Farraz Arasy seorang pemuda biasa tapi mempunyai kisah cinta yang nggak biasa. Dia bukan CEO, bukan direktur utama, bukan juga milyarder yang punya aset setinggi gunung Himalaya. Bukan! Dia hanya pemuda tampan rupawan menurut emak bapaknya yang tiba-tiba harus terikat dalam hubungan cinta tak beraturan karena terbongkarnya rahasia besar sang calon istri sebelum pernikahan mereka terjadi!
Oh, sebelumnya mari kita berkenalan dengan sosok tinggi 183 cm segenter bambu menjulang ke atas ini dulu kawan!
Namanya Farraz Arasy, biasa dipanggil Arraz dia adalah seorang guru bahasa Jawa di sekolah menengah atas di provinsi yang cukup padat penduduknya. Jawa Tengah!
Namanya Farraz Arasy, lelaki berusia 28 tahun yang masih bujang perjaka. Seenggaknya dalam beberapa hari ke depan, gelar itu masihlah akan bertahan. Karena status bujang plus perjakanya Arraz nanti bakal diganti dengan status laki orang lima hari lagi.
Ya, namanya Farraz Arasy.. Dia akan menikah kurang dari seminggu yang akan datang. Dengan wanita yang dia pacari nggak lebih dari setahun lamanya.
Jika ditanya apa Arraz mencintai calon istrinya atau tidak, tentu jawabannya iya! Adanya rencana pernikahan ini juga karena Arraz yang udah ngebet banget pengen meresmikan hubungannya dengan sang pacar tercinta, Dewi Amora. Biasa dipanggil Dewi. Tapi, Arraz lebih suka memanggil kekasihnya itu dengan nama belakangnya yaitu Amora.
Ting. Satu pesan masuk ke ponselnya Arraz.
(Sayang.. Bisa ke rumah sebentar nggak? Mama papa bawa mobil buat nganterin undangan ke saudara-saudara aku yank. Masalahnya, aku harus benerin gaun aku yang kamu tau apa?? Kekecilan lho bagian lengannya.. Duuuh yaaank.. Ini acara kita tinggal beberapa hari lagi dan gaun aku malah bermasalah kayak gini!)
Arraz tersenyum sambil membayangkan betapa lucunya wajah Amora yang manyun manyun manja sedang melapor padanya tentang gaun pernikahan calon pengantinnya yang katanya kekecilan bagian lengan.
Perasaan waktu fitting beberapa Minggu yang lalu kan udah diukur ya. Kok bisa jadi kekecilan? Apa designer nya salah ukur, atau tubuh Amora nya tersayang terblaem blaem itu yang melebar? Ah.. nggak tau lah!
Ting. Pesan masuk lagi.
(Sayaaaaaang.. Aku nunggu lho ini! Aku nggak suka ya kamu cuekin gini! Cepetan ke sini ah!)
Iyaaaaa.. Semanja itu Dewi Amora kepada Arraz. Dan Arraz pun sudah terbiasa dengan sikap manjawati yang Amora miliki. Tak apa, manja sama pacar sendiri itu halal hukumnya! Kata Arraz sih gitu.
Arraz mengirimkan emoticon jempol dan gambar hati warna merah untuk membalas pesan Amora. Lalu dia masukkan kembali ponselnya ke saku celana.
Nggak pake lama, Arraz ijin pergi keluar sebentar kepada sang ibu tercinta yang sedang menyusun kartu undangan di meja. Ditemani kakaknya Arraz, Fathiya Fairuz atau biasa dipanggil mbak Fai.
"Mau kemana sih Ar? Penting banget apa? Calon manten itu mbok ya jangan keluyuran, pamali tau nggak!" Tegur ibunya.
Ibu perhatikan Arraz yang barusan salim padanya, meminta ijin ingin ketemu temen katanya. Ya Arraz nggak bilang kalo mau ketemu sama calon istrinya, bisa dipukul pakai gayung selusin oleh ibunya jika ketahuan. Karena jelas mereka tak boleh bertemu beberapa hari sebelum pernikahan dilakukan. Kalau kata orang.. Dipingit!
