Angin pagi menyelinap melalui celah-celah jendela reyot di sebuah rumah kecil di pinggiran Mumbai. Suara teriakan memecah keheningan—bukan dari pasar atau anak-anak yang bermain, melainkan dari dalam dapur tempat seorang wanita kurus tengah tersungkur.
"Berapa kali harus kubilang, jangan jatuhkan cangkir itu, pelacur miskin!"
Craaakk!
Sebuah piring pecah menghantam dinding, terbang dari tangan pria bertubuh besar.
Varsha, gadis kecil berumur sembilan tahun, bersembunyi di balik pintu dapur. Matanya membelalak menyaksikan ibunya—Saraswati—ditampar, ditendang, bahkan diseret oleh majikannya sendiri. Ini bukan pertama kalinya. Namun setiap kali luka itu berdarah, setiap kali ibunya memaksa tersenyum saat menatapnya, Varsha merasa seakan dunia ini memang tak diciptakan untuk mereka.
"Varsha, tutup matamu... jangan lihat, Nak..." ucap Saraswati, pelan namun lemah. Tapi Varsha tak menutup matanya. Ia menatap, mencatat, dan mengingat kejadian itu.
Malam itu, Varsha duduk di pojokan kamarnya, menahan tangis. Ia menyentuh pipinya yang lembab, lalu membuka buku usang satu-satunya—kamus bahasa Inggris. Kata yang ia baca malam itu:
“Justice (n): the quality of being fair and reasonable.”
“Keadilan… Ibu bilang itu hanya milik orang kaya. Tapi Varsha akan mencurinya… untukmu, Bu.”
...***...
Keesokan harinya, langit pinggiran kota masih abu-abu pagi itu. Varsha berlari-lari kecil melewati jalanan tanah becek, membawa sebuah buku tulis lusuh yang digenggam erat di dadanya. Ia baru saja mencuri waktu sebentar dari tugas dapur untuk pergi ke sekolah kampung—tempat ia tidak terdaftar secara resmi, tapi diam-diam diperbolehkan duduk di luar jendela dan menyimak. Ia duduk bersila di luar ruangan, membisu. Tapi matanya tak pernah lepas dari papan tulis. Dari balik jendela, seorang pria paruh baya memperhatikannya. Guru Mahesh, kepala sekolah yang dikenal keras namun adil. Hari itu, ia menghentikan pelajaran dan berjalan keluar ruangan.
“Kau ingin belajar?” tanyanya tegas.
Varsha mengangguk ragu, menggigit bibir.
“Anak pembantu tidak dilarang menuntut ilmu di sini,” katanya pelan. “Tapi kau harus bersedia bekerja lebih keras dari siapapun.”
Mata Varsha membelalak. Dunia seperti terbuka sedikit baginya.
Setiap pagi buta, Varsha mencuci, menyapu, dan memasak. Setelah tugas rumah selesai, ia berlari ke sekolah. Sepulang sekolah, ia membantu ibunya bekerja, lalu belajar di bawah lampu minyak kecil.
Hinaan terus berdatangan.
“Anak pembantu mau jadi pengacara?” ejek anak-anak kampung lain.
Tapi Varsha hanya diam, menyerap semua luka sebagai bahan bakar tekadnya.
...****************...
Suatu hari, saat ia berusia 16 tahun, ibunya jatuh sakit parah. Gaji tidak ada, tabungan pun nihil. Varsha hampir menyerah. Tapi Mahesh datang ke rumah mereka. “Aku sudah mendaftarkan mu untuk beasiswa hukum ke kota. Surat panggilanmu ada di sini,” katanya, menunjukkan amplop. Varsha tak bisa berkata apa-apa. Kabar itu membuat Saraswati terharu. Dia memeluk Varsha, dan mencium keningnya. "Setelah ini, belajarlah yang rajin. Agar kelak, kau tidak menjadi wanita seperti ibu." Mata Varsha sayu. Dia langsung memeluk ibunya. "Aku berjanji ibu. Aku berjanji... Kelak, tidak ada lagi wanita yang di perlakukan seperti ibu, " batin Varsha.
Malam sebelum keberangkatannya ke Delhi, Varsha duduk di sisi ranjang ibunya. “Ibu ingin ikut ke kota,” kata Saraswati pelan.
“Tapi... tubuh ibu sudah sangat lelah, Nak, " sambungnya pelan.
