"Non, sudah pagi. Ayo bangun dan siap-siap ke sekolah." Bunyi pintu yang diketuk dan suara wanita tua membangunkan perempuan yang tertidur dengan nyaman di balik selimutnya yang hangat.
"Hoamm..."
Perempuan cantik itu menguap dengan kedua tangan terangkat ke atas. Ia mengucek matanya dengan tangan kanannya sembari menyibak selimut pink yang menutup setengah badannya ke bawah. Ia melangkah perlahan ke arah kamar mandi, bersiap-siap untuk ke sekolah.
Ia mengenakan seragam putih lengan panjang dan rok hitamnya dengan bersenandung kecil. '1 buku tulis, alat tulis, sketchbook, novel bacaan kemarin, apalagi ya?' batinnya. Ia sibuk mengabsen satu per satu barang yang perlu dia bawa ke sekolah. Setelah merasa lengkap, dia mengambil almamater abu-abunya, memasukkan ponsel ke saku rok lipitnya dan menyampirkan tas pink kesayangannya di bahunya, kemudian melangkah ke ruang makan.
"Pagi, Bi!" Ia menyapa pembantu yang sudah menemaninya sejak kecil yang sedang menata sarapan paginya.
"Pagi, Non Asia," sapa balik Bi Eva.
Dia duduk di kursi, mengambil nasi goreng buatan Bi Eva dengan telur mata sapi kesukaannya. Dia makan dalam diam. '6 kursi tapi yang isi hanya satu orang. Ck!" batinnya. Setelah makanannya habis, ia segera meminum susu vanilanya hingga tandas.
Dia bangkit, mengambil barang-barangnya. "Bi, aku pergi sekolah dulu ya," pamitnya pada Bi Eva yang sedang di dapur. Setelah mendengar balasan Bi Eva, tanpa menunggu lama dia segera menemui sopir pribadinya yang sudah menunggunya sejak tadi.
...***...
Tap! Tap! Tap!
Langkahnya riang memasuki halaman sekolah yang masih tidak terlalu ramai. Beberapa mobil kelihatan terparkir dengan rapi di parkiran kendaraan khusus murid. Ada juga satu dua motor dan sepeda di sana.
Rambut panjang sedada cokelatnya terlihat indah, sekali lihat saja orang akan langsung tahu bahwa rambut itu pasti halus dan terawat. Baju rapi bersih terpakai di badannya yang indah, badan yang termasuk dalam kategori body goals. Tidak lupa juga senyum manis yang terukir di bibir pink-nya yang menambah nilai plus pada penampilannya yang selalu cantik.
"Pagi, Pak Rudi!" sapanya ramah ketika melewati pos satpam. Ia berhenti di depan satpam sekolah yang umurnya sekitar 40 tahunan, tersenyum manis menyapa Pak Rudi.
"Pagi, Neng Asia!" Pak Rudi membalas sapaannya dengan senyum. Perempuan di depannya saat ini memang selalu meluangkan waktunya barang sejenak untuk menyapanya yang hanya seorang satpam di sekolah swasta tersebut sejak kelas 10. Ia selalu memperlakukan orang yang lebih tua darinya dengan sopan. Lagi-lagi poin plus untuk dirinya, membuatnya pantas untuk mendapatkan label kata sempurna.
"Saya duluan ya, Pak, mau ke kelas."
"Iya, Neng Asia." Setelah mendengar perkataan Pak Rudi, dia melangkahkan kakinya ke gedung bercat putih bertingkat—gedung kelas belajar—menuju kelasnya.
Dia selalu menyapa balik siswa-siswi yang lewat menyapanya dengan senyum manis miliknya. Mamanya pernah mengajarkannya untuk selalu membalas sapaan orang-orang yang menyapanya dengan ramah. Dan, dia melakukan itu hingga saat ini.
Masuk ke kelas, baru 6 orang dengan dirinya yang berada di kelas saat ini. Dia berjalan ke meja kedua dari depan di samping jendela sisi kiri kelas. Asia meletakkan tasnya di meja, menarik kursi dan mendudukkan bokongnya. Dia merogoh saku roknya, mengambil ponsel dengan casing bergambar karakter yang ia sukai itu. Lalu, dia mulai sibuk dengan ponselnya.
"Woi!"
Perempuan bernama lengkap Anastasia Putri Laksani itu terlonjak kaget mendengar seruan dan tepukan keras di bahu kanannya. Ia langsung menatap orang yang membuatnya kaget tadi dengan kesal. "Rere, lo rese tahu nggak! Nggak usah ngagetin gitu dong! Lo pikir gue budek sampai bicara keras gitu?!" serunya jengkel.
Rere—sang pelaku—menatapnya datar dan langsung duduk di sampingnya, tidak memedulikan seruan jengkel dari sahabatnya itu. "Salah sendiri sok sibuk dengan hape. Kek ada yang chat lo aja, cih."
"Heh! Enak aja lo, gue tuh dari tadi sibuk cari referensi untuk lukisan gue. Deadline pengumpulan karyanya aja Jumat ini, sedangkan gue belum ada ide sama sekali," jelasnya serius.
Rere menopang dagu, "Otak bego lo belum dapat ide? Kasihan, deh." Asia sedang serius dan Rere malah mengatai otaknya bego, memang sialan perempuan yang di depannya saat ini. "Rere, gue lagi serius. Daripada lo ngatain otak gue bego, mendingan otak lo yang pintar itu lo gunain untuk berpikir. Carikan gue ide."
"Ogah," tolak Rere. Dia menatap ke depan kelas dengan kedua tangan terlipat di depan dada.
"Kok lo gitu sih, Re? Bantu gue dong, otak gue benar-benar buntu sekarang. Gue udah harus setor sketsanya ke Kak Kenriz, paling lambat nanti siang. Kalau gu—"
Belum sempat dia menyelesaikan kalimatnya, bel masuk sudah berbunyi. Dia berdecak sebal dengan pipi yang ikut ia kembungkan. Bu Nella—wali kelasnya—sudah masuk ke dalam kelas ketika dia mau mencoba kembali berbicara dengan Rere.
"Selamat pagi, semua!" sapa Bu Nella dengan ramah.
"Pagi, Bu!"
"Oke. Ibu langsung saja akan menyampaikan informasi tentang pentas seni yang akan diadakan 2 minggu lagi. Nah, seperti yang kalian ketahui, pentas seni diadakan setiap penutupan semester. Untuk tahun ini sendiri, pentas seni yang diadakan akan sedikit berbeda. Para OSIS mengusulkan untuk mengadakan bazar kelas. Untuk kelas yang jualannya paling banyak dibeli akan mendapatkan hadiah dari OSIS."
"Jadi, pada class meeting pagi ini, Ibu mau kalian semua memberikan usulan akan menjual apa di bazar nanti. Kalian juga sudah bisa menentukan siapa yang akan menjaga stand bazar. Kalian juga silahkan diskusikan akan menampilkan apa di pensi nanti sebagai penampilan kelas. Kalian memiliki waktu hingga besok pagi, Ibu akan menerima laporannya dari ketua dan sekretaris kelas. Ibu sekarang harus kembali ke ruang guru karena akan ada rapat guru. Reno, kamu pimpin class meeting-nya, ya."