"Sebentar kok buk. Nggak ada dua jam udah balik lagi." Ucap Arraz dan berbagai caranya bersilat lidah dengan kearifan lokal yang dia miliki, bisa seluwes itu bicara membohongi ibunya. Dosa kowe Ar!
"Nggak usah aneh-aneh yo ngopo! Ini lho bantuin ibuk nempel-nempelin nama ke undangan ini. Banyak banget kerjaan di rumah yang belum kelar kok kamu malah enak-enakan mau ngelayap! Nggak ada! Duduk, ambil pulpen! Bantuin mbak sini!" Ini suara siapa yang galak banget ini?? Ya salam..
Dia adalah Gusti Diah ayu kanjeng Roro Mendut menul menul Fathiya Fairus! Wanita berkacamata yang adalah seorang bidan di daerahnya itu memang sejutek itu dia. Jangan harap dapet senyuman manis imut kiyut darinya jika sedang serius kayak gini, yang ada hanya muka sangar dengan mata melotot hampir keluar, yang menjadi pemandangan mengerikan bagi siapa saja yang menatapnya.
"Bentar doang ya elah mbaaaak.. Nanti tak beliin es cendol. Mau? Sama alpukat kocok deh. Plus siomay tiga puluh ribu!" Tawar Arraz dengan muka-muka khas tukang suap!
"Nggak ada ya Ar! Yang ada wetengku murus! Mencret mangan opo ae kui mau! Kamu kira aku segragas itu hah?!" (Perutku mules! Mencret makan apa aja itu tadi!)
Arraz tak patah arang. Dia mendekati ibunya. "Kan sebentar doang Buk.. Janji nggak ada dua jam wes! Ya buk ya..."
"Ya udah.. Tapi janji jangan lama-lama! Jangan ketemuan sama Dewi! Nggak boleh! Dan hati-hati nyetirnya."
Akhirnya luluh juga sang ibu. Tapi mbak Fai langsung menatap tak suka ke arah Arraz. "Buuuk.. Kok ya diijinin sih! Lha katanya pamali!" Sengit mbak Fai kesal.
"Biarin aja mbak. Wong ya beberapa hari ini kan dia sibuk ngurus ini itu buat persiapan pernikahan dia. Mungkin emang dia butuh refreshing. Butuh hiburan." Bela ibuk dengan nada lembut nan bijaksana.
"Ya emang itu kewajiban dia to buk! Ini kan dia yang mau nikah! Yang mau kawin! Kita kan cuma bantu-bantu, lha kok malah jadi kayak pembantu gini! Ancen gemblung cah kui!"
Yang di rumah senewen. Yang mau pergi ketemu ayank mesam-mesem. Arraz berlalu begitu saja tak menanggapi apapun ucapan mbaknya. Bukannya apa, sedari tadi ponselnya sudah bergetar getar ria. Menandakan jika ada yang menghubungi dirinya. Tak perlu dilihat pun Arraz bisa tahu jika yang sedang membidik nomernya jadi target utama untuk diteror adalah sang calon bini tercinta. Dewi Amora!
Singkatnya, Arraz sudah sampai di rumah Dewi. Rumah kecil sederhana yang ditinggali Dewi dan kedua orangtuanya. Dewi yang memang sudah menunggu Arraz sejak tadi, langsung menyambut Arraz dengan bergelayut manja di lengan sang calon suami.
"Sayaaaang.. Kenapa lama banget sih ke sininya! Kan aku bete nungguin kamu!" Keluh Dewi dengan wajah dibuat seimut mungkin. Jika sudah begini, Arraz tidak akan bisa menolak apapun keinginan Dewi nantinya.
"Jangan gini.. Nggak enak dilihat orang. Ayo, ke butik sekarang. Takut nggak keburu benerin gaunmu." Arraz mengusap pucuk kepala Dewi pelan lalu merayap ke tangan gadis itu agar melepaskan jeratan erat di lengannya.
