NovelToon NovelToon

The Princess Prisoner

The Beginning

PROLOG

Tubuhku penuh luka dan tak berdaya di depan semua petinggi Albatraz. Aku lalu menatap nanar pria yang mengenakan baju jirah kebesaran Albatraz yang berdiri di hadapanku tanpa bisa berkata-kata lagi. Ya, dia adalah Nox, Lord of Albatraz. Wajahnya berkali-kali menatapku tanpa belas kasihan.

Kedua orangtuaku dibunuh olehnya karena ayahku terbukti menipu kerajaan Albatraz yang selama ini menjadi sekutu Morrac. Aku hanya bisa pasrah, tapi anehnya, aku selalu terbangun lagi setelah menghadapi kematianku. Di hari yang sama, yaitu dua hari sebelum kematianku. Ya, aku kembali lagi ke masa lalu dan ini sudah kelima kalinya aku mengalaminya!

Entah kenapa selalu seperti ini, padahal aku sudah mencoba mengikhlaskan kematianku. Sampai kapan? Berapa kali lagi aku mengalami kejadian yang bahkan menurutku tidak masuk akal ini. Aku lelah, tidak bolehkah aku beristirahat dengan tenang? Lebih baik mati selamanya daripada hidup seperti ini. Atau lebih baik aku menghindari kematian saja?

Namun, aku tidak tahu bagaimana menghentikannya. Berbagai cara sudah kulakukan sebelumnya. Kabur? Tidak mungkin bisa kabur darinya. Apa aku harus membujuk Sang Lord? Bernegosiasi? Ah, atau merayunya? Tapi sepertinya itu hal yang sulit. Lord Nox yang sangat dingin dan tak punya hati itu sangat susah diajak bicara. Bagaimana ini? Aku harus bagaimana lagi? Aku sudah kehilangan akal.

"Yang Mu-lia, saya... saya ingin mengatakan sesuatu pada Anda!"

Lagi-lagi aku terjebak dalam hukuman mati ini, tapi setidaknya aku berusaha buka mulut walaupun ucapanku itu terbata-bata. Sialnya, pria itu tidak menggubrisku. Saat pedangnya berniat menebas leherku, aku langsung memejamkan mataku, "Saya mencintai Anda, Yang Mulia. Sudah lama saya menyukai Anda!"

Oh, hal gila apa yang kuucapkan barusan?

Anehnya ketika aku kembali membuka mata, aku masih berada di tempat yang sama! Pria yang berdiri di hadapanku itu tiba-tiba mengangkat daguku dengan benda tajam yang digenggamnya.

"Apa yang barusan kau katakan?" Matanya seperti sebuah anak panah yang sedang membidikku.

Ini benar-benar di luar dugaanku. Akhirnya pria itu mengucapkan kalimat yang berbeda setelah berkali-kali membunuhku. Maafkan aku harus berbohong. Walaupun harus menjadi wanita jahat sekalipun, aku akan melakukannya agar bisa hidup dengan tenang!

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

🗡тнe вegιnnιng

"Jene! Ayahmu ditahan di Albatraz, kau malah tenang-tenang saja."

Seorang wanita paruh baya yang memiliki rambut abu-abu terang menyerupaiku, mendatangi kamarku pagi ini. Aku yang baru membuka mataku terdiam memandanginya. Kukerjapkan mataku berkali-kali tanpa berkata apa pun. Ini bukan pertama kalinya aku mendapati ibuku berteriak seperti ini karena aku selalu terbangun kembali setelah menemui kematianku. Mungkin tidak ada yang percaya jika aku menceritakannya, tapi ini benar-benar terjadi padaku. Barusan aku menghadapi hukuman mati di hadapan petinggi Albatraz dan dalam sekejap aku kembali ke Morrac, tanah kelahiranku.

Morrac dan Albatraz merupakan dua kerajaan yang jaraknya berdekatan. Tidak ada masalah selama ini sampai akhirnya ayahku, pemimpin Morrac melanggar perjanjiannya dengan pihak Albatraz. Perjanjian apa itu? Morrac dan Albatraz adalah wilayah yang berdiri sendiri, dua belah pihak sepakat akan saling membantu jika terjadi perang atau perebutan sengketa.

Baru-baru ini Albatraz gencar mengambil alih wilayah baru. Namun, ayahku tidak mengirimkan bantuan pasukan sedikit pun saat terjadi perang antar Albatraz dan kerajaan terbesar di dataran Earthcoal, Barbaria. Ayahku takut suatu saat Morrac akan diambil alih juga oleh sekutunya itu. Itulah alasan kenapa Albatraz membuka portal magis di istanaku dan membawa ayahku tanpa perlawanan. Bagaimana tidak? Mereka menyegel istana yang kami tinggal tanpa belas kasihan.