Setelah menjelaskan panjang lebar mengenai persiapan pensi, Bu Nella keluar kelas menuju ruang guru. Kelas mulai heboh membicarakan makanan atau minuman apa yang akan kelas mereka jual. Ada juga yang membicarakan akan menampilkan apa di pensi nanti.
Reno sebagai ketua kelas berdiri di depan kelas, mulai memimpin class meeting. Asia tidak memedulikan apa yang mereka bicarakan, ia sibuk memikirkan apa yang akan dia lukis di kanvasnya nanti. Dia sibuk mencoret-coret lembaran sketchbook-nya asal-asalan.
Bosan mendengarkan teman kelasnya yang sedang meributkan akan menjual makanan ringan atau berat untuk bazar, Rere mengalihkan perhatiannya pada sahabatnya yang sekarang sedang mencoret-coret tidak jelas pada lembaran sketchbook-nya dengan dagu yang dia letakkan di atas lipatan tangan kirinya.
"Lo masih belum tahu mau lukis apa?"
Perempuan itu hanya mengangguk tidak semangat menanggapi perkataanya. Rere menghela napas lelah, menggelengkan kepala melihat tingkah sahabatnya yang sekarang seperti anak kecil dengan kedua pipinya yang dia kembungkan.
Rere menopang pipi kanannya, mencoba memberkati usul. "Tidak ada tema khusus 'kan untuk lukisan ini? Lo suka hal-hal yang berhubungan dengan benda-benda langit, hal-hal yang berbau astronomi, kenapa lo nggak melukis yang berbau hal itu?"
Seperti mendapat pencerahan, Asia langsung menegakkan badannya, tersenyum lebar ke arah Rere. "Sumpah lo jenius, Re. Gue langsung dapat ide, thanks, lho. Ihh, makin sayang deh sama Rere, sahabat aku satu-satunya ini," ucap Asia langsung memeluk Rere senang.
Rere langsung mendorong pelan Asia, "Alay lo! Nggak usah meluk-meluk!" serunya jengkel dengan perlakuan Asia. Asia tertawa keras mendengar ucapan Rere hingga mengambil atensi seluruh murid kelas XI MIPA 2.
Mereka menatap bingung ke arah Asia dan Rere yang seperti sibuk sendiri, tidak mendengarkan class meeting pagi ini. "Ohh, Asia bagaimana kalau kita buat bazarnya di rumah lo aja?" tanya Sheila—sekretaris kelasnya.
"Rumah gue?" tanya Asia bingung dengan kerutan di dahi.
"Iya. Kita memutuskan untuk menjual kue-kue dan minuman dingin untuk bazar nanti. Nah, sekarang kami membicarakan akan membuat bazarnya di mana. Bagaimana kalau di rumah lo? Lo 'kan kaya, pastinya alat-alat dan bahan-bahan untuk membuat itu semua ada 'kan?"
"Ohh, boleh-boleh aja sih. Kalian tentukan saja harinya," jawabnya dengan senyum manis andalannya.
Terlihat hampir seluruh raut wajah penghuni XI MIPA 2 ini senang dengan jawabannya itu. Karena, mereka tidak perlu repot-repot mengeluarkan uang sepeser pun untuk bazar kali ini. Ada Asia—Si Dompet Kelas XI MIPA 2—yang akan membayar semuanya.
Well, tidak semua siswa-siswi SMA Global Mandiri murni berteman dengannya. Mereka hanya berpura-pura baik untuk memanfaatkan kekayaan perempuan cantik itu. Tetapi, ada juga yang tidak berani berteman dengan Asia, misalnya anak-anak beasiswa, karena mereka tidak mau dianggap memanfaatkan kekayaan Asia nantinya.
Mereka tidak memedulikan sikap mereka akan merugikan Asia atau tidak. Toh, perempuan kaya raya tujuh turunan itu tidak akan menyadari sikap mereka. Asia terlalu baik dan bodoh, menurut pandangan mereka, hingga bisa dimanfaatkan seperti itu.
Mereka tidak tahu, jika Asia tahu maksud dari sikap mereka selama ini kepadanya hanya palsu. Hanya memanfaatkan materi yang ia punya untuk kesenangan mereka.
Padahal, SMA Global Mandiri adalah salah satu sekolah swasta favorit yang ada di kota mereka, yang mana halnya tidak gampang masuk di sana karena memerlukan biaya yang tidak sedikit. Anak kurang mampu yang masuk ke SMA Global Mandiri sama saja cari mati. Banyak murid beasiswa yang dibully di SMA Global Mandiri karena berasal dari keluarga tidak mampu.
Jadi dengan kata lain, sebagian besar siswa-siswi SMA Global Mandiri adalah anak orang kaya, terlebih kelas XI MIPA 2 yang muridnya hampir seluruhnya berlatar belakang kaya raya. Tetapi, sangat jarang mereka mengeluarkan uang untuk keperluan kelas mereka. Menurut mereka, selagi bisa memanfaatkan Asia, kenapa tidak? Perempuan itu tidak akan jatuh miskin dalam sehari hanya karena uangnya mereka gunakan.
'Parasit,' batin Asia. Ia mulai menggambar sketsa yang sedang ada dalam otaknya saat ini, tidak memedulikan kembali class meeting yang masih berlangsung yang kemudian beralih membahas penampilan kelas mereka di pensi nantinya.
Rere memperhatikan Asia yang sedang sibuk dengan sketsanya dengan tatapan miris. Ya, hanya Rere satu-satunya teman kelasnya yang tidak berteman dengannya karena uang. Rere murni berteman dengan Asia sejak masuk di awal pertemuan pertama mereka kelas X semester 1 kemarin.
...***...
"Yes! Akhirnya jadi juga sketsa gue. Oke sekarang jam 13.56, yang berarti gue cuma punya waktu 4 menit sebelum deadline pengumpulan sketsa. Gue harus ke ruang Art Club sekarang. Bye-bye, Rere!" Asia langsung berlari membawa sketchbook-nya menuju gedung ekskul di samping gedung kelas belajar.
Ada beberapa gedung di sekolah ini. Gedung kelas belajar sendiri berada di tengah antara gedung ekskul dan gedung laboratorium yang masing-masing di kiri dan kanan gedung.
Naik ke lantai 2, ruang ketiga dari tangga, Asia langsung membuka pintunya tanpa mengetuk terlebih dahulu. Melan yang sedang duduk di kursinya terlonjak kaget. Napas Asia terengah-engah sehabis lari dari kelasnya menuju ruang Art Club.
Dia berjalan menuju meja Kenriz, membuka sketchbook-nya, dan merobek lembaran sketsa yang sudah dia gambar tadi. "Nih, sketsa gue, Kak," ucapnya sembari memberikan lembaran tersebut pada Kenriz.
