangkat. Ia berhenti mengetik.
"Kenapa dia masuk rumah sakit?"
"Kena celaka katanya. Tapi sekarang udah sadar, sih."
Nufus mengangguk-angguk santai. "Oh, ya udah." Dia malah lanjut kerja, bukannya bersiap-siap ke rumah sakit begitu dengar Nadia sudah siuman.
"Lho, lu nggak mau nyusul ke sana?"
"Buat apa? Toh dia udah sadar, berarti lukanya ringan. Paling lecet-lecet doang. Emangnya dia kecelakaan nabrak apa? Sepeda?"
"Astaga, bukan kecelakaan, Fus. Tapi kena celaka."
"Celaka gimana maksudnya?"
Rekan Nufus melakukan gerakan tarik nafas lalu buang perlahan, seperti sedang mengaturnya agar lebih tenang. Dengan bibir yang hampir berkedut, ia pun bilang dengan nada cepat.
"Istri lu ketiban nangka."
Nufus ikutan narik nafas, lalu melipat bibirnya. Dengan senyum yang tertahan, Nufus berkutat dengan HPnya, membatalkan rencana malam ini yang mempertemukan Nadia dengan seorang wanita.
Tanpa Nufus sadari, dibalik tawanya yang tertahan, sesungguhnya ada perubahan besar yang telah mengintai hidupnya.
.
.
Bersambung.
Nadia yang baru pulang dari rumah sakit menatap lekat-lekat sekeliling rumah tempat tinggal Nufus--yang kini menjadi tempat tinggalnya juga. Dari halaman depan hingga ke dalam rumah, pandangannya bergerak mengelilingi. Matanya menyapu setiap ruang dengan saksama, seakan tidak ingin melewatkan satu detail pun.
Melihat hal itu, Nufus sama sekali tidak terganggu. Lelaki itu hanya menyiapkan makanan dan meracik obat untuk Nadia tanpa menunjukkan perhatian lebih. Nufus itu kejamnya nanggung. Karena meski terlihat dingin, ia tetap menunjukkan sedikit rasa kasihan melihat lawannya tidak berdaya.
"Habis ini kau istirahat. Aku tidak ada waktu untuk mengurusmu," ucap Nufus datar.
Nadia menoleh, memicingkan mata sejenak sebelum menjawab dengan nada santai, "Baiklah. Tapi kalau aku ingin keluar, boleh kan?"
Pertanyaan itu membuat alis Nufus terangkat sedikit. "Terserah, yang penting jangan menyusahkan ku."
Nadia hanya tersenyum sekilas, acuh tak acuh, lalu kembali mengamati isi rumah. Sementara itu, Nufus terlihat sibuk bersiap-siap hendak pergi, entah ke mana.
Tiba-tiba di tengah kesibukan itu, Nadia bertanya, "Kamarku yang mana?"
"Kau amnesia?"
"Enggak. Cuma mau menyegarkan ingatan. Kita tidur terpisah, kan? Tapi aku lupa aku tidur dimana?"
"Iya. Kamarmu di sebelah sana."
"Oke." Nadia pun berjalan santai ke arah yang ditunjuk Nufus.
Sementara itu, Nufus memandangi punggung Nadia dengan pandangan agak ragu. Ada yang terasa berbeda. Apakah Nadia mengalami geger otak? Atau mungkin amnesia ringan? Tapi hasil pemeriksaan bilang dia baik-baik saja.
Karena Nufus kembali teringat rencananya untuk menghadirkan seorang wanita di hadapan Nadia, ide itu langsung ingin ia realisasikan malam ini juga. Rasa penasarannya terhadap sikap Nadia yang sedikit berubah membuatnya ingin tahu seperti apa reaksi perempuan itu.
Tepat sebelum Nadia beranjak masuk ke kamar, Nufus meraih tangannya. Namun, yang mengejutkan Nadia langsung menarik diri dengan refleks, seperti tidak suka disentuh oleh Nufus.
Aneh.
Biasanya Nadia selalu mencari-cari alasan untuk bisa dekat dengannya. Tapi kali ini berbeda.
"Ups, sorry suami. Kau mencekalnya terlalu kencang, jadi aku refleks melindungi tanganku," Begitu kata Nadia sambil tersenyum tipis.
Nufus hanya mengangguk pelan. Tapi hatinya terusik.
"Ada yang ingin kau bicarakan?" tanya Nadia, menatap Nufus.
"Aku cuma mau bilang, kalau kau mau keluar, jam sembilan malam harus sudah di rumah. Seperti yang sudah kubilang sebelumnya. Malam ini aku akan mengenalkanmu pada wanita yang akan aku nikahi."
