"Kau tahu rasanya ditusuk dari belakang? Bukan oleh orang asing, tapi oleh orang yang paling kau percaya?"
Adelia menggenggam leher botol wine yang dingin, duduk menyendiri di tepi balkon kamar hotelnya di Bali. Malam menurunkan suhu, tapi wajahnya masih panas oleh amarah dan luka. Di balik balutan kimono tipis hotel, tubuhnya terlihat rapuh, tapi matanya menyimpan sisa amarah yang belum tumpah.
"Aku mempercayai mereka berdua..." bisiknya, menenggak lagi isi gelasnya. "Sahabatku dan kekasihku sendiri. Dan mereka malah menikah."
Tak ada yang menjawab. Hanya debur ombak yang menyambut setiap keluhnya.
Hari ini harusnya menjadi hari pertunangannya dengan Reno. Tapi kabar yang ia terima malah foto kemesraan Reno dengan Karin, sahabat terdekatnya sejak SMA. Dunia seperti menghantamnya tanpa ampun. Maka Adelia memesan penerbangan ke Bali tanpa rencana—hanya ingin pergi sejauh mungkin.
Dan kini ia di sini, dengan setengah botol wine tersisa dan hati yang lebih kosong dari kamar hotelnya.
Saat langkah kaki mendekat, Adelia tidak menoleh. Ia hanya sadar ada seseorang yang ikut berdiri di balkon itu. Seseorang dengan suara tenang dan napas berat.
"Seharusnya wine diminum dengan seseorang yang bisa mendengarkan, bukan dengan kenangan."
Suara laki-laki. Dalam dan tak asing. Tapi bukan suara Reno, dan itu justru membuatnya merasa lebih aman.
Adelia menoleh perlahan. Pria itu berdiri di ambang pintu balkon, tubuh tinggi menjulang dengan setelan kasual—kaus putih bersih dan celana linen abu-abu. Rambutnya sedikit berantakan seolah baru saja keluar dari kamar. Wajahnya teduh, dengan sorot mata tajam yang tak menghakimi.
"Maaf, aku tidak sedang mencari teman bicara," ucap Adelia pelan, mencoba tegas.
"Tapi wine-mu seolah mengundang siapa pun untuk duduk dan berbagi kesedihan."
Adelia tertawa kecil, sinis. "Lelaki tak dikenal bicara seolah mengenal rasa sakit."
"Karena aku memang mengenalnya."
Pria itu maju perlahan, duduk di kursi rotan di sampingnya tanpa diminta. Tangannya menyodorkan gelas kosong. Dengan ragu, Adelia menuangkan sedikit wine untuknya.
"Namaku Reyhan," ucapnya. "Dan kau?"
"Adelia."
Reyhan menyesap pelan minuman di tangannya. "Jadi, siapa yang menghancurkanmu?"
Adelia menatap laut. "Orang yang kupikir akan menua bersamaku. Tapi ternyata hanya singgah sebelum menikahi sahabatku."
"Klasik, tapi menyakitkan."
"Dan kamu?"
"Aku juga ditinggalkan. Tapi bukan karena orang ketiga. Karena aku terlalu ... datar, katanya. Tidak membuatnya berdebar."
Sunyi sejenak. Hanya suara malam yang menjadi latar.
"Lucu ya," ujar Adelia, lirih. "Kita tidak saling kenal. Tapi justru malam ini, kau terasa lebih jujur daripada semua orang yang pernah kukenal."
Reyhan menatapnya dalam. "Mungkin karena aku tidak punya apa-apa untuk dimenangkan."
Senyum Adelia pudar. Matanya mulai memerah. Dan tanpa sadar, ia bersandar pada Reyhan—pelan, seperti mencari tempat berlindung. Pria itu tidak menolak, hanya membiarkan kepalanya menyentuh bahunya.
Entah siapa yang lebih dulu memeluk. Entah siapa yang lebih dulu membisikkan, "Kamu tidak sendiri malam ini."
Dan malam itu, tubuh mereka menyatu dalam diam. Bukan karena nafsu, bukan karena cinta. Tapi karena luka yang sama.