Seluruh rakyat panik karena rajanya ditahan oleh kerajaan tetangga. Lalu bagaimana aku bisa tidak terkejut menghadapi situasi ini? Karena ini adalah kelima kalinya aku terbangun dalam keadaan seperti ini, tepat dua hari sebelum kematianku. Dan terulang lagi. Awalnya aku bingung dan hampir gila, segala cara kulakukan agar ayahku selamat dari Albatraz, tapi semua sia-sia saja.

Albatraz, walaupun wilayahnya tidak seluas Barbaria, dia terkenal akan kekuatan magisnya. Mereka juga menyebutnya tempat tinggal para penyihir. Istananya memiliki tiga tower yang konon katanya dilindungi oleh sihir hitam. Pemimpinnya dikenal dengan sebutan Lord. Tentu saja keturunan Lord dianugrahkan kekuatan khusus. Aku juga tidak tahu pasti, tapi ada yang bilang bahwa seorang Lord bisa membaca masa depan seseorang hanya dengan melihat matanya saja.

Wafatnya Lord Alphaus, Raja Albatraz yang tiba-tiba membuat rakyatnya berduka selama beberapa waktu. Banyak kabar burung yang mengatakan bahwa Nox, putra sulungnya yang sekarang menggantikannya, membunuh ayahnya agar bisa naik tahta dengan cepat.

"Jene? Kau mendengar Ibu?"

Tiba-tiba aku tersentak karena wanita yang mendekatiku tadi menarik lenganku agak kasar. Ya, dia adalah ibuku. Dia pasti bingung kenapa aku bisa setenang ini.

Percayalah Bu, aku tidak bisa setenang ini kalau tidak mengalami kejadian yang sama berkali-kali.

"Aku harus berbuat apa?"

Akhirnya aku membuka mulut. Tidak ada yang bisa kulakukan, ayahku terbukti menipu Albatraz dan memang begitu kenyataannya. Ayahku pun sekarang sudah tertangkap, lalu bagaimana nasib kami? Kami semua akan dihukum mati karena istana ini sudah disegel oleh sihir. Semua orang yang tinggal di sini tidak bisa lari lagi.

"Ibu sudah tahu perang akan terjadi, tapi kenapa Albatraz dan Barbaria bisa berdamai? Jene, mintalah pertolongan pada Pangeran North. Kita tidak mungkin bisa menghadapi Albatraz sendirian."

Sudah kuduga, ibuku akan berbicara seperti itu. Memohon pada North? Dia adalah tunanganku dari Kerajaan Navare yang berada jauh di utara. Itu pun sudah pernah kulakukan. Saat terbangun pertama kali, kupikir pria itu juga akan membantuku. Namun nyatanya dia justru memutuskan hubungan kami begitu saja. Pasti karena dia takut terlibat dengan Penguasa Albatraz, Lord Nox itu.

"Tidak ada yang bisa membantu kita, Bu," kataku dengan wajah datar.

"Kau bahkan belum mencobanya. Sekalian saja kalian menikah dalam waktu dekat ini!"

"Sudah kubilang itu tidak akan terjadi. Mereka tidak mungkin membela musuh Albatraz."

"Ayahmu akan dihukum mati! Kau dengar, kan, ancamannya kemarin?"

"Ya... kita semua akan mati. Ayah yang memilih berbelot."

"Apa kau akan membiarkan ayahmu mati seperti ini?" Ibuku mulai menaikkan nada suaranya.

Andai saja aku terbangun sebelum ayahku melakukan kesalahan fatal itu. Mungkin aku bisa mencegah semua ini terjadi. Aku benci pada diriku sendiri. Aku tidak bisa menolong ayahku, bahkan menyelamatkan hidupku pun aku tak bisa. Lari pun tidak mungkin, apalagi lepas dari Lord Nox.

Tentu saja aku sudah pernah berhadapan dengannya, di saat detik-detik kematianku. Pria yang sepertinya tidak punya belas kasih itu sangat disegani oleh rakyatnya. Entah karena mereka takut atau kagum padanya. Yang jelas dia masih muda, tapi sudah menjadi seorang pemimpin.

Setelah terdiam sejenak aku lalu menggerakkan bibirku lagi, "Tidak ada yang bisa kita lakukan, Bu. Sebentar lagi kita akan dibawa ke Albatraz."

"Apa katamu? Jangan bilang seperti itu. Pikirkan sesuatu, Jene!"

