Hutan Tabuan, sebuah hutan lebat yang terletak di perbatasan antara wilayah tengah dan timur Pulau Daksina, terkenal sebagai tempat hunian berbagai makhluk buas, mulai dari hewan biasa, hingga spesies yang tergolong sebagai monster. Pepohonan di dalamnya menjulang begitu tinggi hingga pada siang hari, sinar matahari pun kesulitan mencapai permukaan tanahnya.
Namun, saat ini, pekatnya malam dan derasnya hujan pun tak sanggup membendung sesosok pria tua yang melesat melintasi hutan itu. Setiap makhluk yang mencoba menghambatnya pun bernasib tragis: antara tewas dengan tubuh terpotong-potong atau musnah tak berbekas. Seolah sedang mengejar sesuatu, pria tua itu tak menghiraukan kesan kengerian yang disebabkan oleh kehadirannya pada seluruh penghuni hutan. Kesan yang tertanam hingga bertahun-tahun ke depan.
Keluar dari hutan Tabuan, Raksala mempercepat terbangnya, “Bertahanlah!” katanya dalam hati. Kepada siapa pun kata-kata itu tertuju, sebuah rasa khawatir yang amat sangat tersirat darinya. Dari kejauhan, asap-asap hitam tampak mengepul ke angkasa, dan seketika raut wajah si pria tua berubah. Jika hatinya memendam kekhawatiran, amarah adalah satu-satunya yang terpancar dari wajahnya.
Raksala mendarat di sebuah tempat yang terlihat seperti desa. Namun, yang ia dapati hanyalah bangunan-bangunan yang telah hancur atau hangus terbakar. Raut wajah pria itu semakin tak terbaca kala ia melangkah memasuki wilayah desa tersebut. Reruntuhan, suara gemeretak api yang masih berkobar di beberapa titik, serta jalanan dan tanah yang telah bercampur dengan warna abu dan darah.
Tangan Raksala menggenggam erat. Saat ini, hanya kebijaksanaan berkat usia dan asam garam kehidupanlah yang menjadi peredam utama ledakan amarahnya. Ia melangkah perlahan sembari meluaskan persepsinya, sebuah kemampuan penginderaan sederhana yang bisa dilakukan oleh pendekar tingkat tinggi. Namun, kedigdayaan Raksala membuatnya tak akan melewatkan apa pun yang terjadi dalam radius sepuluh kilometer di sekelilingnya.
Pria tua itu memejamkan matanya tatkala terdengar beberapa suara tawa di tempat yang terpisah. ‘’Meninggalkan beberapa orang untuk menjaga dan membungkam siapa saja yang melewati tempat ini …,’’ batin Raksala, ‘’Pintar, sayangnya hanya pria tua ini yang tiba di sini.’’ ia menghentakkan kakinya ke tanah dan sebuah gelombang energi disertai gemuruh menyebar ke segala arah.
Keheningan menyusul getaran yang berangsur-angsur menghilang. Tak ada lagi tawa yang terdengar. Tak pula jasad-jasad para pemilik tawa itu. Kobaran-kobaran api yang semula masih membubung pun telah berganti dengan asap tipis yang segera terurai lenyap dan tertelan kelamnya malam. Raksala terdiam selama beberapa saat lagi, tetapi tak ada pertanda kehidupan yang sejak tadi dinanti-nantikannya.
Tak perlu mengitari seluruh area bagi dirinya untuk dapat memastikan hal itu. Ia yakin bahwa kedua orang itu pun telah tiada. Jauh dalam hatinya, pria tua itu berharap kedua orang yang dinantikannya itu masih hidup dan meninggalkan jejak untuknya sebab jika demikian ujung dunia sekalipun akan ia datangi untuk membawa mereka kembali bersamanya. Sayangnya, kemampuan persepsi miliknya telah memastikan tak ada hawa kehidupan sama sekali, hingga tangisan itu tertangkap oleh telinganya.
