Langit malam itu cukup gelap, tidak ada satu pun bintang yang terlihat di atas sana. Udara yang dingin setelah hujan yang mengguyur seharian membuat tubuhnya yang terluka agak menggigil, dan darah yang menetes dari pelipisnya membuat pandangannya tidak terlalu jelas.
Nicho terus bergerak, kemeja yang dikenakannya sudah robek sana-sini karena luka yang dia dapatkan. Sebuah pistol yang masih dia genggam seolah menjadi pegangannya untuk tetap bertahan, meskipun dinginnya besi itu pun tak lagi terasa dalam genggamannya.
Darah yang menetes dari luka tubuhnya yang menganga menciptakan jejak di atas jalanan. Tapi dia harus terus bergerak, sepasang kakinya yang mulai berjalan goyah membawanya atau lebih tepatnya, menyeret tubuhnya masuk ke dalam gang kecil yang tidak terlalu terang.
Dia tahu dia dikhianati oleh anak buahnya, dan kini dia sekarat di dalam gang kecil yang hanya diterangi cahaya lampu jalanan yang berpendar lemah di ujung mulut gang.
Bau seng berkarat, lembab dan pesing menguar di udara. Dia terjatuh di atas tumpukan kardus bekas, kakinya tak sanggup lagi menopang tubuhnya yang berat.
Ah, sial! Aku akan mati di tempat menyedihkan begini! Keluhnya dalam hati.
Dia terbatuk, dan menyemburkan darah dari mulutnya. Napasnya mulai tersenggal-senggal. Matanya menatap kosong ke arah langit yang gelap di atas sana.
Sial! Lagi-lagi hatinya memaki. Entah pada apa atau pada siapa.
Ketika matanya hampir terpejam, pendengarannya menangkap suara langkah kaki yang bergerak pelan, tapi lama-lama semakin mendekat.
Dia mengeratkan pistol pada cengkramannya, dia bersiap untuk mengarahkan moncong pistol itu kearah datangnya suara.
“Astaga!”
Pekikan itu diiringi dengan kehadiran seorang perempuan dengan rambut hitam sebahu dan hoodie kebesaran juga ransel yang menggantung pada punggung tubuhnya yang tidak terlalu tinggi.
Matanya membesar begitu melihat pistol yang mengarah padanya, dan refleks dia mengangkat kedua tangannya.
Nicho sama sekali tidak mengenali perempuan itu. Namun, pengalaman mengajarkannya satu hal bahwa tidak ada yang datang secara kebetulan di dunia ini.
“Siapa kamu?” tanya Nicho, suaranya nyaris tidak terdengar, serak dan penuh dengan kecurigaan.
“A--aku bukan siapa-siapa. A-ku cuma melihat tetesan darah dan---“
“Jangan berbohong! Mereka pasti mengirimmu untuk menghabisiku!” desis Nicho.
“Menghabisi?” Suara perempuan itu yang tadinya terdengar shock dan takut kini terdengar lebih tak percaya dan sedikit jengkel. “Bagaimana aku bisa menghabisimu kalo disini yang memegang pistol adalah kamu!” Dia menurunkan tangannya, matanya menatap balik tatapan Nicho.
“Aku hanya ingin menolongmu!” tambah perempuan itu.
“Aku … tidak percaya …” Nicho menarik kuncian pistol dengan ibu jarinya, dia semakin mengarahkan ujung pistol itu kepada perempuan yang kini terlihat ragu, tapi juga khawatir.
“Kamu sekarat, demi Tuhan! Masih bisa menuduhku?” Perempuan itu bergerak mendekat.
Tapi Nicho semakin mengeratkan cengkraman tangannya pada gagang pistol.
“Jangan mendekat!” katanya penuh peringatan yang lemah.
“Kamu akan mati jika kubiarkan begini! Percayalah, aku hanya ingin menolong!” Suara perempuan itu lebih terdengar putus asa.
“Kamu pikir aku akan percaya begitu saja?”
Alih-alih mundur, perempuan itu justru maju selangkah lagi. Tatapannya bukan hanya khawatir tapi ada kekesalan yang nyata dan juga ketulusan yang membuat pertahanan Nicho nyaris goyah.
“Astaga! Jika aku memang suruhan seseorang untuk menghabisimu, untuk apa aku repot-repot? Aku hanya cukup memastikan ga ada orang yang masuk ke dalam sini untuk menolongmu dan kamu akan mati kehabisan darah! Pikirlah!”