Nadia memicingkan mata lagi sebentar, lalu mengangguk.
"Oke."
Cuma itu. Satu kata yang bikin gusar. Respons yang terlalu datar itu membuat Nufus terpancing untuk mengusik lebih jauh.
"Kau tidak perlu marah. Kau harus bisa menerima kenyataan ini."
Nadia tersenyum. Dalam hatinya ia mencibir, sengak juga ini lelaki.
"Iya, tenang saja. Aku tidak marah kok. Santai aja. Bawa aja ke hadapan ku malam ini. Siapa tahu kami bisa jadi besti." Ia bahkan sempat mengibas tangannya dengan cuek.
"Bagus kalau begitu," sahut Nufus tersenyum miring. "Jadi aku tidak perlu repot menghadapi hati perempuan yang sakit hati."
Nadia tertawa pelan, lalu mengangkat wajah menatap Nufus.
"Oh iya, aku cuma mau bilang satu hal"
Ia menyipitkan mata sambil menahan senyum.
"Kau programmer ya?"
Nufus mengernyit. "Darimana kau tahu?" Nufus mengeryit, selama ini Nadia tidak pernah dia ceritakan tentang profesinya. Bahkan wanita itu tidak tahu pekerjaan detail Nufus seperti apa. Jika Amnesia sudah pasti memori kenangan akan lupa. Tapi ini? Kadang Nadia lupa, kadang juga juga dia tahu apa yang sebelumnya dia tidak tahu.
"Mudah ditebak," jawab Nadia santai.
"Mukamu itu keliatan banget kalau kamu paham logika, ngerti struktur, dan tahu cara nyelesaiin bug. Tapi aneh, ya… hubunganmu dengan orang justru crash."
Nufus terdiam.
Belum sempat ia membalas, Nadia melirik ke arah pintu dan bergumam lagi.
"Ah iya, satu lagi. Lemari itu terlalu dekat pintu. Mending digeser sedikit ke sana."
Ia menunjuk sudut ruang yang lebih terbuka.
"Biar ruangannya punya alur. Sekarang, begitu masuk, rasanya kayak langsung mentok."
Lalu dia melangkah pergi ke kamar, meninggalkan Nufus yang kini berdiri diam, dilingkupi rasa penasaran yang makin dalam.
...***...
Malam itu, Nufus membawa seorang wanita ke hadapan Nadia. Istrinya itu menyambut kedatangan jallangnya Nufus dengan senyum hangat. Nadia bersikap manis, mengatakan bahwa ia senang ada teman di rumah. Ia berharap mereka bisa bekerja sama dengan baik sebagai sesama istri nantinya.
Senyuman Nadia bukan tanpa maksud. Ia sengaja ingin membuat Nufus kesal lebih dulu. Nadia tahu benar tujuan Nufus membawa wanita itu ke rumah.
Maaf ya, aku tidak gampang diguncang dengan permainan murahan begini. Gumam Nadia dalam hati.
Sementara itu, wanita yang dibawa Nufus tampak begitu mendominasi. Tangannya tidak pernah lepas dari lengan Nufus. Ia bahkan tidak repot-repot bersikap ramah seperti Nadia. Tatapannya sinis dengan senyumnya meremehkan.
"Mau kubuatin minum apa?" tanya Nadia.
"Apa aja, asal kamu yang buat," jawab wanita itu, lalu jeda sejenak sebelum menambahkan dengan nada menyindir, "Eh, tapi enggak usah deh takut diracun lagi."
"Hehe, santai aja kali. Aku gak sesakit hati itu sampai niat ngeracunin kalian," sahut Nadia.
Jallangnya Nufus hanya mengerling malas, tidak membalas lagi. Sementara Nufus mengamati wajah Nadia, dan mendapati istrinya itu masih tersenyum.
Kita lihat sampai kapan kamu bisa pura-pura tidak sakit hati liat aku sama perempuan lain, batin Nufus.
Tanpa aba-aba, Nufus menarik wanitanya, mencium bibirnya dengan penuh nafsu. Ia mengangkat tubuh perempuan itu ke atas meja, dan ciuman panaas pun terjadi di depan mata Nadia.
Nadia menyaksikan itu langsung berseru,
"Woy, woy! Kalau mau kayak gitu, di kamar aja."
Tapi keduanya tidak menggubris. Maka Nadia pun duduk santai, menonton seolah sedang menyaksikan pertunjukan. Sesekali dia berkomentar tentang gerakannya yang kurang luwes.
Mendengar itu, Nufus menghentikan aksinya. Ia kesal bukan main dan langsung mengacak benda yang ada di hadapannya.
