Iriana Dhamar, dipindahkan Ayah nya ke perdesaan bukan Desa yang sulit di jangkau, mobil dan motor masih bisa lewat, tapi mungkin memang masih jauh dari kota jarak Kota dan Desa nya bisa 3 jam, ayah nya tidak ingin Iriana masih bersama pria yang hanya menyakiti nya, Iriana di selingkuhi tunangan bersama sahabatnya.
Ia sering melamun patah hati nya dalam, membuat ayah nya iba. Satu-satu cara hanya memindahkan Iriana ke Desa tempat Nenek nya yang hanya tinggal sendirian, Ibu dari Ayahnya.
Dan harapan Ayah nya, Iriana bisa bangkit lagi, semangat seperti biasa nya,
Iriana terlalu bodoh masalah cinta. Sampai-sampai membuat nya tidak bisa berpikir banyak, Ayah nya menjadi khawatir.
"Maaf jika Ayah dan Ibu membawa mu ke sini. Di sini bagus buat me rileks kan pikiran dan hati mu, Nak."
Iriana tidak tau, apakah ini bagus untuk nya, ia hanya ingin mencoba nya. Air mata memang sudah tidak ada, tapi sakit nya masih ada, bayang kan saat kamu memergoki mereka sedang bermesraan di dalam kamar apartemen nya. Ingin membuat kejutan, benar ia emang terkejut sangat.
"Benar Nak, Ibu juga khawatir, jangan lagi pikir kan pria bajingan itu. Lebih bagus tau sekarang, Sayang, dari pada nanti.!" Tatapan Ibu Iriana terlihat sedih melihat kearah anak nya seperti tidak bernyawa.
Mengapa sampai segitu nya?
Hanya helaan nafas Iriana, yang terdengar.
Mobil itu pun mulai masuk gapura Desa Klayangan. Iriana suka menatap rumah di pedesaan, anak-anak yang sedang main di sore hari, berlarian, tertawa, menangis seperti tidak ada beban.
Ia sering ke Desa Nenek nya jika hari libur sekolah, sampai ia sudah kerja. Mungkin sudah 2 tahunan ini ia tidak pernah kesini lagi.
Di perdesaan Iriana hanya harus kuat telinga dan hatinya saja, kebanyakan orang sini sering bergosip, jika sudah sore hari mereka akan berkumpul di salah satu rumah buat bergosip ria.
Benarkan baru saja mobil Ayah nya lewat sudah ada banyak ibu-ibu yang ngumpul, dilihat dari cara tatapan penasaran mereka dengan kedatang mobil Ayah, mereka seperti menebar gosip, atau ke kepo an yang mendalam di sanubari mereka.
Iriana mulai melihat rumah Nenek nya, saat itu lah ia menyadari mungkin ia akan bertahan lebih lama di sini beda seperti biasa nya jika liburan mungkin hanya seminggu. Sekarang bisa kah ia bertahan berbulan atau per tahunan.
Di sini mayoritas nya pekerjaan warga Desa nya sawit. Nenek nya punya kebun sawit tidak banyak, tapi cukup untuk hidup nenek yang sendiri.
Anak Nenek ada 3 ayah anak pertama pria satu-satu nya, adik nya perempuan dua-dua nya, bibi Iriana juga tidak tinggal di sini.
"Iriana! ayo turun itu Nenek mu menunggu di luar pelantaran."
Iriana tau ini saat nya ia harus mulai bangkit lagi, ia mencoba berusaha sebisanya dulu.
"Aduh cucu nenek, kenapa semakin kurus?" Nenek berusaha memegang pipi Iriana yang tinggi. Ia tidak sampai cucu nya sudah terlalu tinggi.
"Halo nenek!" Iriana menunduk kan kepala nya untuk bisa di pegang Nenek nya.
"Ayo masuk, jangan di luar hari sudah mulai senja." membawa anak mantu, cucu nya kedalam rumah.
"Taro barang nya di dalam kamar Dhamar! Kalian berdua langsung balik besok Dham?"
"Iya Ibu, pekerjaan Dhamar masih banyak di sana." Dhamaran ayah Iriana anak Nenek Lestari.
"Siap-siap sana kalian. Iriana ayo mandi terus kita makan bersama, Nenek sudah masak tadi." lestari, Nenek Iriana memerintah kan anak cucu nya untuk mandi.