Nicho terdiam, pikirannya buram. Namun kata-kata perempuan itu menamparnya.
“Kamu sungguh akan … menolongku?”
“Ya!” jawab perempuan itu dengan nada yang sangat kesal dan frustasi.
Akhirnya Nicho menurunkan pistolnya, mengunci kembali benda itu.
Perempuan itu pun langsung mengeluarkan ponselnya dan menghubungi seseorang.
“Siapa yang kamu hubungi?” Nada curiga masih terdengar dalam suara Nicho yang lemah.
“Dokter. Diamlah, simpan saja tenagamu!” jawab perempuan itu.
Nicho menurut.
Gila, ini adalah kali pertama dalam hidupnya dia menurut pada seorang perempuan asing yang kini sedang menatapnya dengan tatapan sinis, cemas, takut, dan galak. Ini benar-benar gila!
“Halo, Mas El, maaf mengganggu, ini Anesh. Aku butuh bantuanmu untuk pertolongan pertama … bukan, bukan aku, tapi seseorang ...”
Nicho terus memperhatikan perempuan itu yang sangat serius mendengarkan apapun yang dia dengar dari dokter yang dia hubungi. Sesekali matanya melihat kepada Nicho, kemudian mengecek luka dan menjelaskan dengan singkat kondisi luka yang ada.
Nicho terbatuk lagi, kali ini lebih banyak darah yang keluar dari mulutnya.
“Astaga! Bertahanlah, kumohon!” kata perempuan itu setelah mengakhiri panggilan teleponnya, dia melepaskan hoddie kebesarannya untuk menahan luka pada perut Nicho.
“Aku akan telepon ambulan, jadi kamu harus bertahan!” Nada kekhawatiran juga peringatan terdengar dari suara perempuan itu. Sepasang matanya yang bulat melihat Nicho dengan tatapan ketulusan yang Nicho pikir tidak akan pernah ada lagi seseorang yang melihatnya seperti itu kecuali mendiang ibunya.
Pandangan Nicho semakin buram, ketajaman pendengarannya pun semakin menghilang, tubuhnya mulai gemetar.
Ia sempat menangkap satu kalimat lagi sebelum semuanya menjadi gelap.
“Bertahanlah, aku ga akan meninggalkanmu!”
Kemudian semuanya hitam.
.
.
Bersambung.
Anesh duduk di atas kursi mobil ambulan yang bergerak cepat menuju rumah sakit, petugas medis terus memantau kondisi pria asing itu yang semakin lemah, hingga detik berikutnya tanda kritis pun terdengar. Anesh yang melihat dua orang petugas medis langsung sigap melakukan tindakan CPR dan memberikan alat semacam oksigen pada hidung pria itu, seketika teringat dengan ibunya. Beberapa tahun lalu, ibunya juga pernah berada diposisi seperti pria asing itu.
Refleks, Anesh meraih tangan pria itu, menggenggam erat seolah memberikan kekuatan dan energinya untuk si pria asing itu.
Bertahanlah! Batinnya berbisik.
Akhirnya mereka tiba di rumah sakit terdekat, petugas medis yang lain langsung menyambut kedatangan mereka dengan berlari sigap, dengan seorang petugas medis yang masih berada di atas pria itu, masih dengan tindakan CPR yang tidak mengenal putus asa.
Brankar yang membawa pria asing itu pun segera didorong menuju UGD.
Anesh sempat linglung, dia harus kemana?
Tenang, Nesh. Tenang ….
Anesh mengatur napasnya sebentar, setelah pikirannya cukup jernih, dia langsung menuju tempat administrasi agar pria itu segera ditindak.
Setelah selesai dengan urusan administrasi, dia langsung bergegas menuju ruang tunggu operasi yang ternyata pria itu langsung ditindak untuk segera dilakukan operasi.
Tiga jam berlalu, Anesh nyaris tertidur lelap ketika seorang dokter dengan pakaian khusus tindakan operasi berwarna biru berlutut di depannya untuk membangunkan Anesh.
“Nesh, Anesh.” kata dokter itu seraya menggoyangkan pelan lengan Anesh yang kepalanya sudah mulai terkulai ke depan.
Seketika Anesh menegakkan kepala dan menyentak sentuhan itu.
“Maaf.”
“Mas Elmar?” Anesh menegakkan kepalanya.