Ciuman mereka dimulai lembut, seolah saling menghibur kesedihan yang mengendap di dada. Sentuhan Reyhan terasa tenang, dewasa, dan menghargai batas. Tapi Adelia justru menurunkan batas itu sendiri. Ia ingin melupakan. Ia ingin sejenak merasa dicintai, atau setidaknya dipeluk tanpa pengkhianatan.
Kemeja Reyhan terlepas perlahan, begitu juga kimono tipis milik Adelia. Di bawah kelambu kamar, mereka larut dalam pelukan dan bisikan yang tak perlu dijelaskan. Dalam keintiman malam itu, tak ada nama mantan, tak ada luka lama. Hanya mereka—dan sunyi yang sejenak terasa damai.
Mereka tertidur dengan tangan masih saling menggenggam.
Keesokan paginya, Adelia terbangun lebih dulu. Reyhan masih terlelap, wajahnya tampak lebih tenang tanpa beban malam.
Adelia menatap pria itu lama. Hatinya terasa aneh. Ia tak tahu siapa Reyhan sebenarnya, tapi pelukannya semalam terasa lebih nyata dari hubungan bertahun-tahunnya dengan Reno.
Ia bangkit, mengambil pakaiannya perlahan dan meninggalkan kamar tanpa meninggalkan pesan apa pun. Bukan karena menyesal, tapi karena takut. Takut pada kemungkinan bahwa Reyhan bisa melukainya juga.
Hari itu, ia menerima satu pesan di ponselnya. 'Undangan Pernikahan Reno & Karin – Sabtu, 14.00, Jakarta Convention Hall'
Adelia memandangi layar ponsel lama. Jantungnya berdegup tak menentu. Tapi kali ini, tak ada air mata. Tak ada amarah.
"Kalian berdua sangat menjijikan," bisiknya pelan dengan umpatan di pagi hari.
Ia mematikan ponsel, membuang undangan itu ke tempat sampah hotel, dan memesan penerbangan pulang. Ia tak akan datang ke pernikahan orang yang mengkhianatinya. Bukan karena masih sakit hati—tapi karena hatinya sedang belajar untuk sembuh.
Menyentuh ke sisi kiri ranjang, tak ada siapapun. Namun bau harum Adelia masih tertinggal di bantal. Reyhan terbangun dalam ingatan malam yang penuh kehangatan.
"Kamu ... wanita pertama yang sudah menyentuhku, Adelia. Kau tak akan bisa lepas," lirihnya pelan sebelum kembali tertidur pulas.
Tiga minggu kemudian.
Adelia menatap test pack yang tak memberinya ruang untuk menghindar. Dua garis merah. Jelas dan tegas. Sama tegasnya dengan detak jantungnya yang tak terkendali.
Tangannya gemetar. Napasnya pendek. Dunia seolah berputar.
"Tidak ... ini tidak mungkin..."
Tapi ia tahu itu bukan kesalahan. Ia ingat malam itu. Setiap sentuhan, setiap pelukan. Nama Reyhan terulang-ulang dalam pikirannya. Tepat Adelia hamil.
Sore itu, ia duduk di sebuah kafe kecil di Jakarta untuk bertemu dengan klien kerja. Mengenakan blouse sederhana dan rok selutut, ia tampak lebih tenang dari luar—padahal dalam perutnya, badai sedang tumbuh.
Saat itulah ia melihat seseorang masuk. Tinggi. Matang. Dengan aura yang sama seperti malam itu.
Reyhan. Jantungnya seketika berhenti berdetak. Reyhan juga menatapnya—dan tampak terkejut.
"Adelia?"
Tapi sebelum sempat ia menjawab, seseorang lain menyusul masuk dari belakang Reyhan.
"Del? Kamu di sini?" Suara itu menghantam seperti palu godam. Adelia membeku.
Reno tiba. Lelaki yang dulu ia cintai. Yang menghancurkannya.
"Kamu ... kalian ...?" gumamnya, suaranya serak.
Reyhan menatapnya dengan sorot bersalah. Reno memandang bergantian, bingung.
"Kalian saling kenal?" tanya Reno curiga.
Reyhan membuka mulut lebih dulu. "Dia ... wanita yang kutemui di Bali."