"Dhamar dan Embun, harus lebih cepat istirahat, agar esok hari tidak kelelahan saat di perjalan!"
***
Kamar di sini kecil, Iriana sudah terbiasa, ia sudah se jam berdiam diri di kamar, duduk di dekat jendela kamar yang ia bukai.
Melihat gelap nya malam, suara jangkrik di kesunyian malam. Masih dengan lamunan nya, bukan, ia bukan melamun pria itu tapi pada diri nya kenapa ia bisa terlalu bodoh.
"Ternyata, mungkin aku salah memilih." Gumaman lirih Iriana, dengan tatapan ke arah luar jendela. Tidak ada bintang angin masuk terlalu kencang, seperti nya akan turun hujan malam ini.
Menutup pintu jendela nya, dengan bersiap untuk mengistirahatkan tubuh dan pikiran nya.
Ternyata hari sudah masuk pagi, sebab hujan malam tadi terlalu lebat, membuat matahari masih malu-malu menampakan dirinya.
Iriana sudah bangun, ia sudah mandi dan sekarang ia ada di dapur bersama ibu nya untuk memasak, Ibu dan Ayah mungkin akan balik lagi ke Kota sekitar dua jam-an lagi.
Cuaca juga belum terlalu panas untuk matahari yang baru keluar menampakan dirinya.
"Mungkin kamu akan kerasan tinggal di sini nanti, nak!"
"Aku akan coba Ibu. Tapi jika aku sudah bisa berdamai dengan keadaan bisa kah aku pulang ibu?"
"Tentu Nak, Ayah pasti akan jemput kamu jika sudah mau kamu untuk pulang kerumah." Ibu Embun melirik anak nya yang sedang menggoreng ikan di wajan.
"Mana Nenek bu? "
"Kata nya keluar dulu sama ayah mu, mau lihat kebun kelapa sawitnya."
"Oh ... kenapa tidak bawa aku!" Ia juga ingin jalan-jalan sebentar melihat suasana Desa.
"Ngapain kamu kan tinggal di sini lebih lama jadi lebih banyak waktu mu."
Dengan tangan yang cekatan mengangkat masakan nya yang sudah matang.
Iriana seperti lupa, bahwa ia akan lebih lama tinggal di sini bersama Nenek nya. Ia hanya menggaruk kepala nya setelah menyadari kelupaan nya.
Terdengar suara samar dari luar yang semakin jelas.
"Siapa yang pemanenan biasa bu? Itu sudah pada masak bu buah kelapa sawitnya!" Itu suara ayah yang mulai terdengar jelas, ini seperti membahas siapa pekerja untuk Nenek nya di kebun kelapa sawitnya.
Perkebunan nenek ini hasil peninggalan kakek. Sudah 6 tahun lama nya, mungkin penghasilan Nenek sudah masuk 2 tahun ini.
Dhamar, tidak bisa terlalu mengurus nya, ia sibuk di Kota yang seorang dosen. Sedang kan istri nya guru SMA. Jadi dia bisa ke sini jika ada libur. Ini juga ia cepat-cepat harus balik lagi.
"Ada toh Mang Danang, sama Mang Uji tapi kata nya besok, Dham!" Suara itu makin jelas di pendengar an, Iriana.
"Kenapa besok itu buah nya banyak jatuh loh, bu." Ternyata ayah dan nenek singgah di depan ruang tv. Tidak terlalu jauh sama dapur belakang.
"Itu kata nya masih pemanenan punya nya pak RT lah Dham! Sudah, tidak usah terlalu tergesa-gesa biar lah besok." Timpal lestari
"Ada apa toh, Mas?" Embun bertanya kepada suaminya.
"Itu loh Mbun, buah kelapa sawitnya sudah banyak yang masak!"
"Emang berapa hari si Bu jangka waktu masak buah nya setelah panen?" Embun juga bertanya kepada mertua nya.
"Tergantung lah Mbun. Ada yang 20 hari bisa juga 25 hari. Kalo 25 hari yah gini banyak jatuh buah sawitnya." Yang jawab Dhamar. Nenek hanya mengangguk.
Iriana mendengarkan semua nya dari belakang, meski tatapan nya melihat ke belakang halaman rumah nenek.
Saat ini Iriana, terlalu asik melihat sebarang arah.