"Tidak ada cara lain selain memohon pada mereka."

"Kau pikir dengan begitu mereka akan memaafkan kita?"

Tentu saja tidak. Aku menjawabnya di dalam hati, kemudian menghela nafas. Aku ingat sekali bahwa hari ini pasukan Albatraz datang untuk menyanderaku dan ibuku. Bersembunyi pun telah kami lakukan sebelumnya, tapi tetap saja tertangkap. Ini merupakan takdir. Berulang kali kucoba untuk mengubahnya, tapi sama sekali tidak ada hasilnya.

Baiklah, aku akan memohon pada mereka," ucapku kemudian.

Sebenarnya aku juga sudah pernah memohon pada pihak Albatraz, tapi tidak ada pengampunan buatku maupun ibuku.

"Bagaimana kau ke sana? Istana sudah di segel dan-"

"Tidak perlu susah-susah, malam ini mereka akan menjemput kita."

"Apa yang kau katakan, Jene?"

"Bersiaplah, Bu. Mereka akan menghukum kita. Sama seperti Ayah."

"Tidak. Jangan katakan lagi."

"Maafkan aku. Aku tidak bisa menjadi putri yang baik. Aku bahkan tidak bisa menyelamatkamu dan Morrac."

"Berhentilah, Jene!"

Ibuku tiba-tiba meletakkan kepalaku di pundaknya dan memelukku dengan erat. Aku tahu ini pelukan terakhir kami. Berulang kali aku menyaksikan Ibu meronta-ronta saat mereka menangkapnya dan kali ini pun aku akan melihat hal yang sama. Tepat setelah matahari terbenam, mereka akan membuka portal di dalam istana ini.

Selang beberapa jam, aku sengaja memakai gaun berwarna putih dan duduk di balkon kamarku. Ini adalah saat-saat terakhir aku melihat perbukitan dari sini. Aku sudah pasrah. Menunggu pasukan Albatraz datang dan menangkapku.

Tebakanku benar. Aku dan ibuku tertangkap dan kami dikurung terpisah di penjara bawah tanah Albatraz. Hanya tinggal menunggu dieksekusi. Aku tidak tahu lagi apa yang terjadi pada Ibuku. Mungkin mereka membunuhnya sebelum aku. Yang kutahu tanpa kusadari sekarang aku sudah hampir tiba di lapangan eksekusi. Kakiku terpincang-pincang menyeret rantai yang melekat di sana. Waktu begitu cepat berlalu.

"Benarkah dia adalah putri Morrac?"

"Sayang sekali gadis secantik dia harus mati."

"Dia bahkan lebih cantik dibandingkan para healer."

Tak sengaja kudengar obrolan mereka yang menyaksikanku dari luar gerbang. Cantik katanya? Sudah lama aku tidak dipuji seperti itu. Tunggu. Tiba-tiba sebuah ide terbesit dalam pikiranku. Ide yang selama ini tidak pernah terpikir olehku dan mengembalikan semangat hidupku lagi.

"Yang Mulia tiba!"

Dari kejauhan aku melihat rambut perak yang hampir sama denganku terkibas angin. Bedanya, rambutnya berwarna sedikit lebih pekat dan berkilau, tentu saja terkesan mewah. Siapa lagi kalau bukan Lord Nox, Raja Albatraz. Pria berjubah hitam itu muncul dari balik gerbang besar dan berjalan mendekatiku. Siang itu, di depan banyak orang aku akan dibunuh atas semua kejahatan yang ayahku lakukan.

Tapi kali ini harusnya berbeda, karena aku, si putri penjahat akan berpura-pura mencintainya.

Please, Marry Me

Untuk kesekian kalinya. Aku tertegun memperhatikan sekelilingku. Tunggu, aku dimana? aku terbaring di tempat tidur putih sederhana. Semua benda di sana terbuat dari kayu tua, bisa dibilang ini kamar pelayan. Tidak, tapi ini terlalu besar. Ini jelas bukan kamarku. Aku memang sedikit trauma jika terbangun seperti ini. Aku lalu duduk di tempat tidur itu seperti orang linglung.

Akhirnya aku tidak mengulangi kejadian yang sama lagi. Rasanya saking senangnya aku ingin menangis. Aku kira kehidupanku tidak ada akhirnya. Aku membaringkan tubuhku lagi di tempat tidur itu. Aku tidak pernah sebahagia ini, tapi jika benar, aku tidak akan bisa melihat ibuku lagi. Aku tidak bisa terbangun di Morroc lagi. Baru beberapa detik yang lalu aku sangat senang, tapi sekarang aku menyesalinya.Tiba-tiba terdengar suara ketokan dari pintu besar dekat sana. Saking kagetnya aku langsung duduk kembali.

