NovelToon NovelToon

SESAL YANG TERLAMBAT

Aku memilih pergi

Hallo, Gaesss. Jumpa lagi dengan karya baru Mama Mia. Karya ini terinspirasi dari sebuah drama yang pernah Mama tonton. Entah apa judulnya aku lupa karena sudah lama. Bagi yang tau boleh share di kolkom, ya. Selamat membaca, semoga suka 😘😘😘

*

*

*

“Armado Mendoza, ternyata cinta yang kusimpan selama lima tahun ini adalah cinta yang salah.”

Malam gelap. Tak ada satu bintang pun berpijar di langit luas. Virginia berada di tepi pantai, berjalan pelan dengan tatapan kosong. Air mata membasahi pipinya dan perlahan sebagian masuk ke dalam mulutnya yang terbuka tanpa isakan. Sebagian lagi jatuh ke bawah setelah melewati dagunya yang runcing.

Kedua tangannya tersimpan di saku mantel panjangnya yang berwarna merah menyala. Tanpa ragu, Virginia terus melangkah, makin ke tengah dan semakin ke tengah. Di bibirnya tersungging senyum. Tapi sayangnya itu bukan senyum manis penuh bahagia. Melainkan senyum yang menggambarkan tangisan hatinya. Merana. Nelangsa.

"Kau tidak pernah menoleh untuk melihatku. Kalau begitu baiklah. Mulai sekarang aku akan membuatmu tak pernah melihatku lagi. Seumur hidupmu tak kan pernah bisa bertemu dengan wanita bernama Virginia." Virginia terus bicara sendiri dalam hati.

Dinginnya air laut menusuk kulit tak ia hiraukan. Terus melangkah, hingga air mencapai batas dadanya. Melangkah lagi, lehernya telah basah. Perlahan bibirnya tak terlihat. Matanya terpejam, tersenyum manis.

"Selamat tinggal, Armando. Aku tidak akan mengganggumu lagi, aku akan melepaskanmu, mengembalikan kebebasanmu."

Rambut panjangnya mengapung di atas air. Lalu… HILANG.

Tubuh Virginia tak lagi terlihat, hilang. Sejauh mata memandang, yang terlihat hanya air yang datar, berselimut pekatnya malam. Tenang. Tak lagi ada tanda kehidupan.

Sepuluh hari yang lalu

Virginia Fernandes, putri pertama keluarga Fernandes. Wanita itu tersenyum bahagia. Hari ini adalah hari ulang tahun kelima pernikahannya dengan Armando Mendoza. Mengenakan gaun putih senada dengan jas yang dikenakan oleh suaminya. Wanita itu sungguh cantik sempurna. Siapa pun yang melihat tak mungkin tak terpikat.

Cantik, pintar, kaya, bersahaja. Memiliki suami yang tampan dan kaya raya pula. Sungguh kesempurnaan seakan menjadi miliknya. Sayangnya tak ada yang tahu apa yang ada dalam hatinya. Semua kebahagiaan yang terlihat hanyalah… SEMU.

"Cepat potong kuenya!” seru ibu mertua yang tampak bahagia melihat kebahagiaan mereka berdua. Ibu mertua memang sangat menyayangi Virginia. Begitu juga dengan Cecilia, adik kandung Armando.

Cecilia maupun Nyonya Besar Mendoza bertepuk tangan kecil dengan gemas. Menunggu dengan tidak sabar anak dan menantunya memotong kue. Biasanya Virginia akan memberikan potongan kue pertama untuk Armando, setelah itu untuknya.

Virginia bahagia dikelilingi oleh orang-orang yang sangat mencintainya. Namun, saat hendak memotong kue ulang tahun bersama Armando, suaminya. Dua tangan mereka yang menggenggam pisau bersamaan.

"Jika kau memaksa Ibuku lagi melakukan hal yang tidak berarti seperti ini, kita akan bercerai."

Virginia tertegun, menggeleng sedih mendengar kalimat yang dibisikkan oleh suaminya. Kedua matanya yang bening menatap wajah tampan itu dengan pilu.

“Bukan aku yang meminta ini, tetapi ibu yang memang ingin merayakannya.” Virginia menjawab dengan berbisik pilu. Matanya perlahan menjadi basah.

