Pukul 21:45
Malam mulai turun perlahan, menyelimuti kota dengan sunyi yang menggigil. Lampu-lampu jalan memantulkan cahaya temaram ke jendela rumah Wilona. Angin malam mengetuk pelan kaca, seolah ingin ikut menyampaikan rasa sepi yang menggantung berat di dalam rumah itu.
Di ruang makan yang terang remang, seorang wanita cantik duduk diam di ujung meja. Tubuhnya tampak tenang, tapi matanya menyimpan badai yang tak kunjung reda. Ia memandangi piring-piring yang tersaji rapi di hadapannya, semua makanan favorit sang suami, dimasak dengan penuh cinta dan harapan.
Namun, harapan itu seperti ditiup angin malam. Kosong. Tak berbalas.
Wilona Lavanya Giani, wanita yang selalu menjaga hatinya untuk tetap percaya, kini hanya bisa menatap kosong ke arah kursi kosong di seberangnya. Kursi yang seharusnya diisi oleh Aryan, lelaki yang telah ia tunggu sepanjang hari, sepanjang minggu, dan bahkan mungkin sepanjang hidup.
Suara notifikasi ponsel memecah keheningan. Dengan perasaan yang campur aduk, Wilona mengambil ponselnya. Hatinya berdebar, walau entah karena harapan atau ketakutan.
Sayang, maaf. Mas tidak jadi pulang malam ini. Pekerjaanku masih belum bisa ditinggal. Baik-baik di rumah, tunggu Mas pulang, ya… I love you…
Itu saja. Hanya pesan. Satu baris kalimat yang mengubur semua kegembiraan yang tadi sempat tumbuh saat pagi menjelang. Tidak ada suara. Tidak ada panggilan. Tidak ada nada hangat yang dulu selalu membuatnya tenang.
Ia tidak membalas. Bukan karena tak peduli, tapi karena hatinya terlalu penuh oleh kecewa yang tak lagi bisa dituangkan dalam kata-kata.
Perlahan, ia meletakkan ponsel di atas meja. Pandangannya kembali jatuh pada makanan yang mulai dingin. Aromanya masih wangi, tapi kehangatannya telah pergi, seperti kehangatan yang perlahan memudar dari sosok suaminya.
"Sudah dua minggu lebih, Mas... Kamu bahkan tidak sempat pulang barang sehari. Apa benar kamu tidak merindukanku sedikit pun?"
Suara itu lirih, nyaris seperti gumaman yang ditujukan pada bayangannya sendiri. Tapi di balik ketenangan suaranya, air mata mengalir tanpa bisa dibendung. Satu per satu, jatuh ke pangkuannya.
Malam semakin dalam, dan gelap kian mengikat. Di luar, bintang-bintang bertabur indah. Tapi di dalam hati Wilona, hanya langit kelam tanpa cahaya.
Dulu, Aryan tak pernah membiarkan malam mereka berlalu tanpa suara. Dulu, ia selalu menyempatkan diri menelepon meski hanya untuk berkata, "Aku rindu." Dulu, Wilona selalu ikut dibawa jika Aryan harus ke luar kota. Tapi semua itu tinggal kenangan.
Dalam satu tahun terakhir, semuanya berubah. Bukan tiba-tiba, tapi perlahan. Sedikit demi sedikit. Dan itulah yang paling menyakitkan. Perubahan perlahan yang tak disadari, sampai akhirnya ia menyadari… dirinya kini seperti asing dalam rumahnya sendiri.
Wilona bukan wanita yang suka mencurigai. Ia percaya. Ia selalu percaya. Tapi bahkan keyakinan pun punya batas, apalagi jika terus diuji tanpa jeda.
Tiga tahun pernikahan dan lima tahun menjalin kasih seharusnya menjadi waktu yang cukup untuk saling memahami. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Sejak keguguran yang ia alami di awal pernikahan, semuanya menjadi berat. Janin yang belum sempat menyapa dunia itu meninggalkan luka, luka yang tak tampak namun menganga dalam diam.
Dan vonis dokter bahwa ia mungkin akan sulit untuk hamil kembali seakan menjadi palu yang menghancurkan harapannya satu demi satu.
