Kira Clariscia
Gadis berambut hitam lebat sebahu, kulit putih bersih dan tinggi 168 cm itu merupakan anak kesayangan Bima. Bukan saja karena Kira termasuk anak yang cerdas dan selalu berprestasi, Kira juga termasuk anak yang mandiri. Sejak awal masuk kuliah, Kira meminta ijin kepada ayahnya untuk bekerja paruh waktu.
"Nanti kamu capek, Kira. Kamu ga usah kerja paruh waktu gitu, ayah masih bisa penuhin semua kebutuhan kamu meskipun penghasilan ayah enggak banyak" kata Bima memberi penjelasan kepada anaknya.
"Yah, ini itung-itung Kira belajar jadi guru. Jadi kalo besok Kira ada praktik ngajar, Kira udah ga gugup lagi. Nanti kalo Kira udah wisuda, Kira udah punya pengalaman mengajar juga. Dan lebih lagi, Kira pengen ngerasain punya penghasilan sendiri, Yah"
Bima menghelas nafasnya kasar. Apa selama ini dia masih belum bisa mencukupi kebutuhan anaknya sehingga anaknya tersebut sampai harus bekerja paruh waktu?
"Ya sudah, terserah kamu. Tapi ayah minta itu ga akan ganggu kuliahmu, kebutuhan kuliah tetap ayah yang tanggung. Uang semester, uang saku, uang buku, apapun itu yang menyangkut biaya kuliah, itu urusan ayah. Gajimu, pakai saja untuk keperluanmu"
Dengan cepat, Kira menganggukkan kepalanya. "Terimakasih, ayah" ucapnya sembari memeluk ayahnya.
Kata-kata itu selalu ingat oleh Kira. Dia selalu menghemat uang yang didapatnya dari bekerja paruh waktu itu. Memang hasilnya tidak seberapa, namun ia merasa bangga dengan dirinya sendiri yang sudah mampu menghasilkan uang sendiri.
Sudah 3 semester berlalu, dan Kira masih menikmati pekerjaan paruh waktunya sebagai guru les. Suka duka telah ia hadapi, dari muridnya yang susah diajak belajar, kepanasan dan kehujanan saat akan menuju rumah muridnya, bahkan diberikan bonus saat muridnya mengalami peningkatan nilai. Semuanya butuh pengorbanan, termasuk waktu Kira yang harus berkurang untuk berkumpul dengan teman-temannya, walaupun untuk sekedar mengerjakan tugas kelompok.
"Ra, bengong aja!" ucap Raksha.
Raksha Aryasetya
Cowok dengan tinggi 180 cm, berhidung mancung dan tampan ini adalah teman dekat Kira sejak di semester awal. Kedekatan keduanya bermula saat mendapat tugas kelompok untuk menganalisis silabus. Raksha memang populer dikalangan mahasiswi. Ya, semua terpesona dengan ketampanan dan kebaikan Raksha.
"Tumben lo masih di kampus? Biasanya langsung cus ngelesin" sambung Raksha.
"Hari ini ga ngelesin, Edward pergi liburan sama keluarganya"
"Wiihhh... enak dong! Jarang-jarang kan lo ada waktu luang gini. Trus ngapain malah bengong disini?"
"Pengennya langsung balik, tapi ojol lagi rush hour jadinya mahal. Makanya nunggu dulu biar agak murah"
"Emang lo ga bawa motor?"
Kira menggelengkan kepalanya. "Bannya bocor, jadi tadi pagi dianterin ayah"
"Yaudah, yuk gue anter balik" ucap Raksha sembari beranjak dari duduknya.
"Gausah, Sha. gue naik ojol aja"
"Kenapa sih? Lo takut diomelin sama Alin dan kawan-kawannya lagi? Ga usah dipikirin, ntar gue yang ladenin. Lagian mereka juga bukan siapa-siapa gue kok"
Alina Maharani
Mahasiswi sekelas dan seangkatan dengan Kira dan Raksha. Dia menaruh perasaan terhadap Raksha sejak semester satu, namun selalu mendapat penolakan dari Raksha. Ya, dia dan teman-temannya menduga Kira-lah penyebab Raksha selalu menolaknya. Gadis keluarga kaya ini dan cantik ini selalu menjadi pusat perhatian mahasiswa, tidak hanya dari jurusannya saja tapi dari fakultas lain juga. Tapi hatinya, tetap tertuju pada Raksha yang tetap tidak tertarik dengannya.
