Seorang wanita muda berdiri tegak di depan pagar rumah seseorang. Tangannya gemetar memegang secarik kertas kusut yang tertulis alamat dengan tinta hampir pudar. Ia menoleh ke kanan dan kiri, memastikan bahwa inilah tempat yang sudah bertahun-tahun hanya hidup dalam bayang-bayang ingatannya—rumah sang ibu.
Hana menarik napas panjang, lalu menekan bel di samping pagar. Harapannya sederhana seseorang membuka pintu. Tapi di balik harapan itu itu, ada badai yang seolah telah menunggunya. Terik matahari siang itu menambah tekanan yang menggumpal di tubuhnya.
Tak butuh waktu lama, daun pintu terbuka. Seorang wanita paruh baya melangkah keluar. Awalnya santai, hingga pandangannya bertemu dengan wajah Hana. Langkahnya langsung dipercepat. Mata itu, yang dulu begitu hangat, kini menatap dengan amarah dingin dan tajam. Rahangnya mengeras. Tak ada pelukan. Tak ada air mata rindu. Hanya kemarahan dan keterkejutan.
Sang ibu berdiri di hadapannya, wajahnya penuh ketegangan.
“Kenapa kamu datang ke sini?”
Begitulah, bukan sapaan, bukan pula pelukan, melainkan bentakan pertama setelah hampir satu dekade mereka tak bertemu.
Hana tak bergeming. Tatapan dingin sang ibu, bahkan nada bicara yang seolah hendak menusuk harga dirinya, tak membuatnya gentar. Ia sudah menyiapkan diri untuk ini, untuk sambutan yang tidak ramah, untuk luka yang akan menganga lagi.
Tapi kali ini, ia tak datang sebagai gadis kecil yang terluka.
Ia datang sebagai wanita yang siap membalas.
Sebuah senyum sinis terukir di sudut bibirnya. Bukan senyum bahagia bertemu ibu setelah sepuluh tahun, melainkan senyum pahit penuh ironi. Senyum seseorang yang sudah tak lagi berharap, hanya membawa satu tujuan, balas dendam.
"Aku cuma mau melihat wajah ibu, yang sudah lama tak datang menemui ku," ucap Hana pelan namun tegas.
Sri, sang ibu, memejamkan mata sejenak. Rahangnya mengeras, bibirnya mengatup kuat menahan emosi. Bukan karena rindu, tapi karena kemarahan, karena kedatangan Hana seperti bom waktu yang bisa meledakkan ketenangan hidup barunya kapan saja.
Malika.
Sri menoleh ke dalam rumah, cemas. Pandangannya gelisah seperti menyembunyikan sesuatu. Ia takut Malika, putri tiri yang selama ini ia banggakan dan rawat dengan sepenuh hati melihat siapa yang berdiri di luar pagar.
Karena bagi Sri, Hana adalah masa lalu yang memalukan. Luka yang seharusnya sudah terkubur.
"Pergilah sebelum Malika melihatmu," bisiknya tajam, hampir memohon, namun tetap menjaga wibawanya.
Hana mengangkat satu alis. "Kenapa harus takut?"
Sri tak menjawab. Hanya diam dan menunduk dengan gusar, lagi-lagi karena takut Malika keluar rumah.
Hana menghela napas, lalu mundur selangkah.
“Tenang saja, Bu. Ini baru permulaan,” ucapnya tenang namun penuh ancaman.
Sri berdiri kaku di balik pintu pagar yang masih setengah terbuka. Matanya menajam, menyapu Hana dari ujung kepala hingga kaki, seolah kehadiran putri kandungnya itu adalah aib yang baru saja bangkit dari kubur.
"Apa sebenarnya maksudmu datang ke sini, Hana? Kau sudah besar. Kau pasti paham tempat ini bukan lagi rumahmu," ucap Sri tajam, suaranya lirih tapi penuh tekanan.
Hana hanya memiringkan kepala, senyumnya melebar, nyaris seperti mengejek.
"Aku tahu," jawabnya ringan. "Aku bukan bagian dari keluarga ini. Ibu sudah menghapus aku sejak lama, kan?"