Elmar menunjukkan senyumnya yang selalu tersungging ramah dan tatapan matanya yang menyorot dengan lembut dan hangat.
Seketika, rasa cemas dan kekhawatiran dalam dada Anesh lenyap melihat keberadaan Elmar di depannya. Berada didekat Elmar selalu membuat Anesh merasakan ketenangan, entah karena memang Elmar memiliki aura yang menenangkan atau karena memang sudah sejak lama Anesh menyimpan perasaannya rapat-rapat pada dokter yang juga teman dari kakak laki-lakinya Anesh.
“Temanmu sudah selesai operasi.”
“Teman …” Anesh mengulang kata itu seraya pandangannya tertuju pada pintu ruang operasi.
“Mas Elmar yang ngoperasi dia?” tanya Anesh tanpa menjawab pertanyaan dokter muda yang selalu menyunggingkan senyum berlesung pipinya di depan Anesh.
Elmar mengangguk. “Ada dua peluru. Satu di perut, satu lagi di dada, beruntung keduanya ga mengenai organ-organ yang berbahaya. Tadi sempat kritis, tapi sekarang sudah mulai stabil.” Elmar menjelaskan dengan sederhana dan singkat.
Anesh melepas napas penuh kelegaan.
“Jadi, bagaimana temanmu bisa mendapatkan tembakan seperti itu? Apa sudah lapor polisi?”
“Eh … aku menemukannya di dalam gang belakang kosan.”
“Apa?” Nada keterkejutan tak sempat disembunyikan oleh Elmar, jelas sekali bagaimana dokter itu terkejut dengan jawaban Anesh. "Jadi kamu ga mengenalnya?"
Anesh menggeleng.
“Kamu menemukan dia di dalam gang dan membawanya sendiri ke sini?”
“Aku ga sendirian, Mas, kan, naik ambulan.”
Elmar pindah posisi, dari berlutut di depan Anesh, menjadi duduk disebelah kiri Anesh.
“Kamu tau kalo pria itu mempunyai …” Elmar berhenti sebentar untuk melihat sekitar mereka, seolah memastikan tidak akan ada yang mendengar percakapan mereka di dalam ruang tunggu itu. “… pistol?” katanya melengkapi kalimatnya.
Anesh mengangguk.
Tau, lah, orang itu bahkan hampir menembak kepalaku! Batin Anesh.
“Dan kamu tetap membawanya ke rumah sakit? Bagaimana kalo ternyata dia orang jahat?”
“Apa sebaiknya aku hanya menonton saja dia mati kehabisan darah di dalam gang itu hanya karena dia memegang pistol?” Anesh balik bertanya, matanya yang lelah dan mengantuk membalas sorot mata dari sepasang mata yang selalu teduh itu.
Elmar menghela napas panjang. “Bukan begitu, maksudku, kenapa kamu ga cari bantuan?”
“Menurut Mas Elmar, menelepon ambulan itu bukan bentuk mencari bantuan?” Anesh balik bertanya, kali ini dengan nada sedikit kesal. Sungguh, dirinya sudah sangat lelah. Bajunya penuh dengan bekas bercak darah dari pria yang nyaris menembak kepalanya, dan sekarang dia tidak punya energi jika harus disudutkan hanya karena dia menolong nyawa seseorang.
“Bukan begitu, maksudku---”
“Aku tau, Mas Elmar khawatir, tapi aku baik-baik saja, dan tolong jangan sampai lapor ke polisi, kita ga tau apa yang terjadi, kalo polisi tau, udah pasti polisi akan mencari aku juga untuk minta keterangan dan segala macam, aku malas dan capek. Jadi, tolong dibalikin lagi aja pistolnya ke pemiliknya bersama pakaiannya.” ucap Anesh dengan nada lelah yang tak dia sembunyikan meskipun di depan Elmar.
Pada akhirnya, Elmar hanya mengangguk, menyanggupi permintaan tolong Anesh yang benar-benar terlihat tak sanggup lagi untuk berargumen.
“Oke. Maaf, aku ga bermaksud menyudutkanmu apa lagi menyalahkanmu, aku hanya ... khawatir.” ucap Elmar seraya meraih tangan Anesh dan mengusapnya lembut.