"Lain kali, kalau masuk ke suatu ruangan itu ketuk pintu dulu, Asia. Lo mau bikin gue jantungan? Mana kumpulnya tepat deadline lagi, ckckck," sindir Kenriz sambil menerima sketsa dari Asia.
"Iya, maaf, Kak. Gue nggak ulang deh. Lagian yah, waktu yang Kakak berikan juga dikit. Mana bisa gue dapat ide hanya satu malam, yang benar aja dong, Kak," gerutu Asia dengan pipi yang sedikit dia kembungkan, kebiasaannya ketika jengkel.
"Terserah gue dong, 'kan gue ketua ekskul di sini."
"Cih, menyalahgunakan kuasa. Terserahlah yang jelas sketsa gue udah jadi dan udah gue kumpul."
"Ingat, besok mulai melukis di sini. Rabu depan udah harus selesai," ucapnya mengingatkan sambil merapikan kertas-kertas yang Asia tebak adalah sketsa anak-anak Art Club.
"Loh? Bukannya Jumat ini deadline karyanya, Kak?" tanya Asia bingung.
Kenriz berhenti merapikan kertas dan beralih menatap Asia. "Ohhh, lo mau kumpulnya secepat itu? Ya udah, khusus lo, lo harus kumpul lukisan lo Jumat ini."
"Heh!? Kok gitu? Gue cuma nanya kali!" serunya protes mendengar perkataan Kenriz.
"Santai, dong. Gue cuma bercanda. Waktu pengerjaan dan pengumpulannya gue mundurin, banyak yang protes karena menurut mereka kecepetan waktunya. Jadi, karena gue baik gue mundurin," jelas Kenriz. Asia mengangguk-angguk setuju mendengar penjelasan Kenriz. "Bagus sih, gue setuju. Waktunya emang terlalu cepat."
"Ya udah, sana lo pulang. Ganggu aja lo," usir Kenriz.
"Iya, iya, gue pulang. Bye!" Asia langsung keluar dari ruang Art Club. Setelah menutup pintu, Asia sedikit terkejut dengan kehadiran Rere di sisi kanan pintu ruang Art Club.
"Loh, Re? Ngapain di sini?"
Rere mengangkat tas pink Asia dengan almamater abu-abu di lengan tas kirinya. "Lo mau pulang tanpa tas dan almamater lo?"
"Eh, gue lupa gara-gara buru-buru ke sini. Aduh, Rere sayang, thanks, loh. Udah dua kali lo bantu gue hari ini, sekali lagi terima kasih, hehehe." Asia mengambil barangnya yang Rere sodorkan padanya.
"Ayo, pulang. Lo mau tunggu jemputan di bawah, 'kan? Kita bareng aja. Sekalian ada yang mau gue bicarain sama lo." Rere langsung melangkah, meninggalkan Asia yang sedang memakai almamaternya.
"Ihh, tunggu Reree," rengek Asia sambil memakai almamater dan tasnya dengan berlari kecil mengejar Rere yang sudah hampir mendekati tangga.
Setelah berhasil menyusul Rere, mereka berjalan beriringan menuju halte di dekat pagar sekolah. Ketika melewati pos satpam, Asia menyapa Pak Rudi yang sedang berdiri depan pos satpam, "Siang, Pak Rudi."
"Siang, Neng Asia dan Neng Revirey." Rere hanya tersenyum tipis menanggapi sapaan Pak Rudi. "Mau nunggu jemputan, Neng?" lanjut Pak Rudi.
"Iya, Pak. Kota duluan ke depan ya, Pak. Mari, Pak."
"Iya, Neng. Silahkan."
Mereka berjalan kembali dan duduk di bangku besi halte. Hanya mereka berdua yang berada di halte saat ini. "Lo mau bicarain apa, Re? Eh tunggu, bukannya dari bulan lalu lo mulai bawa mobil? Ke mana mobil lo?" tanya Asia bingung. Pasalnya, Rere selalu ke sekolah membawa mobil sendiri semenjak ia punyai SIM. Sekarang, mobilnya itu tidak kelihatan.
"Mobil gue dipinjam kakak tiri gue, katanya mobilnya rusak."
"Ohh. Ya udah, lo mau ngomong apa?"
Rere menatap Asia dengan tatapan serius dan bertanya, "Sampai kapan lo mau baik-baikin mereka? Yang ada mereka keenakan karena lo nggak pernah mau tegur mereka. Emang lo nggak muak diporotin dan diperlakukan sebagai Dompet XI MIPA 2? Gue udah pernah bilang, berhenti baikin mereka dan menjauh dari orang-orang yang hanya bisa memanfaatkan kekayaan lo."
"Rere, gue tahu batasan. Kalau mereka udah keterlaluan dan melewati batas, gue nggak akan diam. Lagi pula, kekayaan itu punya orang tua gue. Gue juga nggak mungkin biarin harta orang tua gue yang dengan susah payah banting tulang untuk bisa mendapatkan semua itu dihabisin sama orang-orang nggak berguna itu," jelas Asia. Ia tersenyum mengingat kembali perkataan Rere, dia tahu Rere tulus berteman dengannya sedari awal, karena itu dia nyaman berteman dengan Rere.
Rere membuang napas lelah, "Asia, bilang ke gue kalau mereka mulai keterlaluan dan mulai nyakitin lo. Biar gue yang urus."
"Hmm, gue pasti bakal bilang kok."
"Ya udah, gue duluan. Angkot ke kompleks rumah gue udah datang. Bye." Rere berdiri di pinggir trotoar, menunggu angkot yang akan ia tumpangi mendekat. Ketika mendekat, dia naik dan duduk.
Asia melambai-lambaikan tangan dengan riang ke Rere yang membalas lambaian tangannya pelan. Asia mengeluarkan novel bacaan yang belum sempat dia selesaikan kemarin ketika melihat angkot tumpangan Rere meninggalkan halte untuk mengisi waktu luangnya menunggu jemputannya.
...***...
Masuk ke rumah, dia meletakkan tasnya di sofa putih depan televisi, lalu berjalan ke ruang makan. "Siang, Bi," sapanya pada Bi Lina yang ada di ruang makan. Di rumahnya itu, hanya ada 2 pembantu yang ada sejak ia kecil, Bi Eva dan Bi Lina.
"Siang, Non. Bagaimana sekolahnya?"
"Yah, seperti biasa, Bi. Oh iya, Bi Eva mana?" tanyanya bingung ketika tidak melihat Bi Eva di ruang makan.
"Bi Eva lagi di dapur, Non. Katanya mau siapkan makan untuk Pak Doni, Non."
Asia mengangguk-angguk dan menarik salah satu kursi dan duduk, menunggu Bi Eva datang. Dia memang selalu makan siang dengan 2 bibinya. Sedangkan Pak Doni—sopir pribadinya sekaligus satpam di rumahnya—akan makan di pos, katanya supaya dia bisa tetap menjaga keamanan.