Bukan hanya soal kehilangan, tapi soal tekanan. Khususnya dari sang ibu mertua yang sejak awal memang tak pernah sepenuhnya menerima kehadiran Wilona.
"Wilona, kamu tunggu apa lagi? Sudah tiga tahun menikah, tapi belum juga punya anak. Mama pengen gendong cucu, tahu?!"
Kalimat itu terus bergaung di telinganya, bahkan saat tidak diucapkan. Seperti hantu yang datang setiap malam. Ia tahu, mertuanya tak suka dirinya sejak awal. Tapi ia tetap bertahan, tetap mencoba membalas dengan sabar, berharap waktu bisa meluluhkan hati sang ibu suami.
Ia pernah berpikir, cinta Aryan cukup untuk membuatnya kuat. Dan dulu, Aryan memang selalu ada untuknya. Ia tak pernah menuntut soal anak, tak pernah mengeluh. Bahkan kerap memeluknya sambil berkata, "Kita sudah cukup saling memiliki. Anak akan datang pada waktunya."
Tapi entah mengapa, sejak satu tahun terakhir, kehangatan itu tak lagi sama. Seperti api kecil yang mulai meredup. Masih ada, tapi nyalanya tak lagi memeluk.
Wilona berdiri dari kursinya perlahan. Ia berjalan menuju jendela ruang tamu, menyingkap tirai dan membiarkan angin malam menyentuh wajahnya yang basah. Ia memandangi langit yang gelap, bertabur bintang. Di balik jendela itu, dunia terasa luas dan dingin. Tapi di dalam hatinya, lebih luas lagi kesepiannya.
"Apa kamu sedang bersama pekerjaanmu, Mas? Atau... bersama seseorang yang kamu pilih untuk menggantikan kehadiranku?"
Ia segera menepis pikirannya. Tidak, tidak boleh berpikiran seperti itu. Ia harus percaya. Ia ingin percaya. Tapi kenapa setiap malam terasa seperti penantian yang sia-sia?
"Sudahlah, Wilona... Jangan terlalu cengeng. Mungkin memang pekerjaan Mas Aryan sedang padat. Kamu harus tetap percaya."
Ia membujuk dirinya sendiri, mencoba mengisi kekosongan dengan harapan palsu. Tapi dalam hatinya, retakan mulai membesar. Dan ia tahu, jika dibiarkan terus seperti ini, suatu hari retakan itu akan menghancurkan segalanya.
Wilona menutup tirai kembali, lalu berjalan menuju dapur. Ia membuka lemari es, menyimpan kembali makanan yang belum tersentuh. Hatinya perih melihat masakannya sendiri.
Setiap rasa di makanan itu, adalah bagian dari hatinya yang ia tumpahkan untuk seseorang yang tak kunjung kembali.
Malam terus berjalan. Jam sudah menunjukkan pukul 23:10. Wilona duduk di tepi ranjang, memandangi ponselnya yang tetap hening. Tidak ada panggilan masuk. Tidak ada pesan baru.
Ia menghela napas dalam.
Kemudian memeluk dirinya sendiri.
Lalu memejamkan mata, berdoa dalam hati:
"Tuhan... jika cinta ini masih pantas diperjuangkan, tolong tunjukkan jalannya. Tapi jika aku harus melepaskannya... ajari aku untuk kuat."
Hening malam menjadi saksi. Wilona, wanita yang selalu percaya, kini mulai belajar bahwa cinta bukan sekadar menunggu. Tapi juga tentang keberanian untuk bertanya, apakah aku masih dihargai? Apakah aku masih dicintai?
Dan malam itu, untuk pertama kalinya…
Ia tak lagi menanti.
Tapi mulai bertanya, apakah ia harus bertahan. Kala kesepian dan tidak ada lagi kehangatan dalam pernikahan yang ia rasakan lagi. Seakan kekosongan muali menggerogoti jiwanya sedangkan suaminya seakan sibuk dengan dunianya sendiri, membiarkan dirinya kesepian dalam ikatan pernikahan yang entah sampai kapan.
TBC.