Raksala bergegas menuju sumber suara tangisan itu. Dengan satu tangan, ia singkirkan sepetak dinding yang telah runtuh, dan seiring dengan semakin jelasnya tangisan itu, sesosok bayi terbalut selimut hingga setinggi dada, dan terlindung selaput tipis yang merupakan sisa-sisa sebuah perisai tenaga dalam. Walaupun desa ini cukup terpencil, wajar jika ada orang yang cukup berkemampuan untuk memberi tindakan perlindungan sederhana seperti itu. Namun, samar-samar ia pun merasakan sebuah energi yang aneh dari tubuh di bayi.
Raksala memungut bayi yang ternyata berjenis kelamin laki-laki itu dan memeriksa kondisinya, tetapi selain energi yang baginya terasa asing itu, bayi ini bersih dari segala hawa yang bersifat negatif. Sesaat kemudian, tangis si bayi mulai mereda. Raksala mengalirkan sedikit energi murninya pada bayi itu dengan hati-hati. Sosok mungil yang telah tenang itu pun mulai mengantuk dan terlelap tak lama kemudian. Di samping itu, Raksala merasa bahwa keberadaan bayi itu seakan mengalirkan kehangatan dalam dirinya.
Tersenyum tipis, Raksala berkata dalam hati, ‘’Aku sedang mencari orang-orang yang sangat berarti bagiku di tempat ini, tapi yang kutemukan justru sosok kecil yang pemberani seperti dirimu,’’ pria itu menatap sekelilingnya sebelum menghela napas dan kembali menatap si bayi, ‘’Baiklah, aku tak tahu siapa namamu sebenarnya, tetapi mulai hari ini, akan kupanggil kau Wira. Wira Pramana. Semoga kelak kau menjadi sosok lelaki yang pemberani dan tak pernah ragu untuk berjalan dalam kebenaran.’’
Raksala menatap langit. Warna hitamnya telah bergeser dan memudar, berganti dengan rona merah kekuningan milik sang fajar. Pria tua itu melayang, dengan si bayi dalam gendongannya. Dari ketinggian, ia dapat melihat langsung kerusakan yang terjadi di desa itu dengan sangat jelas. Jika berkehendak, ia bisa saja melakukan reka ulang seluruh kejadian di tempat itu menggunakan sebuah teknik rekonstruksi energi yang tersimpan di sana. Namun, kini ada dua hal penting yang harus ia lakukan.
...***...
Sebuah rombongan yang terdiri dari ratusan pasukan yang berjalan kaki, puluhan pendekar yang menunggang kuda, empat kereta kuda berisi orang-orang yang menjadi tahanan, dan beberapa kereta kuda lagi yang sepertinya mengangkut barang jarahan melintasi sebuah jalan di lereng Gunung Samra. Bendera-bendera berwarna hitam dengan gambar tengkorak tampak berkibar di berbagai tempat dalam rombongan itu.
Penunggang kuda terdepan, seorang pria berambut panjang yang memancarkan aura yang cukup kuat tiba-tiba mengangkat tangan, tanda agar rombongan itu berhenti. Tak lama kemudian, cuaca yang semula terik berubah total. Mendung pekat bergulung-gulung mengiringi hembusan angin yang semakin kencang. Kilat menyambar dan guntur meraung-raung.
Tiba-tiba, seluruh pendekar dan pasukan dalam rombongan tersebut merasakan tekanan hawa membunuh yang sangat kuat, seakan gunung itu sendiri tengah menindih dan membenamkan mereka perlahan-lahan. Bahkan pemimpin rombongan, yang merupakan sosok terkuat di situ, pun kesulitan meski sekadar menarik napas. Namun, nalurinya menyadari bahwa seluruh fenomena ini bukan gejolak alam semata. Ia mendongak dan mendapati sosok pria tua berambut putih panjang tengah melayang di udara. Tangan kanannya menggendong sesuatu yang tampak seperti sesosok bayi.
‘’Senior! Bisakah kita berbicara?’’ pemimpin rombongan itu menyadari kalau sosok itu mau, mereka bisa lenyap tak bersisa kapan saja.
‘’Apakah kami telah menyinggung Anda?’’ pemimpin rombongan itu mengucapkan setiap kata-katanya dengan selantang mungkin sembari berusaha keras agar tak terdengar menantang.