Bi Eva datang beberapa menit kemudian. Mereka mulai makan siang sambil berbincang-bincang mengenai sekolah dan rencana liburan Asia. Asia hanya akan libur di rumahnya—seperti biasanya. Sedangkan para bibi dan sopirnya itu akan ia izinkan pulang kampung.
Ia ingin membantu Bi Lina yang akan mencuci piring, tetapi dia tidak diizinkan. Ia diminta beristirahat karena pasti ia lelah setelah pulang sekolah.
Ia naik ke kamarnya setelah mengambil tasnya di ruang televisi tadi. Dia masuk, meletakkan tasnya di meja belajarnya dan mendudukkan badannya di kursi belajarnya.
Dia membuka ritsleting bagian depan tasnya, mengambil ponselnya dan menghubungi Rere.
"Halo? Ada apa?" Suara dari seberang terdengar setelah beberapa saat.
"Halo, Re? Lo ada waktu nggak? Gue mau cari perlengkapan untuk membuat lukisan gue besok." Asia memang berencana untuk pergi mencari perlengkapan untuk lukisannya. Beberapa catnya di ruang Art Club sudah habis, begitu juga cat yang biasanya dia gunakan di rumahnya.
"Emang jam berapa?"
"Jam 4. Lo bisa nggak?"
"Ya udah. Nanti gue ke rumah lo," ucap Rere menyetujui permintaan Asia.
"Okey." Setelah itu, sambungan terputus. Asia meletakkan ponselnya di meja belajarnya, mengambil notebook-nya, menulis barang-barang apa yang akan dibeli nantinya.
Rere melangkah menuruni tangga dengan langkah pelan. Dia berjalan ke ruang keluarga, mencari kakak tirinya yang baru pulang dari kampus. Ia melihat kakaknya itu sedang menonton di ruang keluarga dengan mamanya.
Rere berdiri di samping sofa tempat kakak tirinya duduk, ia mengulurkan tangannya. "Kunci mobil gue mana?" Ya, Rere memang selalu to the point, menurutnya berbasa-basi hanyalah membuang waktunya.
Kakak tirinya itu menatapnya sebentar, lalu mengambil kunci mobil Rere yang ia letakkan di meja. "Nih, emang kamu mau ke mana, Dek? Ini udah sore, aku aja yang antar, ya?" Rakha menyerahkan kunci mobil itu pada Rere.
"Bukan urusan lo. Gue bisa pergi sendiri."
Mamanya yang mendengar itu bertanya, "Kenapa kamu bersikap seperti itu sama Kakak kamu, Anesta? Mau ke mana kamu? Kenapa tidak pamit sama Mama?"
Rere yang tidak memedulikan pertanyaan wanita tua itu langsung pergi meninggalkan ruang keluarga.
"Anesta Revirey!! Mana sopan santun kamu?!" Mamanya yang geram berdiri, mencoba menyusul Rere yang terus berjalan. Tetapi saat akan menyusul Rere, Rakha menahannya. "Ma, udah. Rere pasti hanya pergi ke rumah Asia. Dia pasti akan pulang nanti. Mama tidak usah khawatir."
Rakha menggiring mama tirinya itu untuk duduk kembali. Ia pergi mengambilkan minum untuk mama tirinya agar dia bisa tenang kembali.
Sudah hampir 2 setengah tahun papanya menikah dengan mama Rere. Sudah selama itu juga ia dan keluarganya tinggal di rumah mama Rere. Tetapi, Rere tidak pernah bisa menerima dirinya dan keluarganya. Rere menganggap papa Rakha merusak hubungan mama dan papanya hingga mereka memutuskan bercerai. Padahal, itu karena papanya yang merasa sudah tidak memiliki kecocokan.
Ia kembali ke ruang keluarga dengan membawa segelas air pada tangan kanannya. Ia memberikan air pada mama tirinya itu. "Ini, Ma, diminum dulu." Ia kemudian kembali duduk di tempatnya.
Ia sibuk dengan pikirannya sendiri, walaupun matanya menatap televisi. Menurutnya, Rere hanya menginginkan kasih sayang dari mama dan papa kandungnya lagi. Tetapi, mamanya sibuk dengan kafenya dan hanya perhatian kepada Raiya—adik Rakha. Sedangkan, papanya sibuk kerja dan sibuk dengan keluarga barunya yang sudah menikah lagi 2 bulan lalu.
Menurut Rakha, hubungan yang tidak bisa dipertahankan memang seharusnya diakhiri. Jika dipertahankan, itu tidak akan menguntungkan mereka sendiri, 'kan?
...***...
Rere keluar dari mobilnya, menuju pintu rumah Asia. Ia mengetuk pintu, menunggu pemilik rumah mempersilakannya masuk.
Bi Lina keluar, membuka pintu untuknya. "Eh, Non Rere. Mau ketemu Non Asia, ya? Mari masuk, Non," ucap Bi Lina mempersilakan Rere untuk masuk.
"Bibi panggil Non Asia dulu, ya." Setelah itu, Bi Lina meninggalkannya.
Rere memainkan ponselnya sambil menunggu Asia. "Reee, ayo kita berangkat," ajak Asia dengan semangat dari ujung anak tangga.
Ketika Asia sampai di depannya, ia bangkit dan berjalan lebih dulu ke luar. "Bi, kami pergi dulu, ya," pamit Asia lalu menyusul Rere yang sudah lebih dulu jalan.
"Mau beli di mana?" tanya Rere ketika Asia sudah masuk ke dalam mobilnya.
"Di tempat biasa aja. Barangnya bagus dan harganya juga murah." Rere mengangguk dan mulai menjalankan mobilnya ke toko biasa Asia membeli perlengkapan melukis dan menggambarnya.
Ketika sampai, Rere memarkirkan mobilnya di tempat yang sudah disiapkan. Mereka berdua turun dan masuk ke toko yang memang khusus menjual hal-hal yang berbau seni.
Asia langsung berjalan ke bagian khusus cat. Ia sibuk memilih-milih cat yang akan ia beli. Rere hanya memperhatikannya sambil sesekali melihat-lihat cat-cat yang tersedia di rak.
Asia terus mencari barang-barang yang ia butuhkan. Bosan menemani Asia, Rere mengeluarkan ponselnya, menyibukkan diri.
"Re, menurut lo bagusan ini atau ini?" Asia memperlihatkan 2 kuas dengan ukuran yang sama, namun berbeda warna pada batangnya. Asia masih memperhatikan kuas-kuas di tangannya dengan tangan yang ia arahkan ke kiri.
"Re?" Lama tidak mendapatkan respons, Asia menolehkan kepala ke kiri.
Rere masih sibuk dengan ponselnya tanpa mendengarkannya sama sekali. Ia mendekat ke Rere dan bertanya, "Hello, Anesta Revirey! Gue dari tadi ngomong." Asia melambaikan tangan di depan mukanya.