Di sebelah kanan nya rumah tetangga ada pria tampan tinggi melihat nya dengan berkulit tan. Keseringan kerja kepanasan, tatapan itu tidak berpaling dari Iriana yang tidak mengetahui nya.
Ibu dan ayah nya mulai berangkat kembali ke kota.
"Ibu balik dulu. Baik- baik kamu disini." Dengan mengelus tangan Iriana, yang ia genggam.
"Aku tau ibu." Mencium pipi Ibu nya, dan menatap Ayah nya.
"Semoga aku bisa menata hati ku di sini lebih baik lagi, Ayah." Ayah pun mengangguk dengan manik mata yang sendu. Putri nya Iriana akan lama tinggal di sini.
"Iriana di sini bersama ibu, bukan sama siapa-siapa, udah jalan sana!" Nenek begitu malas melihat drama.
Mobil tu perlahan menghilang dari padangan Iriana. Sekarang harus kemana ia di cuaca yang sudah mulai panas, "Baik tiduran main ponsel, scroll tok-tok, lagian gak bisa kemana-mana panas gini" Bathin nya.
Disini sinyal nya sudah mulai bagus, jadi apa yang mau di sedih kan tinggal di Desa. Jika sudah punya ponsel dan kuota apa pun bisa hadapi.
Tapi di hari yang lalu itu berat sekali bagi nya. Apa karna satu Kota.
Mungkin!
"Mau kemana Neng? Tidak mau keluar kamu jalan-jalan."
"Ke kamar Nek, jalan gimana ini sudah mulai panas Nek. Lagian siapa sih jalan di cuaca seperti ini, Nek." Dengan bibir manyun ia menjawab nya.
Apa kah Nenek nya tidak lihat cuaca di desa, matahari seperti di atas kepala saja!
"Ya udah keluar saja kamu nanti sore-sore, banyak itu anak muda nya di luaran." Mulai menyala kan TV nya.
"Gosip ...." Gumamnya.
Ia pun meninggal kan nenek di luaran.
Terserah nenek nya mau bilang apa, mau bilang ia yang hanya sibuk di kamar.
Tidak apa!
Rebahkan badan di ranjang yang tidak terlalu besar. Dengan kipas angin yang menyala di atas dinding. Buka sosial media, bosan. Lihat tok tok banyak pria tampan bisa di ulang-ulang lama nya.
"Andai salah satu dari kalian jodoh ku." Bicara sendiri di depan ponsel yang menampilkan pria tampan. Ia sekarang sadar di dunia mana saja banyak pria tampan kenapa harus menangisi pria yang hmm seperti itu!
"Bodoh kamu Ana kenapa sadar nya setelah di sini, pasti aku di pelet di sana biar gak bisa lupain dia, harus nya ayah lebih cepat pindahin aku di sini, ihhh ... kesal aku." Berbicara sendiri dengan tidak Jelas.
Ternyata jendela Iriana bersebelahan dengan jendela tetangga yang pernah mengintipnya. Apakah itu kamar juga?
Sepertinya iya!
Iriana penasaran suara siapa itu, ia perlahan mengintipnya lewat jendela kamar nya. Ada seorang pria tinggi sedang bertelanjang dada. Bahu nya lebar berkulit tan seksi, sampai- sampai manik kecoklatan Iriana terbuka lebar.
"Ih cowok dari mana itu? Belakang nya tampan gimana kalo dari depan yah?"
Perlahan tubuh itu mulai berbalik layaknya slow motion. Dalam bayangan Iriana, padahal itu berbalik seperti biasa.
Justru itu membuat jantung Iriana, jadi dag-dig-dug serr. Belum sempat Iriana menghindar tatapan itu sudah bertautan bersama pandangan tajam dan ada ke teduhan.
Iriana jadi terpesona ia sulit berpaling, sampai pria itu sudah tidak ada lagi di depan mata nya. Rupa nya pintu jendela nya sudah di tutup kembali.
"Ihh ... Dasar pelit sekali." Gumam nya, ia pun berbalik kembali untuk melanjutkan aktivitasnya.
***
Sedangkan di tempat si pria itu ia terkejut saat hendak berbalik kan tubuhnya ke arah jendela. Dirinya sudah ingin bercermin kecil yang ada di dinding dekat jendela.
Betapa terkejut nya ia saat melihat perempuan yang sedang menatap nya dengan mematung, ternganga lalu matanya membulat lucu. Itu seperti perempuan pagi tadi yang ia lihat di rumah nenek lestari.