"Putri Jene... sepertinya Anda sudah sadar."

Seorang pria berkacamata muncul dibalik pintu itu. Rambutnya yang berwarna coklat hampir mengejutkanku. Siapa dia? Dewa? Malaikat?

"A-Anda siapa? Apa saya benar-benar sudah mati?"

"Putri Jene, saya Bass Vilencia dan Anda tengah berada di Tower Tiga Albatraz."

Di tower tiga katanya? Aku belum mati? Aku sempat menutup mulut dengan tanganku saking kagetnya. Kenapa? Aku tidak pernah ada di sini sebelumnya. Apa ini artinya aku berhasil membujuk Raja Albatraz itu? Aku tidak jadi dihukum mati?

"Berterima kasihlah pada Yang Mulia karena Beliau menunda hukuman Anda."

"Menunda?"

"Beliau ingin bertemu dengan Anda lagi."

Kenapa? Kenapa tiba-tiba Yang Mulia berubah pikiran? Antara senang dan bingung, aku tidak tahu harus bagaimana.

"Ada apa sebenarnya?"

"Ikuti saya, Nona."

Aku langsung mengangguk dam mencoba menyembunyikan wajah kagetku saat itu. Pria itu sempat memperhatikanku dari rambut sampai ujung kakiku. Apa ada yang salah denganku? Aku mengikutinya dari belakang. Kami menyusuri anak tangga yang bisa kuhitung jumlahnya dan karena ini tower tangga yang memutar ini membuatku pusing. Apalagi kondisi tubuhku masih belum pulih. Sebenarnya ini istana atau penjara?

Setelah beberapa lama akhirnya kami sampai di lantai paling bawah dan ketika sampai di luar, sebuah pemandangan yang belum pernah kulihat sebelumnya menyambutku. Sebuah taman hijau dengan danau di tengahnya. Aku baru tahu ada taman serapi ini di Albatraz. Mulutku menganga tanpa sadar saking kagumnya melihatnya.

"Silahkan duduk di sini."

Rupanya pria yang bernama Bass tadi sudah berada di dekat kursi dekat sana dan mempersilakanku untuk duduk. Entah kenapa aku menurut saja dengannya.

"Sebentar lagi Yang Mulia Lord akan datang."

"Emm... Tuan Bass, apakah aku benar-benar sudah lepas dari hukuman itu?"

"Saya tidak berhak untuk mengatakannya."

"Tapi kenapa Yang Mulia ingin bertemu dengan saya seperti ini?"

"Saya sendiri kurang tahu."

Apa benar tentang perkataanku itu? Aku menelan ludah. Jujur, aku gugup sekali menunggu orang nomor satu di Albatros menemuiku. Aku takut dia menanyai tentang pengakuan cintaku dan membunuhku di sini! Aku harus bilang apa? Aku bercanda? Bisa-bisa kepalaku ditebas di tempat.

"Mohon tunggu di sini, saya permisi."

Tuan Bass berbalik dan meninggalkanku sendirian di pinggir danau kecil itu, sedangkan aku berusaha menikmati pemandangan yang tidak biasa ini. Pasalnya, aku bingung harus berkata apa pada Yang Mulia. Pertama-tama pura-pura berterima kasih? Tunggu, apa ibuku sudah dibunuh? Bagaimana bisa aku berterima kasih pada orang yang membunuh keluargaku? Tenanglah, Jane. Aku harus bisa mengambil hatinya agar tetap hidup dan kembali ke Morroc. Setidaknya aku tidak mengalami kejadian yang sama lagi. Tidak ada siapa- siapa di taman seluas ini? Aku tidak bisa berhenti berdecak kagum. Tak lama, sayup-sayup aku mendengar suara seseorang dari arah aku datang tadi. Tanpa sadar aku menguping pembicaraan mereka.

"... Saya hanya ingin memastikan Anda baik-baik saja."

"Terima kasih atas perhatianmu."

Astaga, apakah itu Yang Mulia Noc? Tapi rambutnya berbeda. Aku buru-buru melepaskan pandanganku dari sana. Bisa gawat kalau dia tahu aku memperhatikannya. Seorang pria sedang bersama wanita cantik berambut coklat yang tergerai indah.

Siapa dia?