"Varsha... Suatu hari nanti, jangan jadi suara kecil seperti Ibu. Jadilah suara yang didengar oleh dunia, "
"Belajarlah yang rajin, kejar mimpi mu. Sebab... Di dunia ini selain agama, attitude, pendidikan, dan karir. Tidak ada yang bisa menyelamatkan hidup para wanita, "
"Varsha mengerti?" Varsha hanya mengangguk pelan. Saraswati tersenyum sambil mengusap rambut panjang Varsha.
Pagi harinya, sebelum Varsha berangkat. Ia mendapati kabar duka. Ia baru menyadari. Nasihat yang Saraswati berikan semalam, adalah nasihat terakhir. Proses pemakaman hanya di lakukan sederhana. Karena selain kurangnya biaya, warga di sana masih memandang kasta. Proses pemakaman hanya di bantu oleh sang guru—Mahesh dan keluarga Mahesh. "Ibu. Maafkan aku. Sebelum keadilan di tegakkan. Sebelum para wanita mendapatkan hak nya. Aku tidak akan menaburkan abu mu, ibu." Batin Varsha, sembari meletakkan kendi abu ibunya ke dalam koper. Walau sedang berduka, Varsha tetap berangkat ke Delhi. Dengan mata sembab dan dada remuk, Varsha naik bus ke kota besar, membawa satu koper berisi baju, sebuah foto ibunya, kendi abu ibunya, dan selembar surat beasiswa. Sekali lagi, ia berjanji pada ibunya. Sambil menatap langit abu-abu di balik jendela bus. Bahwa kematian ibunya tidak akan sia-sia. Dia akan berjuang untuk memberikan keadilan pada ibunya, dan seluruh wanita lemah.
...****************...
Delhi menyambut Varsha dengan hiruk pikuk yang asing dan menggigit. Bangunan menjulang tinggi, klakson tak henti, dan lautan manusia yang berjalan cepat, seolah waktu di sini tak pernah memberi jeda untuk bernapas. Varsha berdiri terpaku di depan Kampus Fakultas Hukum Universitas Ambedkar, koper kecil di tangan, rambut dikepang sederhana, dan sandal usang di kaki. Ia terlihat seperti butiran pasir di tengah lautan beton.
"Nama?" tanya seorang petugas resepsi saat ia hendak masuk ke ruang asrama.
"Varsha Mehra," jawabnya pelan.
Petugas itu mengangkat alis, lalu melihat daftar beasiswa. Setelah mengecek, ia menyerahkan kunci kamar dengan tatapan heran, “Anak pembantu bisa masuk ke sini, ya?”
Ucapan itu menyayat, tapi Varsha hanya tersenyum kecil. Ia sudah terlalu terbiasa diremehkan. Ia lalu di antarkan ke sebuah kamar yang sudah di sediakan. Di sana dia tidak sendiri, ada beberapa gadis yang kuliah di sana juga.
Kuliah dimulai dengan atmosfer asing dan bahasa Inggris hukum yang terdengar seperti mantra. Ia tertinggal dalam diskusi, tersesat dalam perdebatan. Tapi setiap malam, ia membuka kamus, menghafal istilah, dan mendengar rekaman kuliah hingga larut. Teman-teman sekamarnya adalah anak-anak elite—anak hakim, jaksa, dan pengusaha. Mereka mencibir, mengomentari pakaiannya, baunya, dan kebiasaannya menyalakan dupa sebelum belajar. Tapi Varsha tak goyah. Ia tahu siapa dirinya. Dia ingat akan nasihat ibunya, untuk terus belajar mengejar mimpinya. Karena kelak saat dia berhasil, akan ada wanita yang membutuhkan namanya sebagai pelindung.
Suatu malam, ia mengikuti seminar hukum di luar kampus, tempat para aktivis membahas kasus kekerasan terhadap pekerja rumah tangga dan trafficking perempuan desa ke kota.
Salah satu pemimpin seminar berkata, “Di kota ini, perempuan kelas bawah tidak hanya kehilangan upah — mereka kehilangan tubuhnya, kehormatannya, bahkan hidupnya. Tapi siapa yang peduli? Tak ada pengacara yang mau ambil kasus kotor seperti ini.” Varsha terdiam. Ia mengepal tangannya. Ia perlahan mulai paham. Jika dia sukses, itulah yang akan menjadi medan perannya nanti. Tanpa jawaban, dan ucapan sepatah kata pun. Varsha kembali mendengarkan pembahasan.