Siapa dia?
Sebenarnya ia malu maka dari itu dia dengan cepat menutup pintu jendela nya. Entah seperti apa ekspresi nya apa kah akan mengemas kan, ehh.
"Rai Nishav!" Iya itu nama nya. Ia sudah setahun tinggal di perdesaan Klayangan ini, mengikuti Paman dan Bibi nya mengurus perkebunan Papa nya di Desa,
Rai bisa juga membuka pekerjaan untuk masyarakat disini. Dengan 5 hektar tanah orang tuanya, di urus Paman nya. Bukan, bukan Paman kandung. Papa nya hanya anak tunggal!
"Ayo Paman! Saya sudah beres." Berjalan ke depan pelataran depan rumah. Dengan cekatan mengenakan sepatu boot nya.
Ia dan Paman Budi, ingin berkunjung ke kebun meski di siang hari. Dengan cuaca yang panas.
Saat ia mulai menaik motor off road nya. Terdengar suara dari sebelah rumah, tetangga.
"Lah Mas Rai ,sudah mau berangkat ini?" Ujar Lestari, yang sedang duduk didepan rumah nya. Melihat Rai Nishav, tetangga sebelah nya yang akan berangkat kerja.
"Iya Nek. Lihat-lihat bentar pekerjaan yang mau pemanenan buah kelapa sawit." Ucap Rai, dengan ramah.
"Owalah ... sama Paman Budi, Mas Rai?"
"Iya Nek! itu Paman masih di teras."
Memberi tahukan jika Paman nya masih di teras dengan mempersiapkan kan bawaan nya.
Mereka beda kendaraan jadi bisa berangkat sendiri. Lestari pun hanya mengangguk-angguk kan kepalanya.
"Mari, Nek!" Pamit Rai, dengan pelan mengemudikan motornya ke jalan yang sudah di beraspal.
***
"Siapa, Nek?" Iriana, keluar setelah mendengar suara Nenek nya seperti mengobrol dengan seseorang.
Namun, ia hanya sempat melihat kepergian motor itu yang semakin menjauh.
"Itu, Mas Rai Nishav, tetangga sebelah." Ucap Nenek, yang ternyata sedang mengupas bawang di teras rumah.
"Mas Rai? Siapa nek?" Dengan raut bingung nya Iriana bertanya.
"Loh itu tetangga sebelah, masa kamu tidak tau si, Neng" Seraya melihat cucu nya Iriana.
"Tapi waktu aku masih di sini, 2 tahunan yang lalu tidak ada, Nek!"
"Emang tidak ada, dia baru datang dari Kota juga sama kaya kamu, kalo tidak salah setahun yang lalu." Nenek Lestari, mencoba mengingat-ingat nya.
"Wahh ... pantas aku tidak tau, Nek. Kalo dia nya aja setahunan yang lalu! Aku kan sudah lama tidak kesini, Nek." Seraya meringis dengan ucapan nya.
Plak ... Suara renyah dari geplak kan Lestari kepada cucu nya.
"Itu kamu tau kalo jarang tengok Nenek, di sini! Kamu ini cuma punya satu, Nenek." Gemas Nenek, kepada cucu nya ini. Iriana, hanya bisa meringis.
"Nek! Buat apa bawang ini di kupas duluan sebanyak ini nek?"
"Biar Nenek nanti tidak susah lagi, nanti tinggal ambil di kulkas jika ingin masak."
"Lemari es!" Dengan cepat membatu Nenek nya.
"Sama saja. Tidak ada bedanya."
"Puff! Memang sama saja, Nenek." Dengan terkekeh, ia hanya iseng kepada Nenek nya.
"Nek! Besok kalo ke kebun aku bisa ikut kan?"
"Boleh ayo, besok nenek juga mau lihat Mang Danang sama Mang Uji mau panenan buah kelapa sawitnya."
"Nek! nanti yang beli in buah nya siapa?" Iriana, masih ingin bertanya.
"Itu Rai, dia toke sawit. Biasa tetangga sering timbang nya buat, Mas Rai. Sampai tetangga sebelah itu juga berurusan nya sama dia." Kupasan bawang Nenek, pun hampir selesai.
Iriana menjadi penasaran sosok seperti apa si Rai, Rai itu.