Tanpa sengaja mata biru milik wanita itu menangkapku dari kejauhan. Satu kata untuknya. Cantik. Matanya. Dia lalu pergi dari sana dengan anggunnya. Lawan bicaranya tadi langsung menoleh ke arahku. Dia bukan Noc. Tapi siapa? Mata kami bertemu beberapa detik. Mata merah pria itu membuatku penasaran. Tak lama dia mengalihkan pandangannya dariku.

Astaga, orang yang daritadi kutunggu datang juga. Lord Noc! Pria dingin itu terlihat menyapa pria yang sejak tadi berada di sana. Jantungku berdegup kencang seketika. Tiba- tiba aku teringat akan ucapanku kemarin padanya. Dia pasti akan mempertanyakan hal itu padaku sebelum membunuhku.

Tanganku terasa sedikit gemetaran. Aku berusaha menenangkan diriku. Sia-sia saja usahaku kalau aku masih tetap terbunuh olehnya. Aku pasti bisa mengambil hatinya! Dengan wajah dan rambut indah milikku ini, Yang Mulia harusnya tertarik padaku.

"Hormat pada Yang Mulia..."

Pria itu berjalan ke arahku dan aku langsung terpaku menatapnya. Rambutnya yang berwarna hampir sama denganku itu tertata rapi. Dia berpakaian serba putih.

Apa dia memang setampan ini?

Entah kenapa pertanyaan itu terbesit dalam pikiranku. Sampai-sampai aku tidak menyadari dia sudah ada tepat di depanku dan menatapku dengan sorotan mata yang bisa membunuhku.

Dia mendekat perlahan seolah ingin memangsaku. Tatapannya berbeda dengan saat dia berbicara dengan pria tadi. Aku mendongak padanya sambil mencengkeram tanganku sendiri.

Apa-apaan ini? Apa dia akan membunuhku di sini?

"Apa kau punya perlindungan sihir?"

Suara berat yang berasal dari mulutnya tiba-tiba memecahkan keheningan. Perlindungan sihir? Aku memasang wajah masem tanpa mengalihkan pandanganku. Kenapa dia menanyakan itu?

"Sa-saya tidak mengerti..."

Wajahnya semakin mendekatiku dan berhasil membuat tanganku berkeringat dingin. Bola matanya berubah lagi menjadi merah! Jadi kemarin aku tidak salah lihat? Namun, tak lama, matanya berubah seperti semula. Siapa yang tidak terkejut melihatnya?

Aku mencoba mengalihkan pandanganku, tapi dia tiba-tiba memegang tanganku dan menarikku dari tempat duduk. Jantungku rasanya ingin lepas saat itu juga.

"Aku tanya sekali lagi, apa kau menggunakan perlindungan sihir?!"

"Ti-tidak!"

Saking terkejutnya aku refleks berteriak padanya. Pria yang selalu dipanggil Yang Mulia itu kasar sekali. Apa sih perlindungan sihir yang dimaksudnya? Dia lalu terdiam, heran menatapku yang terlihat ketakutan itu.

"Apa pria tua itu yang melakukannya?"

Aku mendelik dan tertegun. Pria tua? Maksudnya ayahku? Benar-benar seenaknya. Bukannya takut aku malah menjadi kesal padanya.

"Aku tidak bisa melihat masa depanmu."

Dia lalu melepaskan tanganku perlahan di saat aku masih mencerna perkataannya. Masa depan? Pria ini bisa melihat masa depan seseorang? Dengan hanya melihat matanya? Apa karena itu warna matanya berubah? Tunggu, apa karena ini juga kah dia tidak jadi membunuhku?

"Apa maksud Anda?"

"Siapa namamu?"

"Jane. Saya benar-benar tidak bisa menggunakan sihir."

"Harusnya kemarin aku langsung membunuhmu..."

Aku terdiam saat pria itu tiba-tiba mengambil pedangnya dan mengarahkannya padaku. Ujung pedang itu sangat dekat dengan leherku. Bahkan menelan ludah saja aku takut. Dia benar-benar tidak punya hati!

"Lalu jelaskan maksud ucapanmu kemarin?"

"Sa-saya..."

Tanpa sadar tanganku sudah gemetaran dibuatnya. Apa yang harus kukatakan? Astaga, apa aku mati lagi saja? Rencana berpura-pura menyukainya benar-benar buruk!

"S-sa-saya hanya menyatakan perasaan saya... s-sa-saya..."

Jauhkan pedang itu sialan! Aku berteriak di dalam hati. Bagaimana aku bisa menjawab pertanyaannya dalam situasi seperti ini. Dia seperti sudah bersiap mencabik keringkonganku dengan pedangnya yang besar itu.

"Aku bahkan tidak pernah bertemu denganmu."