"Enggak gitu, Sha. Beneran gapapa, gue naik ojol aja. Lagian rumah kita kan juga ga searah"
"Gue ga terima penolakan, Ra" jawabnya dengan menarik tangan Kira dan menggandengnya menuju parkiran mobil Raksha.
Mobil segera melaju, menyusuri jalanan ramai menuju rumah Kira. Keduanya tidak saling berbicara, hanya suara musik pada mp3 player yang terdengar diantara mereka.
"Ra, kita mampir makan dulu ya. Gue laper belum makan siang tadi" ucap Raksha memecah keheningan.
"Eh? Kalo anterin gue balik langsung aja gimana, Sha? Elo... makannya habis anterin gue balik gitu"
"Lo kenapa sih, Ra? Segitu takutnya sama Alin, kan ada gue"
"Eee... bukan gitu, Sha. Gue... gue cuma... pengen langsung pulang aja"
"Alasan doang elo mah, dari dulu tiap gue ajakin pergi atau makan sering nolaknya. Kalo gue yang ngajak, berarti gue yang bayarin Ra"
"Eee... Raksha... ga usah, kalo mau makan gue bisa bayar sendiri kok"
"Udahlah, udah kubilang kalo gue yang bayar. Gaji lo disimpan aja, gue tau gajimu ga seberapa, dan elo coba nabung semua uangnya kan?"
Kira hanya menunduk dan memainkan jari-jarinya. Memang benar selama ini ia menghemat uangnya, bukannya pelit tapi karena ia tidak ingin merepotkan ayahnya dikemudian hari. Kira sudah mempersiapkan tabungannya untuk kebutuhan mendesak yang mungkin akan terjadi. Seperti mempersiapkan baju dan sepatu untuk praktik mengajar, fotokopi dan menjilid skripsinya kelak, bahkan untuk baju dan make up wisudanya. Ia tidak ingin ayahnya dipusingkan akan hal itu.
"Elo masih muda, Ra. Jangan mikirin kerjaan dan uang mulu, elo juga butuh waktu untuk nyenengin diri sendiri. Sesekali beli makanan yang enak dan banyak atau beli baju yang mahal kan ga masalah, anggap aja itu sebagai penghargaan untuk diri lo sendiri yang telah bekerja keras"
Raksha memarkirkan mobilny di sebuah restoran, mematikan mesin mobil dan melepaskan seatbelt-nya.
"Ayo turun! Kita makan siang dulu, gue yang traktir sebagai hiburan karena pagi tadi ban motor lo bocor dan susah balik karena kena tarif rush hour" sambungnya sambil tersenyum menatap Kira.
Keduanya segera masuk ke dalam restoran. Raksha memesankan beberapa makanan untuk mereka santap bersama.
"Kenapa sih Ra? Elo kayak ga nyaman gitu"
"Eh? Gapapa kok, Sha"
"Ga usah sungkan, aku cuma pengen ngajarin elo aja gimana caranya menikmati hidup hehehehe" ucapnya santai.
Tak berapa lama, pelayang datang dan menghidangkan makanan yang dipesan. Kira terlihat begitu tergoda, matanya menatap salah satu hidangan.
"Masih suka udang asam manis kan?" ucap Raksha mengagetkan Kira.
Kira menoleh malu ke arah Raksha, bagaimana dia masih mengingat makanan kesukaannya? Padahal mereka berdua sudah jarang makan bersama.
"Tiap gue makan udang, gue pasti inget elo. Masih inget ga, dulu lo dimarahin bundamu karena ga mau berbagi udang sama aku dan keluargamu yang lain? Hahahaha... bisa-bisanya udang sekilo lo lahap sendiri"
"Namanya juga demen, Sha. Udah boleh makan sekarang atau belum nih?" tanya Kira dengan mata yang berbinar, tak sabar ingin segera menyantap udang.
Raksha mengangguk dan menyodorkan piring berisi udang itu kehadapan Kira.
"Habisin, jangan sampai ada sisa. Gue sengaja pesen itu buat lo, gue makan ikan bakarnya aja"
Kira tersenyum bahagia. "Nanti kalo gue udah gajian, gantian gue traktir kamu deh ya. Gue janji!"
"Yes! Tempatnya boleh gue yang milih kan?"
Kira mengangguk. "Boleh, asal bukan restoran yang mahal banget. Maksimal all you can eat masih bisalah hahahaha...."