Dasar cowok gila.
Nadia tersenyum penuh kemenangan.
.
.
Bersambung.
Paginya.
Tidak ada lagi ucapan good morning dari Nadia seperti biasanya. Tidak ada juga sarapan yang biasa disiapkannya dengan penuh cinta. Yang ada hanya Nadia yang santai duduk di ruang tengah sambil menonton televisi.
Semalam pun, setelah kejadian rencana gagal berujung memalukan yang sengaja dipertontonkan Nufus, ia sempat penasaran. Diam-diam Nufus berinisiatif mengintip ke kamar Nadia. Dalam pikirannya, mungkin saja Nadia hanya pura-pura tegar di depan hanya karena demi membalas perbuatannya selama ini, dan saat sendirian ia akan menangis tersedu-sedu, menangisi cintanya yang pilu.
Namun waktu itu yang Nufus lihat justru sebaliknya. Nadia sedang tengkurap di tempat tidur, asyik membaca komik dan tertawa lepas seperti tidak ada beban.
Nufus hanya bisa menghela napas sekarang.
Ya bagus. Bukannya ini yang lu mau, Fus? katanya dalam hati.
Tapi entah mengapa, ada rasa tidak nyaman yang menggelayuti dadanya. Rasa ingin tahu yang tiba-tiba tumbuh, tentang apa sebenarnya yang terjadi dengan Nadia. Apalagi wanita itu tampak pintar sekarang.
"Nggak masak?" tanya Nufus akhirnya.
Nadia tidak menoleh. Tapi dia bangkit dari rebahannya, mendekat ke toples camilan yang ada di meja. Ia mengangkat toples itu lalu mengajaknya bicara. "Apakah dirimu yang bertanya padaku barusan?" ucap Nadia ke toples.
Nufus berdecak.
"Aku yang bertanya, Nadia. Kamu tidak masak sarapan?"
Kali ini Nadia menoleh. Bibirnya membentuk huruf "O" sebelum menjawab, "Aku masak, tapi cuma buat aku sendiri. Soalnya kamu tidak pernah makan kalau aku yang masak. Sayang kan kalau dibuang."
Nufus tidak menjawab, diam-diam ia tersenyum tipis.
"Kalau aku bilang sekarang ingin makan masakan buatanmu, kamu masih bersedia masak untukku?" tanya Nufus sambil menatap wajah Nadia.
"Tentu tidak. Sudah jam berapa sekarang? Tidak ada waktu lagi untuk masak sarapan buatmu."
"Cuma roti tawar dioles selai pun cukup," kata Nufus mencoba bernegosiasi.
"Selainya sudah habis. Yang ada cuma bahan-bahan mentah yang butuh dimasak. Rotinya juga sudah aku makan tadi."
Nufus sempat berpikir. Iya juga, selai itu memang sudah habis dari kemarin. Dia baru ingat.
"Kalau gitu, pilih aja bahan yang bisa dimasak cepat. Aku tunggu."
"Sepertinya tidak bisa juga. Kalau aku masak untukmu, bisa butuh waktu lama. Bisa berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun."
"Kenapa begitu?"
"Karena aku masaknya harus pakai cinta. Sudahlah, pakai yang simpel aja. Beli sarapan. Nih, aku kasih uangnya." Ia menyodorkan uang seratus ribu sambil nyengir.
Nufus menarik napas panjang, lalu berkata pelan, "Simpan aja. Aku masih punya uang sendiri."
"Oke," sahut Nadia singkat lalu menyelipkan kembali uangnya ke dompet. Senanglah dia uangnya tidak jadi berkurang.
Saat Nufus berbalik dan melangkah berangkat mencari nafkah, Nadia mengekor di belakang. Begitu pria itu sampai di ambang pintu, Nadia mengangkat tangannya, melambai hus hus seperti sedang mengusir ayam.
Lelaki itu menoleh, untungnya Nadia sudah kembali bersikap biasa.
"Aku berangkat."
Biasanya kalau Nufus bilang begitu, Nadia yang dulu selalu menyambut dengan kata-kata manis. Atau bahkan kadang-kadang nufus pun suka lupa berpamitan.
"Iya." Satu kata itu saja yang dilontarkan Nadia. Tidak ucapan hati-hati di jalan yang disematkan.
Pergi juga dia.
Nadia lekas menutup pintu. Ada rasa lega yang menyelinap di dadanya. Akhirnya jam kepura-puraan sudah tiba. Hari ini, dia sudah menyusun daftar kegiatan, salah satunya melanjutkan aktivitas dari hasil jalan-jalan kemarin. Saat itu, sebelum kejadian Nufus membawa wanita ke rumah, Nadia sempat keluar rumah dan menemukan sesuatu yang entah bagaimana menyulut sisi mata-mata dalam dirinya keluar.