‘’Jika memang demikian, izinkan kami meminta maaf, tapi setidaknya katakan apa salah kami?’’ ketika sosok itu sama sekali tak menunjukkan respons, pemimpin rombongan berusaha sekuat tenaga untuk bangkit dan menahan tekanan hawa membunuh itu. Hawa yang telah membuat banyak di antara anggota rombongannya yang tak sadarkan diri. Sebagian di antaranya bahkan langsung tewas dengan darah mengalir dari lubang telinga, hidung, dan mulut.
Belum sampai berdiri tegak, pemimpin rombongan itu jatuh dalam posisi berlutut. Ia dapat merasakan tempurung lututnya telah hancur akibat hal itu. Meski demikian, ia masih berusaha menatap sosok yang diyakininya telah berada jauh di atas tingkat pendekar bumi itu. Hal terakhir yang dilihatnya adalah wajah tegas yang hanya dengan tatapannya dapat menghancurkan sebuah gunung. Lalu, sebuah suara yang seakan menggema dalam kepalanya berbunyi, ‘’Bukan aku yang harus memaafkan kalian!’’
Deru longsor dan gemuruh badai mengamuk sejadi-jadinya. Seolah, lereng Gunung Samra sendiri sedang bergerak dan menimbun segala yang ada di hadapannya tanpa pilih-pilih. Ketika cuaca mulai tenang dan langit kembali cerah, yang tersisa hanya empat kereta kuda, dan yang masih bernyawa hanyalah para tahanan yang berada di dalamnya.
Seakan terbangun dari tidur panjang, satu demi satu orang-orang itu keluar melalui pintu kurungan yang entah kenapa sudah terbuka. Tak hanya belenggu di tangan dan kaki mereka yang tiba-tiba hancur, orang-orang yang menangkap mereka pun raib entah ke mana. Tak satu pun di antara mereka yang menyadari keberadaan sosok Raksala yang diam-diam mengamati dari balik sebongkah awan.
Bongkahan awan itu pun perlahan menjauh, dan semakin jauh jaraknya dari orang-orang itu, semakin cepat pula gerakannya, hingga akhirnya menghilang di bibir cakrawala. Di atasnya, Raksala berdiri tenang memeluk si bayi. Satu hal telah ia selesaikan. Saatnya melakukan hal berikutnya.
‘’Nah, bocah, mari kita pulang. Mulai sekarang, Perguruan Rantai Emas adalah rumahmu…,’’ katanya sambil menatap bayi laki-laki itu. Seakan menyetujui perkataannya, bayi itu pun tersenyum.
Meskipun tidak terlalu besar, Perguruan Rantai Emas merupakan salah satu perguruan aliran putih ternama di Negeri Nuswapada. Setiap hari, ratusan murid dan pendekar yang terbagi dalam beberapa kelompok berlatih dengan jadwal dan disiplin yang ketat. Tak sedikit pula di antara mereka yang terlihat datang dan pergi dalam rangka menjalankan misi.
Selain statusnya sebagai perguruan aliran putih yang kerap membantu berbagai daerah sekitarnya menangani berbagai urusan, letaknya yang tak jauh dengan Kota Suranaga, kota dengan pelabuhan terbesar kedua di Nuswapada, membuat nama baik dari perguruan ini dikenal oleh banyak orang, baik dari kalangan seniman bela diri maupun kalangan awam.
Sore itu, di salah satu sudut perguruan, Wira, seorang murid senior yang berusia 15 tahun, tengah mengepel lantai arena latih tanding yang sejak kecil telah menjadi tugas hariannya. Ia hendak meninggalkan arena tersebut ketika sebuah tendangan tiba-tiba membuatnya tersungkur. Ia berbalik dan mendapati tiga sosok yang telah lama dikenalnya.
Barda, Mahendra, dan Sularsa. Meskipun berada dalam tingkat yang sama dengannya, tiga orang itu kerap merundung Wira. Hal ini karena di mata mereka, Wira adalah seorang anak yang lemah dan tak punya latar belakang keluarga yang istimewa. Telah lama terdengar rumor bahwa Wira hanya seorang anak buangan yang ditemukan Mahaguru Raksala, ketua Perguruan Rantai Emas.