Adelia mundur satu langkah. "Reyhan ... kamu..."
"Kakaknya Reno," jawab Reyhan pelan, seperti membebaskan bom waktu.
Dunia Adelia runtuh seketika. Ia mengandung anak ... dari kakak kandung mantan kekasihnya.
"Tidak. Maaf ... Aku harus pergi." Adelia bergegas, namun kedua pria itu menatapnya dalam keheranan.
Perutnya masih rata, tapi Adelia merasa ada dunia lain yang mulai tumbuh di dalam sana—satu detik dari malam tak terduga itu. Setiap kali ia mencoba tidur, wajah Reyhan kembali muncul. Tatapan lembutnya. Pelukannya yang menenangkan. Kalimat yang ia bisikkan malam itu, "Kamu tidak sendiri."
Tapi kenyataannya, Adelia benar-benar sendiri sekarang. Ia bahkan belum tahu bagaimana cara memberi tahu Reyhan. Atau apakah Reyhan akan percaya bahwa itu anaknya.
Lebih dari segalanya, ia takut dunia akan mencibirnya. Mantan pacarnya menikahi sahabatnya, dan sekarang ... ia mengandung anak dari kakak lelaki itu.
"Gila," gumamnya lirih. Tapi air matanya tak jatuh.
Karena mungkin, jauh di dalam lubuk hatinya, ia tahu—malam itu bukan sebuah kesalahan. Itu adalah awal dari cerita yang belum selesai. Dan semuanya baru saja dimulai.
Adelia Roseline menatap bayangannya sendiri di cermin kamar, satu tangan mengelus perutnya yang masih datar.
Rasanya mustahil membayangkan bahwa di dalam tubuhnya sedang tumbuh kehidupan. Kehidupan yang tak direncanakan, dan muncul dari satu malam yang seharusnya ia lupakan—tapi tak bisa.
"Kamu harus bilang padanya, Del…" gumamnya sendiri, tapi mulutnya kaku, seperti tertolak oleh suara hatinya yang lain. "Tapi bagaimana kalau dia justru pergi?"
Ponselnya berbunyi. Nama yang muncul di layar membuat jantungnya nyaris meloncat keluar.
Reyhan Jonathan.
Ia menatap layar itu lama. Tak diangkat. Bukan karena tak ingin bicara, tapi karena takut suara Reyhan akan melembutkan niatnya untuk menjauh.
Sejak pertemuan tak sengaja di kafe tiga hari lalu, Reyhan menjadi … intens. Dalam pesan, dalam perhatian, dalam tatapan.
"Boleh kita ketemu? Aku ingin ngobrol. Soal kita. Soal waktu itu."
Tapi 'waktu itu' sudah berubah menjadi sesuatu yang lebih besar dari sekadar malam penuh luka. Itu sudah menjadi hidup baru.
Sementara itu, Reno mengetuk-ngetukkan jari ke meja di ruang kerjanya. Dari balik dinding kaca, ia memperhatikan Adelia yang sedang bicara dengan klien. Caranya tertawa, cara menunduk malu, cara memegang perut sesekali tanpa sadar.
Ada yang berubah dari Adelia. Dan Reno membencinya.
Bukan karena ia masih mencintai Adelia. Tapi karena Adelia kini terlihat lebih bahagia tanpa dirinya. Dan karena setiap kali ia mencoba mendekat, Reyhan juga selalu berada di sana—dengan ketenangan yang menyebalkan.
"Kenapa kalian jadi dekat, hah?" gumam Reno pelan, lalu mengernyit saat melihat Reyhan berjalan masuk ke ruangan Adelia dengan dua gelas kopi di tangan.
"Aku nggak tahu kamu suka kopi hitam tanpa gula," ujar Reyhan sambil menyodorkan gelas itu. "Tapi kamu terlihat seperti seseorang yang kuat pagi ini."
Adelia memaksakan senyum, menerima kopi itu dengan tangan yang sedikit gemetar.
"Kamu selalu begini ke semua wanita?"
Reyhan tertawa pelan. "Hanya pada yang membuatku penasaran."
