Lampu-lampu kristal memantulkan cahaya keemasan di Ballroom milik keluarga Wijaya. Virginia Fernandes, dalam balutan gaun putih rancangan desainer ternama, tersenyum. Senyum yang dipoles sedemikian rupa hingga nyaris sempurna. Malam ini adalah perayaan lima tahun pernikahannya dengan Armando Mendoza, seorang pengusaha muda yang namanya tengah melambung di kancah properti.
Di mata para tamu undangan, Virginia adalah definisi kesempurnaan. Cantik, pintar, kaya, dan bersahaja. Ia adalah putri sulung keluarga Fernandes, pemilik jaringan hotel mewah yang tersebar di seluruh Indonesia. Armando, dengan ketampanan dan kekayaannya, adalah pelengkap sempurna. Mereka adalah power couple yang menjadi idaman banyak orang.
Namun, di balik senyum itu, Virginia menyimpan luka yang dalam. Lima tahun pernikahan ini terasa seperti neraka yang diselimuti kemewahan. Armando, yang dulu begitu memujanya, kini bersikap dingin dan acuh tak acuh. Sentuhan lembutnya telah berganti dengan tatapan sinis. Kata-kata manisnya telah hilang ditelan keheningan.
"Cepat potong kuenya! Mama sudah tidak sabar!" seru Nyonya Besar Mendoza, ibu mertua Virginia, dengan nada riang. Wanita paruh baya itu memang sangat menyayangi Virginia, menganggapnya seperti putri kandung sendiri. Cecilia, adik Armando, ikut bertepuk tangan, matanya berbinar menanti momen tersebut.
Virginia meraih tangan Armando. Sentuhan kulit mereka terasa asing dan dingin. Ia mencoba mengabaikan perasaan itu, memfokuskan diri pada kue ulang tahun yang menjulang tinggi di hadapan mereka. Kue itu dihias dengan bunga-bunga mawar putih dan taburan mutiara, melambangkan kemurnian dan cinta abadi. Ironis.
"Satu kesalahan lagi, Virginia, dan aku akan pastikan kau menyesal," bisik Armando, suaranya dingin menusuk tulang.
Virginia terkejut, jantungnya berdegup kencang. Ia mencoba menutupi keterkejutannya dengan senyum yang dipaksakan.
"Apa maksudmu, Armando?" bisiknya lirih, matanya menatap Armando dengan penuh tanya.
"Kau akan tahu nanti," jawab Armando singkat, lalu menarik tangannya, memaksa Virginia untuk memotong kue.
Saat mata pisau menyentuh lapisan icing yang lembut, pintu ballroom terbuka dengan kasar. Semua mata tertuju pada sosok yang berdiri di ambang pintu.
Veronica Fernandes, adik tiri Virginia, berjalan masuk dengan anggun. Gaun merah menyala yang dikenakannya, dengan belahan dada rendah dan rok mini yang provokatif, kontras dengan gaun putih Virginia yang elegan. Veronica selalu tahu bagaimana mencuri perhatian.
"Selamat ulang tahun pernikahan, Kak Virginia dan Kak Armando," ucap Veronica dengan nada mengejek. Senyum sinis menghiasi bibirnya yang dipoles lipstik merah menyala. "Aku punya hadiah spesial."
Veronica melangkah mendekat, membawa sebuah amplop besar berwarna cokelat. Dengan gerakan dramatis, ia melempar amplop itu ke atas meja. Foto-foto bertebaran di lantai, menampilkan gambar-gambar Virginia dengan seorang pria lain. Pria itu bukan Armando.
Dalam foto-foto itu, Virginia dan pria itu terlihat sangat mesra. Mereka berpegangan tangan, berpelukan, bahkan berciuman. Foto-foto itu diambil di berbagai tempat, mulai dari restoran mewah hingga hotel bintang lima.
Nyonya Besar Mendoza terkejut, menutup mulutnya dengan tangan gemetar. Cecilia membelalakkan mata, tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Armando menatap Virginia dengan amarah yang membara. tapi sekejap kemudian kedua wanita beda usia itu menggeleng menyadari bahwa itu hanyalah rekayasa yang dibuat oleh Veronica. mereka berdua sangat paham betul Bagaimana Veronica selalu menyimpan iri dan dengki terhadap Virginia
"Apa ini, Virginia? Jelaskan!" bentak Armando, suaranya menggelegar di seluruh ruangan.
Virginia menggelengkan kepala, air mata mulai menetes membasahi pipinya. Ia merasa seperti terhempas ke dalam jurang yang gelap dan tak berujung.
"Ini tidak benar, Armando. Ini fitnah!" isaknya, mencoba meraih tangan Armando.