Kenyataannya, Wira memang lemah, tetapi penakut bukanlah sifat dasarnya. Ia selalu berusaha melawan setiap kali tiga orang tersebut mengganggunya walaupun hal itu selalu mengakibatkan dirinya berakhir dalam keadaan babak belur. Hal yang sama pun kembali terjadi saat ini. Wira bangkit dan berusaha melakukan perlawanan, tetapi ia lagi-lagi menjadi bulan-bulanan bagi tiga orang tersebut.
“Hahaha, jangan sok kuat kau, Wira!” ejek Barda.
“Hah! Baru segini saja …,” kata Sularsa sambil menepuk-nepukkan tangannya.
“Memang sampah sih …,” Mahendra berjongkok dan menatap Wira sambil menjepit hidungnya dengan jari, seolah tengah memandangi sebuah kotoran.
Wira tak menjerit meski sekujur tubuhnya gemetar menahan sakit. Ia berusaha bangkit sambil bergumam, “Aku bisa melakukan ini sepanjang hari.”
Mahendra bangkit dan berkacak pinggang, “Nah, seperti biasanya, si sampah masih sok kuat, hahaha!” dua temannya ikut tertawa mendengar perkataan itu.
“Hei!” suara perempuan terdengar dari salah satu sudut arena.
“Ck, seperti biasanya juga, sang putri pun turun tangan.” gerutu Mahendra sambil melirik ke sumber suara itu.
Seorang gadis berparas cantik yang juga sepantaran mereka berjalan cepat menghampiri.
“Ah, Ratnasari, kenapa selalu saja kau mengganggu kesenangan kami?” kata Barda sambil cengengesan.
“Kesenangan katamu?” tanpa basa-basi, Ratnasari dengan geram menyerang Barda dan dua kawannya.
Dengan tangkas, Ratnasari melancarkan pukulan dan tendangan yang membuat tiga sekawan itu harus bertahan dan menghindar. Setelah beberapa saat, pertarungan itu berhenti dengan Barda dan dua temannya telah tersudut di ujung arena.
Dari tempatnya berdiri, Wira mengamati setiap gerakan Ratnasari yang meskipun anggun dan luwes, dan kentara sekali sedang menahan diri, telah lebih dari cukup untuk memukul mundur Mahendra dan teman-temannya. Hal ini membuat Wira kagum sekaligus malu kepada dirinya sendiri sebab seharusnya, sebagai laki-laki, ialah yang harus melindungi wanita. Namun, kenyataannya Ratnasari yang selalu menolong dan melindunginya dari tiga orang itu.
“Terima kasih pertolongannya, Non,” Wira menundukkan kepala saat gadis berbalik setelah tiga pengganggu tersebut meninggalkan arena.
“Eh, Wira, kau tak apa-apa, kan?”
Wira tersenyum, “saya baik-baik saja, Non, sekali lagi terima kasih.” Ia berbalik dan memunguti alat-alat kebersihan yang berserakan sejak kali pertama Mahendra dan dua kawannya membuatnya tersungkur.
“Ayo ke ruang pengobatan dulu,” Ratnasari menawarkan
“Ehh …, sebaiknya saya ambil air dulu untuk membersihkan tempat ini kembali, setelah itu mungkin saya akan ke ruang pengobatan.” kata Wira sambil meringis. Ia tak enak kalau harus terang-terangan menolak tawaran putri semata wayang wakil ketua perguruan yang baik hati itu.
“Hmmm …,” Ratnasari menghela napas, kemudian tersenyum kepada Wira, “Baiklah kalau begitu, aku pergi dulu ya, jaga dirimu, Wira.”
Wira membungkuk menunjukkan hormatnya kepada Ratnasari, dan menatapnya hingga pergi meninggalkannya sendirian di arena itu. Kemudian, ia menatap genangan air yang tumpah dari embernya saat terjatuh tadi, “Haaa …, harus mengepel lagi, euhk!”
Sambil menahan sisa-sisa rasa sakit di tubuhnya, Wira berjalan pelan ke sumur untuk mengambil air dan kembali membersihkan arena itu.