Adelia nyaris tersedak. Ia membalikkan tubuhnya, menyibukkan diri dengan berkas di meja. "Reyhan, kita tidak seharusnya seperti ini…"
"Kamu hamil, ya?"
Kalimat itu seperti tamparan.
Adelia membeku. Jari-jarinya mencengkeram map terlalu erat.
Reyhan berdiri dari kursinya, mendekat perlahan. "Aku tahu, Del. Kamu menyentuh perutmu seperti seseorang yang sedang … menjaga sesuatu."
"Bukan urusanmu."
"Tapi malam itu, kita…"
"Ya, dan kita seharusnya melupakannya. Kamu kakaknya Reno."
Reyhan tersenyum tipis. "Dan dia mantanmu. Jadi kita impas?"
Adelia mendongak menatapnya. "Ini bukan lelucon."
"Aku tidak menganggapnya lelucon. Justru itu sebabnya aku di sini."
Di luar ruangan, Reno masih mengamati dari balik celah pintu. Ia melihat kedekatan itu dan tak tahan lagi. Ketika pintu terbuka, dan Reyhan keluar lebih dulu, Reno menyapanya datar.
"Ngapain kamu sering ke sini, Rey?"
"Ngopi," jawab Reyhan enteng.
"Dengan mantan adikmu?"
Reyhan menatap Reno dengan pandangan dewasa yang tenang. "Bukan mantan adikku. Tapi mantan pacarmu, yang kau tinggalkan."
Reno terdiam sejenak, menahan emosi. "Kamu nggak tahu siapa dia sebenarnya."
Reyhan tersenyum. "Dan kamu nggak tahu siapa dia sekarang."
Malam itu, Adelia terbaring di tempat tidur. Di tangannya, ada pesan belum terkirim.
'Reyhan … aku hamil. Dan ini anakmu.'
Tangannya bergerak ke tombol kirim … lalu ragu. Dihapus. Draf baru diketik ulang.
'Aku butuh bicara denganmu. Tapi tolong, jangan bawa Reno ke dalam ini.' Ia kirim pesan itu.
Dan untuk pertama kalinya, Adelia menangis bukan karena luka, tapi karena takut … bahwa mungkin ia sedang jatuh cinta pada seseorang yang tak boleh ia miliki.
Pagi berikutnya, suara notifikasi dari ponsel membangunkannya.
'Reyhan: Kapan dan di mana? Aku akan datang, Del.'
Adelia menatap pesan itu lama, lalu menghela napas. Ia belum tahu bagaimana harus menyusun kalimat yang tidak akan membuat pria itu lari. Tapi ia tahu, Reyhan layak diberi tahu. Apapun hasilnya.
Ia membalas pelan, jarinya gemetar di atas layar sentuh.
'Cafe Lavenia jam 3 sore. Tolong sendiri saja.'
Adelia menghabiskan hari itu dengan berkeliling toko perlengkapan bayi, bukan untuk membeli, hanya untuk menatap. Di antara deretan baju mungil berwarna pastel dan mainan gantung, hatinya terasa seperti gelembung sabun—penuh harap, tapi bisa pecah kapan saja.
Dan jam 3 sore, tepat seperti yang dijanjikan, Reyhan datang.
Ia tampak sedikit gugup, tapi tetap rapi dan tenang seperti biasa. Duduk di depannya, memesan teh tanpa gula, lalu menatap Adelia dalam.
"Ada sesuatu yang penting, ya?"
Adelia mengangguk. Ia tidak langsung menjawab. Didekapnya cangkir cappuccino dengan kedua tangan.
"Kamu pasti merasa aneh ... kita baru bertemu sekali, lalu bertemu lagi di situasi seperti ini. Tapi malam itu ... Reyhan, aku..."
"Hamil?" Reyhan memotong dengan suara pelan. Tidak terdengar mengejutkan, lebih seperti ... memastikan.
Adelia terdiam. Pandangannya jatuh pada sendok kecil yang menggulung buih kopi di permukaan minuman.
"Kamu tidak marah? Atau ... menyesal?"
Reyhan menarik napas. "Mungkin aku kaget. Tapi aku tahu, sesuatu tentang malam itu berbeda. Aku tidak mabuk. Aku sadar sepenuhnya. Aku tahu itu bukan hal bodoh."