Anesh mengangguk singkat. Oh, sungguh, Anesh sangat mengerti Elmar mengkhawatirkannya. Usapan lembut itupun sangat menolong mental Anesh saat ini. Jika logikanya berjalan dengan baik sekarang, Anesh pun merasa bodoh karena tidak lari ketika pria asing itu mengarahkan pistol kepadanya. Itu adalah tindakan paling bodoh. Bagaimana jika dirinya benar-benar ditembak oleh pria itu?
“Keluargamu tau?”
Anesh menggeleng. “Ga perlu ada keluargaku yang tau. Jadi tolong Mas Elmar keep kejadian hari ini ya.”
“Oke.”
Suasana hening sejenak.
“Aku akan carikan kamar perawatan untuk dia, kamu bisa istirahat sebentar di sana atau di ruang kerjaku sebelum dia dipindahkan ke ruang perawatan.”
“Makasi, Mas, bantuannya. Kalo bisa, yang kelas tiga aja, uangku ga cukup untuk kelas yang lain.”
Elmar hendak berkomentar lagi, tapi Anesh langsung menyelanya, “Tolong jangan berkomentar. Sumpah aku udah capek dan ngantuk banget. Sekarang aku cuma pengen tidur sebentar aja, nanti setelah dia sadar, aku akan interogasi dia dan minta dia ganti uang aku.” katanya menjelaskan karena tahu apa yang ada di dalam pikiran Elmar.
Mengenal Elmar sebagai teman dari abangnya, cukup bagi Anesh untuk mengenal karakter dokter muda yang tampan dan selalu ramah itu. Itu lah yang membuat Anesh tidak pernah percaya diri untuk menunjukkan apa yang dia simpan di dalam hatinya untuk Elmar. Baginya, Elmar terlalu sempurna.
*
Setelah empat jam berlalu, pria asing itu masih saja setia menutup kelopak matanya, sementara Anesh sudah duduk di atas kursi tunggu yang tidak nyaman di samping brankar. Dia baru sempat tidur tiga puluh menit sebelum pria itu dibawa ke kamar perawatan kelas tiga.
Anesh memeluk kedua lututnya yang dia naikkan ke atas kursi, dagunya menopang di atas lututnya, matanya sayu dan mengantuk menatap wajah pria asing yang masih lebam dan penuh dengan luka kering pada wajahnya, tapi tidak memungkiri, pria itu mempunyai garis wajah yang sangat tegas dan hidung yang bangir.
Anesh kemudian mengulurkan sebelah kakinya untuk menendang pelan rangka brankar itu.
“Hei apa kamu benar-benar belum sadar? Kamu ga bisa dengar suaraku?” ucap Anesh.
Tapi pria di atas brankar itu tidak memberikan reaksi apa-apa.
“Cepatlah sadar, banyak yang harus kamu jelaskan.” kata Anesh dengan nada perintah. Tapi kemudian menghela napas. Dia baru memikirkan nasib isi tabungannya yang langsung ludes untuk biaya operasi pria asing itu semalam.
Meskipun begitu, dia tidak menyesali telah menguras tabungannya untuk orang yang tidak dia kenal ini. Namun dia juga tidak memungkiri kalau dia membutuhkan uang itu.
“Nesh?” Suara Elmar kembali memanggil, dokter itu kembali muncul di hadapan Anesh dengan tampilan yang lebih segar dengan jubah putihnya. Dia membawa kantong plastik transparan dengan perekat yang berisi pakaian bekas pria itu.
Sementara Anesh masih dengan pakaiannya yang penuh bekas bercak darah. Namun wajah dan tangannya sudah lebih bersih dari pada semalam. Anesh segera menurunkan kakinya, dia selalu suka melihat penampilan Elmar dengan jubah putihnya.
“Barang itu ada di dalam lipatan pakaiannya.” kata Elmar memberikan kode bahwa barang yang dia maksud adalah pistol yang sempat mereka bicarakan.
Anesh berdiri dan menerima pakaian pria itu yang kemudian dia letakkan di bawah tas ranselnya.
“Mau sarapan bareng aku di kantin?” Elmar menawarkan.
“Mau!” jawab Anesh cepat. Yang kemudian dia sesali karena Elmar terkekeh pelan.
Ah, malu sekali rasanya!
Tapi sebelum keluar, Anesh melihat dulu kepada pria asing yang tubuhnya dililit perban.
“Dia akan baik-baik saja. Kamu butuh mengisi energimu karena sudah menolong orang yang bahkan kamu ga kenal.” kata Elmar seolah menyadari keraguan Anesh yang khawatir untuk meninggalkan pria itu sendirian di balik bilik perawatan kelas tiga ini.