Sri menggertakkan gigi. "Pulanglah. Sebelum Malika..."
"Ah, Malika lagi..." Hana memotong dengan nada pelan namun penuh sindiran. "Putri kesayangan kalian itu? Jangan khawatir, aku tak akan menyentuh satu helai rambutnya selama ia tak mengusikku."
Wajah Sri memucat. Pandangannya kembali gelisah menengok ke dalam rumah, seolah bayang-bayang Malika bisa muncul kapan saja dari balik tirai jendela. Tapi Hana tidak berhenti di situ.
Ia melangkah lebih dekat ke pagar, menatap ibunya dari jarak yang nyaris membuat napas mereka bersentuhan.
“Izinkan aku masuk, Bu. Atau...” ia tersenyum miring, "biar aku teriak di sini... supaya tetangga-tetangga tahu bahwa ibu Sri yang terhormat ini punya anak kandung yang sudah dibuangnya belasan tahun lalu."
Nada suara Hana lembut, tapi ancamannya menggigit seperti sembilu. Ia tahu titik lemah ibunya, reputasi dirinya dan sang suami.
Sri tercekat. Tangannya yang menggenggam pagar mengeras. Lidahnya kelu. Dihadapannya kini bukan lagi anak kecil yang mudah diusir. Ini adalah seorang wanita yang datang membawa luka dan keberanian.
Akhirnya, dengan tarikan napas berat dan raut terpaksa, Sri membuka pagar sepenuhnya.
"Masuklah," katanya dingin. "Tapi jangan pikir aku akan menyambutmu dengan hangat."
Hana melangkah masuk dengan anggun. Senyumnya tetap mengembang, senyum seorang musuh yang baru saja memenangkan babak pertama perangnya.
"Tenang, Bu. Aku sudah tak pernah mengharapkan kehangatan darimu."
Sri tiba-tiba menyeret lengan Hana dengan kasar, langkahnya cepat dan panik. Hana nyaris terjatuh saat tas besar di pundaknya terseret lantai, namun ibunya tak peduli. Bagi Sri, saat ini hanya ada satu hal penting, jangan sampai Malika tahu.
Mereka berjalan menyusuri sisi rumah, melewati taman kecil dan rak-rak pot bunga yang tertata rapi. Sri mendorong Hana masuk lewat pintu samping yang terhubung langsung ke dapur. Aroma sabun cuci dan makanan sisa menggantung di udara, menciptakan kontras tajam dengan ketegangan yang memenuhi ruang.
Tanpa banyak bicara, Sri menarik Hana lebih dalam, lebih tersembunyi, menuju sebuah kamar kecil di ujung dapur. Kamar pembantu. Ukurannya sempit, berdebu, dan kosong, seolah tak pernah disentuh selama bertahun-tahun.
Cekrek.
Pintu ditutup rapat. Sri menempelkan telunjuk di depan bibirnya. “Diam. Jangan satu kata pun sampai aku bilang.”
Napas Hana masih terengah. Keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ia menatap ibunya dalam diam, menahan emosi yang bergulung dalam dada.
Sri menyilangkan tangan di dada, berdiri di ambang pintu dengan wajah gelap.
“Cepat katakan. Apa maumu? Uang?” bisiknya tajam, hampir mendesis.
Hana menghela napas panjang. Kakinya terasa berat, tubuhnya lelah oleh perjalanan jauh dari desa. Tapi yang lebih melelahkan adalah kenyataan ibu kandungnya sendiri kini memperlakukannya lebih buruk dari orang asing.
“Ya Tuhan…” lirihnya dalam hati, hampir tak terdengar, “sebegitu bencinya kah ibuku padaku?”
Ia menunduk sejenak, menguatkan diri. Tidak. Ia tak datang untuk menangis. Ia tak akan memberi ibunya kesempatan melihat dirinya lemah. Ia adalah Hana yang baru. Hana yang kuat. Hana yang datang untuk membalas luka lama.
Perlahan, ia menatap ibunya, kali ini dengan sorot mata yang tajam.