"Ga nabung dong lo?"
"Nabung, Sha. Buat makan kita berdua di restoran all you can eat yang itu sama dengan gaji ngelesin satu murid, masih ada 3 murid yang lain kok hehehehe..."
"Wiiihhh... asik deh bisa diajakin makan sepuasnya sama Kira, jadi ga sabar nungguin lo gajian"
Kira tersenyum mendengar perkataan Raksha. Untuk sesaat, dia masih terus mengingat perkataan Raksha. Harus ada penghargaan untuk diri sendiri. Ya, harusnya dia terlalu ngoyo.
"Gue menyesal tiga semester ini selalu jadi kupu. Kuliah langsung pulang, tanpa pernah menikmati indahnya suasana kampus dan pertemanannya setelah jam kuliah usai" gumamnya dalam hati.
"Lo ga tau malu banget ya! Keganjenan banget jadi cewek!" bentak Alin yang baru saja menghampiri kursi Kira.
Kira yang baru saja masuk kelas hanya dapat menghela nafasnya. Lelahnya perjalanan ke kampus dengan mengendarai motor belum juga hilang, ia harus disuguhkan dengan situasi menjengkelkan seperti sekarang ini.
"Apaan sih, Lin? Gue keganjenan kenapa lagi?" jawabnya dengan nada lelah.
"Ngapain lo ngerayu Raksha buat balik bareng? Gue kan udah pernah bilang ke elo buat jauhin Raksha, ga usah terlalu ngarep deh sama dia! Genit banget jadi cewek!"
Oh, jadi Alin liat kalo kemarin mereka balik bersama?
"Lin, gue ga ngerayu atau ngajakin Raksha buat balik bareng. Kalo gue yang ngajakin, harusnya gue yang jalan di depan. Lo liat kan kemarin gue yang diseret sama dia sampai parkiran?"
"Alah, banyak alasan lo! Yang jelas lo balik bareng dia kemarin!"
"Ya terus kenapa kalo gue balik bareng Raksha? Gue juga udah nolak tapi dianya tetep maksa"
"Udah berani ngejawab lo ya!" bentak Alin sambil melotot menatap Kira.
"Kenapa sih Lin pagi-pagi udah teriak-teriak ga jelas? Gangguin Kira lagi ya?" suara lelaki dari arah pintu kelas membuat Alin menahan emosinya dan berbalik menatap Raksha yang baru saja masuk kelas.
Malu! Ya, dia jelas malu kepada Raksha.
"Sha, lo selesaiin deh sama Alin. Gue pusing" keluh Kira sembari memijat pangkal hidungnya.
"Ehh, gue ga ada urusan sama Raksha ya. Ngapain lo nyuruh-nyuruh Raksha seenak jidat lo!"
"Gue juga ga ada urusan sama lo, Lin. Gue mau balik bareng Raksha, mau jalan sama dia, itu terserah gue. Lu bukan pacarnya kok ribet ngatur-ngatur orang!" ucap Kira dengan nada kesal.
Dia segera bangkit dari kursinya dan segera keluar kelas, meninggalkan Alin yang masih mematung disebelah kursinya.
"Sialan, berani-berani dia ngebantak gue dihadapan Raksha" geram Alin dalam hati.
"Wiiihhh... kalo PMS jangan mmarah-marah Ra. Ntar gue traktir jus deh" goda Raksha saat melihat Kira yang berjalan keluar meninggalkan ruangan.
Alin memutar tubuhnya, berjalan perlahan menuju tempat duduknya disebelah Raksha. Dia benar-benar marah, Kira tidak biasanya berani membantahnya seperti itu. Belum lagi sikap Raksha yang terkesan acuh dengannya, bahkan ia mendapat tatapan menyindir dari Raksha dan teman-temannya.
"Ga usah ganggu Kira, Lin. Dia ga pernah cari masalah sama elo, elonya aja yang ga ada kerjaan" ketus Raksha yang meliriknya dari sebelah. "Ah, satu lagi. Kita ga pernah ada hubungan apa-apa ya, jadi please jangan ganggu orang-orang yang deket sama gue. Gue ga mau kelamaan jomblo, Lin" sambungnya dengan nada yang sengaja dibuat memelas.
🍀
Setelah jam perkuliahan terakhir selesai, Kira dengan cepat merapikan alat tulisnya. Dia harus segera menuju rumah Edward untuk sesi lesnya.