Rere mengangkat kepala menatap Asia datar. "Apa?"
Asia membuang napas lelah. Ia kemudian menunjukkan kembali 2 kuas tadi, mencoba meminta saran. "Menurut lo, bagusan yang mana? Kiri atau kanan?"
"Lo cuma mau tanya itu doang?"
"Iya," jawab Asia polos.
"Yang kanan aja." Rere menunjuk kuas di tangan kanan Asia yang batangnya berwarna krim. "Oke." Asia meletakkan kuas satunya lagi ke tempat semula.
Setelah selesai membeli semua perlengkapannya dan membayarnya, mereka pulang ke rumah Asia.
...***...
Mereka duduk di sofa depan televisi, dengan camilan di meja depan mereka. Mereka menonton satu film yang sedang ditayangkan oleh salah satu stasiun televisi. Hanya Asia yang fokus pada film mereka, sedangkan Rere sibuk dengan pikirannya sendiri.
"Asia," panggil Rere pelan. Asia menolehkan kepalanya ke kiri, menatap Rere dengan alis terangkat.
"Lo benci nggak sama orang tua lo?" tanya Rere spontan.
"Ha?" Asia mengerutkan kening mendengar pertanyaan Rere.
"Gue tanya, lo benci mereka nggak? Mereka ninggalin lo sendirian di sini dan belum balik sampai sekarang. Mereka nggak mikirin perasaan lo kayak gimana kalau mereka tinggal bertahun-tahun."
Asia ber-oh ria mendengarkan penjelasan Rere. "Hm... gue nggak benci banget sih, mungkin dikit doang. Gue lebih kecewa aja. Sampai sekarang mereka belum kabarin gue lagi atau telpon gue untuk sekedar tanya kabar gue gimana, terakhir waktu kelas 8 semester 2. Gue juga mulai terbiasa dengan keadaan gue sekarang, mungkin," ucapnya pelan di akhir ucapannya.
Rere diam dengan kepala menunduk menatap kakinya yang ia lipat di atas sofa. Pikirannya kalut. Ia bingung harus bagaimana. Apa ia harus membenci orang tuanya karena meninggalkannya? Tetapi, mamanya masih tetap menjaganya walaupun sekarang memiliki keluarga baru. Papanya juga kadang meneleponnya, menanyakan kabarnya, meski Rere tidak pernah bersikap hangat ketika papanya itu meneleponnya.
'Apa gue harus menerimanya?' batinnya bingung.
Asia yang melihat Rere yang seperti banyak pikiran bertanya, "Lo kenapa? Cerita sama gue, mungkin gue bisa bantu lo."
Rere menatap Asia. "Gue bingung. Gue harus menerima keadaan keluarga gue sekarang atau nggak? Apa gue harus menerima keluarga tiri gue? Lagi pula, mereka juga baik, sih."
"Menurut gue, tidak ada salahnya lo coba terima keluarga baru lo saat ini. Gue yakin, orang tua lo cerai juga karena memang mereka sudah merasa nggak cocok satu sama lain. Mereka pasti pisah bukan karena papa tiri lo itu." Asia mengelus pelan kepala Rere. Dia tidak pernah melihat Rere yang seperti sekarang, selama ini Rere bersikap seperti orang yang tidak peduli pada sekitarnya, tetapi sebenarnya dia peduli dan memikirkannya, dia hanya tidak menunjukkannya.
Rere tetap diam. Dia tahu kenyataan yang sebenarnya seperti apa, hanya saja dia pura-pura tidak tahu. Ponsel Rere yang di meja berbunyi, berhasil mengambil atensinya. Ia mengambilnya, melihat nama yang tertera di layar ponselnya, Rakha. Ia menggeser tombol hijau dan menempelkannya pada telinga kanannya.
"Halo?"
"Halo, Dek? Kapan kamu pulang? Udah malam, tidak baik anak perempuan terlalu lama di luar malam-malam." Suara Rakha, kakak tirinya itu masuk ke dalam pendengarannya.
"Hm... Gue balik sekarang." Rere langsung mematikan sambungan secara sepihak tanpa mendengar balasan Rakha lagi.
Rere langsung berdiri mengambil kunci mobil di meja dan pamit ke Asia, "Gue balik, ya. Bye."
"Iya. Gue antar sampai pintu depan." Mereka berjalan ke pintu depan dan Rere langsung masuk ke dalam mobilnya. Dan segera menancap gas, meninggalkan rumah Asia.
'Apa gue juga harus terima keadaan gue sekarang?' Asia terdiam di depan pintu, memikirkan tentang keadaannya saat ini.
...***...
"Halo, Rere!" Asia menyapa Rere dengan semangat ketika sudah sampai di samping Rere. Rere menatapnya sebentar lalu lanjut menatap layar ponselnya yang memperlihatkan ruang obrolan grup.
Asia meletakkan tasnya, duduk menghadap Rere yang sibuk melihat ponsel. "Re, lo ngapain, sih? Sibuk amat perhatikan HP-nya. Chat sama siapa, tuh? Kak Devan, ya?" goda Asia pada Rere yang langsung menatapnya dengan muka galak.
"Enak aja!! Ngapain gue chat-an sama orang resek kayak dia?! Nih, gue lagi lihat grup ekskul gue. Katanya ekskul mading ikut membantu dalam persiapan pensi." Rere memperlihatkan layar ponselnya yang dipenuhi obrolan anak-anak mading.
Sebenarnya di sekolah mereka, ekstrakurikuler mading dan jurnalistik digabung, tetapi mereka menamai ekstrakurikuler mereka Ekstrakurikuler Mading. Itu karena jumlah peminat kedua ekstrakurikuler itu sedikit dan juga kedua ekstrakurikuler itu sama-sama berbau dengan tulisan, maka dari itu keduanya digabung.
"Ohh..."
Rere kembali sibuk dengan ponselnya, sesekali ia terlihat mengetik pesan. Seperti mengingat satu hal, Asia bertanya, "Ngomong-ngomong, Re, kelas kita menampilkan apa?"
"Band kalau nggak salah." Asia mengangguk paham mendengarnya.
Bu Nella masuk beberapa menit setelah bel berbunyi, membuat murid-murid XI MIPA 2 langsung kembali ke tempat duduk mereka.
"Selamat pagi, anak-anak," sapa Bu Nella dengan ramah—seperti biasa.
"Pagi, Bu!"
"Oke, mulai pagi ini hingga jumat depan sekolah akan melakukan persiapan untuk pensi. Ibu tadi malam sudah mendapat laporan apa yang akan dijual di bazar dan penampilan yang akan kelas kita tampilkan. Nah, untuk itu Ibu mau yang akan tampil sebagai perwakilan kelas mulai latihan pagi ini. Kalian mau menampilkan band, 'kan?" tanya Bu Nella.
"Iya, Bu," jawab Reno.