“Aku hanya ingin satu hal, Bu. Aku ingin hidupku kembali.”
Sri mengerutkan dahi, bingung sekaligus terintimidasi. “Hidupmu? Maksudmu apa?”
Hana tersenyum tipis. “Yang kau dan suamimu rampas. Yang kalian hancurkan saat kalian memilih Malika dan membuang aku.”
Sunyi. Udara di dalam kamar itu seolah mengeras. Sri terdiam, matanya menyipit, mulai menyadari bahwa kedatangan Hana bukan hanya sebuah kunjungan kejutan. Ini adalah permulaan dari sesuatu yang lebih besar. Sebuah pembalasan.
Sri melotot tajam ke arah Hana, kesal melihat sikap putrinya yang begitu santai, seolah-olah dialah yang memegang kendali.
"Jangan macam-macam kamu, Hana!" desisnya sembari mencengkeram lengan anaknya dengan keras. "Cepat katakan apa tujuanmu ke sini sebenarnya!"
Namun Hana tak gentar. Dengan tenang ia menepis tangan ibunya, lalu membuka tas besar yang tadi hampir membuatnya terjatuh. Jemarinya terarah pada sebuah amplop coklat tua yang tampak usang namun masih rapi tersimpan.
"Tenang, Bu," katanya pelan, menyunggingkan senyum yang tak bisa ditafsirkan, antara dendam, sinisme, dan sedikit kenangan pahit. "Nenek menyuruhku memberikan ini pada Ibu."
Sri menyambar amplop itu dengan geram. Tapi saat dia menarik kertas dari dalamnya dan membaca isinya, wajahnya langsung berubah.
Matanya membulat. Bibirnya gemetar. Wajahnya seketika pucat.
Hana menyandarkan tubuh ke tembok kamar kecil itu, menyilangkan tangan dan memandangi ibunya dengan puas. Tidak ada pelukan hangat yang ia harapkan, jadi tak ada pula belas kasihan yang akan ia beri.
"Aku senang Ibu masih bisa membaca," sindir Hana pelan.
Sri menunduk menatap surat di tangannya. Jari-jarinya bergetar saat menelusuri kembali tulisan tangan yang begitu dikenalnya, tulisan ibu kandungnya sendiri, Ningsih, yang kini entah berada di mana. Surat itu menyebutkan perjanjian yang ia dan suaminya buat sepuluh tahun silam.
Perjanjian hutang.
Sri langsung teringat saat-saat awal pernikahannya dengan pria barunya. Saat itu mereka hidup pas-pasan, dan ia membujuk ibunya agar mau menjual kebun sawit warisan sang ayah. Uangnya, mereka janji akan digunakan untuk modal usaha dan menyekolahkan Hana.
Ningsih, dengan hati yang rapuh tapi penuh cinta pada cucunya, akhirnya luluh. Tapi dengan satu syarat, Hana harus ikut mereka ke kota dan dirawat sebagaimana mereka merawat Malika.
Sri menggigit bibirnya sendiri. Matanya kosong. Sebuah kenangan muncul, kenangan yang sudah lama coba ia kubur dalam-dalam. Ia tahu ia telah mengingkari janji itu. Setelah uang berada di tangan, mereka berubah. Usaha berjalan, kehidupan membaik, Malika tumbuh dengan limpahan kasih sayang.
Sementara Hana? Dibiarkan. Diabaikan. Ditelantarkan.
Sri menatap Hana lagi. Kali ini dengan campuran rasa takut dan bersalah, sesuatu yang bahkan belum sempat ia akui pada dirinya sendiri selama ini.
"Aku datang bukan untuk minta belas kasihan," kata Hana dingin. "Aku datang untuk menagih janji. Bukan cuma uang, tapi hakku sebagai anak. Sebagai manusia."
Sri memejamkan mata. Kata-kata itu menamparnya lebih keras dari apa pun.