"Enggak mau makan siang dulu, Ra? Nge-mie ayam dulu yuk, gue laper" kata Dewi teman dekat Kira.
"Sorry Dew, ga bisa kalo hari ini. Edward besok ada ulangan susulan, jadi gue harus buru-buru kesana. Terlebih jam lesnya Oliv juga minta dimajuin lebih awal karena malem ada acara keluarga"
"Elah Ra, dari dulu susah banget sih ngajakin lo makan sama jalan bareng"
"Next time kalo gue free kita jalan bareng deh ga, asal lo ga lagi pacaran aja kayak kemarin hehehehehe..."
"Yaudah sono jalan, ntar Edward rewel lo ga datang-datang"
"Iya... anak gue yang satu itu emang manja banget, mami papinya sampe tobat" ucap Kira sambil tertawa disela-sela perjalanannya menuju parkiran motor.
Kira dan Dewi berpisah di jalan dekat parkiran, Dewi akan ke kantin untuk bertemu dengan pacarnya. Kira merogoh saku tasnya untuk mencari kunci motor dan STNKnya.
"Kiraaaaa"
Kira pun menoleh ke arah sumber suara. Raksha berlari menuju arahnya sambil menenteng kantong plastik.
"Ini buat lo" ucap Raksha sambil menyerahkan kantong plastiknya. "Itu jus alpukat sama roti, gue tau lo belum makan siang. Ini buat ganjel, biar ga melilit. Gue udah bilang kan jangan terlalu ngoyo, diri sendiri juga harus dipikirin Ra"
"Iihh... Raksha ga perlu gitu, gue juga bakal beli makan kok ntar. Biasanya gue suka beli di warteg deket rumah Edward, ntar gue makan pas dia ngerjain soal"
"Gue ga suka penolakan, Ra. Abisin ya, tapi lo tetep harus beli makanan yang di warteg. Dengan jadwal les lo yang padat merayap sampai malam itu, ga mungkin lo bertahan dengan jus dan roti doang"
"Iyaaaaa... lo bawel banget kayak bunda"
"Semua emak-emak gitu kali, Ra. Mama gue juga bawel kok"
"Tapi... emang lo emak-emak ya, Sha?"
"Enggaklah, enak aja! Ya... intinya gue bawel karena turunan aja dari mama"
"Hahahaha... iya deh iya, Raksha anak mama"
"Udah buruan lo pergi, ntar jadwal murid lo jadi pada mundur malah lo baliknya kemaleman"
"Hehehehe... iya. Makasih banyak ya Sha, beneran gue traktir deh bulan depan"
"Haruslah, kan lo udah janji"
Interaksi Kira dan Raksha yang intens itu membuat kemarahan Alin yang memperhatikan dari kejauhan menjadi kian tersulut. Ia tak terima Raksha mengabaikannya hanya karena Kira.
🍀
"Kenapa baru pulang sih, Ra? Darimana aja? Ini udah jam 10 lewat" ucap Tati, bunda Kira.
"Kira jatuh, bun. Keserempet motor" jawabnya sambil berjalan dengan pincang dan duduk di kursi ruang tamu.
"Astagfirullah... gimana sih Ra kok bisa jatuh gitu?" Tati mengecek kondisi Kira, memperhatikan luka lecet pada tangan dan kaki Kira. "Bunda siapin air anget buat kamu mandi dulu deh ya, abis itu bunda obatin lukanya"
"Ayah kemana, bun?" tanya Kira sambil mengekor bundanya yang berjalan ke arah kamarnya.
"Ayah lagi keluar sama om Fredi, kayaknya bentar lagi balik. Oiya, kamu WA ayah gih, nitip revanol sama kasa steril. Di rumah habis soalnya"
"Oke bun"
🍀
"Kurangin jadwal lesnya, Ra. Bisa jadi kecelakaan ini kan karena kamu kecapekan, ayah kan udah sering bilang kamu ga usah ngoyo ngelesin. Ayah masih sanggup biayain semua kebutuhanmu" ucap Bima.
"Kira kan cuma mau belajar mandiri, Yah. Lagian juga anak-anak udah mau pada test kenaikan kelas, masak Kira lepasin gitu aja. Ga enak kan Yah sama orangtuanya"
"Tapi apa harus sampai malam gini?"
"Ya gimana, Yah. Kira kan ngikutin jadwal kuliah juga. Awww... sakit, bun"
"Tahan dulu sebentar" ucap Tati sembari mengobati luka di lutut Kira.