Veronica tertawa sinis, suaranya melengking memecah keheningan.
"Oh ya? Lalu siapa pria ini, Kak? Kenapa kalian terlihat begitu mesra? Apa Kakak lupa kalau Kakak sudah bersuami?" ejek Veronica, matanya menatap Virginia dengan penuh kemenangan.
Beberapa tamu mulai berbisik-bisik, menatap Virginia dengan tatapan menghakimi.
"Skandal! Keluarga Fernandes tercoreng!" bisik seorang wanita paruh baya dengan gaun brokat mahal.
"Aku tidak menyangka Virginia bisa selingkuh. Padahal, dia terlihat begitu sempurna," timpal seorang pria berkumis tebal dengan nada mencemooh.
Virginia mencoba meraih Armando, tapi pria itu menghindar, jijik.
"Jangan sentuh aku! Aku jijik!" desis Armando, matanya memancarkan kebencian yang mendalam.
Veronica mendekati Armando, menyentuh lengannya dengan lembut.
"Sudah kubilang, Kak Armando. Kak Virginia tidak pantas untukmu. Dia hanya menginginkan hartamu. Dia hanya memanfaatkanmu," bisik Veronica, suaranya penuh dengan racun.
Virginia menatap ke arah Armando dengan mata memohon. "Itu bohong, Armando! Veronica memfitnahku! Dia selalu iri padaku. Dia ingin menghancurkan hidupku!"
"Cukup! Aku tidak mau mendengar kebohonganmu lagi. Aku benar-benar jijik melihatmu." Armando menghempaskan tangan Virginia hingga gadis itu terhuyung dan terjatuh ke lantai.
Virginia meringis memegangi perutnya yang terasa sakit. hatinya hancur berkeping-keping. Ia merasa seperti kehilangan pijakan, jatuh ke dalam kegelapan yang pekat.
"Tidak, Armando. Jangan lakukan ini. Aku mencintaimu," lirihnya, air mata mengalir deras di pipinya.
"Cinta? Kau tidak tahu apa itu cinta. Kau hanya tahu bagaimana memanfaatkan orang lain. Kau hanya tahu bagaimana mendapatkan apa yang kau inginkan," balas Armando dengan nada dingin dan tanpa emosi.
"Armando, dengarkan aku kali ini saja. Semua foto yang diberikan oleh Veronica itu adalah palsu. itu semua fitnah. Aku tidak pernah melakukan hal-hal seperti itu."
"kakak, kamu sungguh pintar memutar balik fakta," ucap Veronica sendu. Dan hebatnya wanita itu, Armando langsung mempercayai kata-katanya.
"Ayo kita pergi!" Armando berbalik, meninggalkan Virginia yang menangis terisak-isak di tengah pesta yang berubah menjadi neraka baginya. Veronica tersenyum puas, matanya memancarkan kemenangan.
"Permainan baru saja dimulai, Kakak. Bersiaplah untuk kehilangan segalanya." bisik Veronica.
Veronica lalu mengikuti Armando, meninggalkan Virginia yang hancur dan sendirian. Di tengah gemerlap lampu dan alunan musik yang merdu, Virginia Fernandes merasakan kehancuran total. Topeng kebahagiaannya telah hancur berkeping-keping, memperlihatkan wajah aslinya yang penuh dengan luka dan kepedihan.
Tak sanggup menahan perutnya yang semakin sakit, perlahan matanya tertutup, tubuhnya terkulai lemah antara sadar dan bertahan
"Virginia...!"
"Virginia...!"
Nyonya Besar Mendoza dan Cecilia Mendoza bergegas menghampiri Virginia yang terkulai lemas di lantai ballroom.
"Virginia, apa yang terjadi? Kau baik-baik saja?" Nyonya Besar Mendoza bertanya dengan nada cemas, membantu Virginia untuk duduk bersandar pada pangkuan nya
Virginia hanya terdiam dengan tubuh lemah dan wajah yang semakin pucat. memegangi perutnya yang terasa nyeri. "Sakit... sekali," bisiknya lirih.
"Panggil ambulans! Cepat!" perintah Cecilia panik, sementara matanya menatap tajam ke arah Veronica.
Nyonya Besar Mendoza menepuk-nepuk pipi Virginia agar menantunya itu tetap sadar. Air mata terus membanjiri wajah ya yang telah keriput.
"Virginia, bertahanlah! Ambulan akan segera datang. Kami akan segera membawamu ke rumah sakit," ucap Cecilia sambil berusaha membangunkan Virginia.