Wajah Sri memucat. Tangannya gemetar, amplop yang tadi dipegang erat kini hampir jatuh dari genggaman. Ia tahu betul isi perjanjian itu. Bukan sekadar omong kosong warung kopi. Ada tanda tangan dirinya dan suaminya, lengkap dengan materai. Tertulis jelas jika dalam sepuluh tahun hutang tak dikembalikan, maka jumlahnya berkali lipat. Tepatnya sepuluh kali lipat dari nilai awal.
Sri menelan ludah. Satu miliar. Jumlah yang kini tak mungkin bisa ia keluarkan tanpa menjual rumah atau tokonya. Pikirannya berputar cepat, sementara Hana tetap diam di sudut kamar sempit itu, memperhatikan setiap kegelisahan sang ibu seperti menonton pertunjukan yang sudah lama ia tunggu-tunggu.
Tiba-tiba.
"Ibu...! Ibu di mana, sih? Malika lapar nih, buuu~"
Terdengar suara teriakan manja dari arah ruang tengah. Suara itu memecah ketegangan di dalam kamar seperti petir di siang bolong.
Sri terkesiap. Tubuhnya langsung menegang, matanya panik memandang Hana.
“Jangan bersuara!” bisiknya tajam, telunjuknya kembali menempel di bibir, seperti sebelumnya.
Namun Hana hanya mengangkat alis. Tak peduli. Ia bahkan menyenderkan tubuh ke tembok, menarik napas dalam dan menutup mata sejenak. Lelah. Perjalanan jauh dari desa, panas, dan luka batin yang terus menguras tenaganya membuat tubuhnya nyaris roboh.
Sri buru-buru keluar kamar dan menutup pintu perlahan. Di luar, Malika berdiri dengan piyama lembut warna pastel, rambutnya dikuncir dua seperti anak remaja manja, dan wajahnya cemberut.
"Aku laper, Bu. Buatin mi instan dong. Yang pakai telur dua, cabenya jangan banyak,” katanya sambil menjulurkan bibir.
Sri langsung berubah. Wajah tegangnya ditutup dengan senyum lemah yang dipaksakan. “Iya, sayang. Ibu buatin sekarang, ya?”
Sri langsung ke dapur, tangannya cekatan mengambil mi, telur, dan panci kecil. Ia tak berani menengok ke kamar sempit di ujung dapur. Pikirannya masih digelayuti rasa takut dan bersalah.
Sementara itu, di balik pintu tipis kamar pembantu, Hana duduk di atas kasur tua yang sudah mengempis. Ia mendengar suara ibunya mengaduk mi di dapur. Bau bumbu instan yang khas menusuk hidungnya.
Perutnya berbunyi.
Ia menahan diri agar tidak mengeluh. Tapi rasa lapar tak bisa dibohongi. Selama perjalanan, ia tak makan apa pun. Hanya minum seadanya. Kini, tubuhnya menjerit minta asupan.
Ia membuka tas besar yang dibawanya. Dari dalamnya, ia keluarkan bekal terakhir yang neneknya siapkan, nasi putih yang dibungkus daun pisang, hangatnya sudah hilang, dan tanpa lauk.
Ia membuka bungkus itu perlahan, memandangi isinya sejenak lalu tersenyum getir.
“Ibu...,” bisiknya pelan.
"Mi instan untuk Malika, nasi dingin tanpa lauk untukku."
Ia lalu memakan nasi itu perlahan, sambil menahan air mata yang menggantung di pelupuk matanya.
Tapi Hana meneguhkan diri. Dia tidak datang untuk belas kasihan. Dia datang untuk menagih harga dirinya yang pernah diinjak.
Dan ini baru permulaan.
“Ibu… itu sandal siapa di depan pintu kamar pembantu?”
Suara Malika terdengar dari arah meja makan, terdengar ringan namun penuh curiga.
“Jangan-jangan… ibu mempekerjakan pembantu diam-diam, ya?”
Sri yang tengah menuangkan mi ke mangkuk langsung membeku sejenak. Jantungnya berdegup lebih cepat dari sebelumnya. Ketahuan? Dalam sepersekian detik, otaknya berpikir cepat mencari alasan.