Armando berdecih sinis. Ia sudah hafal, Virginia selalu menggunakan air mata sebagai senjata. Tapi itu sama sekali tak akan membuatnya luluh. Bahkan ia semakin muak. Kembali membawa tangan Virginia untuk segera memotong kue.Dia hanya ingin segera menyelesaikan acara ini, lalu pergi. Namun, belum sampai mata pisau menyentuh permukaan kue yang berhias indah…

“Kak Virgi!”

Seorang wanita cantik berpakaian seksi yang tak lain adalah Veronica Fernandes, adik tiri dari Virginia tiba-tiba masuk ke dalam ruang pesta membuat atensi Virginia dan Armando teralih. Begitu pun para tamu undangan yang hadir.

Veronica berjalan semakin mendekat, wajahnya yang tampak memelas membuat Armando iba. Kekasih yang paling dicintainya harus menahan diri dan bersembunyi selama ini.

Veronica tiba di hadapan Virginia dan Armando.

"Lima tahun yang lalu Kakak yang memaksa Kak Armando untuk menikahimu dan melarangku untuk menemuinya. Sekarang waktunya sudah habis. Bisakah kakak mengembalikan tunanganku padaku?" Veronica menatap memohon ke arah Virginia.

Wajahnya yang sendu selalu bisa membuat siapa pun luluh. Begitu pun Armando. Yang selalu menganggap Veronica sebagai gadis polos tanpa dosa. Wajah yang selalu membuat Virginia muak. Wajah yang sejatinya hanya topeng kepalsuan.

“Jadi kamu yang sudah membuat Veronica menjauh dariku?” Armando menatap Virginia penuh kecewa dan kebencian. Tak menyangka Virginia sejahat itu.

Virginia menggelengkan kepala dan menatap ke arah Armando, tak percaya pria itu lebih mempercayai Veronica daripada dirinya. Bagaimana bisa Armando benar-benar percaya bahwa dirinya sejahat itu.

"Dia Veronica Fernandes kan? Bukankah dia putri tidak sah keluarga Fernandes? Berani sekali dia datang ke sini." Beberapa tamu undangan yang hadir saling berbisik.

Melihat kedatangan Veronica, Virginia meletakkan pisau kue ke atas meja dan menghampiri adik tirinya.

“Veronica, apa kamu mabuk?” tanya Virginia sambil memegang dua tangan Veronica.

Veronica menggelengkan kepalanya dan menatap sendu ke arah Virginia.

"Jika kamu tidak mabuk, harusnya kamu ingat kalau Armando Mendoza adalah suamiku. Pergilah dari sini!" tegas Virginia.

Veronica menghempaskan tangan Virginia dengan kasar. "Dia adalah milikku. Kamulah yang mencurinya dariku,” teriak Veronica.

“Milikmu? Jika dulu bukan karena aku memaksa dia menikahiku, mungkin sekarang dia sudah kamu jebak hingga masuk penjara.”

Virginia mencekal tangan Veronica lalu menoleh ke arah Armando. “Maukah kau mendengar sebuah kebenaran?"

"Apa yang baru saja kau ucapkan?” Armando menyela ucapan Virginia. Tak suka melihat Veronica yang terpojok. “Apa kau ingin membuat…"

"Kalau begitu tanyakan padanya. Berani tidak dia membiarkan aku bicara sampai selesai? Di sini, di hadapan semua orang. Berani tidak kamu mendengar kenyataan?" Virginia memotong ucapan Armando. Ditatapnya wajah pria itu datar.

"Tidak. Aku tidak boleh membiarkan Armando tahu kebenaran masa lalu,” ucap Veronica dalam hati. Secepat kilat wanita itu mengambil pisau pemotong kue yang tergeletak di atas meja di samping kue ulang tahun.

"Kak Armando…!” Veronica mengarahkan pisau ke pergelangan tangannya. “Sekarang katakan di depan semua orang.” Veronica menatap sendu ke arah Armando. “Katakan padaku, di antara aku dan kakak, siapa yang kau cintai? Katakan sekarang!” Veronica berteriak histeris.

“Veronica, turunkan dulu pisau itu!” Armando berseru panik.

"Tidak sebelum kau katakan padaku!" Veronica menekankan pisau itu pada pergelangan tangannya.