Saat pagi mulai menampakkan dirinya. Iriana, masih bergulat dengan selimut yang menutup tubuh nya. Masih dengan tidur cantiknya.
Ia masih terlalu mengantuk akibat nonton drama Korea sampai dini hari membuat nya begadang semalaman. Niat nya hanya menonton sampai dua episode, biar bisa besok dia lanjutkan.
Nyata nya ia kebablasan terlalu seru!
Tok ... Tok ... Tok....
Bunyi ketukan pintu tidak membangun kan tidur nya. Sehingga ia hanya memutar arah tidur nya yang jadi membelakangi pintu kamar.
Ketukan pelan tidak membangunkan seseorang yang sedang tidur. Nenek Lestari akhirnya menggedor kan pintu kamar Iriana, berisik, kencang. Mungkin sampai membuat tetangganya bisa bangun.
"Iriana, bangun! Kata nya mau ke kebun temenin Nenek. Jangan terlalu siang nanti bisa makin panas. Ayo cepat bangun!" Nenek ingin mencoba masuk, tapi pintu itu sepertinya di kunci dari dalam.
Membuat yang ada di dalam merasa terganggu dengan gedoran keras itu.
"Apa sih, Nek" lirihnya ia masih masih setengah sadar. Mencoba bangun mendudukkan badan dan bersandar di kepala ranjang. Matanya masih terpejam seperti merekat erat seperti lem.
"IRIANA!" Suara Nenek, nya bahkan semakin keras.
"Iyaa ... Nek! Iya Iriana juga sudah bangun." Serunya dari dalam meski dengan mata setengah terbuka. Masih berat.
"Ayo cepat bersiap, apa kamu mau tinggal saja tidak jadi ke kebun!"
"Jadi Nek, tunggu saja." lanjut nya dari dalam.
Setelah itu Nenek Lestari tinggal kan Iriana kebelakang. 30 menit Lestari menunggu dengan mempersiapkan kan segala kebutuhan ke kebun, nyatanya cucu nya belum keluar juga.
"IRIANA! Kamu tidak jadi ikut nenek" Seru Lestari, Ia melihat cucu nya belum keluar apakah memang tidak ikut.
Tidak ada sahutan dari dalam.
Menjadi kan Lestari menghela kan nafas nya panjang. "Cucu nya ini." Bathin Lestari.
Yang dengan cepat dia tinggal kan pergi ke kebun sendirian saja. Biar Iriana, cucu nya dia tinggalkan sendirian di dalam rumah. Mungkin Iriana tidak ingin ikut!
****
Sedangkan Iriana, di kamar tertidur dengan gaya duduk bersandar di kepala ranjang. Ia sudah berusaha sekuat tenaga untuk bangun, nyata nya matanya tidak menginginkan nya bangun.
Satu jam kemudian Iriana, akhirnya bangun, masih dengan linglung menyadarkan dirinya. Ia lihat jam di dinding ternyata jarum jam sudah pukul 8 hampir jam 9 pagi.
"Hah ... seperti nya aku di tinggal kan Nenek lagi" Gumam nya dengan helaan nafas pendek.
Bangun dari ranjang empuk nya, bersiap kan dirinya biar lah ia bisa menyusul Nenek nya ke kebun. Ia bisa bertanya pada orang sini nanti.
Setelah bersiap dalam setengah jam lebih cepat dari perkiraan. Iriana keluar dari dalam rumah Nenek. Mengunci pintu rumah nya, dengan memakai kaos longgar lengan panjang, dan bawahan panjang di tambah topi untuk melindungi nya dari sengatan matahari pagi.
Keluar halaman rumah di jalan yang sudah di aspal meski sedikit ada lobang, mungkin karena mobil pick up atau truk muatan besar, seperti untuk angkutan buah kelapa sawit.
"Mau kemana, Neng?" Tetangga 5 meter dari rumah Nenek nya bertanya.
"Itu, Bu mau ke kebun Nenek Lestari! Emmm ... kira-kira arah mana yah Bu? Atau jauh tidak dari sini." Dengan menunjukkan bagian rumah Nenek nya ke arah kanan tempat tujuan nya ingin ke kebun.