“Bukan, Nak,” jawabnya berusaha santai sambil tersenyum kikuk. “Itu sandal ibu. Tadi habis nyapu belakang.”
Malika menyipitkan mata, ekspresi manjanya berubah jadi menyelidik. “Ibu awas aja ya, kalau ternyata diam-diam sewa pembantu! Nanti Ayah marah loh! Sayang banget uangnya. Mending buat biaya kuliah aku.”
Sri tertawa kecil, hambar. “Tentu saja nggak, Sayang. Buat apa ibu pakai pembantu? Ibu masih kuat, kok. Semua masih ibu kerjain sendiri.”
Malika hanya mendengus kecil. “Iya deh, tapi jangan lupa ya, sepatu aku yang kotor udah di pojok kamar, belum dicuci. Sama baju-baju yang kemarin juga. Aku butuh buat acara kampus.”
Sri mengangguk lemah. “Iya, Nak. Ibu cuci nanti.”
Hana yang mendengarkan semua itu dari balik pintu kamar pembantu hanya bisa menghela napas pelan. Ia duduk bersila di atas kasur tipis yang dingin, menatap sisa nasi yang belum habis di telapak tangannya. Tidak ada lauk, tidak ada minuman.
Tapi ada kenyataan yang lebih pahit dari lapar: melihat ibunya begitu tunduk pada anak tirinya.
Ia tersenyum tipis. Getir.
Dulu ia pernah bermimpi diperlakukan seperti itu, dimanja, diperhatikan, diminta tolong dengan nada manis. Tapi semua itu hanya milik Malika.
Bagi ibunya, dirinya hanyalah beban lama yang muncul kembali saat semuanya sudah nyaman.
Setelah menyantap nasi bungkus yang dibuatkan sang nenek, Hana merebahkan tubuhnya di atas kasur tipis yang mulai menghangat oleh tubuhnya. Lelah masih menggantung di sendi-sendi, tapi hatinya terasa sedikit lebih ringan. Mungkin karena sudah menumpahkan sebagian luka lewat amplop tadi, atau mungkin, karena ia akan segera mendengar suara yang sangat ia rindukan.
Ia mengambil ponsel kecilnya dari dalam tas. Layar retaknya tak mengurangi harapannya. Ia lalu mengetik nomor yang sudah dihafalnya luar kepala. Tapi tentu saja ia tidak bisa langsung menelepon, tidak dari rumah ini. Bukan dengan ancaman keberadaannya harus tetap tersembunyi.
Dengan hati-hati, ia mengirim pesan terlebih dahulu pada Nisa, tetangga yang seumuran dengannya di desa, teman kecilnya, dan satu-satunya yang ia percaya. Beberapa menit kemudian, Nisa menghubungi balik, dan Hana langsung mengangkat panggilan video itu.
Wajah keriput Nenek Ningsih muncul di layar, diapit oleh kain kerudung lusuh yang tak mengurangi kehangatan matanya.
"Hana... Alhamdulillah, kamu sudah sampai," suara sang nenek terdengar tercekat, matanya berkaca-kaca.
"Iya, Nek. Aku sudah di rumah ibu. Maaf belum sempat kabari lebih cepat," suara Hana nyaris tenggelam dalam haru.
Keduanya diam sejenak, hanya saling menatap. Ada rindu, ada takut, ada bahagia yang semua bercampur menjadi satu. Ini pertama kalinya mereka hidup berjauhan. Selama sepuluh tahun lebih, hanya merekalah yang saling menjaga dan menyembuhkan luka satu sama lain.
“Kamu sudah makan nak?”
Hana tersenyum tipis. “Aku sudah makan nasi bungkus dari nenek tadi, masih enak walau sudah dingin.”
Ningsih mengangguk pelan, wajahnya jelas tak bisa menutupi rasa khawatir. Tapi ia berusaha kuat.
“Nenek cuma minta kamu sabar. Jangan terlalu cepat marah. Waktumu akan datang. Kamu pasti bisa ambil kembali hak kamu, tapi harus tetap jaga hati. Jangan seperti mereka.”