Dia tersenyum lirih kali ini. Dia pasti tahu kalau kata-kata manisku kemarin hanyalah kebohongan.

"Saya melihat gambar Anda..."

"Karena wajahku?"

"I-iya... maafkan saya telah lancang."

"Aku baru tahu Morroc memiliki seorang putri yang tidak takut mati sepertimu."

"Menikahlah dengan saya, Yang Mulia."

Hidup dan matiku dipertaruhkan di sini. Pasalnya aku sudah berkali-kali merasakan kematian, sehingga aku tidak harus takut lagi dengan pria ini. Ini mungkin ide tergilaku karena sudah berani melamarnya, tapi aku harus bisa bertahan dengan mengambil hatinya dan menyelamatkan Morroc. Walaupun Ayah dan Ibuku sudah tidak bisa diselamatkan, setidaknya aku masih berusaha menghentikan kutukan kematianku dan menyelamatkan orang-orangku.

"Aku tidak menikah... dan aku tidak tertarik denganmu."

JEDERR!

Bak petir yang menyambar di siang bolong, aku terpaku mendengar ucapannya. Apa dia tidak menyukai wanita? Dia pria yang benar-benar tidak punya hati, setidaknya dia bisa menolakku dengan lebih sopan. Yah, tapi ini memang salahku yang keterlaluan langsung mengajaknya menikah.

Sialan! Apa karena sebelumnya aku tidak pernah ditolak seperti ini? Siapa yang berani menolak seorang putri Morroc yang cantik ini? Tatapannya pun terlihat seperti jijik melihatku! Bagaimana ini? Apa aku harus memohon dan bersujud padanya sekarang?

Sabar, Jene.

"Yang Mulia, saya akan mengabdi pada Anda."

Aku tahu resikonya, tapi aku benar-benar tidak mau mengalami hal yang sama lagi. Dia terlihat kaget dan menatapku dengan heran.

"Aku tidak butuh. Apa kau mengatakannya agar tidak kubunuh?"

Sial, dia peka juga. Aku sengaja menatapnya dengan wajah memelas. Pria itu terdiam dan sekali lagi kuperhatikan bola matanya berubah menjadi merah. Apa dia mencoba 'membaca' pikiranku atau masa depanku lagi?

Tak lama pedangnya semakin mendekat, sehingga aku berjalan mundur. Sebenarnya apa yang sedang dipikirkannya? Sepertinya aku tahu kenapa dia tidak bisa melihat masa depanku, karena aku memang tidak punya masa depan. Seharusnya aku sudah mati sekarang.

Aku lalu melirik danau yang tengah berada di belakangku. Dia berusaha menenggelamkanku?

"Ya-yang Mulia..."

"Matilah..."

Dia sengaja terus memojokkanku ke tepi danau dan benar saja, belum sampai hitungan ketiga, aku tiba-tiba terjatuh ke dalam danau yang aku sendiri tidak tahu dangkal atau tidaknya.

BYURR!

Suara ketika tubuhku menghantam air dengan pelan, aku mendengarnya tapi dengan tenang aku menarik nafasku yang sepertinya susah dilakukan. Tidak. Aku tidak perlu meronta-ronta minta pertolongan, dia tidak akan membantuku. Aku akan hidup lagi dan menyusun rencana lain.

Lama-lama leherku tercekik dan tubuhku sangat ingin berenang ke permukaan. Aku tidak menyangka danau ini cukup dalam, bahkan aku belum mencapai dasarnya. Kematianku sebelumnya sepertinya tidak semenderita ini. Leherku benar-benar tercekat, sehingga aku harus membuka mulutku. Astaga, aku baru tahu rasanya tenggelam seperti ini. Kali ini aku berusaha naik ke atas, tapi rupanya tubuhku tidak bergerak sama sekali walau sudah menggerakkan tanganku.

Sial!

...****************...

Golden Boy

Samar-samar aku melihat beberapa orang berdiri di sekitarku. Aku mencoba membuka mataku yang tiba-tiba terasa berat. Betapa terkejutnya aku saat melihat ruangan yang sama di Albatraz sebelnya. Aku mencoba menganalisa keadaan ini. Rupanya itu Lord Nox dan seorang pria yang berpakaian resmi menyerupainya adalah... dia pria yang kulihat di taman!

Gosh. Nox menyelamatkanku? Aku benar-benar tidak menduga bisa hidup sampai hari ini.

"Rupanya kah sudah sadar."

"Terima kasih... karena tidak membunuhku."