Armando mengangkat kedua tangannya memberikan isyarat agar Veronica menjadi tenang lalu menatap wajah gadis itu. "Kamu. Yang kucintai adalah kamu. Sejak dulu hanya kamu."

Virginia terhuyung mendengar ucapan Armando, diraihnya lengan Armando agar menghadap padanya. Armando mencoba menepis tangan Virginia, tapi wanita itu mencengkeram lengannya makin erat.

"Lihatlah aku! Lihat mataku, tolong lihat dan katakan sekali lagi! Katakan kalau yang kau ucapkan barusan itu tidak benar!” pinta Virginia.

Armando mengangkat wajahnya dan menatap ke arah Virginia.

“Selama lima tahun pernikahan kita, pernahkah kamu mencintaiku sekali saja.” Virginia menghiba, menatap wajah Armando yang tanpa ekspresi.

"Pernahkah sedetik saja ada namaku di hatimu?" tanya Virginia lagi. Matanya menatap pria di hadapannya penuh harap.

"Tidak pernah.” Armando menjawab lalu memalingkan wajahnya.

Virginia terhenyak dengan wajah pilu. Menggelengkan kepala berkali-kali, cengkeraman pada lengan Armando perlahan terlepas. Tak percaya dengan apa yang didengar. Berharap apa yang dia dengar dari Armando adalah salah.

Melihat Armando yang hampir saja luluh oleh tatapan mata Virginia, Veronica menjadi murka. “Kakak sudah berkali-kali mencelakaiku, dan aku hanya bisa diam. Dan sekarang kau ingin mengikat Kak Armando dalam cinta palsu. Apa kau baru akan puas jika melihat aku dan Kak Armando mati??”

“Apa?” Armando terpekik kaget. “Kau mencelakai Veronica? Virginia kau benar-benar manusia jahat!” Armando berteriak di depan wajah Virginia.

“Armando, dia bohong. Aku tidak seperti itu. Dia dan ibunya yang selalu mencelakaiku. Kenapa kau tak pernah percaya?” Virginia berkali-kali menggeleng berharap sekali saja suaminya berpihak padanya.

Armando bingung ucapan siapa yang bisa dipercaya. Melihat itu Veronica semakin panik. Ia tak mau Armando terpengaruh oleh ucapan kakak tirinya.

“Dasar rubah jahat. Aku tak membiarkan kakak menipu Kak Armando lagi!” secepat kilat Veronica menarik tangan Virginia dan menghempaskannya hingga Virginia kehilangan keseimbangan jatuh tersungkur di lantai.

“Virginia…!”

“Virginia…!”

02. Virginia keguguran

“Virginia,,,!”

“Virginia …!”

Nyonya besar mendoza dan Cecilia Mendoza berseru bersamaan. Kedua wanita beda usia itu bergegas mendekati Virginia dan bermaksud menolongnya.

“Virginia, kamu tidak apa-apa kan?” tanya nyonya besar Wijaya.

Virginia memejamkan mata sambil memegangi perutnya.

“Siapkan mobil! Cepat siapkan mobil!” seru Cecilia panik. Walaupun hanya saudara ipar, tapi Cecilia sangat menyayangi Virginia. Bahkan hubungan keduanya melebihi saudara kandung.

Nyonya besar mendoza berdiri dengan murka. “Jika terjadi sesuatu pada menantu dan cucuku maka aku tidak akan pernah memaafkanmu!” nyonya besar Mendoza menunjuk wajah Veronica dengan ujung jari telunjuknya. “Aku pasti akan menghancurkan seluruh keluarga Fernandes!” seru nyonya besar Mendoza lagi.

Armando yang ikut merasa panik berjalan mendekat tetapi Veronica menarik tangannya membuat langkah Armando terhenti.

“Kak Armando, aku tidak sengaja,” ucap Veronica sambil menggenggam tangan Armando. Matanya berkaca-kaca penuh rasa bersalah. Sesuatu yang selalu membuat Armando luluh.

"Sayang, ini sakit sekali,” ucap Virginia, Wajahnya memelas, bibirnya meringis dan gemetar menahan rasa yang menyiksa. Berharap perhatian dari suaminya.

“Virgi!” Armando yang tiba-tiba timbul rasa kasihan baru saja ingin bergerak mendekat.