Dengan penuh kasih sayang, Nyonya Besar Mendoza memeluk Virginia dan mengusap air matanya. "Sayang, jangan menyerah. Kau harus kuat." Namun hatinya terasa ngilu saat matanya menangkap sesuatu berwarna merah mulai merembes di antara sela kaki Virginia.
"Aku... tidak... kuat... lagi," bisik Virginia dengan suara lirih sebelum akhirnya kehilangan kesadarannya.
Tak berapa lama, ambulans datang. "kenapa kalian lama sekali. Bagaimana jika terjadi sesuatu pada menantuku?!" teriak Nyonya besar Mendoza.
"Maaf, nyonya," jawab salah seorang petugas mewakili teman-teman nya. "Sekarang, biarkan kami menjalankan tugas kami!" ucapnya sambil menundukkan kepala.
Nyonya besar Mendoza bangkit dari bersimpuhnya. membiarkan para petugas medis mengangkat tubuh Virginia. Setelah itu ia ikut naik ke dalam mobil ambulan untuk mendampingi Virginia.
"Aku akan mengikuti dari belakang," ucap Cecilia yang langsung berlari menuju mobilnya.
Di dalam mobil ambulan, nyonya besar Mendoza terus menggenggam tangan Virginia, dengan doa yang tak putus. Berharap menantunya baik-baik saja.
beberapa menit perjalanan, mobil ambulans dibuat juga di depan rumah sakit milik keluarga Mendoza. Dokter sudah menunggu kedatangan mereka di depan lobi. setelah tubuh Virginia dinaikkan ke atas brangkar, petugas segera mendorong brangkar dan membawa Virginia ke ruang tindakan.
"maaf nyonya besar, tidak boleh ikut masuk," ucap salah seorang perawat yang menghadang nyonya besar Mendoza ketika wanita itu ingin ikut masuk ke dalam ruang tindakan.
wanita tua itu hanya bisa mengangguk. "tolong selamatkan cucu dan menantuku," ucapnya lalu menunggu di kursi yang ada di depan ruangan itu.
*
Sementara itu di tempat lain, Armando sedang berada di dalam kamar hotel bersama dengan Veronica, namun wajah pria itu nampak kusut.
"Kak, ada apa? Apa yang mengganggu pikiran mu?" tanya Veronica yang sudah duduk di sampingnya.
Armando menggeleng. Ia juga tidak tahu ada apa. tapi sejak tadi ia merasa hatinya cemas. Pikirannya seperti merasa sesuatu yang buruk akan terjadi tapi dia tidak tahu apa itu.
"Apa kak Armando memikirkan kak Virginia?" tanya Veronica dengan nada sedikit kesal. "Sudahlah, Kak. Kenapa juga masih memikirkan dia. Sudah terbukti dia itu bukan wanita baik-baik. Dia itu hanya akan memanfaatkan kakak saja. sejak dulu dia selalu seperti itu. Bahkan ketika masih tinggal di rumah pun, dia selalu bersikap semena-mena. Semua ingin dikuasai sendiri." Veronica terus mencoba meracuni pikiran Armando.
"Aku tidak memikirkan dia. Sudahlah, kamu pergilah ke kamarmu sendiri. Aku ingin istirahat!" entah kenapa tiba-tiba Armando merasa tidak nyaman dengan keberadaan Veronica.
Tangan Veronica terkepal. "kenapa begitu sulit melunakkan hatimu?" geramnya. namun ia juga tak mau terlalu memaksa. Ia tak mau Armando ilfil padanya. "baiklah kak. aku pergi dulu. Kakak istirahat dulu baik-baik ya. Supaya setelah ini kakak bisa berpikir jernih,"
Setelah berkata demikian, Veronica pergi meninggalkan kamar Armando meski dengan hati kesal.
*
Di rumah sakit, Nyonya Besar Mendoza dan Cecilia berjalan mondar mandir di depan ruang tindakan. dengan cemas menunggu kabar tentang Virginia. Mereka berdua sangat khawatir dengan kondisi Virginia dan bayinya.
"semoga Virginia dan bayinya baik-baik saja," doa nyonya besar Mendoza.
"Semoga saja, Ma," sahut Cecilia.
*
Beberapa jam kemudian, seorang dokter keluar dari ruang gawat darurat dan menghampiri mereka.
"Bagaimana keadaan menantu saya, Dok?" tanya Nyonya Besar Mendoza dengan nada cemas.
Dokter itu menghela napas panjang sebelum menjawab. "Kami sudah melakukan yang terbaik, namun kami tidak bisa menyelamatkan bayinya. Selain itu, Nyonya Virginia mengalami komplikasi yang cukup serius. Kami masih terus memantau kondisinya."