"Baik. Silahkan kalian tulis nama yang akan ikut dalam band-nya. Untuk yang OSIS dan ekskul yang akan tampil atau ambil bagian dalam pensi, tidak perlu ikut dalam penampilan kelas. Dan yang tidak ikut apa-apa nanti bisa bantu-bantu untuk bazar."
"Sekalian juga catat untuk yang jaga stand bazar, silahkan tunjuk 4 orang untuk setiap satu hari, jadi hanya ada 12 murid yang menjaga stand nantinya. Yang jaga stand boleh siapa saja yang jelas 4 orang, ya."
"Baik, Bu." Reno langsung mengambil selembar kertas dan mencatat. Beberapa murid laki-laki terlihat langsung mendatangi tempat duduk Reno, pastinya ingin menawarkan diri untuk tampil.
"Silahkan yang OSIS dan yang ekskulnya ambil bagian bisa pergi ke tempat urusannya masing-masing."
Asia langsung berdiri dengan beberapa murid termasuk Rere. Berjalan meninggalkan kelas, menuju tempat urusan masing-masing.
...***...
Asia dan semua anak Art Club sedang menggambar sketsa mereka pada kanvas di depan mereka. Ada beberapa yang kelihatan mulai memberikan warna dasar pada lukisannya. Kenriz—ketua ekskul—berkeliling melihat satu-satu pekerjaan anak-anak Art Club.
Asia mencoret-coret kanvas putihnya sesuai dengan sketsa yang sudah dikumpulkan pada Kenriz kemarin. Asia tidak berniat melukis sesuatu yang terlihat sangat menarik, ia hanya akan melukis seorang anak kecil perempuan yang sedang melihat langit gelap yang dilintasi bintang jatuh sendirian.
Semuanya fokus pada pekerjaan masing-masing. Hingga bel istirahat berbunyi, banyak yang berhenti melakukan aktivitas dan berjalan ke luar ruangan untuk istirahat.
Asia tidak berniat untuk pergi ke kantin dan memutuskan melanjutkan sketsanya. Ia sibuk menggambar rambut anak kecil perempuan itu, tanpa menyadari kakak sepupu sekaligus ketua ekskulnya itu sudah ada di belakangnya.
"Arti lukisan lo kali ini apa?" tanya Kenriz.
"Nggak ada. Cuma anak kecil yang melihat bintang jatuh yang nggak sengaja melintas di langit yang dia lihat dan menunggu awan yang menutupi bulan pergi, agar dia bisa melihat bulan dan cahayanya dengan jelas," jelas Asia. Ia melihat sebentar Kenriz saat menjawab, lalu lanjut lagi menggambar.
Ya, dia memang akan menambah bulan yang tertutup awan dengan cahayanya yang tidak terang pada gambarnya. Jadi, langit gelap itu hanya dihiasi oleh bulan tertutup awan dan bintang jatuh.
"Lo pikir gue bodoh?"
"Kalau lo bodoh, nggak mungkin lo bisa masuk kelas MIPA 1, Kak."
"Bukan itu maksud gue. Walaupun saat ini masih berbentuk sketsa, tapi gue tahu maksud dari lukisan lo kali ini, Asia."
Asia berhenti menggambar, mendongak menatap Kenriz. "Emang maksud lukisan gue apa?"
"Keadaan lo sekarang, 'kan?"
Asia diam, beberapa detik kemudian dia tertawa kecil. "Hahaha, Kakak ngaco. Nggak kok, ini cuma gambar biasa. Gue 'kan suka sama hal-hal yang berbau langit, jadi gue gambar langit, bintang, bulan dan awan. Untuk yang anak kecilnya itu cuma gue tambahin aja supaya nggak kosong. Lagi pula, gue dapat ide juga dari usulan Rere, nggak ada maksud apa-apa."
"Kita lihat saja nanti. Gue nggak pernah gagal baca arti lukisan lo." Setelah itu Kenriz pergi meninggalkannya, sendirian di ruang Art Club.
"Emang sejelas itu, ya?" tanya Asia pada dirinya sendiri.
...***...
Asia dan anak-anak Art Club menghabiskan sebagian besar waktu mereka di ruang ekskul. Kadang, beberapa ada yang keluar untuk mencari makanan atau minuman, atau hanya sekadar mencari angin. Seperti yang Asia lakukan saat ini, ia keluar dari ruang ekskul untuk mencari angin, ia suntuk jika terus berlama-lama di ruangan itu.
Ia berjalan-jalan di koridor seorang diri. Sekarang sudah masuk jam terakhir, artinya kebanyakan siswa-siswi SMA Global Mandiri berada di kelas masing-masing untuk mempersiapkan penampilan pensi kelas mereka atau di ruang ekskul. Hanya beberapa yang Asia lihat di luar gedung ekskul.
Jam pulang masih 15 menit lagi, daripada dirinya berada di ruang ekskul terus, dia lebih baik berjalan-jalan sebentar. Lagi pula, waktu pengumpulan karyanya masih beberapa hari lagi. Dia juga bisa melanjutkan karyanya di rumah kalau dia mau.
Angin sepoi-sepoi menerbangkan rambutnya yang hari ini ia kucir kuda agar tidak mengganggunya saat mengecat. Angin terus berembus bersamaan dengan rintihan seseorang.
Asia berhenti di koridor yang menghubungkan kantin dan perpustakaan. Dia kembali mendengar rintihan perempuan dari arah belakang perpustakaan. Karena penasaran, dia melangkah mendekat.
Ia berdiri tidak jauh dari gedung bagian belakang perpustakaan. Ia melihat 4 perempuan di bagian belakang berjejer dengan 1 orang lagi di depan yang sedang menginjak kaki seorang perempuan yang seragam dan rambutnya basah yang terduduk di rumput.
"Heh! Gue tadi suruh lo bawain gue dan anak-anak ekskul dance minum, bukannya nyuruh lo tebar pesona sama Devan! Lo nggak ngerti yang gue bilang tadi, hah?!" Perempuan dengan rambut yang diikat bawah itu berjongkok dan menarik rambut perempuan di depannya dengan kasar.
"Sa-sakit...," lirih perempuan itu pelan.
"Oh, sakit? Emang gue peduli? Lo itu udah miskin, nggak usah sok kecakepan jadi orang! Lo pikir Devan tertarik sama lo?"
"Gu-gue cuma minta maaf sama Kak Devan. Gue tadi nggak sengaja tabrak dia. Tolong lepas, Kak. Kepala gue sakit," ucapnya memohon.
"Gue nggak peduli!" Teman-temannya di belakangnya tertawa melihat perempuan di depan mereka memohon-mohon. Perempuan bernama Prisca Andini itu mengangkat tangannya, siap menampar perempuan di depannya, namun tangannya ditahan oleh Asia.
"Asia?"
"Lo ngapain bully adek kelas, Kak?" Asia menarik Prisca berdiri. Kakak kelasnya ini memang suka merundung adik kelas atau seangkatannya yang tidak disukainya. Tetapi, Prisca lebih sering merundung anak-anak beasiswa. Hanya karena orang tuanya salah satu donatur di SMA Global Mandiri, ia bertindak seenaknya.