Akhirnya, karena memang perutnya yang sejak tadi sudah sangat berisik, Anesh meninggalkan pria itu berserta ransel milik Anesh dan pakaian pria itu di dalam sana. Elmar benar, dia butuh asupan energi. Sejak semalam energinya benar-benar terkuras.
Mungkin setelah pria asing itu kembali ke ruamahnya, Anesh akan mengurung diri ke kamar kosannya untuk mengisi daya energinya sebagai seseorang yang introvert.
Tanpa keduanya sadari, pria yang sejak tadi ditunggu kesadarannya oleh Anesh perlahan menggerakkan kelopak matanya.
.
.
Bersambung
“Mau nambah?” Elmar menawari setelah Anesh menghabiskan satu porsi nasi uduk dengan sepotong ayam goreng dan telur balado di kantin rumah sakit.
Anesh menggeleng malu seraya menelan es teh tariknya yang menyegarkan tenggorokan hingga ke otak. Ia tak memungkirinya dirinya sangat lapar tapi juga merasa malu karena harus terlihat kelaparan di depan Elmar.
“Sepertinya aku harus kembali ke kamar, mungkin orang itu sudah bangun. Terima kasih untuk sarapannya, Mas.”
Elmar menganggukkan kepala lalu mengecek jam tangannya. “Seharusnya pengaruh biusnya memang sudah hilang.”
Dia bangkit dari kursinya, enggan sebenarnya, ia ingin terus bersama Elmar, menghabiskan pagi dengan seseorang yang dia sukai, tapi dia harus menunggu pria yang mungkin membutuhkan bantuannya lagi, mengingat pria itu tidak memiliki identitas apa pun. Tiba-tiba Elmar menahan tangan Anesh lalu memberikan sejumlah uang cash.
“Eh, uang apa ini, Mas?” tanya Anesh, keningnya berkerut melihat beberapa lembar uang berwarna merah di tangannya.
“Buat pegangan kamu.” jawab Elmar. “Uangmu kepakai untuk membantu orang itu, kan?”
“Hah? Eh, ga usah Mas, aku---“
“Terima, Nesh, kamu itu sudah seperti adikku sendiri, ga perlu sungkan padaku.” ujar Elmar, ketulusan sangat terasa sampai ke relung hati Anesh yang paling dalam, namun sayangnya ketulusan itu terasa menyedihkan bagi Anesh. Bahkan menyakitkan.
Elmar tidak pernah melihatnya sebagai wanita, bagi Elmar, selamanya mungkin Anesh hanya seperti adik dari kawan lamanya yang dia anggap seperti adiknya sendiri.
Anesh membuang napas, dilihatnya kembali uang itu, lalu beralih kepada Elmar lagi. Wajah Elmar selalu setenang itu, sebuah senyumnya dapat memberikan kehangatan dan kenyamanan untuk Anesh.
Hah … sadar Nesh, Mas Elmar terlalu sempurna dan terlalu sukses untuk bisa merasakan perasaan yang aku simpan untuknya.
“Terima kasih, ya, Mas.”
Elmar lagi-lagi menyunggingkan senyuman berlesung pipinya yang manis.
“Aku kembali ke kamar dulu.”
“Oke, kabari aku kalau kamu butuh sesuatu.”
Anesh mengangguk kemudian beranjak dari tempatnya, membawa serta hatinya yang hangat sekaligus terluka.
Sesampainya di kamar perawatan kelas tiga, Anesh langsung menuju bilik paling ujung dekat dengan jendela, dia langsung terlonjak begitu melihat pria yang sejak semalam dia nantikan kesadarannya itu kini tengah duduk di tepi brankar. Wajahnya pucat, namun ekspresi dingin terpampang pada wajah itu.
“Kamu sudah bangun?” tanya Anesh dengan nada terkejutnya, bahkan matanya masih melebar seolah tak percaya.
“Alarm ponselmu sangat berisik.” jawab pria itu dengan nada ketus.
“Ah, benar juga, hari ini aku ada kelas pagi.” ucap Anesh baru menyadari bahwa dia memiliki kewajiban sebagai mahasiswi. Dia melangkah melewati pria itu untuk mencabut kabel charger dan kemudian mengecek ponselnya.