Sejak saat itu, ia mengisi harinya dengan semangat baru. Menyelidik, mengamati, atau bisa saja ikut terlibat.
Sementara itu,
Nufus baru saja beberapa langkah hendak memasuki mobil ketika ponselnya berdering. Ia segera mengangkatnya, ternyata dari bosnya. Dengan nada tergesa, bos meminta Nufus segera datang ke kantor. Hari ini, sang bos ada urusan di luar dan ingin Nufus mengambil alih penuh segala urusan di kantor.
...****...
Di tempat pemancingan.
Nadia datang membawa peralatan pancing lengkap. Di tengah kerumunan para pria, kehadirannya jelas menarik perhatian. Seorang perempuan mancing sendirian? Sudah pasti jadi sorotan. Beberapa ada yang iseng ingin menggoda, tapi yang kenal Nadia, langsung mengurungkan niat karena takut kena semprot si Nufus. Ada juga yang heran, tumben Nadia mancing. Bukannya cewek itu biasanya feminin banget?
Tidak lama, Xadewa muncul. Penampilannya santai, bahkan terkesan asal-asalan. Sandal jepit, topi lusuh, kaus belel, dan ember plastik kecil berisi alat pancing murahan. Dengan pongah, ia berjalan mendahului Nadia menuju spot terbidik yang sejak awal sudah diincar Nadia.
Melihat tempat incarannya diserobot, Nadia tidak tinggal diam. Dia ikut duduk di samping Xadewa, menunjukkan kalau dia juga menginginkan tempat itu.
Xadewa, yang sedang sibuk menggulung lumut di kail, refleks menoleh saat merasakan kehadiran orang di sampingnya. Pandangannya terhalang. Wajah Nadia belum terlihat jelas karena dia juga sedang sibuk memasang umpan.
“Heh, ungu.” panggil Xadewa, melihat warna baju Nadia.
Nadia menoleh. Saat wajahnya terlihat, Xadewa terdiam. Ada sesuatu yang familiar.
Ini cewek yang gua nikahin sama Nufus bukan si? gumamnya dalam hati. Tapi dia ragu. Terlalu banyak urusan membuat ingatannya akan hal-hal kecil jadi samar.
"Kenapa, Bang?" tanya Nadia datar.
Kayaknya bukan. Istrinya Nufus nggak kayak gini orangnya. Kelihatannya dia juga nggak kenal gua. Tapi kok mirip ya? Ah, tau ah. Lupa!
Xadewa menghela napas. Lalu dia mengeluarkan uang dari sakunya.
"Tolong pindah ya. Ini kompensasi buat nyari tempat lain."
"Ih, gak mau lah, Bang. Bagi-bagi tempat ya. Saya juga mau di sini."
Xadewa jengkel setengah mati. Biasanya orang langsung minggir kalau dia yang bicara. Tapi kali ini? Dilawan! Namun ia menahan diri, takut misinya gagal.
"Yaudah, tapi jangan banyak gerak ya, kepalanya diem. Biar fokus."
Baru mau jawab perintah Xadewa yang aneh kenapa dia tidak boleh banyak bergerak, Nadia lebih dulu matanya bertemu dengan kail Xadewa. Ini kolam ikan lele tapi umpan nya lumut. Astagaa...
"Bang, yaelaaah. Kayaknya abang deh yang salah tempat. Duduk di sana tuh, kalau mau pakai lumut. Di kolam mujaer. Lele mana makan begituan. Dia itu umpannya cacing, jangkrik."
Xadewa natap kailnya. Lah iya bener kenapa dia masangnya lumut. Mungkin ia terlalu fokus membidik target.
Tidak mau debat lagi karena takut jadi pusat perhatian soal salah umpan, Xadewa langsung ganti. Tapi detik kemudian dia langsung bangkit karena targetnya telah pergi. Xadewa terburu-buru pergi dari sana sambil ngomel-ngomel dalam hati. Merutuki kenapa dia harus bertemu Nadia.
Nadia yang lagi bicara, "Bisa juga pakai ko'ot bang, tau gak ko'ot? " Eh menengok, Xadewa ternyata sudah tidak ada. Dan Nadia lihat ke targetnya pun sudah tidak ada ditempat.
Ya ampuun, jadi hilang kan. Gara-gara si abang tadi nih. Nadia pun ikutan pergi sambil ngomel-ngomel dalam hati.
.
.
Bersambung.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!