Aku mengembangkan senyumku pada Nox sialan itu. Dalam hati aku terus mencacinya. Namun aku agak lega karena kesabaranku selama ini akhirnya membuahkan hasil. Anehnya, dia langsung mengalihkan pandangannya dariku. Apa karena aku terlalu cantik saat tersenyum? Cih. Padahal aku sengaja melakukannya.

"Aku serahkan padamu."

Dia lalu memberi isyarat pada pria yang berdiri di sebelahnya dan pergi begitu saja. Aku langsung menegakkan kepalaku, duduk di atas ranjang karena takut dia melakukan sesuatu yang aneh.

"Berterimakasihlah padaku," ucap pria berambut pirang itu kemudian, "Aku yang telah menyelamatkanmu dari kakakku."

Kakak katanya?

Aku sempat terkejut. Dia tersenyum ramah padaku. Aku baru tahu si pembunuh itu memiliki saudara sebaik ini. Warna rambut mereka berbeda, tapi sama-sama berkilau.

"Anda... adik kandungnya?"

"Gillion. Kau bisa memanggilku Gill."

"Tapi kenapa menyelamatkan saya?"

"Entahlah, aku rasa kau tidak pantas dibunuh seperti itu."

Aku pun terdiam menatapnya. Aku sudah salah sangka, walaupun dia terlihat masih kekanakan, ternyata dia lebih bermoral dibandingkan kakaknya.

"Terima kasih... tapi apa Lord benar-benar mengampuniku?" tanyaku lagi sambil memicingkan mata.

"Emm... sepertinya tidak, tapi kau tenang saja, aku akan membantumu."

Aku hampir tidak percaya dengan apa yang kudengar. Selain tampan, dia punya hati yang baik. Dia benar-benar saudara kandung pria berhati batu itu? Astaga, bagaikan siang dan malam. Namun aku masih penasaran kenapa dia mau menolongku.

"Kenapa Anda baik pada saya?"

"Apa kau pernah dengar pepatah, musuh dari musuhmu adalah rekanmu?"

Ya, aku tahu maksudnya. Apa boleh kusimpulkan bahwa hubungannya dengan kakaknya itu tidak baik? Perebutan tahta? Sepertinya begitu. Ini kesempatan yang bagus untukku. dia dan aku berada dipihak yang sama. Tapi darah dibayar dengan darah. Dia pasti juga menginginkan sesuatu dariku, kan?

"Jadi apa yang Anda inginkan sebenarnya?"

"Kau peka juga, aku ingin kau pura-pura menjadi kekasihku."

Aku tertawa kecil. Ini benar-benar tidak masuk akal. Sebelumnya aku melamar kakaknya yang gila itu, sekarang adiknya yang ingin menjadikanku kekasihnya. Apa aku sebegitu murahan? Apa kata Lord sialan itu kalau tahu ini? Astaga, reputasiku rusak dalam beberapa jam saja.

"Aku sudah memiliki seorang tunangan," katanya lagi.

"Lalu? Untuk apa Anda membutuhkan seorang kekasih?"

"Untuk membatalkan pertunanganku."

Aku melipat tanganku dan mencoba mencerna kata-kata pria itu. Ini sama saja seperti menjadi simpanan? Astaga! Apa wanita yang kulihat bersamanya waktu itu adalah tunangannya? Wanita bermata cantik itu? Kenapa dia ingin membatalkannya? Sepertinya dia juga tidak normal. Sama dengan kakaknya.

"Anda tidak menyukainya? Kenapa Anda tidak bilang saja padanya?" Aku memasang wajah heran.

"Jika semudah itu aku bisa melakukannya sendiri."

"Lalu? Apa ini perjodohan?"

"Lebih tepatnya perjodohan yang dirancang oleh kakakku."

Jadi pria kejam itu yang mengatur perjodohannya? Tentu saja, kakaknya sekarang adalah seorang Raja. Dia pasti juga membencinya. Menarik.

"Bagaimana dengan wanita itu? Dia juga terpaksa?" tanyaku sekali lagi.

"Sepertinya tidak. Dia benar-benar menginginkanku."

Aku menahan tawaku. Tentu saja. Siapa yang tidak menginginkannya? Tapi tunangannya itu tidak bisa dikatakan jelek. Aku sampai berdecak heran padanya. Mungkin jika aku pria, aku akan jatuh cinta pada pandangan pertama dengan tunangannya itu.

"Orang seperti apa dia sampai Anda ingin membatalkannya?" Kini aku ikut melipat tanganku di dada.

"Bukan masalah siapa, tapi aku tidak akan menikah dengan orang suruhan kakakku."