Nyonya Besar Mendoza dan Cecilia langsung terkejut mendengar berita tersebut. Mereka berdua tidak bisa membayangkan betapa hancurnya hati Virginia saat mengetahui bahwa ia telah kehilangan bayinya.
"Apa kami bisa melihat Virginia?" tanya Cecilia dengan suara bergetar.
"Nyonya Virginia masih belum sadarkan diri. Kami akan memindahkannya ke ruang perawatan intensif setelah kondisinya stabil. Kalian bisa menemuinya di sana."
"Baiklah, dokter," jawab nyonya besar Mendoza sambil mengangguk. Raut cemas tak mampu sirna dari wajahnya.
"kalau begitu kami permisi dulu," ucap dokter sambil menunduk hormat lalu pergi dari tempat itu.
*
Beberapa jam kemudian, Virginia akhirnya siuman. Ia membuka matanya dan memandang sekeliling ruangan yang serba putih. Ia menyadari bahwa dirinya sedang berada di ruang perawatan intensif.
"Virginia, kau sudah sadar?" tanya Nyonya Besar Mendoza dengan nada lega. Ia menggenggam tangan Virginia dengan erat.
Virginia hanya bisa mengangguk lemah. Air mata kembali membasahi pipinya saat ia mengingat kejadian yang menimpanya.
"Jangan bersedih, Sayang," ucap Nyonya Besar Mendoza sambil membelai rambut Virginia dengan lembut. "Mama akan selalu ada untukmu."
Cecilia juga berusaha menghibur Virginia. "Kau harus kuat, Virginia. Jangan biarkan Veronica menghancurkan hidupmu."
Virginia hanya bisa terdiam. Ia merasa begitu hancur dan kehilangan. Ia telah kehilangan bayinya, ia telah kehilangan suaminya, dan ia telah kehilangan masa depannya.
Beberapa hari kemudian, kondisi Virginia dinyatakan stabil oleh dokter dan sudah diperbolehkan pulang.
Cecilia masuk ke ruang rawat Virginia dengan membawa resep vitamin dengan senyum getir. "Semua sudah beres, Kak."
Virginia menyentuh tangan Cecilia. "Aku ingin ke taman rumah sakit sebentar. Boleh?"
Cecilia mengangguk sedih. Ia tahu, mungkin kakak iparnya butuh waktu untuk menenangkan diri setelah apa yang menimpa dirinya.
Nyonya Besar Mendoza memeluk Virginia. Virginia adalah putri dari sahabat baiknya. Dan dia sangat menyayangi Virginia. Karena itu ia begitu senang Virginia menjadi istri Armando. Mana dia tahu ,jika akhirnya kehidupan rumah tangga mereka seperti ini jadinya. Namun, meskipun nantinya Virginia tak lagi jadi menantunya, ia juga akan tetap menyayangi Virginia.
"Sayang, jangan larut dalam kesedihan." ucap nyonya besar Mendoza.
Virginia tersenyum tipis, "Jangan khawatir , Ma. Aku baik-baik saja." ucapnya lalu berjalan meninggalkan mereka berdua menuju ke taman.
Nyonya besar Mendoza menatap kepergian Virginia dengan hati sedih. Seperti itu lah Virginia. Apa pun yang terjadi, dia selalu bilang dirinya baik-baik saja.
"Racun apa yang sebenarnya diberikan oleh Veronica pada Armando? Kenapa Armando bisa sampai buta mata dan hati seperti itu?" nyonya besar Mendoza menghapus air matanya yang kembali mengalir.
"sudahlah, Ma. Suatu saat aku yakin Armando akan menyesali semua ini." Cecilia berusaha menghibur mamanya.
Nyonya besar Mendoza mengangguk, meski ia tak yakin. Dalam hatinya hanya bisa berharap kesempatan untuk Armando memperbaiki segalanya masih ada.
Sementara itu Virginia, sesampainya wanita itu di taman, di sana, tanpa sengaja, dia melihat Armando dan Veronica. Armando terlihat begitu perhatian pada Veronica.
Virginia bisa melihat Veronica yang begitu bahagia. Virginia tidak mendengar apa yang mereka bicarakan, tapi jelas mereka sangat bahagia.
Virginia merasa dadanya sangat sakit. Armando tak pernah bersikap perhatian seperti itu padanya. Ia pun berbalik, tidak ingin melihat lebih jauh.
Veronica yang sebenarnya melihat keberadaan Virginia tersenyum miring. Ia puas melihat kakak tirinya itu menangis. "lihat, kan, kak. Aku berhasil merebut semua darimu, bahkan suamimu." gumamnya merasa menang.