Dewi geleng-geleng kepala, dia menarik Arraz masuk ke dalam rumah. Tentu Arraz bingung dengan apa yang calon istrinya ini lakukan.
"Lho Mor, kenapa ditutup pintunya? Ini jadi ke butik apa nggak? Kalau nggak aku harus buru-buru pulang Mor. Aku--"
"Aku kangen sayaaang.. Kamu nggak kangen aku apa?? Udah hampir seminggu kita nggak ketemu lho.. Kangeeen...." Ini bicaranya Dewi emang mendayu-dayu seperti itu.
"Iya, aku juga kangen sama kamu. Tapi, sebenarnya kan kita nggak boleh ketemu dulu. Jadi, gaun itu.. Kamu bohong?" Arraz menatap dalam mata Dewi.
"Nggak sayaaang.. Gaunnya emang kekecilan. Tapi, aku udah bawa ke butik sendiri kemarin sore. Aku sengaja minta kamu datang ke sini karena aku pengen ketemu kamu..."
Dewi melingkarkan kedua tangannya di leher Arraz. Karena memang perbedaan tinggi yang signifikan, Dewi bahkan berjinjit untuk bisa melakukan hal tersebut.
Arraz menoleh ke samping, dia tahu Dewi akan menyosor bibirnya. Bukan nggak pernah melakukan kokop-kokopan lambe, tapi Arraz hanya ingin melakukan hal ini nanti.. Nanti jika mereka sudah sah menjadi suami istri! Mau diajak ngokop yang lain juga Arraz siap sedia kalau udah halalan Toyiban!
"Kenapa? Kamu nggak kangen sama aku Ar?"
Dewi melepaskan belitannya di leher Arraz tapi masih mepetin tubuhnya ke tubuh bidang sang calon suami.
"Nggak gini Mor.. Ini salah.."
Arraz bilang 'nggak' tapi dia diam saja waktu tangan Dewi mengusap rahang tegasnya, meluncur ke bawah mengelus lembut bagian leher Arraz, terus meluncur ke bawah ke bagian dada. Dan berputar-putar pelan di sana, lalu bergerak pelaaaan.. Melepas kancing kemeja Arraz satu persatu. Tanpa melepaskan kontak mata di antara mereka.
"Jangan nolak aku yank... Aku butuh kamu... Aku akan kasih apapun yang kamu mau, asal kamu nurut sama aku.. Ya?!"
Dewi berkata seperti seorang penyihir yang memiliki ilmu untuk menghipnotis lawannya. Arraz merinding mendengar suara lirih bercampur tindakan seduktif yang Dewi lakukan pada dirinya.
______
Tenan to.. Kandani ojo lungo ojo lungo, angel cah iki ancen. Wes mbuh kono Ar.. Ra urus!
Langit yang tadinya cerah ceria, mendadak dikelilingi kabut mendung tebal. Tak sampai hitungan menit, sang langit langsung menurunkan guyuran air hujan dengan sangat derasnya.
Derasnya hujan sore itu seolah menenggelamkan suara decapan yang timbul dari kegiatan berbahaya dua orang manusia di dalam rumah yang sengaja tidak dinyalakan lampu atau penerangan apapun untuk menembus pekatnya kegelapan di dalam sana. Masih sore udah gelap? Iya! Hujan deras dan awan hitam itu mampu menutup sinar matahari yang harusnya masih bertengger di langit sana.
Nyatanya suasana dan cuaca itu justru dianggap mendukung untuk dua makhluk tersebut makin menaikkan adrenalin mereka. Yang satu memberi, satunya lagi menerima.
"Mora, ini nggak bener..." Suara Arraz terdengar juga akhirnya.
Kemejanya sudah lepas dari badan. Rambutnya awut-awutan berantakan. Sorot matanya sayu, mendamba tapi juga tak ingin melewati batasannya. Jelas Arraz tersiksa dengan situasi yang terjadi sekarang ini.
"Apanya yang nggak bener, Ar? Kita saling cinta, kita saling sayang.. Dan, yang terpenting kita akan segera menikah kan? Lalu kenapa? Apa salahnya kalau kita melakukan ini duluan?"