Di tahun kedua, ia harus bekerja paruh waktu untuk bertahan hidup. Varsha kadang bekerja menjadi pelayan kafe siang hari, penyalin dokumen hukum malam hari. Ditengah tugas kampus yang menumpuk, Varsha tak pernah mundur. Jika dia mundur, dari mana dia makan. Saat ini yang bisa memberinya kehidupan adalah kaki dan tangannya sendiri. Ia memang tak punya koneksi orang dalam, tak punya uang lebih, tapi ia punya satu hal yang tak banyak orang miliki—api dalam dada yang tidak bisa padam.
Potensi yang di miliki oleh Varsha mulai terlihat. Ia mulai memenangkan debat, mengalahkan mahasiswa favorit dosen. Namanya mulai diperbincangkan. Banyak siswa yang mulai suka dan belajar dari Varsha. Karena itu perlahan dia mulai mendapatkan teman. Vasrha sering di tunjuk untuk mewakili kampus dalam perdebatan antar kampus sebagai juru bicara. Berkat Varsha, kampus beberapa kali memenangkan perlombaan.
Suatu hari, salah satu dosennya bernama, Prof. Anjali Mehta, memanggilnya secara pribadi. Prof. Anjali terlihat nampak risau. Seperti ada yang ingin dia tanyakan pada Varsha.
"Permisi, Ibu memanggil saya?"
"Varsha. Kemari, Nak... " Varsha mengangguk dan masuk ke dalam ruangan Prof. Anjali.
"Ada apa bu?"
"Apa kau ada kelas hari ini?"
"Kelas terakhir ku baru saja selesai bu. Ada apa?"
"Ibu sudah mendengar banyak tentang mu. Dan ibu sangat bangga dengan itu. Karena untuk pertama kalinya kampus kita mempunyai mahasiswa seperti dirimu, "
"Terima kasih bu. Jika bukan karena satu suara yang harus saya suarakan. Mungkin saya tidak akan seperti sekarang, "
"Apa tujuan mu, Nak?"
"Aku merupakan putri dari seorang wanita yang merelakan keringat, darah, air matanya untuk menghidupi ku. Karena ku, ibuku sampai harus di perlakukan kasar oleh majikannya, " jawab Varsha dengan penuh keyakinan.
"Nak Varsha. Kalau kamu terus seperti ini, saya pastikan kamu akan jadi pengacara besar. Tapi... Ada satu hal yang harus kamu ingat!" Varsha sedikit mengangkatkan wajahnya menatap luruh ke arah Prof. Anjali. "Dunia hukum bukan soal benar atau salah, kuat atau lemah. Tapi Ini soal siapa yang punya kuasa. Siapkah kamu melawan mereka?"
Varsha menatap lurus dengan senyuman percaya diri. “Saya sudah hidup sebagai yang ditindas, Bu. Sekarang giliran saya yang bicara.” Sekali lagi, Prof. Anjali kagum dengan pola pikir dan prinsip Varsha. Api masa kecil Varsha kini perlahan mulai menyebar. Raut wajah yang dulunya penakut berubah menjadi kekuatan untuk bangkit.
Semenjak saat itu Prof. Anjali mulai fokus pada pendidikan Varsha. Kebutuhan Varsha mulai di tanggung oleh Prof. Anjali. Ia bahkan tidak lagi tinggal di asrama, dan tinggal di sebuah perumahan kecil. Rumah kecil itu dulunya rumah Prof. Anjali. Tapi setelah menikah dan membangun rumah baru, prof. Anjali tidak lagi tinggal di rumah itu. Bagi Varsha rumah itu cukup besar dan terbilang mewah.
...****************...
Tiga belas tahun sudah berlalu. Kini Varsha Mehra berhasil menjadi pengacara wanita yang sukses dan cukup hebat. Banyak orang yang menggunakan nya dalam menangani kasus-kasus kekerasan, penculikan, sampai pelecehan. Sore itu di Pengadilan Distrik New Delhi. Ia baru saja memenangkan gugatan kekerasan terhadap istri oleh salah satu politisi. Wanita itu di perlakukan seperti seorang pembantu, bahkan di siksa dan jarang di beri makan. Karena siksaan dan derita itu, wanita tersebut sampai bunuh diri dengan cara melompat ke sungai. Polisi sempat menutup kasus wanita itu selama beberapa bulan. Mereka mencatat kasus ini adalah percobaan bunuh diri. Pihak keluarga korban tidak terima. Mereka mengenal Varsha melalu media besar, dan langsung menghubunginya. Saat itu seorang wanita tua yang merupakan ibu dari wanita tersebut meminta Varsha datang seorang diri. Ada hal yang ingin dia ceritakan. Rupanya ibu dari wanita itu tau kalau putrinya selama ini mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Putrinya sering kali bercerita pada ibunya. Namun karena keluarga mereka dari kasta rendah, mereka tidak berani buka suara. Mata Varsha membelalak. Telinganya terasa terbakar mendengar pengakuan tersebut.