Matahari telah terbenam saat Wira menyelesaikan pekerjaannya. Ia menaruh alat-alat kebersihan di tempatnya dan pergi ke dapur. Sejak awal, ia tak pernah ingin pergi ke ruang pengobatan. Bukan karena merasa rendah diri atau tak pantas menikmati fasilitas perguruan itu seperti murid-murid lainnya. Bukan pula karena ada yang melarangnya.
Hampir setahun belakangan, Wira merasa ada keanehan pada tubuhnya. Luka apa pun yang ia dapatkan dan separah apa pun itu akan sembuh dalam waktu paling lama dua hari saja. Wira menyadari hal ini setelah mengalami kejadian yang hampir merenggut nyawanya dalam sebuah misi perburuan.
Misi rutin yang diadakan oleh perguruan sebagai media pelatihan bagi para murid. Singkat cerita, ia tersesat dan bertemu seekor beruang hitam. Wira mencoba melawan untuk mempertahankan diri, tetapi beruang hitam itu terlalu kuat dan ganas baginya. Wira pun pasrah jika saat itu hidupnya berakhir dengan tubuh tercabik-cabik sebelum kehilangan kesadarannya. Namun, ketika akhirnya dapat membuka mata kembali, tak ada segores luka pun yang membekas pada tubuhnya.
Ketika tim pencari yang terdiri dari gabungan pendekar muda dan murid senior menemukannya, Wira menutupi hal itu dan hanya mengatakan bahwa ia tersesat hingga pingsan lantaran kelaparan dan kehausan. Sampai hari ini, Wira menutupi apa yang dianggapnya sebagai keanehan itu rapat-rapat. Jika terluka, agar tak ada yang mencurigai kondisi tubuhnya itu, ia lebih memilih pergi ke dapur untuk meminta salep obat dari Mbok Narti.
“Oalah Wiiiiirrrr Wira … murid yang lain itu babak belurnya karena latihan, lhaaa dirimu kok babak belurnya malah karena dipukulin. Hadeeeehh ….” kata Kang Mardi yang tengah menyantap sepiring makanan dengan lahap.
Begitu melihat Wira memasuki dapur dengan tubuh yang teramat dekil, Kang Mardi segera mengetahui apa yang terjadi. Akan tetapi, alih-alih menunjukkan sikap prihatin, tabiat Kang Mardi yang usil justru menjadikan Wira yang meringis menahan sakit sebagai bahan kelakarnya,
“Hush! Piye toh kowe iki, bocah lagi susah kok malah diledek.” timpal seorang wanita berperawakan gempal yang akrab mereka panggil Mbok Narti.
“Hehe … ndak apa-apa Mbok, Kang Mardi kan memang gitu.” Wira menanggapi keduanya sambil garuk-garuk kepala.
Memang, Wira telah lama akrab dengan dua pekerja yang bertugas di dapur tersebut. Sejak kecil, Wira sudah sering membantu-bantu berbagai pekerjaan dapur perguruan. Lebih dari itu, area dapur dan sekitarnya bisa dibilang adalah tempat di mana Wira merasakan suasana layaknya sebuah rumah.
“Eh,” secepat kilat, Kang Mardi beringsut dan mengambil tempat di samping Wira, ”tapi pastinya, Non Ratnasari nolongin kamu lagi ya?” tanya pria berusia 40 tahunan itu sambil mengedip-ngedipkan sepasang matanya.
“Heh, Mardi! Hati-hati bicara …,” tegur Mbok Narti kepada Kang Mardi sambil memberikan botol salep obat miliknya kepada Wira.
“Lho kan biasanya mesti gitu Mbok? Artinya, menurut penerawanganku, Non Ratnasari itu ada rasa sama kamu Wir….”
BLETAK!!! – ADUDUDUHUUUUWK!!
Jitakan Mbok Narti sukses menggempur batok kepala Kang Mardi hingga pria itu menjerit dan tersedak sebuah tulang paha ayam yang sejak tadi dikeripinya.
“Ngawur!” Mbok Narti memelototi Kang Mardi dan sesaat kemudian, dengan nada yang lebih pelan tapi sangat serius, Mbok Narti melanjutkan, “Kalau sampai ada yang denger, nanti ujung-ujungnya si Wira lagi yang kena!”