Akan tetapi lagi-lagi Veronica menghentikan langkahnya. Dengan nekat wanita itu menggores pisau di pergelangan tangannya. Darah segar tampak mengucur. Perlahan tubuh Veronica limbung dan pasti akan terjatuh ke lantai jika Armando tak segera menangkapnya.

“Vero! Apa yang kau lakukan?” Armando berseru panik.

Virginia yang melihat itu semakin terluka. Armando sama sekali tak peduli padanya yang benar-benar kesakitan. Namun, pada Veronica yang hanya tergores sedikit saja begitu khawatir.

"Kak Armando, aku lebih sakit lagi.” Veronica menangis dengan menyandarkan wajahnya di dada Armando.” Aku tidak ingin kehilanganmu. Jika kamu lebih memilih kakak, lebih baik aku mati.”

Armando bingung tidak tahu harus bagaimana. Di satu sisi ia kasihan pada Virginia, tetapi Veronica memeluknya semakin erat dengan tubuh gemetar. Darah masih menetes dari pergelangan tangannya, membuat pria itu tak tega.

Ditatapnya Virginia dengan sorot datar. “Cecilia, Mama. Aku serahkan Virginia pada kalian. Aku harus membawa Veronica ke rumah sakit,” ucap Armando pada ibu dan adiknya. Setelah itu Armando menggendong Veronica dan membawanya pergi.

“Armando!” Nyonya besar Mendoza berteriak marah, tapi Armando tetap melangkah.

“Sayang…?” panggil Virginia dengan tangan terulur. Ingin mencegah kepergian suaminya tapi tak mampu. Wanita itu putus asa, tak lagi memiliki harapan, yang bisa ia lakukan hanya memejamkan mata seraya meringis menahan rasa sakit di perutnya. Terlihat Veronica yang menatap mencemooh. Seakan mengatakan, “Aku yang menang!”

“Armando…! Istrimu adalah Virginia. Berapa kali lagi kau akan dibohongi oleh wanita ular itu?” teriak Cecilia, tetapi Armando seakan tak peduli. Pria itu memilih melanjutkan langkahnya dengan membawa Veronica dalam gendongan.

"Virginia, bertahanlah! Sebentar lagi pertolongan datang,” seru Cecilia.

Nyonya besar Mendoza membawa kepala Virginia ke atas pangkuannya. “Sayang bertahanlah…!” Air mata jatuh membasahi wajah Virginia.

“Armando, akhirnya kamu yang menang. Aku sudah kalah,” ucap Virginia dengan mata terpejam.

“Tidak, Virginia. Kumohon berjuanglah sekali lagi.” Cecilia terus mengguncang wajah Virginia agar mata wanita itu tidak terpejam.

Beberapa saat kemudian ambulan datang. Beberapa pria berseragam ahli medis bergerak cepat mengangkat tubuh Virginia ke atas tandu lalu membawa masuk ke dalam ambulance.

Nyonya besar Mendoza ikut masuk ke dalam ambulance untuk menemani, sementara Cecilia mengikuti dari belakang dengan mobilnya sendiri.

*

*

*

Sesampai di rumah sakit yang memang adalah milik keluarga Mendoza, petugas medis sudah menunggu di depan ruang gawat darurat. Mereka bergerak cepat memberikan pertolongan pada menantu keluarga Mendoza itu.

Nyonya besar Mendoza dan Cecilia menunggu di luar ruangan dengan cemas. Berulang kali Cecilia mencoba menghubungi Armando, tetapi kakaknya itu tak juga mengangkat panggilan.

“Armando benar-benar keterlaluan. Lihat saja, suatu saat dia pasti akan sangat menyesal telah memperlakukan Virginia seperti ini.” sambil berjalan mondar-mandir, Cecilia terus memaki saudaranya.

*

*

*

Pintu ruang tindakan terbuka, nyonya Mendoza segera berdiri dari duduknya. “Bagaimana keadaan menantuku?” kekarnya pada pria paruh baya berseragam putih.

“Kami sudah berusaha, tetapi bayinya tidak bisa diselamatkan,” jawab dokter yang baru saja menangani Virginia. “Dan ada kemungkinan, Nyonya Virginia akan sulit memiliki anak lagi setelah ini.”