Dewi sudah mempertontonkan kedua aset gunung putih mulus yang dia miliki tanpa penghalang apapun. Dan juga, rok mini yang tadi dia pakai sudah tergeletak entah di mana. Menyisakan celana dalam berbentuk segitiga sama sisi yang menempel menutupi bagian inti tubuhnya, tapi yo opo sih.. Itu segitiga sama sisi yang digadang-gadang bisa menutupi bagian pusat bumi milik Dewi.. Nyatanya malah jadi benda yang paling berbahaya bentukannya! Karena si semvak itu sangatlah transparan seperti saringan tahu. Bahkan mungkin saringan tahu bisa lebih tebal wujud dan bentuknya timbang semvak yang dipakai si Dewi ini.
"Come on, sayaaaang.. Kita udah sama-sama dewasa. Aku tau kok, kamu nahan diri buat nggak nyentuh aku selama ini. Kita sebentar lagi sah Ar, nggak ada bedanya ngelakuin sekarang atau nanti. Rasanya sama aja."
Suara lembut mendayu yang terlontar dari bibir mungil Dewi bagai nyanyian Mak lampir yang berhasil mempengaruhi pikiran Arraz. Menghancurkan sedikit demi sedikit kewarasan yang Arraz punya. Apalagi ditambah kondisi Dewi yang sudah nyaris bug1l jika tak ada segitiga transparan di antara selangkangannya. Arraz tak pernah melihat pemandangan seperti ini seumur hidupnya. Beberapa kali dia ketahuan oleh Dewi sedang meneguk air liurnya sendiri hingga jakunnya naik turun menggemaskan.
"Pegang aja. Sentuh.. Cium juga boleh.. Aku milikmu Ar..."
Dewi tersenyum penuh kemenangan ketika Arraz menggerakkan tangannya ke dada tanpa penghalang yang tersaji di depan matanya. Arraz seperti orang bodoh yang menuruti semua ucapan Dewi, bahkan dia tak menolak ketika tangannya diajak bergerilya dua-duanya untuk menyentuh gunungan menantang itu.
"Aaaaah.. Iya Aaar.. Pegang.. Remaaas.. Aku mau kamu Aaar.. Aku mau kamuuuh.."
Wanita bernama Dewi ini sedang berbaring di sofa, kepalanya mendongak ke atas. Dia biarkan kekasih merangkap calon suaminya itu mengekspresikan apa yang ingin lelaki itu lakukan pada tubuhnya. Dia mode pasrah separah parahnya! Iya emang parah banget si Dewi ini. Menyesatkan!
Tapi, kok ya yang disesatkan seperti ikut menikmati! Mau disesatin ke mana aja juga udah manut manut aja si Arraz ini.
"Mor..."
"Nggak sayang.. Jangan berhenti! Aku udah nggak tahan.. Kamu harus lanjutin ini, kamu harus nuntasin apa yang kamu mulai Ar.. Aku nggak mau kamu berhenti. Ambil hak mu sekarang, aku nggak apa-apa. Aku ikhlas nyerahin diri aku sekarang sama kamu.."
"Tapi Mor..."
"No! Nggak ada tapi.. Kamu lihat kan, aku udah kayak gini. Kamu udah lihat semuanya! Aku bahkan tinggal nyopot CD ini, dan kamu bisa lihat milik ku seutuhnya... Harusnya kamu nggak perlu banyak mikir Ar.. Lakuin apa yang mau kamu lakuin sama aku. Aaar.. Please.."
Yang namanya laki-laki, dikasih pemandangan kayak gitu, di depan mata, untuk pertama kalinya, pastilah sesuatu yang berada di pangkal pahanya langsung bereaksi. Dan Dewi tersenyum menyadari perubahan yang terjadi pada diri Arraz.
"Look sayang.. punyamu berdiri.."
Tangan Dewi begitu berani mengusap benda apapun itu yang masih terbungkus celana milik Arraz.