"Kamu aturlah, jangan sekali-kali ambil jadwal hari Sabtu Minggu. Kamu juga butuh istirahat" kata Bima lalu meninggalkan kamar Kira.
"Besok kamu istirahat aja, ga usah ikut bunda ke pasar. Kata ayah kan Sabtu Minggu harus istirahat, OK?" ucap Tati sembari membereskan kotak obat.
"Iya bun"
Ponsel Kira berdering ketika Tati baru saja keluar dari kamar Kira. Kira mengerutkan dahinya sambil menatap layar ponselnya.
Raksha, ngapain dia telpon semalam ini?
"Assalamualaikum... kenapa, Sha?"
"WA gue kenapa ga dibales? Padahal last seen-nya setengah jam yang lalu"
"Ohh... sorry, tadi gue buru-buru nge-chat ayah buat beli obat"
"Parah ga lukanya?"
Kira terdiam. Kok Raksha bisa tau Kira terluka?
"Ga usah bingung, besok gue ke rumah lo" sambung Raksha lalu memutus panggilannya.
"Parah banget lukanya?" tanya Raksha begitu melihat Kira berjalan ke teras rumah dengan kaki sedikit pincang.
"Enggak, tapi karena lukanya dilutut jadinya bikin kaku. Jadi susah ditekuk gitu" jawab Kira sembari duduk di kursi teras. "Oiya, lo kok bisa tau kalo gue jatuh?"
" Gue mau cerita, tapi lo kalo kaget jangan teriak. Gue takut orangtua lo tau" kata Raksha dengan suara pelan.
Kira mengangguk. Raksha menengok ke arah dalam rumah Kira, memastikan orangtua kira tidak di dekat mereka.
"Kayaknya Alin nyuruh orang buat nyerempet lo. Semalem gue ga sengaja liat dia di depan mini market 24 jam, gue lagi nongkrong sama temen-temen gue di depan mini market. Tapi kayaknya Alin ga tau kalo gue disitu, karena gue membelakangi parkiran. Pas dia udah pergi, gue suruh temen gue buat nyamperin tuh cowok. Nih, lo dengerin sendiri"
Raksha mengeluarkan ponsel dan earphone dari kantung jaketnya, lalu memberikannya kepada Kira. Kira memutar rekaman suara tersebut, terdengar suara Raksha seperti sedang menginterogasi seseorang. Dahi Kira mengernyit, nafasnya memburu dan dihembuskan dengan kasar.
"Ini seriusan, Sha?" tanya Kira sambil meletakkan ponsel dimeja.
"Kalo lo ga ppercaya gue masih punya bukti Sha. Itu cowok dalam pengawasan temen-temen gue juga, lo bisa tanya ke dia langsung untuk mastiin kalo lo mau"
Kira terdiam, dia tak menyangka Alin akan bertindak sejauh itu kepadanya.
"Gue lakuin ini karena ini juga ada sangkutannya sama gue. Alin ga mungkin nyelakain elo cuma karena lo berani ngejawab omongannya, tapi karena lo deket sama gue"
"Trus... gue harus gimana, Sha?" tanya Kira. Wajahnya benar-benar kebingungan, apalagi masalah yang sedang ia hadapi berhubungan Alin.
"Harus gimana? Ya ga gimana-gimanalah, Ra. Lo biasa aja kayak biasanya. Tapi gue minta, mulai senin besok lo ngampus ga usah bawa motor. Gue anter jemput lo aja, gua anterin ke tempat-tempat lo ngelesin, gue takut dia masih berusaha buat nyelakain elo"
Dengan cepat, Kira langsung menggelengkan kepalanya. "Enggak-enggak, yang ada nanti Alin makin cemburu. Trus juga, kasian elo-nya"
"Kenapa? Gue ga keberatan kok. Hmm... kalo enggak gini aja, selama luka lo masih sakit, lo kemana-mana sama gue. OK?"
"Ga usah Sha, tadi lo bilang buat biasa aja. Yaudah, ga usah jemput-jemput gue kayak gitu. Beneran deh, gue bukannya takut berurusan sama Alin. Gue males aja karena dia ga mandang tempat kalo maki-maki gue, bikin gue malu"
"Makanya sama gue, Ra. Dia ga akan berani ngapa-ngapain lo kalo lo deket gue"
Kira diam sejenak, matanya melirik Raksha yang sedang menatapnya.