Sementara di sisi lain kota yang sama, pada malam yang sunyi, seorang pria terbaring diam menatap langit-langit kamarnya yang putih pudar. Cahaya lampu kuning lembut memancar dari sudut ruangan, menyorot tubuhnya yang hanya tertutup selimut hingga sebatas perut. Di sampingnya, seorang wanita juga terbaring dalam diam, membelakangi dengan tubuh yang sama-sama polos hanya tertutup selimut.
“Maafkan aku, Sayang...” bisik pria itu lirih, memandang kosong pada langit-langit kamarnya yang dingin. “Lagi-lagi aku membohongimu. Aku berdosa padamu… Semoga saat aku bisa mengungkap semuanya, kamu tak akan meninggalkanku. Aku bisa menerima jika kelak kamu membenciku, tapi aku tak akan sanggup jika kamu benar-benar pergi.”
Aryan Ezra Januartha. Suami dari Wilona Lavanya Giani. Malam ini seharusnya menjadi malam kepulangan. Ia sudah berniat untuk kembali ke rumah yang dibangun bersama istrinya dengan harapan dan cinta. Namun, niat itu luluh dalam godaan. Dalam hangat tubuh yang tak sepantasnya ia peluk.
Ia tak kuasa menolak rayuan lembut dari wanita yang kini berbaring di sampingnya. Wanita yang dalam diam menyimpan kemenangan dan kebanggaan. Tanpa sepatah pun ucapan maaf atau sekedar basa-basi, Aryan hanya mengirim pesan singkat pada Wilona. Satu pesan sederhana yang menggugurkan semua harapan yang telah dipupuk oleh sang istri.
Tak ada yang tahu, bahkan Wilona sendiri, bahwa Aryan telah menikah kembali secara diam-diam. Pernikahan kedua yang ia jaga rapat dalam bayang-bayang alasan: untuk memiliki seorang anak, sesuatu yang tak bisa Wilona berikan.
Bersama wanita itu, Aryan telah memiliki seorang anak laki-laki. Bayi yang belum genap satu tahun itu kini terlelap di ranjang kecil tak jauh dari tempat mereka tidur. Bahkan nama bayi itu, Willyan Ezra Januartha. Adalah gabungan dari nama Aryan dan Wilona. Fakta yang menyakitkan, jika suatu hari kebenaran itu terungkap.
"Aku tahu ini salah..." lirih Aryan lagi, memandangi ranjang bayi yang tenang di tengah malam. "Andai saja kamu bisa hamil, mungkin aku tidak akan mengambil keputusan ini."
Napasnya berat. Penyesalan itu begitu nyata. Tapi tetap saja, ia tak mampu menolak setiap kali wanita itu memintanya. Ia lemah. Terlalu lemah untuk menyelamatkan cinta yang dulu ia janjikan akan dijaga seumur hidupnya. Nafsu sudah sepenuhnya menguasainya, dulu seakan menolak kehadiran wanita itu, namun hari-hari yang ia lalui bersamanya membuat Aryan akhirnya terjerat dalam pernikahan rahasianya. Seakan ia telah menikmati segala keindahan yang berbalut penghianat.
Wanita yang berbaring di sampingnya membuka mata perlahan. Senyuman kecut muncul di sudut bibirnya. Ternyata, ia belum tertidur. Setiap bisikan penuh sesal dari Aryan, ia dengar jelas, seolah menusuk jantungnya namun tak menyentuh hatinya.
Tidak mencintaiku? batinnya menyeringai. Tapi kenapa begitu semangat saat berhubungan denganku? Lihatlah, Wilona… Suamimu ini pria munafik. Mencintaimu katanya, tapi tubuhku juga ia miliki. Dan aku… aku bisa memberinya anak. Sesuatu yang tak bisa kau lakukan.
Amanda Maheswari. Wanita yang telah menjadi istri kedua Aryan selama setahun terakhir. Cantik, menggoda, dan juga licik, atas dukungan dari ibu mertuanya ia bebas melakukan apapun pada rumah tangga Aryan dan Wilona. Ia tahu benar, keberadaannya adalah luka tersembunyi di pernikahan Aryan dan Wilona. Tapi ia tidak peduli. Baginya, dialah pemenangnya.