"Kalau aku sudah memulai, aku nggak jamin bisa berhenti Mor.. Jangan nantangin aku lebih dari ini.." Arraz memejamkan mata. Menikmati sentuhan tangan Dewi yang tiba-tiba berubah jadi remasan dari balik celananya.
"Aku justru seneng kalau kamu sampai lepas kendali.. Aku sengaja nantangin kamu Ar.."
Dan Dewi sengaja mengubah cara duduknya menjadi mengangkang lebar luar biasa. Menampilkan keindahan versi dia, yang dia miliki dan dia banggakan.
"Di sini Ar..."
Tangan Dewi menuntun tangan Arraz untuk mau menyentuhnya di bagian paling sensitif miliknya. Membiarkan Arraz menikmati pemandangan goa yang masih dilapisi saringan tahu berbentuk segitiga sama sisi itu.
Arraz tentu langsung menuju ke sana. Tapi, tak ada pergerakan apapun yang dilakukan Arraz. Dewi berpikir jika Arraz sedang menikmati keindahan dirinya dari bawah sana. Dewi tetap memejamkan mata menunggu saat-saat nikmat ketika Arraz bergerak atau melakukan apapun pada inti tubuhnya. Namun bukankah ini terlalu lama. Memang apa yang sedang Arraz lihat? Apa segitunya dia terpukau dengan lubang miliknya?
"Ar?"
Arraz diam. Dia berdiri menatap tajam ke arah Dewi.
"Ar.. Kenapa?" Dewi kebingungan ketika Arraz justru berdiri lalu menyambar kemejanya yang tadi dia campakkan begitu saja.
"Sama siapa kamu pernah lakuin itu Mor???" Pertanyaan Arraz membuat Dewi melotot kaget.
"Ar, apa maksud kamu?! Aku nggak pernah lakuin itu sama sekali!!"
"BOHONG!! LALU ITU APA?? KAMU PUNYA PENYAKIT KELAMIN MORA??"
Dewi berdiri ingin memunguti pakaiannya. Hatinya sakit bukan main, bukan seperti ini yang dia mau!
"Kamu nuduh aku yang nggak-nggak Ar! Aku nggak pernah khianati kamu!! Kamu ngelantur!! Aku sakit hati sama kamu!!!" Tak kalah kesal, Dewi ikut meninggikan suaranya.
Dengan keras, Arraz mendorong Dewi hingga jatuh kembali ke sofa. Tangan yang tadi membelai lembut bagian tubuh Dewi seperti seorang yang sedang memuja, kini tangan itu juga yang menarik kaki Dewi dan membentangkannya lebar ke samping kanan kiri.
"INI!! INI JENGGER AYAM MORA, KAMU PUNYA KUTIL KELAMIN!! SIAL, ORANG YANG SELAMA INI AKU JAGA SEPERTI SEBONGKAH BERLIAN, TERNYATA TAK LEBIH DARI SEONGGOK BATU KALI!!!"
"Arraz.. Aku.. Itu bukan seperti yang kamu pikirkan.. Aku bisa jelasin Ar.."
Arraz tak menggubris ucapan Dewi. Dia membuka pintu rumah Dewi cepat, meninggalkan Dewi yang belum lengkap berpakaian. Masa bodoh! Hati Arraz hancur lebur saat ini. Wanita yang dia cintai, yang dia jaga sepenuh hati, yang dia titipkan cinta, yang dia penuhi harinya dengan perhatian dan penantian untuk bisa bersama menuju pelaminan.. Nyatanya hanyalah seorang Medusa!
"Aku salah apa sama kamu, Mor?! Aku kurang apa sama kamu?!"
Arraz bermandikan hujan memukul dadanya sendiri untuk menghilangkan rasa sakit di hatinya. Tak lama, Dewi keluar dari dalam rumah lalu memeluk Arraz dari belakang. Dia dekap erat perut Arraz seakan tak ingin melepaskan lelaki yang baru saja melihat seluk beluk tubuhnya.
"Ar.. Masuk Ar.. Aku bisa jelasin Ar.."
"Nggak Mor! Kita batalin aja pernikahan kita! Aku nggak bisa terima dikhianati kayak gini! KAMU PIKIR AKU SEBODOH APA HAH?? KAMU HANCURIN HATI AKU MOR!"