"Aku akan membawa kasus ini ke pengadilan. Putri ibu akan mendapatkan keadilan, "
"Bagaimana cara nya, Nak? Polisi menolak kasus ini. Ahli forensik tidak mau menyerahkan surat otopsi, "
"Ibu benar. Mereka mungkin tutup mata dan tutup telinga. Tapi mulut ku tidak akan berhenti bersuara sampai keadilan di tegakkan." Varsha berjalan keluar sembari menggendong tas hitam di pundak kirinya.
Varsha datang ke kantor polisi dan mengajukan kasus tersebut. Namun polisi diam. Mereka menolak untuk membuka kembali kasus mantan istri politisi yang sudah tewas 5 bulan lalu. Mereka bahkan menyebut bahwa wanita itu sudah tidak waras dan nekat bunuh diri. Varsha marah dan memutuskan untuk menyelidiki kasus itu sendiri. Setiap perbuatan baik, pasti mendapatkan hasil yang baik. Varsha berhasil menemukan titik terang dari kasus wanita mantan istri politisi. Dia mendapatkan surat hasil otopsi. Dimana terdapat banyak luka memar. Luka sayatan benda tajam. Dan memar akibat di cekik. Selain itu terdapat benjolan di kepala, yang di duga berasal dari benturan benda tumpul. Varsha mendapatkan hasil otopsi itu melalui rekan nya yang juga bekerja di bagian tim forensik. Semua bukti tersebut langsung Varsha bawa ke pengadilan. Karena itu pengadilan langsung menugaskan kepolisian New Delhi untuk membuka kasus wanita tersebut.
Mantan suami nya ang menjabat sebagai kementrian pusat New Delhi di tangkap untuk diintrogasi. Setelah melemparkan segala jenis pertanyaan, dan memberikan pendapat tentang kasus tersebut. Hakim memutuskan hukuman seumur hidup kepada terdakwa, dan di cabut dari jabatannya sekarang. Sekali lagi, Varsha sudah memberikan keadilan untuk wanita lemah. “Terima kasih, Nak… akhirnya putriku bisa tidur tenang di surga.” Varsha tersenyum sambil mengusap pundak ibu tersebut. Baru saja Varsha turun dari tangga, ponselnya bergetar. Panggilan tersebut dari kepolisian pusat.
“Kami butuh Anda untuk kasus perdagangan perempuan. Akan ada koordinasi langsung dengan Inspektur Viraj Thakur.”
"Baiklah. Kapan saya bisa hadir?"
"Apakah bisa malam ini?"
Sekejap dahi Varsha mengernyit, menatap langit Delhi yang mulai menggelap.
"Baiklah. Saya akan segera kesana sekarang, " ucap Varsha yang kemudian mematikan panggilan tersebut.
Viraj Thakur bukan sembarang polisi. Ia dikenal sebagai polisi yang tak pandang bulu, bengis, dan bertangan besi. Kabarnya, para tahanan lebih takut padanya daripada pada hukuman mati itu sendiri.
Varsha menatap langit Delhi yang perlahan menggelap.
“Viraj Thakur...” gumam Varsha pelan dengan wajah kebingungan. "Untuk pertama kalinya ada polisi yang mau menangani kasus wanita, " lirih Varsha dengan tawa kecil. Ia masuk ke dalam mobil dan bergegas pergi ke kantor polisi.
Markas Besar Kepolisian New Delhi, jam 18.25 petang.
Gedung tua dengan cat yang mulai mengelupas itu berdiri kokoh bagai benteng pertahanan terakhir di tengah tumpukan kebusukan kota.
Varsha melangkah masuk dengan langkah mantap. Rambutnya digulung rapi, blazer hitam pekat melekat pada tubuh tegapnya. Semua mata melirik. Tak biasa melihat seorang wanita berjalan setegas itu di kantor yang dipenuhi suara sepatu bot dan amarah.