"Kenapa ga lo pacarin aja sih Alin? Biar hidup gue damai gitu" seru Kira.
Raksha justru tertawa mendengar perkataan Kira.
"Ra, kalo gue tertarik sama dia, udah gue pacarin dari semester satu kemarin tau! Gue malah jijik sama kelakuan dia"
"Ga usah ngomong jijik ke Alin, kalo ternyata dia yang bakal jadi istri lo baru tau rasa tuh"
"Hahahahaha... ga akan pernah terjadi, Ra. Gue yakin!" tegas Raksha dengan senyum sinisnya.
🍀
"Gila lo Lin, pake nyelakain Kira segala. Lo ga takut apa kalo sampai ketahuan Kira, atau bahkan Raksha" seru Zahra dengan penuh keterjutan.
"Hahahaha... ga akanlah, gue bayar orang luar. Ga mungkin mereka akan ngenalin ciri-ciri orang suruhan gue" jawab Alin santai sembari mengecat kukunya.
"Lo bayar berapa itu orang?"
"Lima ratus ribu"
"Hahahaha... emang niat banget lo. Trus sampai kapan lo bakal ngejar Raksha? Ga capek apa ditolak mulu, malu keles Lin"
"Enggak, gue ga akan nyerah. Gue ga terima kalah saing sama bocah kampungan itu"
"Ehh lu tau ga sih, baju yang kemarin Kira pake buat kuliah? Dia beli bajunya di pasar atau gimana sih? Seinget gue barang-barang dia enggak ada yang bermerk deh, kecuali motornya hahahahaha"
"Eh, lo pikir Kira punya duit buat shopping di mall? Dia pontang-panting ngelesin gitu kan buat biaya kuliah tuh kayaknya, rumahnya juga gitu doang kan. Pasti orangtuanya banyak utang!" ketus Alin.
"Bisa jadi Raksha deketin dia karena kasian sama kondisi Kira, Lin"
"Heh! Raksha enggak deketin Kira ya, dia temanan. Ya siapa lagi yang mau temenan sama Kira kecuali Dewi? Mereka kan selevel"
"Hahahaha... bener-bener!"
"Liat aja kalo dia makin berani sama gue, gue bakal bikin dia lebih menderita lagi"
🍀
Setelah selesai mandi, Kira sedang mengobati lukanya sambil duduk dipinggir kasurnya.
Tok... tok...
Suara pintu kamar Kira yang diketuk oleh seseorang, tak berapa lama masuklah Arkana, kakak laki-laki Kira.
"Ehh, mas Arka udah pulang?"
Arka mengangguk dan duduk dipinggir kasur disebelah Kira.
"Gimana tugas keluar kotanya?"
"Capeklah, Ra. Kerja mana ada yang ga capek"
"Tapi kan keluar kota, mas. Pasti bisa sekalian jalan-jalan gratis kan? Hehehehe..."
"Hahahaha... kata bunda kamu jatuh semalem, dimana?"
"Di Jalan Nakula, mas. Deket tukang martabak yanh biasa mas Arka beli tuh"
"Kok bisa? Kamu ngantuk ya, Ra?"
Kira diam sejenak, dirinya teringat akan rekaman yang ditunjukkan Raksha tadi pagi.
"Enggaklah, mas. Aku kan biasa balik jam segitu"
"Terus?"
"Ya diserempet motor dari kanan"
"Orang mana yang nyerempet?"
Kira menggelengkan kepalanya. "Enggak tau, mas. Orang dia langsung pergi kok"
"Ga inget juga ciri-ciri atau plat nomernya?"
Kira kembali menggelengkan kepalanya.
"Lain kali hati-hati, Ra" ucap Arka sembari mengelus rambut adiknya itu. "Kita ga tau di jalanan kayak gimana. Kitanya udah hati-hati, tapi orang lain belum tentu hati-hati. Besok senin ke kampus bareng mas aja, mas ke kantor agak siangan kok"
"Ga usah, mas. Aku bareng Raksha kok"
"Terus ngelesinnya?"
"Ya dianterin sama dia, mas"
"Pacarmu?" tanya Arka menyelidik.
"Enggak mas, temen serombel kok"
"Temen? Kok baik banget sampai dia mau repot-repot anter jemput kamu?"
"Itu karna... eee... dia..."
"Udah ga usah dijawab kalo kamu malu" ledek Arka sambil mengacak rambut Kira dan keluar kamarnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!