"Nggak Ar! Aku nggak mau! Pernikahan kita nggak boleh batal! Ar... Aku minta maaf.. Aku--"
"Minggir, aku nggak mau tertular penyakit kamu!"
Arraz melepaskan pelukan Dewi. Dia tak peduli dengan tangisan Dewi. Hati Dewi juga hancur, kata-kata Arraz tadi benar-benar membuat Dewi terpukul.
Tapi, dari pada Dewi.. Arraz lah yang paling tersakiti di sini..
______
Nah.. Hancur deh semuanya. Kalo udah kayak gini, mau nyalahin siapa?
Jadi gini, penyakit jengger ayam pada perempuan atau laki-laki itu emang beneran ada. Bukan karangan semata atau mengada-ada. Bukan lucu-lucuan yang sengaja disebut untuk bahan candaan. Jengger ayam merupakan infeksi menular seksual yang disebabkan oleh virus Human Papillomavirus (HPV).
Penularan biasanya terjadi melalui kontak seksual, termasuk seks oral, anal, dan vaginal, serta melalui sentuhan langsung pada area yang terinfeksi. Kenapa disebut jengger ayam? Bagaimana ciri-cirinya? Tingkat keparahannya seperti apa? Mohon cari sendiri di google!
______
Pulang dalam keadaan basah kuyup padahal dia menggunakan mobil, ah bakal repot ngeringin jok mobil nanti si Arraz. Tentu saja bukan itu yang penting sekarang, bukan tentang jok mobil basah, bukan tentang nanti dia bakal masuk angin atau demam sekalipun. Tentu bukan!
Karena yang paling sakit adalah hatinya. Arraz melewati ibu dan mbaknya begitu saja. Menuju kamar adalah tujuannya. Dia bahkan menghindari tatapan mengandung banyak pertanyaan dari ibu dan mbaknya. Enggak sekarang, jangan sekarang! Nanti. Nanti pasti Arraz jelaskan pada dua wanita paling dia sayangi alasan dia main slanang slunung aja.
Pikiran Arraz kalut. Dia malah nggak bisa mikir apa-apa sekarang. Hanya ada pertanyaan 'kenapa....?'
"Harusnya kamu bilang... Harusnya kamu jujur... Aku jaga kamu sepenuh hati, tapi kamu rusak diri mu sendiri.. Kenapa?? Aku yang bodoh atau bagaimana.. Kurang apa aku sama kamu??"
Kecewa itu pasti. Marah sudah jangan ditanya lagi. Arraz menaruh kepalanya di tembok. Kucuran air dari shower Arraz harapkan bisa meluruhkan sedikit saja rasa sakit di hatinya. Tapi nyatanya tetap tidak bisa.
"Ya Allah..." Arraz menjatuhkan diri.
Sehancur itu dia. Sesakit itu lelaki yang baru saja menyelesaikan mandi ala kadarnya. Dia ingin menemui ibunya. Ingin bicara empat mata, matanya merah. Jelas dia habis menangis.
"Kamu kenapa Ar? Tadi pergi kemana, kok datang-datang basah kuyup?" Yani, ibu dari Arraz dan Fai bertanya lebih dulu sebelum Arraz duduk di dekatnya.
"Mbak Fai mana buk?" Arraz basa-basi aja.
"Eleh, kebiasaan. Kalau ditanya malah balik nanya. Mbak mu ke puskesmas. Ada ibu-ibu mau lahiran katanya. Dia ke sana dulu buat bantu-bantu."
Arraz menelan ludahnya susah payah.
"Buk.. Kalau nikahnya dibatalin aja gimana?" Bersamaan dengan itu, bapaknya Arraz baru aja melangkah masuk ke dalam rumah.
"Astaghfirullah hal adzim. Kenapa Ar? Kenapa dibatalin?? Kita udah nyiapin semuanya. Bahkan kamu cuma tinggal ijab kabul aja. Ada apa? Kamu jangan main-main Ar!" Yani sampai menunjukkan mimik wajah sedihnya. Syok dia.