Ia berhenti di depan ruang kaca bertuliskan: “Inspektur Viraj Thakur–Divisi Kriminal Khusus”
Tanpa mengetuk, pintu terbuka dari dalam. Seorang pria bertubuh tegap, mengenakan seragam khaki yang penuh baret dan bintang pangkat, berdiri memandangnya lurus. Dialah Viraj Thakur Mata mereka bertemu. Tajam. Dan juga dingin. Tak ada senyum. Tak ada salam.
“Kau datang terlambat tiga menit,” ucap pria itu datar. Varsha tak mundur selangkah pun. “Dan Anda sudah menyalahi etika dasar penyambutan seorang profesional, " jawab Varsha, sedikit sombong. Senyum sinis terbit di bibir Inspektur Viraj Thakur.
“Kau pikir dunia kriminal peduli soal etika, Nona Pengacara?”
“Tidak. Tapi saya bukan kriminal, Tuan Polisi.”
"Aku sudah terbiasa melihat mu di berita media. Sekarang tunjukan kehebatan mu secara langsung padaku, "
"Dengan berdiri?"
"Oh. Maafkan aku.. Silahkan duduk!" Baru saja Varsha duduk, seorang gadis tiba-tiba muncul dari balik meja. Gadis itu berusia sekitar 7 tahun. Dengan mata besar yang penasaran, gadis kecil itu menatap Varsha lalu tersenyum manis.
“Apakah kamu pengacara yang pintar itu? Ayah bilang kamu galak,” katanya polos. Varsha menatap anak itu, kaget, lalu tersenyum. “Kalau ayahmu bilang begitu, mungkin ayahmu benar.” Varsha lalu menatap ke arah Viraj yang terdiam sedikit malu. Anak itu tertawa kecil melihat ekspresi ayahnya.
"Mahi. Bisa kau main ke sana sebentar. Ada pembahasan dewasa yang tidak boleh anak kecil dengar, "
"Baik ayah." Mahi berdiri dan mengambil bonekanya. Dia berjalan ke sudut ruangan ayahnya dekat jendela dan bermain.
"Dia putri ku, Mahi. Aku selalu membawanya dalam bertugas,"
"Kenapa? Apa kau tidak takut bahaya jika membawa putri mu yang masih kecil bertugas?"
"Sejak dulu dia memang tidak bisa lepas dari ku, "
"Dimana ibunya?" Mata Viraj langsung berubah arah. Dia menatap Varsha begitu dalam dan tajam. "Ah maafkan kelancangan ku. Seharusnya aku tidak mempertanyakan rumah tangga mu."Tidak ada senyuman dari wajah Viraj. Dia mengeluarkan dokumen yang berisikan kasus perdagangan sejumlah gadis muda. Gadis-gadis itu berasal dari desa-desa kecil di Bihar, Rajasthan, dan Orissa yang ditemukan hilang. Bukti mengarah pada sindikat perdagangan manusia lintas negara.
"Dalam menyelidiki kasus ini mungkin kita akan pergi beberapa hari ke desa-desa tersebut, "
"Apa kau bersedia?" Varsha mengangguk sambil membaca-baca berkas-berkas tersebut.
"Baiklah. Kapan kita akan pergi?"
"Besok pagi, "
"Apakah kita akan pergi berdua?"
"Tidak. Aku akan membawa dua polisi untuk berjaga-jaga. Dan juga... Untuk membantu ku mengurus Mahi, "
"Maksudmu... Mahi akan ikut?"
"Tentu. Tidak mungkin dia akan tinggal sendirian, "
"Lalu sekolahnya?"
"Itu gampang, " jawab Viraj santai sambil menatap putrinya yang sedang bermain. Varsha merapikan berkas-berkas tadi. Ia lalu pamit untuk menyiapkan diri besok pagi. Setelah Varsha pergi, Mahi diam-diam memperhatikannya.
"Ayah-ayah... Kakak itu sangat cantik, "
"Benarkah?"