“Ya Tuhan, menantuku…?” Nyonya besar Mendoza dan Cecilia menutup mulut mereka mendengar berita itu. Berkali-kali menggelengkan kepala berharap berita itu salah.

“Apa kami sudah bisa menemuinya?” tanya Cecilia.

“Pasien masih tertidur akibat pengaruh obat. Perawat akan segera membawa nyonya Virginia ke ruang rawat inap. Setelah itu Anda berdua boleh menemuinya. Beliau harus bedrest selama beberapa hari.”

“Baiklah, Dokter,” ucap Cecilia sambil menghapus air mata yang membanjiri wajahnya.

“Kalau begitu saya permisi dulu.” Dokter menundukkan wajah lalu berlalu meninggalkan ruangan itu.

*

*

*

Virginia baru saja siuman. Matanya memindai sekeliling, berharap menemukan sesosok wajah. Namun, sayang itu hanyalah harapan kosong. Yang ada di ruang rawatnya hanya ada Cecilia dan nyonya besar Mendoza, ibu mertuanya dan Cecilia, adik iparnya.

Virginia menyandarkan punggungnya pada headboard ranjang rumah sakit. Sama sekali tak ada setitik pun rona di wajahnya.

Nyonya besar Mendoza duduk di tepi ranjang dan menatap wajah Virginia dengan sedih. Sejak kemarin air mata tak berhenti berlinang membasahi pipinya yang mulai dihiasi keriput. Bahkan kelopak matanya berhias lingkaran hitam. Raut lelah terlihat jelas, tapi senyum tetap menghiasi bibirnya.

"Sayang, dengarkan kata-kata Mama. Dengan ataupun tanpa anak, kamu tetap menantu pilihan Mama. Satu-satunya menantu yang mama restui,” ucap nyonya besar Mendoza sambil menggenggam tangan menantunya.

Virginia tersenyum menanggapinya. Sejujurnya saja ia tak tahu harus berkata. Anak dalam kandungan, yang ia harap bisa menjadi perekat hubungan antara ia dan sang suami telah tiada.

“Kamu masih muda dan cantik. Jangan khawatir, Mama akan membawamu berobat ke luar negeri. Suatu saat nanti kamu pasti bisa punya anak lagi,” lanjut nyonya besar Mendoza. Wanita berusia enam puluh lima tahun itu terus berusaha untuk menghibur menantunya.

Virginia mengangkat wajahnya menatap ke arah mertuanya sambil tersenyum. “Mama, jangan khawatir. Aku tidak apa-apa, aku baik-baik saja.”

Air mata nyonya besar Mendoza semakin mengalir mendengar ucapan menantunya. “Kamu wanita dan istri yang baik, Nak. Maafkan putra mama yang buta itu. Mama tak habis pikir, kenapa wanita jahat itu bisa membuatnya buta. Dan siluman ular itu, dia itu saudaramu, tapi kenapa tega sekali menyakiti dirimu seperti ini?”

Virginia membalas genggaman tangan mertuanya. Wanita yang memperlakukannya seperti putri kandung. Walaupun setelah ini ia akan membenci Armando, tapi ia akan tetap menyayangi wanita tua ini.

“Aku tidak apa-apa. Aku baik-baik saja.”

3. Mari kita bercerai

Beberapa hari kemudian, kondisi Virginia sudah dinyatakan stabil oleh dokter yang merawatnya, sehingga ia sudah diperbolehkan keluar dari rumah sakit.

“Kakak ipar.” Cecilia datang dengan membawa resep vitamin yang baru saja ditebusnya.

“Semua keperluan untuk pulang sudah selesai aku urus. Aku sudah menyelesaikan administrasinya. Dan aku juga sudah membereskan semua barang.” Cecilia berucap penuh semangat, meskipun raut sedih masih menggantung di wajahnya.

Virginia berdiri dan berhadapan dengan Cecilia, digenggamnya dua tangan adik iparnya. “Aku ingin sendiri dulu. Aku ingin melihat-lihat suasana di sekitar rumah sakit. Bolehkah aku meminta kamu membiarkan aku sebentar saja?” pinta Virginia

“Kakak ipar…?” panggil Cecilia. Gadis itu merasa sangat sedih melihat kondisi kakak ipar yang disayanginya. Wajah cantik kakak ipar berhias mendung. Dan ia tak suka itu. Dalam hatinya dia mengutuk perbuatan Veronica dan Armando. Meskipun Armando adalah kakak kandungnya tetapi Cecilia sangat membenci apa yang telah pria itu lakukan terhadap Virginia.