"Aku ... takut kamu berpikir aku menjebakmu. Atau berusaha balas dendam ke Reno."
"Kalau kamu mau balas dendam ke Reno, kamu bisa memajang fotoku di sosial mediamu dengan keterangan 'Lihat siapa yang lebih baik dari adikmu'. Tapi kamu nggak melakukannya. Kamu pergi."
Adelia tertawa kecil. Suara tangisnya masih tersisa, namun wajahnya sedikit mengendur.
"Aku masih bingung, Rey. Aku nggak tahu harus apa. Bahkan aku belum memutuskan mau teruskan atau—"
"Adelia. Lihat aku."
Adelia mendongak.
"Aku nggak tahu akan seperti apa hidup kita ke depan. Tapi aku tahu, aku nggak bisa pura-pura nggak peduli. Anak itu … bagian dariku juga. Dan kalau kamu mau, kita bisa hadapi ini sama-sama."
Suara Reyhan dalam dan stabil. Kalimat itu seperti selimut hangat di pagi yang dingin.
"Kamu yakin? Ini ... rumit. Reno mungkin akan—"
"Reno sudah membuat hidupmu berantakan. Kini saatnya kamu buat keputusan untuk dirimu sendiri. Bukan untuk dia."
Adelia menunduk lagi, kali ini tersenyum kecil. Lalu tiba-tiba...
"Aduh!"
Gelas di tangannya hampir terjatuh. Pelayan yang lewat tanpa sengaja menyenggol meja mereka.
"Maaf, Mbak! Saya nggak lihat."
Reyhan langsung sigap membantu membersihkan. Dalam waktu sekejap, tawa kecil pun pecah di meja mereka.
"Kamu selalu seserius ini kalau bicara, Rey?" tanya Adelia sambil menahan geli.
"Biasanya aku nggak bicara banyak. Tapi entah kenapa, sama kamu ... aku ingin terus mendengar kamu jawab."
Adelia menyandarkan dagunya di atas tangannya. Ada sesuatu yang mulai tumbuh dalam dirinya. Bukan hanya bayi … tapi keberanian.
Sementara itu, Reno berjalan cepat di koridor kantor. Ia baru menerima pesan dari seseorang di HRD yang mengatakan bahwa Reyhan sering datang ke lantai tempat Adelia bekerja. Ia mencurigai sesuatu, dan rasa tidak tenangnya sudah sampai di ubun-ubun.
"Ada yang aneh," gumamnya. Ia lalu mengetik pesan untuk Karin—istrinya—namun menghapusnya lagi sebelum dikirim.
Karena bahkan pada istrinya pun, Reno tidak bisa jujur bahwa ia belum benar-benar melupakan Adelia.
Malam itu, Adelia berdiri di depan cermin kamarnya. Ia menatap dirinya sendiri lebih lama dari biasanya. Tangannya menyentuh perutnya lagi—lebih lembut kali ini.
Ponselnya berbunyi.
'Reyhan: Kalau kamu izinkan, aku ingin temani kamu ke dokter kandungan minggu depan.'
Adelia menatap pesan itu, lalu tersenyum. Untuk pertama kalinya, ia tidak merasa sendirian. Dan mungkin, cinta memang datang dari tempat yang paling tidak terduga.
Adelia mengetuk-ngetukkan jarinya di meja makan, menatap layar ponsel yang kembali menyala. Pesan dari Reyhan datang seperti hujan di musim kemarau—konsisten, lembut, dan tak pernah memaksa.
'Reyhan: Kamu makan cukup hari ini?'
'Reyhan: Jangan lupa minum air putih ya, calon ibu.'
Adelia tersenyum geli. Pria itu seperti tahu cara mencuri celah di balik tembok hati yang ia bangun.
Setiap pagi dimulai dengan pesan, setiap malam ditutup dengan kalimat, 'Selamat tidur, aku di sini.'
Padahal mereka belum benar-benar berkomitmen. Dan justru itu yang membuat Adelia gugup.
"Jangan jatuh cinta lagi, Del," gumamnya sambil mengaduk teh, "apalagi dengan kakak dari mantanmu sendiri."