"Iya. Aku sangat senang jika bisa berteman dengannya, "
"Tapi... Selain dia, putri ayah yang satu ini lebih cantik, "
"Ayah selalu mengatakan itu. Apakah tidak ada wanita lain yang cantik di mata ayah?" Viraj tersenyum lembut menatap putrinya. "Kemari lah, Nak." Mahi menghampiri Viraj. Tubuh mungilnya itu di angkat Viraj duduk di pangkuannya. "Jangan pernah tanyakan wanita cantik di dunia ini kepada ayah. Karena bagi ayah, selain ibumu–kau adalah wanita kecil tercantik di muka bumi ini, " gumam Viraj sambil menggelitik putrinya. Mahi tentu tertawa geli, dan membalas menggelitik ayahnya. Mereka berdua bersenda gurau di ruangan Viraj, di saksikan dua penjahat yang baru saja Viraj pukuli, dan satu anggota polisi–dengan perut buncit, dan segelas teh hangat di tangan.
"Andaikan polisi itu mempunyai sikap lembut saat menangkap kita– seperti dia lembut kepada putrinya, " ucap salah satu penjahat dengan tatapan bingung melihat perubahan sikap Viraj. Seperti api berubah menjadi air.
"Hei. Jika Pak Viraj menjadi polisi lembut seperti itu. Tidak akan ada penjahat yang masuk ke sel tahanan ini, " jawab polisi perut buncit tersebut.
...****************...
Keesokan harinya, Varsha di bantu asisten nya sedang mengeluarkan tas yang berisikan beberapa pakaian. Viraj memberitahu Varsha, kemungkinan mereka akan menginap di desa. Tiba-tiba ia melihat Viraj di halaman rumah Varsha, bersama dengan Mahi. "Kakak cantik, " sapa Mahi dengan senyuman manis. Mengetahui Varsha sudah keluar. Viraj dengan kaca mata hitamnya berbalik dan menatap Varsha yang berdiri di depan pintu rumahnya dengan raut wajah kebingungan. Viraj melepaskan kacamatanya dan mengajak Mahi menghampiri Varsha.
"Tidak usah bingung kenapa aku kemari. Agar kau tidak terlambat seperti kemarin, "
"Satu hal yang harus kau tau. Aku tidak suka dengan keterlambatan, "
"Ooh, jadi begitu? Kalau begitu kau juga harus tau satu hal... Aku tidak suka kelancangan, "
"Lancang?"
"Kau datang tanpa memberitahuku terlebih dahulu. Dan... Dari mana kau tau alamat rumah ku?"
"Apakah aku perlu meminta izin mu, Nona Pengacara?"
"Jaga batasan mu, Tuan Inspektur Viraj Thakur." Kedua mata itu saling menatap satu sama lain. Tatapan dingin, dan tajam. Namun saling menghormati satu sama lain.
"Langsung pada intinya. Apa yang membuat mu kemari?" Tanya Varsha.
"Mahi yang meminta ku untuk membawa mu bersama dengan kami. Dia ingin berteman dengan mu." Varsha menatap Mahi dengan senyuman tulus. Dia sedikit membungkukkan dirinya, dan mengelus pipinya.
"Jangan memanggilku kakak cantik lagi. Namaku Varsha. Kau mengeri, Mahi?"
"Iya kakak can– emm kakak Varsha, "
"Baiklah." Baru saja Viraj ingin mengangkat koper. Varsha sudah lebih dulu mengangkat koper itu, dan membawanya pergi. Pandangan Viraj membeku. Dia mengepalkan kembali tangan yang hendak mengangkat koper tersebut. Viraj berbalik dan menatap Varsha yang membuka bagasi mobil sendiri, dan meletakkan koper sendiri. "Sangat mandiri," gumam Viraj. Ia lalu mengajak Mahi untuk pergi ke mobil. Saat Varsha hendak duduk di bangku belakang, pintu mobil di tahan oleh Mahi. Varsha mengangkat alisnya keheranan melihat tingkah Mahi. "Duduklah di depan, " bisik Mahi. Varsha tidak mau. Mahi langsung duduk di kursi belakang, dan mengunci pintu. Dengan begitu Varsha tidak bisa menolak, dan mau tidak mau ia duduk di kursi depan bersebelahan dengan Viraj.
"Mahi sayang jangan lupa sabuk penga-" ucapan Viraj terhenti saat hendak memasangkan sabuk pengaman Varsha yang ia kira Mahi. Untuk pertama kalinya wajah Viraj begitu dekat dengan Varsha. Kedua mata itu kembali menatap. Kali ini dengan tatapan ringan, santai, dan penuh kehangatan. Mahi tertawa kecil sembari menutup mulutnya melihat keduanya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!