"Bisa ngelantur juga kamu Ar?! Salah makan apa sampai punya pikiran kayak gitu, hah?! Kenapa? Kenapa bilang mau batalin pernikahan mu?? Kamu pikir pernikahan itu barang yang bisa dibuat main-main apa?? Bisa seenaknya kamu minta anak orang buat jadi istrimu, lalu tanpa sesuatu yang jelas kamu putuskan buat membatalkan semuanya. Gila kamu! Mau ditaruh dimana muka ayah sama ibumu ini kalau kamu lakuin hal itu?!" Kali ini Adi, bapak Arraz langsung menyambar apa yang jadi topik pembicaraan antara istri dan anaknya.
Baru pulang kerja lho bapak Adi ini, udah capek, pegel, ngurus ini itu di luaran sana, eh pas datang ke rumah malah disambut sama kabar yang sebegininya itu apa ya nggak bikin kepala mau meledak rasanya?
"Karena antara aku dan Amora sudah nggak ada kecocokan, yah.. Percuma--"
Plak!
Suara apa itu? Suara apa ituuuu??
"Ibu nggak suka sama pengecut Ar. Apalagi pecundang! Kamu seenaknya bilang kalau sudah nggak ada kecocokan antara kalian, terus semua ini apa?? Kamu pikir semua yang kami lakukan untuk mu ini nggak butuh biaya?? Nggak butuh modal?? Tenaga kami, pikiran kami, semua kami fokuskan untuk hari pernikahan kamu nanti!! Dan seenak udelmu kamu bilang kalian sudah nggak cocok ketika hari pernikahan sudah di depan mata?!"
Arraz ditampar Yani. Adi mencebik menatap anak bungsunya yang memang terkesan meremehkan orang lain.
Namun untuk berkata jujur, Arraz nggak bisa. Arraz nggak mau membuka aib Dewi, lalu bagaimana caranya membuat pernikahan ini batal jika dia saja nggak mau jujur dengan kebenaran yang dia ketahui tentang Dewi dan jengger ayam yang perempuan itu miliki.
"Tanggung jawab Ar. Laki-laki itu yang dipegang tanggung jawabnya! Sudah sejauh ini, sudah sampai di sini, apa kamu tega mutusin semuanya hanya karena penjelasan tak masuk akalmu itu?! Sudah tidak cocok katanya... Rasanya kalau kamu bukan anakku, sudah ibu masukin kamu ke kandang singa!" Yani geleng-geleng tak percaya.
"Tapi.. Aku memang nggak bisa lanjutin hubungan ku dengan Amora buk, yah.. Bukan karena aku lepas tanggung jawab. Aku--"
"Sudahlah! Anggap obrolan ini nggak pernah ada! Kamu yang memilih calon istri mu sendiri, kamu pacari dia lama, dan semua ini juga kamu siapkan untuk mempersunting Dewi agar bisa jadi istri mu kan? Rasanya alasan mu untuk membatalkan pernikahan mu ini tidak masuk akal sama sekali. Pikirkan lagi, apa saja yang sudah kalian lewati. Jangan karena emosi sesaat lalu kamu hancurkan semua yang sudah kamu siapkan jauh-jauh hari." Kalimat Arraz segera dipotong ayah Adi.
Arraz menunduk lesu. Percuma saja jika seperti ini. Arraz tak mau mengatakan apapun tentang jengger ayam milik Dewi karena pasti ayah dan ibunya berpikir yang tidak-tidak tentangnya. Dari mana Arraz tau jika Dewi punya penyakit kelamin jika tidak melihatnya sendiri?? Dan masa iya Arraz kudu ngadu kalau tadi dia khilaf dan hampir saja nerjang semua batasannya jika tidak terhalang sang kutil menular di area sensitif Dewi.