Reyhan di sisi lain, mulai menemukan dirinya tersenyum tanpa alasan setiap kali nama Adelia muncul di layar. Ia tak pernah membayangkan bahwa malam yang ia pikir hanya akan jadi kenangan ... berubah menjadi awal dari sesuatu yang jauh lebih penting.
"Lo serius soal perempuan itu?" tanya salah satu rekan kerjanya saat Reyhan terlihat melamun saat rapat.
"Lebih dari yang kupikir," jawab Reyhan santai, lalu menutup laptop. "Dia membuatku ingin pulang lebih awal."
"Wah ... Bro, gue iri kampret. Lo lakik banget sumpah!"
"Ya harus dong!" Reyhan tersenyum bangga.
Pagi itu, Adelia memutuskan pergi sendiri ke dokter kandungan. Bukan karena tidak ingin Reyhan menemani, tapi karena takut perasaannya akan tumbuh lebih dalam jika pria itu terus hadir di setiap langkah.
Tapi ternyata, Reyhan tetap datang.
"Del," suara Reyhan terdengar pelan dari belakang saat ia hendak masuk ke klinik. "Aku janji nggak akan ikut masuk kalau kamu belum siap. Tapi biarkan aku ada di sini."
Dan entah kenapa, kehadiran itu menenangkan. Adelia hanya mengangguk, dan mereka duduk berdampingan tanpa kata-kata.
Setelah pemeriksaan selesai, dokter memberikan hasil USG dan menjelaskan perkembangan janin.
"Umur kehamilan hampir tujuh minggu. Semua normal sejauh ini. Jaga asupan nutrisi dan jangan terlalu stres."
"Baik, Dokter."
Adelia menatap hasil USG dengan campur aduk. Tangannya gemetar saat Reyhan menyentuh punggung tangannya perlahan.
"Itu ... nyata ya?" bisik Reyhan.
"Ya nyata dong. Enggak mungkin tiba-tiba ada tanpa kita buat," Adelia tersenyum samar. "Itu anak kita."
"Makin nggak sabar jadi ayah," lirih Reyhan dengan pelan. Namun melihat itu, Adelia hanya tersenyum bangga.
"Terus abis ini mau pergi ke mana?"
"Mungkin ... balik ke kantor."
"Aku antar ya."
"Eh jangan, Rey. Nggak apa-apa kok. Aku bisa balik naik taksi."
"Del ... calon ibu harusnya nurut. Jangan ngelawan, ok!" Reyhan memaksa, meskipun dalam benak Adelia ia takut orang-orang semakin melihat kedekatan mereka.
Namun dunia tak pernah membiarkan cinta berjalan mulus.
Sore itu, Reno secara tak sengaja melihat hasil USG yang tertinggal di meja kerja Adelia, setelah wanita itu kembali dari pengecekan. Namanya tertera sebagai pasien. Dan Reno langsung mendidih.
Ia menghampiri Adelia di pantry kantor.
"Ini apa?" Reno menyodorkan kertas USG dengan wajah merah padam.
Adelia membeku. "Itu bukan urusanmu."
"Kamu hamil? Dari siapa?! Jangan bilang dari Reyhan!"
Adelia menatap Reno dengan pandangan tajam. "Dan kalaupun iya, kenapa? Bukankah kau sudah menikah?"
Reno tertawa miring. "Kau pikir aku percaya Reyhan cukup bodoh untuk menghamili mantan adiknya?"
"Dia mungkin bodoh," jawab Adelia pelan, "tapi dia lelaki. Lebih lelaki dari kamu yang bahkan nggak bisa bertanggung jawab pada perasaan orang."
"Jaga ucapanmu, Del. Kamu terlihat ... seperti wanita murahan." Reno mulai menghina sambil menatap Adelia dari atas sampai ke bawah.
"Dan wanita murahan ini dulu pernah kamu cintai, Reno," balas Adelia, meskipun sakit, namun ia tidak ingin diam.
Reno terdiam. Rahangnya mengeras. "Aku nggak akan biarkan kau rusak nama keluarga kami."
Adelia tertawa kecil. "Tenang saja. Aku sudah cukup rusak sendiri."