Lihat saja, bahkan ketika Aryan hendak pulang ke rumah Wilona, ia berhasil menahannya hanya dengan satu alasan: anak mereka sedang sakit. Bahkan Aryan sudah kembali satu Minggu lalu namun dengan liciknya ia berhasil membuat pria itu pulang ke pelukannya.
Sebuah alasan yang terlalu kuat untuk ditolak oleh hati seorang ayah. Namun Amanda tahu, itu bukan sepenuhnya benar. Anak mereka hanya sedikit demam, dan ia sengaja memperbesarnya. Hanya agar Aryan pulang ke sisinya. Lagi.
Saat ia menutup matanya dengan senyum penuh kemenangan, tangisan pelan memecah malam. Bayi mereka menangis, memanggil ayah dan ibu dengan bahasa yang hanya bisa dimengerti oleh cinta.
Aryan segera bangkit, menyingkirkan tubuh Amanda dari pelukannya. Ia mengenakan celana boxer yang tergeletak di lantai dan segera menghampiri ranjang bayinya.
"Kenapa jagoan Papa menangis, hm? Lapar, ya? Cup… cup… jangan cengeng, ya."
Ia mengangkat bayi itu dengan hati-hati, menyapanya dengan lembut. Wajah Aryan berubah seketika. Tidak ada sisa keraguan di matanya ketika ia memandangi putra kecilnya itu hanya cinta, dan kasih sayang yang tak terbagi.
Bahkan dari namanya saja, Aryan masih menyimpan sisa cintanya untuk Wilona. Ia menamai anak dari wanita lain, dengan awalan yang berasal dari nama Wilona sendiri. Sebuah penghinaan yang akan menyakitkan, jika Wilona tahu.
Amanda yang kini sudah mengenakan pakaian tidurnya, duduk di tempat tidur sambil menyambut sang anak.
"Anak Mama lapar, ya?" katanya lembut sambil menyusui bayi itu. "Lihat, Mas… Dia lucu sekali saat menyusu, ya?" ujarnya, mencoba meraih perhatian Aryan.
Tapi Aryan hanya tersenyum tipis. Ia kembali ke ranjang, membaringkan tubuhnya. Matanya menatap langit-langit lagi, seolah semua penyesalan menggantung di sana dan tak ada tempat lain untuk pergi.
Meski tubuh mereka sering bersatu, hati Aryan tetap dingin pada Amanda. Ia hanya mencintai satu wanita, dan itu bukan wanita yang kini menyusui anaknya.
Amanda tahu itu.
Ia tahu, meski Aryan sering berhubungan dengannya, tak ada cinta dalam setiap sentuhan. Tapi ia tak peduli. Selama Aryan masih datang padanya, masih menyentuhnya, dan yang paling penting masih tinggal demi anak mereka, itu sudah cukup untuk membuatnya merasa menang.
Ia melirik Aryan yang kembali diam, lalu menatap bayi yang masih menyusu di pelukannya.
"Waktunya tidur, malah menangis. Menyusahkan saja," batinnya, penuh kejengkelan yang disembunyikan di balik senyuman palsu.
Namun ia tahu, anak itulah kunci. Satu-satunya yang bisa membuat Aryan tetap bertahan. Dan selama ia memegang kunci itu, posisi Wilona di hati Aryan… akan terus diguncang tanpa wanita itu sadari. Ia akan membuat jarak diantara mereka secara halus dan perlahan.
Di ruangan itu, cinta yang salah tumbuh dalam diam, sementara cinta yang benar... sedang tertidur jauh di tempat lain, tak tahu bahwa hatinya sedang digerus oleh pengkhianatan yang lembut, dingin, dan penuh dalih bernama kasih sayang seorang ayah.
TBC
Pagi itu, cahaya matahari menerobos lembut ke dalam kamar melalui sela-sela tirai. Namun kehangatannya tidak mampu mengusir dingin yang mengendap di hati Wilona. Matanya bengkak dan sembab, wajahnya pucat seperti malam telah menumpahkan hujan luka ke dalam tidurnya.
Entah mengapa, semalam hatinya begitu sesak, seperti ada luka yang tak terlihat namun menyayat dari dalam. Air mata mengalir tanpa sebab yang jelas. Tapi Wilona tahu, firasat seorang istri... jarang sekali keliru.