“Sayang, kamu memiliki kami. Jangan sedih, ya.” Nyonya besar Mendoza ikut mendekat.

“Aku tidak apa-apa,” ucap Virginia sambil tersenyum. Setelah berkata demikian Virginia melangkah meninggalkan Cecilia dan nyonya besar Mendoza yang sedang menunggu untuk membawanya pulang.

“Ya Tuhan, Kasihan sekali kakak iparmu.” Cecilia segera membawa mamanya ke dalam pelukan. Tanpa dikomando mereka meneteskan air mata bersama.

Virginia berjalan menyusuri lorong rumah sakit, melewati beberapa kamar pasien. Tanpa diduga, ia melihat Armando berada di salah satu ruangan bersama dengan Veronica. Pria itu sedang menyuapkan buah kepada wanita itu.

Virginia menekan dadanya. Perlakukan yang sangat manis seperti itu, tak pernah ia dapatkan dari suaminya. Vero, dan selalu hanya Vero yang mendapatkan segala cinta kasih dari Armando.

Posisi Armando yang membelakangi pintu membuat pria itu tidak menyadari keberadaan Virginia yang di sana, tapi Veronica yang melihat keberadaan Virginia mempergunakan kesempatan untuk membuat hati Virginia lebih sakit lagi.

Dengan tersenyum culas wanita itu memeluk tangan Armando. “Kak Armando, bukankah aku adalah wanita yang paling kau cintai?” tanya Veronica.

“Tentu saja, selamanya hanya kamu,” jawab Armando. Veronica menatap sambil tersenyum miring ke arah Virginia.

Virginia terhuyung bersandar pada tembok. Air matanya kembali menetes. Pada saat bersamaan, Armando menoleh ke arah pintu akan tetapi ia tak lagi melihat keberadaan Virginia.

Virginia menangis seorang diri lalu meninggalkan tempat di mana dirinya bersandar. Di sepanjang jalan yang dilalui, pelupuk matanya hanya terbayang di mana Veronica tersenyum mengejek dan selalu mengatakan bahwa dirinya adalah cinta sejati Armando. Sakit. Itu sungguh menyakitkan hatinya. Tetapi tak ada apapun yang bisa dia lakukan. Dia telah kalah.

*

*

*

Virginia telah kembali berada di rumahnya bersama dengan Armando. Rumah hadiah pernikahan dari ibu mertua. Wanita itu duduk dengan tenang di sofa, menatap datar kepulangan suaminya.

Merasa gusar karena Virginia tak menyambut kedatangannya seperti biasanya, Armando mendekat, berpura-pura meraih gelas minuman yang ada di hadapan Virginia, meneguknya lalu meletakkan kembali gelas dengan kasar, menatap datar ke arah Virginia.

“Kamu sudah pulang?” tanya Virginia.

Armando menoleh. Suara Virginia tak seperti biasanya. Bukankah seharusnya saat ini wanita itu menyambutnya dengan riang, lalu menempel seperti lintah?

“Kalau ada urusan langsung bicara saja,” jawab Armando datar. Egonya membuat dirinya enggan mengaku bahwa dia terganggu dengan perubahan sikap Virginia.

Virginia menatapnya dengan sedih. Pria yang sangat dicintainya ternyata sama sekali tak menganggap keberadaannya.

“Anak kita sudah tidak ada lagi,” ucap Virginia. Menatap sendu, berharap kata-katanya menimbulkan sedikit saja rasa empati dari suaminya, tetapi … …

“Hilang ya hilang saja,” jawaban Armando mengoyak hatinya.

“Lagi pula kalau dia lahir aku juga tidak akan menyukainya,” lanjut Armando.

Virginia meremas jari jemari nya sendiri. Bersikap tenang, tapi… sakit… ini sungguh sakit.

“Jika bukan karena dua bulan lalu kamu memanfaatkan saat aku mabuk dan naik ke atas tempat tidurku, kamu juga tidak akan punya kesempatan mengandung benihku.”