Tangan Mbok Narti yang masih terkepal kini menggebuk punggung Kang Mardi, bermaksud mengatasi kesedakannya, tetapi sepertinya hal itu justru memperburuk keadaannya sebab Kang Mardi mulai cegukan dan mengap-mengap. Mulutnya membuka-menutup dengan mata melotot dan ekspresi yang sukar digambarkan.
“Lho he …, Di! Kamu kenapa Di? Diii?”
Rasa panik malah memicu Mbok Narti terus menggebuki Kang Mardi. Sempat bengong untuk sesaat, Wira tersenyum, lalu tertawa terpingkal-pingkal menonton tingkah dua sosok penghuni dapur itu. Baginya, suasana itulah sebenarnya obat luka yang lebih berkhasiat ketimbang sebotol salep yang kini masih ia pegang.
“Berikutnya: Wira dan Nala!”
Dua orang yang namanya dipanggil segera menaiki arena dalam sesi latih tanding harian itu. Nala melangkah tenang dengan membawa tongkat kayu sebagai senjatanya. Dari sisi lain arena, Wira pun naik dengan langkah agak lebih lambat dan membawa senjata yang sama.
Seperti juga dirinya, Nala berada di tingkat murid senior. Namun, jika Wira berada di daftar akhir peringkat, Nala adalah yang teratas. Di antara saudara seperguruan yang seangkatan dengannya, Nala memang memiliki keterampilan bela diri yang paling menonjol. Selain karena bakatnya yang bagus, Nala juga sangat tekun dalam latihan dan pembelajarannya.
Jika mengesampingkan faktor bakat, Wira tak kalah dalam hal ketekunan. Sayangnya, masih ada satu faktor yang juga sangat penting dalam menentukan perkembangan dan peningkatan kemampuan seorang pendekar, yaitu sumber daya. Sebagai putra sulung dari keluarga terpandang, Nala selalu mendapatkan asupan sumber daya yang berkualitas sejak usia dini, seperti pil dan ramuan kelas atas yang sangat menunjang kemajuan ilmu bela dirinya.
Sementara itu, Wira hanya mampu mendapatkan sumber daya kelas bawah dalam jumlah yang terbatas pula. Maka, meskipun pemahaman keduanya dalam seni bela diri bisa dibilang sama bagusnya, dalam hal kecepatan perkembangan praktis, Wira pun jauh tertinggal dari saudara-saudara seperguruan yang lainnya. Akan tetapi, pertarungan antara keduanya selalu menjadi tontonan yang menarik bagi banyak murid walaupun untuk alasan yang berbeda-beda.
“Mulai!”
Nala menyerang. Sikap dan gerakannya penuh percaya diri. Wira pun mengambil posisi bertahan. Keduanya mulai bertukar serangan. Bunyi benturan tongkat yang beradu dengan cukup cepat mulai menarik murid-murid lain untuk menonton hingga kerumunan-kerumunan pun terbentuk di sana-sini. Sorakan dan tepuk tangan berangsur-angsur terdengar lantaran dua petarung di arena itu tak ingin mengalah.
Wira telah memperhitungkan bahwa Nala akan mengincar bagian bawah tubuhnya, tetapi reaksinya terlalu lambat hingga dirinya kehilangan keseimbangan dan terjatuh. Namun, bukan Wira namanya jika menyerah begitu saja.
Dengan cepat Wira berbalik, menggeser pegangan pada tongkatnya dan mengayunkan tongkat tersebut layaknya orang yang melakukan tebasan horizontal. Gerakan tak terduga ini sempat mengejutkan Nala, tetapi pemuda itu dengan tangkas melompat dan bersalto ke belakang.
Nala mengira Wira sekadar ingin menjaga jarak, tetapi saat ia baru saja mendarat, Wira telah berada dekat di hadapannya dan melancarkan serangan balik. Gerakan tongkat Wira menjadi begitu cepat, seolah tongkat itu terbuat dari bambu atau bahan yang lebih ringan. Ketika Nala menyadari cara Wira memegang tongkat telah berubah lagi, ia memutuskan untuk mengambil jarak terlebih dahulu.