Menatap kepergian lelaki yang belum lama ini menjadi penyemangat hidupnya, namun Adelia menyesal. "Entah karma dosa siapa sampai aku harus menaruh hati pada pria seperti itu. Namun ... aku masih menyayanginya. Ya, mungkin ... hanya sedikit."
Reyhan tahu soal konfrontasi itu setelah Adelia meneleponnya malamnya, suaranya lirih seperti anak kecil yang minta didekap.
"Aku nggak kuat kalau harus dihadapkan dengan kalian berdua. Ini terlalu rumit, Rey."
"Lalu biarkan aku sederhanakan semuanya," jawab Reyhan pelan. "Aku akan bicara dengan Reno. Biar aku yang jelaskan."
"Tidak! Jangan—jangan kau rusak hubungan kalian berdua karena aku."
Reyhan diam lama.
"Aku lebih takut kehilangan kamu dan anak ini, daripada kehilangan persetujuan dari adik yang bahkan tidak tahu cara mencintai."
Perbincangan berakhir sebelum hari gelap untuk kembali ke dalam dunia nyata, setelah pekerjaan selesai.
Malam itu, Adelia tidak bisa tidur. Tapi ia tidak menangis. Ia merasa … dilindungi. Untuk pertama kalinya, sejak lama.
Dan ia tahu, perasaan itu tidak datang dari mantan yang dulu mengaku mencintainya. Perasaan itu datang dari seseorang yang pelukannya terasa seperti rumah.
Tapi justru karena kehangatan itu, Adelia merasa bersalah. Ia tak ingin jadi alasan dua bersaudara saling membenci. Reyhan dan Reno berasal dari keluarga terpandang, dan skandal seperti ini bisa jadi noda yang sulit dihapuskan.
Apalagi, diam-diam ia tahu kalau Reno dan Reyhan bukan hanya saudara kandung, tapi juga pewaris dua cabang usaha besar keluarga mereka. Reputasi adalah segalanya di dunia mereka.
Saat itu juga, Reyhan datang ke apartemennya tanpa peringatan. Membawa dua kantong kertas berisi makanan dan minuman hangat.
"Tumben nggak bales chat," katanya sambil menatap Adelia yang berdiri kaku di ambang pintu.
"Maaf, aku lagi bingung…"
"Boleh aku masuk?"
Adelia ragu sejenak, lalu membuka pintu lebih lebar. Mereka duduk di ruang tengah, tanpa lampu terang. Hanya lampu meja yang menyala temaram.
"Aku nggak tahu harus gimana, Rey. Aku takut jadi alasan kamu dan Reno bertengkar."
"Delia…" Reyhan menatapnya serius. "Aku dan Reno memang bersaudara. Tapi bukan berarti aku akan membiarkan dia mendikte hidupku. Apalagi soal kamu dan anak ini."
"Tapi keluargamu? Reputasimu?"
"Apa gunanya reputasi kalau aku mengorbankan orang yang seharusnya kulindungi?"
Adelia menunduk. Tangannya menyentuh perutnya refleks. "Aku hanya ingin anak ini tumbuh tanpa tekanan dari masa lalu…"
"Aku tahu. Itu sebabnya…" Reyhan membuka saku jaketnya. Mengeluarkan sebuah kotak kecil beludru hitam. Ia membukanya perlahan. Di dalamnya, sebuah cincin sederhana namun elegan berkilau.
"Aku tahu ini terlalu cepat. Aku bahkan belum mengenalmu cukup lama. Tapi aku tahu yang kurasa. Dan aku tahu aku ingin bertanggung jawab. Bukan hanya karena anak ini. Tapi karena kamu."
Adelia menahan napas.
"Delia, maukah kamu menikah denganku? Tanpa tekanan. Tanpa paksaan. Tapi dengan harapan … kita bisa belajar mencintai, perlahan setelah pernikahan."
Air mata Adelia jatuh perlahan. Ia tak langsung menjawab. Ia hanya menggenggam kotak cincin itu dengan erat.
Karena untuk pertama kalinya, seseorang menawarkan cinta—bukan dengan janji manis, tapi dengan ketulusan dan keberanian.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!