"Itu bukan urusan lo. Mending lo pergi, ganggu aja lo," usir Prisca.
"Kak, kalau lo bully orang, sama aja lo mempermalukan orang tua lo. Percuma dong orang tua lo mahal-mahal sekolahin lo di sini, bahkan jadi salah satu donatur sekolah ini kalau kelakuan lo aja memalukan kayak gini," tutur Asia dengan senyum tipisnya.
"Cih, pengganggu. Urusan kita belum selesai. Cabut, guys." Prisca dan 4 temannya pergi dari belakang perpustakaan, meninggalkan Asia dan perempuan yang masih diam di belakangnya.
Asia berbalik dan berjongkok, mengecek kondisi teman kelasnya itu. "Aletta, lo nggak apa-apa?" tanya Asia khawatir.
Aletta menatapnya sebentar dan menjawab, "Gue nggak apa-apa." Aletta merintih pelan ketika merasa sakit di kaki kanannya.
"Mau gue antar ke UKS?"
"Nggak usah, makasih," tolak Aletta.
Bunyi ponsel dan getar pada saku rok Asia, membuatnya memutuskan untuk mengecek ponselnya itu. Asia mengangkat setelah melihat nama penelepon itu. "Halo, Re?"
"Lo di mana? Gue tadi ke ruang Art Club, kata Kenriz lo tadi keluar terus belum balik-balik sampai bel pulang bunyi."
"Gue di belakang perpustakaan. Lo ke sini aja."
"Oke." Rere memutuskan sambungan. Asia memasukkan ponselnya kembali ke saku roknya.
Beberapa menit kemudian Rere datang. "Oh, sekarang lo ganti profesi? Bully orang? Bukan lo banget sih," simpul Rere ketika melihat Asia yang berjongkok di depan Aletta dengan kondisi Aletta yang bisa dibilang kacau.
"Nggak lah! Gue bantu Aletta. Tadi dia dibully sama Prisca dan teman-temannya itu."
"Terus, ngapain lo suruh gue ke sini?"
"Bantu gue bawa Aletta ke UKS. Kaki dia sakit karena diinjak tadi, dia nggak bisa jalan."
Rere berdecak, tetapi tetap membantu membopong Aletta di sisi kiri. Mereka berjalan ke UKS.
Ketika masuk, mereka bertemu dengan perawat UKS. "Loh? Ini kenapa?" Perawat itu langsung mendatangi mereka dan bertanya.
"Tadi saya jatuh, Kak, jadinya keseleo," jawab Aletta dengan bohong. Asia dan Rere langsung menatapnya heran.
"Terus kenapa baju kamu basah gini?"
"Saya tadi jatuhnya waktu di toilet, Kak. Jadi, tidak sengaja mengenai ember yang penuh air."
"Astaga, ayo duduk di kasur dulu." Perawat itu menggiring mereka ke salah satu kasur. "Sebentar saya carikan obat untuk mengurut kaki kamu dulu."
Perawat itu langsung berjalan ke meja obat depan mereka. Pintu yang terbuka membuat aktivitas perawat itu menjadi terhenti. Membuatnya berjalan mengarah ke pintu UKS yang berada di balik dinding meja obat.
"Eh? Devan?"
Perawat Anna terkejut dengan kehadiran Devan yang sudah berdiri di samping pembatas dinding sebelum dirinya berjalan ke pintu UKS sembari memegang kotak P3K. Devan menatap bingung pada Asia, Rere, dan Aletta yang juga terkejut dengan kedatangannya.
"Bagaimana? Tidak ada yang terluka parah, 'kan?" tanya perawat Anna khawatir yang mengambil perhatian Devan.
"Tidak, Kak."
Tadi anak drama ada yang terluka karena bertengkar. Anak yang mendapat peran sampingan di drama yang akan mereka tampilkan tidak terima dengan peran yang dia dapatkan, dia mau berperan sebagai pemeran utama. Pembagian peran saja sudah dari rabu kemarin, tetapi baru mereka permasalahkan karena kebetulan pembina ekskul mereka sedang sakit, jadi mereka latihan sendiri dengan diawasi ketua ekskul mereka.
Latihan mereka awalnya berjalan dengan mulus, tetapi tiba-tiba saja perempuan pemeran sampingan itu tidak terima saat pemeran utama mulai memainkan perannya di atas panggung ruang ekskul drama. Perempuan itu mendorong perempuan pemeran utama ke belakang. Akhirnya, perempuan pemeran utama jatuh dan tangannya tidak sengaja terkena paku yang tidak terpasang dengan baik. Alhasil, telapak tangan kanannya tergores paku tersebut, untungnya lukanya tidak dalam dan tidak memerlukan jahitan.
Anak-anak ekskul drama bukannya membawa perempuan tersebut ke UKS untuk diobati, mereka malah bertengkar satu sama lain. Untungnya, ketua ekskul mereka keluar dan tidak sengaja bertemu dengan Devan—salah satu anak ekskul UKS—yang kebetulan sedang lewat saat itu, jadi dia meminta bantuan Devan untuk membawakan obat dari UKS karena dia masih harus menghentikan anggotanya yang sedang bertengkar.
"Syukurlah. Letakkan saja P3K-nya di meja." Setelah itu, perawat itu kembali mencari obat urut dalam lemari.
Bunyi ponsel di mejanya, membuat Perawat Anna memberikan obat dan handuk yang ada di meja yang sudah dia dapat ke Devan. "Kamu tolong urut kakinya, ya. Dia keseleo, habis jatuh. Dan ini handuk untuk menghangatkan badannya. Saya mau angkat telepon dulu." Perawat Anna langsung pergi keluar UKS, mengangkat telepon.
Devan berjalan, menarik kursi ke depan Aletta. "Tutup rok lo," perintah Devan dengan memberikan selimut yang ada di atas bantal kasur dan juga memberikan handuk agar Aletta tidak kedinginan sesuai dengan perintah perawat muda itu tadi.
"Yang keseleo yang mana?"
"Yang kanan, Kak."
Devan mengangkat kaki kanan Aletta yang sudah Aletta lepas sepatunya. Devan mengoleskan obat, lalu mengurutnya.
"Akh!" Aletta merintih kesakitan.
"Pelan-pelan dong, itu Aletta kesakitan," omel Rere melihat Aletta yang mencoba menahan sakit di kaki kanannya.
"Kalau pelan, mana bisa sembuh. Lo diam aja," jawab Devan tanpa melihat Rere yang sedari tadi tetap memperhatikan Aletta dan dirinya bersama dengan Asia.
Setelah Devan mengurut, dia menyuruh Aletta untuk mencoba jalan. "Coba lo jalan, masih sakit nggak?"
Aletta turun dari kasur dan mencoba jalan pelan. Kaki kanannya sudah tidak terasa sakit saat dia melangkah.