"Bagaimana jika perempuan itu orang yang baik? Bukan sekedar suruhan."

Dia terdiam sejenak. Sepertinya dia terganggu dengan pertanyaanku barusan. Dia lalu duduk di sebuah sofa yang berada tak jauh dari ranjangku. Memasang wajah kesal.

"Baiklah, lalu kenapa Anda berpikir saya bisa membantu membatalkan pertunangan Anda?" Akhirnya aku mengalah.

Apa karena kecantikanku? Aku bisa membuatnya cemburu lalu dia memutuskan hubungannya? Dalam hati aku menerka-nerka.

"Karena kau satu-satunya wanita yang tidak bisa dibaca pikiran dan masa depannya. Tunanganku adalah seorang sage yang terkenal di sini. Kurasa dia bisa melakukan hal sama seperti kakakku."

Jawabannya itu mengecewakanku, tapi cukup membuatku paham. Pantas saja, pasti dia bukan wanita lemah seperti visualnya. Aku jadi penasaran orang seperti apa dia sebenarnya? Tapi kenapa dia dijadikan tunangan Gill? Kenapa bukan calon Ratu saja? Apa mereka sudah memilikinya?

"Kau pasti penasaran kenapa kakakku menjodohkanku dengannya, kan?" Gill seperti bisa membaca pikiranku. Aku pun mengangguk pelan.

"Hubunganku jadi tidak baik dengan kakakku karena dia menjadikan wanita itu sebagai mata-mata."

Aku tahu setiap pangeran pasti akan memperebutkan posisi Raja. Lord Nox pasti menganggap adiknya sebagai ancaman. Tapi apa benar wanita itu hanya suruhannya? Sepertinya tidak begitu.

"Wanita bermata biru yang sebelumnya bersama Anda, apa dia orangnya?"

"Kau melihatnya?"

Benar saja tebakanku.

"Dia cantik," ungkapku tanpa jeda.

"Aku tidak butuh pendapatmu. Dia memang wanita yang baik dan keahlian magisnya tidak perlu diragukan lagi, tapi dia orang kepercayaan kakakku."

"Dari cara dia menatap Anda, sepertinya cintanya begitu tulus."

"Itu dia. Dia mengharapkan perhatian dariku. Aku tidak suka."

Tentu saja! Rasanya aku ingin meneriaki pria itu. Benar-benar tidak normal! Apa pria ini tidak pernah mengenal cinta? Tapi aku jadi bisa menyimpulkan satu hal darinya. Dia benci orang yang berhubungan dengan kakaknya.

"Baiklah. Dengan senang hati saya akan membantu Anda. Tapi apakah ini bisa menjamin saya tidak akan berurusan dengan Yang Mulia Lord lagi?"

Dia lalu tersenyum padaku. Wajahnya yang seperti itu benar-benar seperti malaikat. Banyak pria yang kutemui, dari semua mantan kekasihku, termasuk North mantan tunanganku, sepertinya dia yang paling menarik. Apa karena senyum menawannya barusan?

"Tenang saja, kau bisa menjaga kata-kataku. Mulai sekarang kau bisa panggil aku Gill. Dan kuingatkan, ini bukan hal yang mudah. Kau belum tahu siapa Claran."

"Claran? Itukah nama tunangan Anda? Baiklah. Anda juga belum tahu siapa saya."

"Claran Doranza. Besok aku akan menemuimu. Jika kau membutuhkan sesuatu katakan saja pada Catia."

"Pelayan itu maksud Anda?"

"Dia juga akan memberitahu apa yang harus kau lakukan."

"Baiklah."

Pria itu berdiri dan tampak merapikan pakaiannya, lalu berjalan menuju pintu kamar itu. Apa artinya ini sekarang kamarku? Sebenarnya masih banyak pertanyaan yang ingin kutanyakan, tapi tampaknya dia sangat sibuk.

"Aku hampir lupa mengatakannya, kau tidak akan bisa lari dari wilayah ini, karena dia memberikan magis padamu. Kau bisa kehilangan nafas jika mencoba keluar dari wilayah ini. Tapi, tenang saja, aku akan mencari cara.."

Dia? Maksudnya Lord Nox sialan itu? Dia telah mengutukku?!

"A-apa? Aku bahkan tidak boleh keluar?? Yang benar saja, aku tidak berniat untuk lari sedikitpun."

"Sampai bertemu lagi, Jene."

Nox sialan! Bagaimana bisa dia setega itu? Aku akan membalas semua apa yang kau lakukan pada keluargaku. Lihat saja, suatu hari nanti dia akan bertekuk lutut padaku.

...****************...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!