Malam harinya Arraz tidak nafsu makan sama sekali. Padahal perutnya hanya kemasukan karbohidrat dan teman-temannya tadi pagi saja. Setelah itu boro-boro makan, bahkan dia tidak merasakan lapar sama sekali. Seperti seorang yang patah hati, dia mengurung dirinya di kamar. Lagi-lagi dia memikirkan tentang calon istrinya, jika tidak boleh membatalkan pernikahan.. Berarti selamanya dia akan menjadi perjaka meski sudah memiliki istri sah nantinya. Ayolah Ar.. Yang kamu pikirin kok kebutuhan selangkangan aja itu ya gimana lho!
"Ar." Suara mbak Fai mengetuk pintu kamarnya.
"Masuk mbak. Nggak dikunci." Suara Arraz serak menjawab panggilan kakaknya.
"Makan. Disuruh makan sama ayah. Kayak anak kecil aja, makan aja masih disuruh-suruh. Kayak gini kok ngebet mau kawin, nggak malu sama badan segede gaban ini hmm?"
Arraz tak menjawab. Dia masih di posisi semula. Duduk di lantai bersandar pada dinding dekat ranjangnya.
"Kata ayah kamu mau batalin pernikahan mu, kenapa? Pasti ada alasan logis sampai kamu ambil keputusan kayak gini kan? Tadi pagi kamu masih baik-baik aja.. Nggak ribut-ribut mau batalin pernikahan mu."
Yang biasanya paling judes, paling galak, paling kenceng suaranya, kini jadi sosok ibu peri baik hati. Dia mbak Fai! Wanita berusia 32 tahun, sudah menikah. Memiliki satu anak laki-laki yang selalu nempel dengan Arraz jika sedang bersama. Suami mbak Fai seorang dokter dengan gelar Sp.DVE atau Spesialis Dermatologi, Venereologi, dan Estetika. Ya, tau lah ya berarti suami mbak Fai ini seorang dokter spesialis kulit dan kelamin.
"Menurut mbak ini apa?"
Arraz menyerahkan ponselnya, dia ketik di mesin pencarian tentang jengger ayam atau kutil kelamin. Mata Fai langsung memicing.
"Kutil kelamin? Kam-muu?? Oowh astaga. Pantesan kamu ngotot minta batalin pernikahan, ya Tuhaaaaan Ar.. Mbak nggak nyangka kamu sebebas ini." Fai menutup mulutnya dengan telapak tangan.
"Congor mu mbak. Bukan aku! Aku masih perjaka! Aku nggak pernah mau nyakitin perempuan dengan asal tusuk terus tak tinggal gitu aja. Aku punya kamu, punya ibuk. Aku nggak bisa bayangin kalau kalian disakiti orang yang hobi celap-celup."
"Bener? Bukan kamu?? Ini penyakit menular Ar! Bahaya! Terus apa hubungannya antara hasil searching mu sama kamu yang mau batalin pernikahan?? Jangan bilang kalau Dewi yang..." Fai makin membulatkan matanya.
"Iya.. Dia kena kutil kelamin."
"Itu artinya kamu udah liat punya dia?? Ar.. Astaga! Kamu udah mau buka segel sebelum ngesahin dia?? Kok brengsek ya kamu!"
Arraz memutar bola matanya malas. "Namanya juga khilaf!"
"No! Itu bukan khilaf tapi cari penyakit namanya!!"
"Iya bener. Cari penyakit dan ketemu penyakitnya!"
Kakak beradik ini terdiam. Ingin rasanya Fai menjambak kepala adiknya sampai botak. Tapi bagaimana lagi, ini bukan waktunya jambak-jambakan.
"Ayo makan dulu. Ayah udah nungguin. Kalo soal Dewi.. Kamu bisa ajak dia ke klinik besok? Biar mbak periksa dia. Mastiin apa dia bener kena jengger ayam kayak yang kamu bilang."
"Nggak yakin kalo dia mau."
"Ya terserah kamu gimana bujuk dia biar mau periksa ke klinik nanti. Kan dia calon istri mu. Masa iya nggak mau nurut sama kamu!"
Akhirnya Arraz nurut. Dia keluar kamar digiring Fai di belakang. Sekarang makan dulu aja kali ya, mikir yang berat-beratnya nanti lagi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!