JLEB

Ucapan Armando berhasil menghempaskan harga diri Virginia hingga ke dasar yang paling curam. Hati wanita itu semakin teriris melihat Armando yang berbicara santai. Seolah kepergian anaknya sama sekali tidak ada pengaruh baginya.

“Kamu benar,” ucap Virginia datar.

Armando yang hendak pergi ke kamarnya menghentikan langkah. Bukankah seharusnya Virginia mengelak seperti biasanya? Kenapa justru pasrah menerima kesalahan?

“Tandatangani surat ini! Mari kita bercerai.” Virginia sambil menyodorkan sebuah map dan pulpen di atasnya.

Armando tertegun. Ini bukan Virginia. Virginia tidak akan pernah meminta cerai. Ataukah ini adalah trik dari Virginia untuk membuatnya mendekat? Itu tidak akan terjadi. Semua yang ada pada Virginia adalah palsu. Kasih sayangnya palsu, cintanya palsu, air matanya juga palsu. Ia tidak akan terjebak.

“Apalagi trik muslihatmu kali ini, Virginia?” tanya Armando datar.

“Aku tidak bermain tipu muslihat.” Virginia menatap serius ke arah Armando.

“Lima tahun lalu aku yang salah. Seharusnya aku tidak memisahkan kalian. Aku licik dan tidak tahu malu, aku memanfaatkan kesempatan. Sekarang aku sudah mengerti. Jadi mari kita bercerai.” Virginia mengingatkan Armando atas tuduhan yang selalu diberikan padanya.

Membalikkan badan menatap lurus ke arah Virginia. Berdiri tegak dengan dua tangan tersimpan di saku celana “Sungguh mengagumkan orang licik sepertimu, ternyata kamu bisa menyesal juga ya?” Armando tersenyum remeh.

Virginia mengangguk. Sama sekali tidak menyangkal, sesuatu yang membuat Armando semakin gusar. “Orang sepertiku yang suka menghalalkan segala cara juga punya harga diri,” ucapnya.

Karena Armando hanya berdiri tanpa niat untuk mengambil map yang ia letakkan di atas meja, Virginia berinisiatif mengambil map itu lalu berdiri dan mendekat ke arah Armando.

“Jadi? Bukankah lebih baik tanda tangani surat cerai ini, dan setelah ini kamu akan bebas?” Virginia tersenyum. Senyum yang terasa asing, yang belum pernah dilihat Armando sebelumnya.

“Baiklah, Virginia. Jika itu memang maumu.” Dengan rahang mengeras, Armando mengambil secara kasar map dari tangan Virginia kemudian segera menandatanganinya. Menutup kembali map, meletakkan pulpen dengan kasar di atasnya.

“Aku ingin melihat, setelah berpisah dariku, siapa orang bodoh yang mau menerima dirimu? Wanita yang penuh dengan kelicikan. Ingat semua ucapanmu hari ini. Mulai sekarang jangan muncul lagi di hadapanku!” Armando melempar map berisi surat yang baru saja ditandatanganinya ke atas meja.

“Kamu tenang saja. Kali ini aku akan membuatmu tak kan pernah menemukanku,” Virginia mengambil surat cerai itu dan berniat membawanya pergi.

Dada Armando berdesir saat Virginia berjalan melewatinya. Punggung tangan mereka yang tanpa sengaja bersentuhan. Ada rasa aneh yang tiba-tiba menelusup dalam dadanya. Tapi ia tak tahu itu apa. Pria itu segera menggelengkan kepalanya. Ia tak boleh terpengaruh oleh trik murahan yang dilakukan oleh Virginia.

“Lebih baik begitu,” dan itu yang akhirnya terucap dari mulut Armando. Pria itu melangkah mendahului Virginia dengan kesal.

Virginia jatuh terduduk di atas lantai begitu Armando tak lagi berada di ruangan yang sama dengannya, menangisi nasibnya yang begitu buruk. “Aku sudah kalah. Aku benar-benar kalah. Perjuanganku selama lima tahun ternyata sia-sia.”

*

*

*

Sementara itu, sekeluarnya dari ruangan, Armando menyandarkan diri di depan pintu. Menengadahkan wajah ke atas.

“Ada apa dengan Virginia hari ini?”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!