"Ada apa denganku?" gumamnya pelan, satu tangan memegang dadanya yang masih terasa berat.
Perlahan ia bangkit dari tempat tidur, menyeret langkahnya menuju kamar mandi. Saat menanggalkan pakaian dalamnya, ia tertegun. Ada bercak merah di sana, darah menstruasinya. Bercak kecil itu terasa seperti tamparan yang keras. Bukan karena sakit, tapi karena kecewa yang tak lagi mampu ia sembunyikan.
"Kapan aku Kau beri kepercayaan lagi, Tuhan... Aku lelah. Aku benar-benar lelah."
Tangan Wilona meremas pakaian dalam itu, airmata kembali merembes dari sudut matanya.
Ia ingin menjadi ibu. Ia ingin memberi Aryan seorang anak. Tapi kenyataan selalu membawa jawaban yang sama, belum saatnya. Entah sampai kapan. Sementara tekanan dari sekelilingnya semakin menyesakkan, seperti racun yang perlahan melumpuhkan harapan.
Namun ia tetap berusaha kuat. Ia selalu percaya, Aryan tidak pernah mempermasalahkan kekurangannya. Aryan... pria yang katanya menerima Wilona dengan segala kekurangan dan ketidaksempurnaan.
"Maafkan aku, Mas… Apakah aku egois, jika terus mengikatmu untuk hidup bersama wanita seperti aku? Tapi… aku juga tidak sanggup jika harus membagi cintamu. Aku tidak akan sanggup…"
Suaranya tenggelam dalam air mata, tak seorang pun mendengar. Bahkan dinding pun hanya diam menjadi saksi.
Sementara itu, di sisi lain di kota yang sama kerana memang Aryan sudah kembali dari perjalanan dinasnya dan pulang kepada istri keduanya, di sebuah rumah mewah yang masih diselimuti keheningan pagi, seorang bayi kecil tergolek di ranjang bayi dengan tubuh yang terasa hangat oleh demam yang belum juga reda. Willyan, anak lelaki Aryan, masih belum menunjukkan tanda-tanda membaik sejak semalam.
Aryan duduk di sisi tempat tidur, cemas. Wajahnya lesu. Rambutnya berantakan. Tatapannya terpaku pada termometer digital yang tak kunjung menunjukkan angka yang menenangkan.
"Haruskah kita bawa ke rumah sakit? Aku khawatir terjadi sesuatu pada Willy. Panasnya naik turun sejak tadi malam," ucap Aryan gusar, pandangannya tak lepas dari anaknya.
Namun Amanda, yang tengah duduk santai dengan piyama tidur dan ponsel di tangan, hanya mengangkat bahu.
"Ngapain repot-repot, Mas? Kata dokter juga cuma demam biasa. Cuaca Jakarta memang lagi nggak jelas. Panas, hujan, lalu panas lagi. Semua anak-anak juga pada demam. Nggak usah panik."
Jawaban santai itu membuat Aryan mengepalkan tangan. Ia tidak suka dengan ketidak tanggapan Amanda, terlebih jika menyangkut kondisi anak mereka.
"Ck! Terserah kamu! Tapi kalau Willy kenapa-kenapa, kamu yang aku salahkan!" tegas Aryan, lalu bangkit dengan kesal, meninggalkan kamar.
Amanda hanya mendengus, lalu memutar bola matanya malas.
"Merepotkan sekali… Sebentar-sebentar sakit," gerutunya. Ia tak benar-benar marah karena anaknya sakit, tapi lebih pada kenyataan bahwa kehadiran anak itu sering mengganggu waktu santainya. Ia tidak bisa bergerak bebas barang sedikitpun, bahkan untuk mandi dan makan pun ia kesulitan. Ini semua tidak akan terjadi jika suami dan mertuanya mengujikan nya untuk mencari pengasuh.
Ia masih muda, baru dua puluh dua tahun. Ia ingin hidup mewah, liburan ke luar negeri, pamer tas mahal di media sosial, bukan mengurus anak yang rewel dan suami yang lebih sering memikirkan wanita lain.