Hana menahan air matanya. “Nenek juga harus jaga kesehatan. Jangan sampai jatuh sakit. Nenek harus panjang umur, harus lihat aku berhasil, lihat aku bawa pulang semua yang pernah direbut dari kita.”
Sang nenek tersenyum, kali ini tulus meski getir. “Insya Allah. Nenek akan selalu mendoakanmu Nak. Hati-hati disana dan jaga kesehatan.”
Panggilan berakhir dengan doa yang dibisikkan di antara isak perlahan. Hana memeluk ponselnya sesaat sebelum meletakkannya kembali ke tas.
Sunyi menyelimuti kamar. Hanya suara kipas angin tua dari dapur yang sesekali berderit.
Hana bangkit perlahan, lalu membuka tas kecil berisi mukena putih lusuh. Ia berjalan pelan ke kamar mandi belakang, mengambil air wudhu dengan hati-hati, agar tak menimbulkan suara mencolok.
Setelah itu, ia kembali ke kamar dan membentangkan sajadah tipis yang digulung rapi dari dalam tas. Dengan tenang, ia menunaikan shalat Dzuhur, menundukkan tubuh dan hatinya di hadapan Tuhan, satu-satunya tempat ia bisa menumpahkan semuanya, tanpa dihakimi, tanpa diabaikan.
Dalam sujudnya, Hana berdoa. Bukan hanya untuk kekuatannya sendiri, tapi juga untuk neneknya. Untuk keadilan. Untuk hati ibunya yang suatu hari semoga bisa kembali mengenalnya, bukan sebagai ancaman, tapi sebagai anaknya.
Setelah menunaikan shalat, tubuh Hana rebah begitu saja di atas kasur tipis. Mukenanya masih melekat di tubuh, menutupi wajah yang lelah dan hati yang penuh luka. Dalam sekejap, kantuk menyerangnya dan tanpa sadar, ia pun tertidur.
Namun tidur itu tak berlangsung lama.
Brrrummm... brrrr...
Suara mesin cuci menggerung dari ruangan sebelah. Suara itu cukup keras, membuat Hana terbangun perlahan. Matanya masih berat, tapi kesadarannya perlahan kembali.
Kamar pembantu itu memang bersebelahan langsung dengan ruang laundry, ruangan kecil tempat mesin cuci dan jemuran berdiri. Melalui jendela kecil yang berdebu, Hana bisa melihat ibunya berdiri di sana, sibuk membongkar tumpukan baju.
Baju-baju milik Malika.
Renda, satin, sifon, semua bahan lembut yang mudah sobek. Tapi Sri begitu hati-hati. Beberapa bahkan tak dimasukkan ke mesin. Ia mencucinya dengan tangan, penuh ketelitian dan kesabaran. Matanya fokus, gerak tubuhnya terlatih. Seolah pekerjaan itu bukan beban, tapi bagian dari kasih sayang yang diberikan dengan rela.
Hana hanya bisa mengamati dalam diam.
Perasaannya menghangat. Bukan karena rasa senang, melainkan rasa cemburu yang lagi-lagi hadir dalam diam, dalam kepedihan yang perlahan menusuk.
Betapa beruntungnya Malika.
Kehilangan ibu kandung tidak membuatnya kekurangan kasih seorang ibu. Justru ia mendapat versi terbaik dari seorang perempuan bernama Sri, sosok yang seharusnya malaikat tak bersayap baginya.
Sejak Hana datang, tak ada secangkir teh. Tak ada piring nasi. Bahkan setetes air pun ibunya tak tawarkan. Yang ada hanyalah tatapan curiga, nada tinggi, dan perintah untuk diam.
Hana perlahan mundur dari jendela kecil itu, duduk di atas kasurnya lagi. Mukena masih terlipat setengah di tubuhnya. Pandangannya kosong.
Dicarinya satu kenangan manis, satu saja, tentang ibunya.
Tapi yang muncul hanyalah kenangan masa kecil yang dipenuhi penantian dan pertanyaan.