“Aku akan ke kampus karena ada kelas, mungkin nanti siang aku akan kembali lagi.” kata Anesh tanpa ditanya, sembari menggulung kabel charger itu dan memasukkannya ke dalam ransel, lalu memasukkan ponsel ke dalam saku celana jinsnya.
“Sebelum aku pergi, aku ingin bertanya sedikit padamu.” lanjut Anesh.
Pria itu menatap dengan tatapannya yang menghunus.
Anesh dapat merasakan bagaimana tatapan itu bukan hanya sekadar tajam tapi juga defensif, seolah pertanyaan Anesh akan membuat pria itu tercabik-cabik kemudian mati seketika.
“Siapa namamu?” tanya Anesh.
“Aku tidak memberikan namaku pada sembarang orang asing.” jawabnya dengan nada datar yang tak disangka akan Anesh dengar setelah apa yang dia lakukan untuk menyelamatkan nyawanya.
“Apa?” Kedua mata Anesh semakin melebar dengan penekanan suara. “Sembarang orang asing?”
Pria itu masih dengan pose dan tatapan yang sama. Sama sekali tidak peduli dengan ketersinggungan dalam suara Anesh.
“Biar aku ingatkan kembali padamu, aku si sembarang orang asing ini yang telah membawamu ke rumah sakit, memakai tabunganku yang seharusnya akan aku gunakan untuk SPP minggu depan tapi aku pakai untuk biaya operasi dan perawatanmu. Apakah aku ga boleh seenggaknya tau siapa namamu?”
Pria itu terlihat meringis sedikit ketika bergerak kembali untuk merebahkan dirinya di atas brankar, kemudian kembali melihat Anesh dengan tatapan sinisnya. “Apa kamu ingat aku memintamu untuk membawaku ke rumah sakit?” tanyanya kali ini dengan nada sarkas.
Anesh membuka mulutnya, begitu banyak kata-kata umpatan yang mengantre di ujung lidah, menunggu untuk dilontarkan, tapi Anesh kembali menutup mulutnya, memilih untuk menelannya kembali mengingat di dalam kamar ini bukan hanya ada mereka berdua. Dia berkacak pinggang, melihat pria itu dengan tatapan luar biasa tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar, kemudian dia melipat tangannya di depan dada sembari membuang napasnya dengan kasar dan keras.
“Baru kali ini aku menyesal berbuat baik.”
“Omong kosong, kamu hanya berkedok menolongku, memakai uangmu, kemudian kamu akan membuatku berhutang budi agar kamu bisa menguras hartaku.”
“Apa?!” Kedua alis Anesh bergerak naik sangat tinggi seiring dengan pergerakan kedua matanya yang melotot, matanya menyorot penuh dengan ketersinggungan.
Pria itu malah memalingkan wajahnya, dia menghadap jendela.
Anesh mengatur napasnya, tangannya bergerak dari atas ke bawah seolah sedang mendorong emosinya untuk turun.
“Baiklah, terserah kamu. Tapi asal kamu tau, aku ga berharap kamu akan mengganti uangku, walaupun aku ga memungkiri aku membutuhkannya. Aku rasa dengan sikapmu ini artinya aku ga perlu lagi membantu untuk menghubungi keluargamu atau siapa pun untuk menjemputmu di sani.” kata Anesh dengan kejengkelan luar biasa yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.
“Jadi, selesaikan sendiri urusanmu di sini dan administrasinya.” Dia langsung memakai ranselnya kemudian pergi begitu saja keluar dari bilik paling ujung itu, meninggalkan pria paling tidak tahu diri yang pernah Anesh temukan selama hidupnya.
Hatinya gondok luar biasa. Belum pernah dia menyesal menolong seseorang meski dia harus mengorbankan waktu atau pun uang tabungannya. Dia selalu tulus menolong, tidak pernah mengharapkan pamrih sedikit pun, dengan melihat orang yang ditolongnya menjadi lebih baik, itu sudah cukup bagi Anesh.
Tapi kali ini, wah!
Jika Anesh bisa memutar waktu, dia pasti memilih untuk memutar jauh lewat jalan utama setelah pulang kerja, agar tidak perlu melihat orang sekarat di dalam gang sempit yang menodongkan pistol padanya dan malah dia tolong dengan suka rela. Bodoh sekali!
“Seharusnya kubiarkan saja tubuhnya masuk dalam berita pagi ini! Dasar orang ga tau diri!”
.
.
Bersambung.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!