*
*
*
Beberapa hari kemudian,
Virginia telah Kembali ke rumahnya bersama Armando. Virginia duduk di sofa, menatap kedatangan Armando yang baru saja pulang. Setelah beberapa hari. Entah di mana pria itu menginap. Mungkin di hotel bersama Veronica. Ia sudah tak lagi peduli.
Suasana terasa begitu dingin. Armando menatap heran ke arah Virginia yang tak biasanya. Biasanya wanita itu akan menyambut kepulangan nya dengan antusias.
"Kamu sudah pulang?" tanya Virginia pelan.
Armando menghela napas. "Aku sudah ada di sini berarti aku sudah pulang. Basa basi mu tidak bermutu. Ada apa? Apa yang kamu ingin dibicarakan?" tanya Armando ketus.
"Aku keguguran. Kita kehilangan anak kita," kata Virginia, mencoba menahan air mata.
"Itu lebih bagus. lagi pula aku juga tidak menginginkan anak itu," jawab Armando, tanpa menatapnya.
Virginia menunduk. "Aku tahu. Karena itu aku sudah menyiapkan surat yang harus kamu tandatangani," ucapnya lirih, menyodorkan map di atas meja.
Armando mengangkat alis. "Surat? Surat apa?"
"Surat cerai tentu saja. Apa lagi memangnya? Itu kan yang kamu ingin kan? Aku sudah tanda tangani," jelas Virginia.
Armando terkejut. "Apa maksudmu? " yang ia tahu selama ini, Virginia akan melakukan berbagai cara untuk mengikatnya. Mana mungkin sekarang wanita itu mengatakan cerai.
"Aku tahu kamu tidak bahagia denganku. Aku hanya ingin membebaskanmu," jawab Virginia.
Armando terdiam, menatap Virginia dengan tatapan sulit diartikan.
"Aku tidak meminta apapun. Aku hanya ingin pergi dengan tenang," lanjut Virginia.
Armando mengambil map itu dan membacanya dengan seksama. Matanya memindai setiap kalimat dalam perjanjian pranikah tersebut.
"Ini... kenapa ada klausul tentang harta?" tanya Armando, suaranya mulai meninggi.
Virginia mengangkat bahu. "Dulu, kamu selalu khawatir aku akan menuntut hak atas hartamu jika kita bercerai. Jadi, aku memastikan itu tidak akan terjadi. Aku melepaskan semua hakku," jawab Virginia tenang.
Armando mengepalkan tangannya. "Kamu pikir ini lucu? Kamu pikir dengan bersikap seperti ini, aku akan merasa bersalah dan kembali padamu?"
Virginia menggeleng. "Tidak. Aku sudah berhenti berharap. Kamu benar, akhirnya kamu yang menang. Aku kalah. Karena itu ingin kita mengakhiri semuanya. setelah kamu tanda tangani itu, semuanya selesai. Kamu bebas, dan aku juga bebas."
Armando mencibir. "Omong kosong! Kamu pasti punya rencana lain. Kamu ingin membuatku terlihat buruk di mata semua orang, kan?"
Virginia menghela napas panjang. "Armando, aku lelah. Aku tidak punya tenaga untuk bermain-main lagi. Aku hanya ingin beristirahat."
Armando menatap Virginia dengan tatapan tajam. "Baiklah. Jika itu yang kamu inginkan. Aku akan menandatangani ini. Tapi ingat, setelah ini, jangan pernah muncul di hadapanku lagi."
Armando mengambil pulpen dan menandatangani surat perjanjian cerai tersebut dengan kasar. Setelah selesai, dia melemparkannya kembali ke atas meja.
"Pergilah! Aku tidak ingin melihatmu lagi!" bentak Armando.
Virginia berdiri, mengambil surat perjanjian cerai tersebut, dan berbalik untuk pergi. Sebelum melangkah keluar dari ruangan, dia berhenti sejenak dan menoleh ke arah Armando.
"Aku harap kamu bahagia, Armando," ucap Virginia lirih, lalu pergi meninggalkan Armando seorang diri.
Armando terdiam, menatap kepergian Virginia dengan tatapan kosong. Ada sesuatu yang aneh yang dirasakannya. Sebuah perasaan hampa yang belum pernah dirasakannya sebelumnya.
Dia mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia telah melakukan hal yang benar. Dia telah membebaskan dirinya dari wanita licik yang selalu berusaha memanipulasinya. Tapi kenapa dia tidak merasa bahagia?
Armando mengacak-acak rambutnya frustrasi. Dia tidak mengerti apa yang sedang terjadi pada dirinya. Yang dia tahu, segalanya tak lagi Sama.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!