"Lah lumayan Neng! Tapi arah nya bukan ke kanan sana Neng. Tapi ke kiri, kalo ke kanan mah Eneng mau ke ke arah Kota, keluar perdesaan." (Tantri) nama ibu tetangga yang sedang berbincang dengan Iriana. Mungkin perkiraan usia diatas 40 an agak berisi. "Neng ini cucu Lestari toh yang dari kota itu?" lanjutnya bertanya.
"Iya, Bu!" Seraya dengan anggukan kepala nya, dengan mata sedikit menyipit. Matahari sudah lumayan tinggi membuat nya silau terkena cahaya seng atap rumah Ibu Tantri.
"kalo gitu makasih, Bu! Saya jalan ke sana dulu. Mari" Iriana membungkukkan badan nya sedikit seraya kembali putar arah.
****
Hampir setengah jam perjalan kakinya belum menemukan hutan yang di maksud. Malah banyak orang-orang yang ada di perdesaan keluar dari rumah untuk melihat nya, seperti penasaran.
Dengung suara motor yang berjalan pelan di belakang nya. Membuat Ia p meminggir kan jalan nya mungkin kendaraan itu mau lewat!
Tapi semakin lama menunggu tidak lewat juga. Ia pun menoleh kebelakang, manik itu saling menatap, pria itu menggunakan baju hoodie hitam, celana kain dan sepatu boot nya.
Iriana menghindari tatapan yang terjadi beberapa menit, dengan terus berjalan melanjutkan perjalanan nya. Ternyata motor itu berhenti di dekat nya, Iriana melihat sekitar nya. Sebenarnya dirinya merasa takut. Tapi ia baru sadar, ternyata area sini sudah terlalu jauh dari rumah warga. Jadi ia tidak bisa meminta pertolongan, jika pria ini begal.
"Mau apa?" Mengernyit kan alis dan juga pertanyaan yang juga salah.
"Mau ke kebun!" Tatapan itu biasa saja, tapi bisa membuat Iriana, merasa terperosok seperti bisa menghipnotis nya.
"I—Iya, Anda siapa?" Meski takut tapi ia tetap bertanya dan menatap matanya meski ada sedikit getarannya.
"Kebun siapa biar saya antar!? Dari sini masih jauh mungkin sekitar 1 jam lagi sampai." Dengan lirikan nya melihat ke arah tujuan yang akan mereka tuju.
Awal nya Iriana, ragu untuk menjawab ia tidak tau siapa pria ini. Tapi melihat dari tatapan dalam nya Iriana mencoba percaya.
"Saya mau ke tempat Nenek Lestari!" Dengan manik indah nya menatap pria itu dari bawah sampai ke atas, cara nya bermotor, dan gaya nya. Ia bisa menebak bahwa pria ini tinggi, tubuhnya tegap.
Ia seperti pernah melihat nya tapi dimana?.
"Ayo naik saya tahu dimana letak kebun Nenek Lestari, biar saya antarkan." Ujarnya yang membuyar kan penilaian Iriana, kepada pria di depan.
Iriana, bingung harus kah naik di belakang motornya!
Tapi akhirnya ia tidak punya pilihan. Dengan susah payah ia menaikkan motor bertipe off road. Sampai akhir nya tangan dirinya di pegang pria itu yang ternyata tetangga sebelah nya. Ia ingin motor ini!
Tapi Iriana, melupakan satu hal!
Ia seperti tersengat saat tangan nya di sentuh pria itu.
Motor itu pun dengan perlahan mulai jalan, Iriana tidak berani memegang pinggang atau sampai memeluknya. meski ia takut jatuh apa lagi saat di jalan hampir masuk kebun ada yang tanah becek.
"Pasti licin" Bathin nya melihat jalan di depan sana.
"Pegangan!" Datar. Suara itu datar. Iriana pun memegang hoodie pria itu, ia tidak ada pilihan. Meski di ujung ia tetap memegang nya dengan erat.
Saat pria itu mulai menjalani di jalan yang becek Iriana tidak sadar dengan kedua tangan nya. Yang tiba-tiba saja memeluk pinggang, pelukan tiba-tiba itu membuat Rai, menjadi tegang ia sempat melirik tangan itu, yang dengan erat memeluk nya, Rai seperti merasakan bahwa perempuan itu menenggelamkan wajah di balik punggung lebar nya.
Rai sampai mengambil oksigen dengan pelan, ia merasa ini aneh tegangan nya, pelukan nya, meski ia pernah seperti ini saat sebelum ada di Desa.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!