Aryan kini duduk di ruang tamu, bersandar di sofa dekat dinding. Dalam keheningan pagi yang seharusnya tenang, pikirannya bergejolak. Ia memegang ponsel, menatap layar dengan ragu. Jari-jarinya sempat mengambang di atas layar sebelum akhirnya mengetuk ikon panggilan video.
Tak butuh waktu lama hingga wajah cantik yang dirindukannya muncul di layar. Rambut Wilona masih dililit handuk, pipinya sedikit pucat, tapi tetap terlihat menawan. Dan senyum itu… senyum yang masih sama seperti pertama kali ia jatuh cinta.
"Hai… Sayang. Kamu baru selesai mandi, ya?" tanya Aryan, mencoba terdengar tenang.
Wilona tersenyum lembut. "Iya, Mas. Baru selesai. Mas masih di kantor?"
"Emm… Mas masih di hotel. Semalam lembur, jadi hari ini agak siang ke kantornya. Mas masih capek," jawabnya cepat, menyiapkan kebohongan yang sudah ia latih dalam hati.
"Jangan terlalu diforsir, ya, Mas. Kesehatan Mas lebih penting. Jangan sering begadang," ucap Wilona lembut, penuh perhatian.
Dan di detik itu, hati Aryan terasa seperti diremas.
"Iya, Sayang. Mas kerja keras begini supaya bisa cepat pulang ke kamu. Mas kangen sama kamu…"
Kata-katanya keluar lancar, tapi hatinya remuk. Ia bahkan tidak berada di hotel, tidak pula di kantor. Ia sedang duduk di rumah istri keduanya, sementara anak hasil pengkhianatannya terbaring demam di kamar.
"Wilo juga kangen Mas… Jangan lama-lama, ya. Wilo kesepian."
Deg.
Ucapan itu menamparnya lebih keras dari apa pun. Ia sedang membagi waktu, membagi tubuh, membagi perhatian. Tapi Wilona hanya punya dia. Dan kesepiannya itu murni karena dirinya. Terlebih ia seakan mengurung wanita itu, tak membiarkannya keluar rumah atau sekedar jalan-jalan. Ia terlalu takut kepergok Wilona saat tengah bersama istri kedua dan anaknya.
"Doakan pekerjaan Mas cepat selesai, ya," ujarnya pelan, menunduk. Seakan tak sanggup menatap wajah sendu istrinya.
"Tentu, Mas. Wilo selalu mendoakan Mas…" jawab Wilona lembut.
"Apa, Mas udah sarapan?"
"Udah, kamu juga ya. Jangan sampai telat makan," balas Aryan.
Video call itu berakhir dengan senyuman dan lambaian ringan. Tapi setelah layar ponsel gelap, yang tersisa hanyalah keheningan yang menyesakkan dada.
Aryan menatap kosong layar hitam itu. Bayangan Wilona masih tertinggal di matanya. Ia memejamkan mata, menarik napas panjang.
"Jika semuanya terbongkar… apakah kamu masih mau bersamaku, Wilona?"
Pertanyaan itu tak pernah ia jawab dengan jujur, bahkan kepada dirinya sendiri. Ia tahu, jika Wilona tahu kebenarannya, ia akan hancur. Dan mungkin, akan pergi.
Andai dulu ia berani menolak permintaan sang mama, permintaan untuk segera menikah lagi agar bisa memiliki cucu, mungkin semua ini tak akan terjadi. Tapi ia terlalu takut mengecewakan, terlalu mudah didesak, hingga akhirnya menikahi Amanda. Semua keputusan keliru itu kini menjadi bom waktu dalam hidupnya.
Ia tidak menyesal memiliki Willyan. Tapi ia menyesal telah menghancurkan kepercayaan satu-satunya wanita yang paling ia cintai.
"Wilona… jika saat itu tiba, Mas harap kamu mengerti. Dan… tidak meninggalkan Mas."
Tapi hatinya tahu, doa seperti itu… terlalu kecil untuk menahan badai yang akan datang.
JANGAN LUPA BERI LIKE, KOMEN DAN VOTE
DUKUNGAN TEMAN-TEMAN SEMUA SANGAT BERHARGA.....LOVE YOU ALL.....
TBC
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!