Setelah ayahnya meninggal saat ia baru lima tahun, ibunya semakin jarang pulang. Selalu dengan alasan ‘mencari uang’, ‘membangun masa depan’, ‘demi kamu juga, Hana’. Tapi yang ia lihat hanya punggung yang makin menjauh. Dalam setiap malam, hanya pelukan neneknya yang hadir menenangkan.
Ibunya tak pernah benar-benar ada. Bahkan saat Hana sakit. Bahkan saat ia menangis memanggilnya.
Kini, belasan tahun telah berlalu. Tapi yang berubah hanya usia, bukan jarak hati mereka.
Hana menarik napas panjang. Ia menatap ke langit-langit kamar yang kusam, lalu menatap kedua telapak tangannya.
“Kalau dulu aku terlalu kecil untuk bertanya, sekarang aku cukup besar untuk menuntut,” bisiknya pada diri sendiri.
Ia tidak datang untuk merayu cinta yang tak ada. Ia datang untuk mencari keadilan,untuk dirinya, untuk neneknya, untuk semua luka yang pernah mereka telan sendirian.
Dan jika harus bertahan dalam rumah ini demi itu semua, ia akan bertahan.
Pintu kamar tiba-tiba terbuka.
Sri muncul dengan langkah cepat, tanpa mengetuk, tanpa permisi. Di tangannya, sebuah nampan berisi sepiring nasi putih dan sepotong tempe goreng. Tak ada senyum, tak ada sapaan. Hanya ekspresi datar bercampur cemas.
Hana menoleh sekilas, tapi tidak segera bangkit. Ia hanya menatap piring itu dengan sorot mata kosong, lalu kembali menunduk.
“Sebentar lagi suamiku pulang,” ujar Sri cepat, tanpa menatap mata Hana. “Sekali lagi aku bilang, jangan keluar kamar, jangan bersuara.”
Ia meletakkan piring itu di atas lantai dekat kasur, seperti meletakkan barang yang hendak dikembalikan ke tempat asalnya. Lalu ia mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya sebuah amplop kecil lusuh.
“Aku cuma punya satu juta sekarang. Besok pagi, aku akan minta pada suamiku, aku akan minta empat juta lagi,” katanya sambil menyerahkan amplop itu ke Hana.
Sri menatap wajah putrinya sejenak, seolah menunggu reaksi. Tapi Hana hanya mengangkat bahu, datar.
“Jadi kamu bisa pulang besok. Lima juta, itu lebih dari cukup kan? Untuk ongkos pulang dan biaya hidup kamu dan nenekmu di kampung?”
Hana meraih amplop itu dengan tenang, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Tangannya gemetar sedikit, bukan karena haru, tapi karena marah yang ditahan.
Baginya, uang itu bukan jawaban.
“Pulang, ya?” gumam Hana pelan, setengah menyindir. "Memangnya uang lima juta saja sudah cukup?"
Sri menghindari tatapannya. Ia tahu betul maksud Hana. Tapi ia terlalu takut untuk menghadapi kenyataan. Ia pikir semua bisa selesai hanya dengan amplop kecil dan sepotong tempe goreng.
“Lagi pula ini bukan cuma soal uang, Bu,” lanjut Hana, kali ini dengan suara sedikit lebih tegas. “Ini soal janji. Dan harga diri.”
Sri mengatupkan rahangnya, kemudian membalikkan badan. Tak sanggup melanjutkan percakapan, apalagi menatap wajah anak yang dulu ia tinggalkan.
Pintu kamar ditutup kembali.
Ceklek.
Sunyi lagi menyelimuti ruangan itu.
Hana memandangi amplop di tangannya. Lalu mengalihkan pandangannya ke piring di lantai. Tempe gorengnya tampak dingin, seperti perasaan yang ibunya hidangkan sejak pertama kali ia datang.
Ia tak menangis.
Ia juga tak marah secara meledak.
Tapi di dalam dirinya, ada keputusan yang semakin kokoh.
Ia tidak akan pulang. Bukan sebelum ibunya mengakui semuanya. Bukan sebelum dia mendapatkan keadilan yang telah lama hilang.
Tapi setelah dia membalas dendam.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!