Pada saat inilah jurang antara keduanya mulai terlihat. Saat Nala masih tampak prima, napas Wira mulai memburu. Wira sendiri menyadari hal itu. Inilah konsekuensi yang harus ditanggungnya setelah melakukan serangan cepat seperti tadi.
Di sisi lain, meskipun juga telah menyadari hal ini, Nala tetap waspada. Sejak awal, ia tak pernah meremehkan Wira. Baginya, pemuda itu adalah sosok lawan yang tangguh, tak peduli bagaimana pendapat orang lain terhadapnya, diam-diam Nala sangat mengagumi ketekunan dan kegigihan Wira.
Setelah menarik napas panjang, Wira memutuskan menyerang lebih dulu. Ia melakukan serangan cepat seperti sebelumnya untuk memaksa Nala bertarung dalam jarak dekat, tetapi Nala tak mau termakan permainan lawannya dan terus memanfaatkan setiap jarak yang bisa dicapainya.
Intensitas serangan Nala memang lebih sedikit, tetapi pengaturan kekuatan dan kecepatannya sangat efektif. Sementara itu, terus menyerang membuat ritme dan dinamika gerakan Wira yang tadinya selaras pun mulai tak beraturan.
Dalam satu kesempatan, Nala membuat Wira tersentak dan kehilangan keseimbangan, lalu memakai tenaga dalamnya untuk bergerak cepat dan memperkuat tusukan tongkatnya.
Wira hendak mengerahkan segenap tenaga dalamnya untuk bertahan, tetapi ia lebih dulu kehilangan momentum. Serangan Nala pun membuatnya terdorong mundur hingga keluar arena.
“Pertarungan selesai! Pemenangnya, Nala!”
Tepuk tangan riuh dan teriakan nama Nala menggema di udara. Sebaliknya, seruan-seruan yang mencemooh Wira pun terdengar, tentunya dari Barda, Mahendra, Sularsa, serta segelintir orang yang kerap mengikuti mereka. Namun, baik Nala maupun Wira seolah tak terganggu akan hal itu.
Alang Ganendra, sosok guru berbadan kekar yang memimpin jalannya pertarungan tadi, menghampiri Wira dan membantunya berdiri.
“Lumayan, Nak. Perkembanganmu bagus juga!” katanya sambil menepuk punggung Wira.
“Wira!” panggil Nala yang melompat turun dari arena dan langsung mendatanginya, “Kau tak apa-apa? Aku terkejut, gerakan tongkat yang tadi itu … bagaimana kau melakukannya …?” tanyanya beruntun sambil merangkul Wira.
“Haaah … tetap saja aku yang kalah kan,” ujar Wira sambil nyengir.
“Ah, kebetulan saja. Sudahlah, ayo ke kedai. Aku traktir.”
“Ha? Serius?”
“Hmm, yuk ….”
“Heeei …! Kalian tidak mengajakku?” menyelinap menembus kerumunan, Ratnasari bergabung dengan keduanya.
Tiga murid senior itu pun meninggalkan arena latih tanding menuju kedai perguruan. Sejak saling kenal saat masih menjadi murid junior, ketiganya memang cukup akrab. Mungkin, hal itu terjadi karena beberapa kali mereka berada dalam satu satu tim saat menjalani misi dan rasa cocok satu sama lain.
Meski demikian, di dalam hatinya, Wira tak jarang merasa minder saat bersama kedua temannya itu. Di satu sisi, Nala adalah sosok pemuda tampan, pandai, dan berkarisma. Di samping latar belakangnya ternama, kepiawaian dan kecerdasannya bisa dibilang yang teratas di angkatan mereka.
Sementara Ratnasari, selain cantik dan ramah, kemampuannya jauh di atas rata-rata murid seangkatannya. Statusnya yang tak sembarangan, yaitu putri tunggal Ki Damar yang merupakan wakil ketua perguruan pun membuatnya berpotensi menjadi seorang pendekar wanita dengan pencapaian yang hebat dan di masa depan.
Lalu, bagaimana dengan dirinya sendiri? Walaupun kedua temannya itu tak pernah mempermasalahkan siapa dia dan bagaimanapun keadaannya, Wira kerap merasa kurang percaya diri saat di tengah keduanya. Bahkan, hingga kini pun ia masih canggung, khususnya jika berhadapan dengan Ratnasari. Keduanya adalah teman yang baik, tetapi Wira meragukan apakah kehadirannya cukup baik untuk mereka.
...***...
Malam itu, Wira sulit memejamkan matanya. Ia memutuskan untuk duduk-duduk santai di sebuah bangku panjang di dekat dinding depan kamarnya. Langit begitu bersih sehingga kerlip bintang-bintang terlihat sangat jelas bagai corak pada selembar kain yang menyimpan banyak rahasia. Semilir angin malam yang sejuk membuat pikiran Wira melayang ke mana-mana.
Kalau ia ingat-ingat kembali, sejak Ketua Raksala memberitahukan asal-usul keberadaan dirinya di perguruan ini, sekitar sepuluh tahun lalu, seolah ada sesuatu yang hilang dalam dirinya. Sebelumnya, ia adalah anak yang senang bermain selain berlatih seni bela diri dan bermimpi dapat menjadi seorang pendekar yang hebat seperti sosok ketua perguruan yang dikaguminya.
Namun, kenyataan akan jati dirinya itu seolah perlahan memupuskan mimpinya. Setelah berlatih seni bela diri, alih-alih bermain, ia lebih sering menyendiri dengan membaca berbagai buku di perpustakaan perguruan. Itu memang bukan hal yang buruk, tetapi yang banyak dibaca oleh Wira bukanlah buku tentang ilmu bela diri dan semacamnya, melainkan buku-buku tentang sastra, berbagai disiplin ilmu, dan kehidupan.
Hal yang kemudian menjadi kebiasaannya itu membuat Wira menjadi sosok yang lebih dewasa dibandingkan dengan mereka yang seusianya. Di samping itu, wawasan dan pengetahuannya yang semakin luas seakan membuatnya tak lagi berambisi untuk menjadi pendekar yang hebat. Ia hanya bersyukur masih memiliki tempat untuk hidup dan menjalani kehidupannya hingga saat ini.
Saat usianya hampir sepuluh tahun, Wira meminta pada Ketua Raksala agar dirinya bisa ikut membantu dalam pekerjaan harian di perguruan. Sebenarnya Ketua Raksala menolak permintaan itu, tetapi melihat Wira yang terus memohon, beliau pun mengizinkannya dengan syarat Wira tetap berlatih seni bela diri. Beliau juga berpesan, tak apa-apa jika Wira tak ingin menjalani hidup sebagai pendekar, tetapi Wira akan membutuhkan seni bela diri agar bisa menjaga dirinya sendiri.
Wira menghela napas panjang. Walaupun ia tak pernah menyesali keputusannya itu, entah mengapa kini ia malah merasa bahwa saat itu dirinya telah mengecewakan orang yang sangat ia hormati.
Menurut kabar yang beredar kurang lebih lima hari yang lalu, Ketua Raksala tengah dalam perjalanan kembali ke perguruan dari wilayah barat pulau Daksina. Artinya, seharusnya beliau akan tiba dalam waktu satu atau dua hari lagi jika tak ada hambatan yang berarti.
Kini, Wira mempertimbangkan untuk mencoba kembali menekuni seni bela diri. Mungkin, ketua Raksala akan menganggapnya plin-plan, tetapi Wira sudah menyiapkan misi perburuan tahunan sebagai alasan untuk itu. Jika ada alasan yang lain, selain misi tersebut dan sekadar menjaga dirinya, mungkin ia hanya ingin dapat melindungi perguruan sekaligus rumahnya ini.
Wira bangkit dan berjalan menuju sebuah area yang cukup tinggi di mana ia bisa melihat sebagian besar kompleks perguruan yang lebih mirip seperti sebuah kota kecil itu. Tanpa disadarinya sama sekali, dari suatu tempat di kejauhan, Raksala tengah mengamatinya dan seolah bisa membaca kegelisahan yang dirasakan oleh Wira, pria tua itu pun tersenyum.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!