"Udah nggak, Kak. Terima kasih," ucap Aletta pada Devan yang membalasnya dengan anggukan.
Perawat Anna kembali ketika Devan menyimpan obat yang dia gunakan kembali ke lemari. "Bagaimana kaki kamu? Sudah sembuh?"
"Udah, Kak."
"Baguslah, sekarang kalian mau pulang?"
"Iya, Kak," jawab Asia dan Aletta kompak. Rere hanya mengangguk. Sedangkan Devan, dia hanya diam saja.
"Ya sudah, kalian hati-hati, ya."
"Iya, Kak," jawab mereka berempat kompak. Sebelum keluar, Aletta mengembalikan handuk yang dia gunakan tadi pada perawat Anna sambil mengucapkan terima kasih. Mereka berempat pamit, dan keluar dari UKS.
...***...
Asia dan Aletta berjalan beriringan lebih dulu di depan dengan Rere yang berjalan di belakang mereka. Sedangkan Devan, dia berjalan sekitar 1-2 meter di belakang dari mereka bertiga, sambil memperhatikan ponselnya.
Bel pulang sudah berbunyi sekitar 15 menit yang lalu. Sekolah sudah kosong oleh murid-murid. Hanya ada guru-guru di kantor, satpam dan petugas-petugas kebersihan yang masih ada di sekolah saat ini.
"Aletta, bareng kita aja. Nanti Rere yang antar, gimana?" ajak Asia.
"Eh?" Aletta terkejut dengan ajakan Asia. Dia menatap Asia yang ada di samping kirinya dengan raut wajah terkejut. Pasalnya, dia tidak pernah dekat dengan Asia di kelas. Dia dan Agni selalu menghindar dari Asia dan Rere jika mereka tidak sengaja bertemu.
Rere yang di belakang mereka hanya mengerutkan kening dengan satu alis terangkat mendengar ajakan Asia. Dia pernah melihat Asia seperti ingin mengajak Aletta dan Agni berbicara, tetapi mereka berdua langsung pergi begitu saja. Rere sudah menduga alasan si Double A itu selalu menghindar dari Asia dan juga dirinya.
Aletta dan Agni cukup terkenal di sekolah mereka. Walaupun mereka tidak masuk ke dalam MIPA 1, tetapi mereka tetap murid beasiswa yang pintar. Di kelas, Aletta menempati peringkat 1 dan Agni peringkat 2.
Murid beasiswa di SMA Global Mandiri memang cukup terkenal di sekolah. Mereka bukan terkenal karena disukai oleh cogan-cogan sekolah, tetapi karena mereka sering dirundung, entah itu di kantin, belakang sekolah, koridor, perpustakaan dan penjuru sekolah lainnya. Mereka sering dirundung di depan banyak orang, menjadi bahan perbincangan satu sekolah.
Pihak sekolah juga pernah mendapat laporan tentang bullying, tetapi karena yang membully itu anak-anak dengan orang tua yang berpengaruh di SMA Global Mandiri, mereka tidak memperpanjangnya.
Karena itu, menurut Rere, alasan Aletta dan Agni menghindari mereka adalah agar mereka tidak dirundung oleh orang-orang itu. Agar mereka tidak dianggap mendekati Asia dan Rere hanya untuk memanfaatkan harta Asia dan Rere.
Rere menghela napas berat dan menjawab, "'Kan gue mau ke rumah lo."
Asia berbalik menatap Rere. "Kita antar Aletta aja dulu, baru ke rumah gue. Kasihan dia harus nunggu angkot jam segini, sendiri lagi."
"Ya udah, terserah."
"Oke, kalau gitu ayo kita pulang sekarang. Kak Devan, kita duluan, ya." Asia langsung menarik Rere dan Aletta menuju mobil putih Rere di parkiran dekat mereka.
...***...
"Rumah lo di bagian mana, Aletta?" tanya Asia.
"Sampai depan gang itu aja. Nanti gue tinggal jalan masuk," jawab Aletta sambil menunjuk gang yang sudah kelihatan di depan mereka. Rere melajukan mobilnya hingga depan gang yang Aletta maksud dan memberhentikan mobilnya di sana.
"Terima kasih kalian udah mau antar gue pulang. Gue duluan, kalian hati-hati di jalan," pamit Aletta pada Asia dan Rere.
"Lo nggak mau diantar sampai depan rumah lo aja?" tanya Asia sambil membalikkan badannya ke kursi penumpang belakang.
"Nggak usah. Rumah gue dekat kok, itu yang cat biru muda."
"Ya udah kalau gitu."
"Sekali lagi terima kasih," ucap Aletta sambil meletakkan tasnya pada punggungnya. Asia tersenyum dan Rere hanya mengangguk kecil menanggapinya. Setelah itu, Aletta turun dan berjalan ke rumahnya.
Rere menatap gang dari balik kaca di kanannya. Gang itu tidak terlalu besar, hanya terdiri dari sekitar 10 rumah sederhana dengan 5 di sisi kiri dan sisanya di sisi kanan. Walaupun rumah-rumah yang ada di gang itu sederhana dan tidak mewah, tetapi halaman-halaman rumah yang dapat terjangkau mata Rere kelihatan asri dan bersih, begitu juga dengan halaman rumah yang Aletta masuki saat ini.
"Re," panggil Asia yang juga ikut memperhatikan Aletta.
"Hm?"
"Aletta terlalu baik. Dia nggak pernah mau membalas Prisca dan teman-temannya itu kalau dia dibully," kata Asia.
Rere tersenyum miring mendengar perkataan Asia. "Baik dan bodoh itu beda tipis, Asia. Aletta bisa aja membalas mereka, tapi yang dia lakukan hanya pasrah. Mau sampai kapan dia ditindas kayak gitu? Dia itu bodoh, membiarkan mereka menghancurkannya sesuka mereka, sedangkan dirinya hanya bisa diam, tidak melakukan apa-apa."
"Nggak gitu, Re. Pasti dia mikir dampak dari perbuatannya jika dia membalas mereka. Lo tahu Prisca anak salah satu donatur sekolah, pastinya dia gunakan kekuasaan orang tuanya itu nanti."
"Tapi, kalau dia diam terus itu hanya akan membuat mereka semakin menindasnya seenaknya karena Aletta tidak melawan."
"Nggak segampang itu, Rere sayang. Nggak semua orang berani melawan jika diganggu kayak lo," ucap Asia. Rere hanya diam mendengarkan. "Gue harus berteman sama Aletta dan Agni. Menurut gue, mereka sama-sama orang baik dan kelihatannya mereka kalau berteman sama gue mereka pasti tulus kayak lo," lanjut Asia.
"Terserah lo, Asia." Setelah melihat Aletta masuk ke rumah bercat biru muda itu, Rere baru melajukan kembali mobil kesayangannya ke rumah Asia.
Asia dan Rere masuk ke dalam rumah setelah Rere memarkirkan mobilnya. Mereka masuk dan disambut oleh Bi Lina, "Siang, Non Asia. Eh, Non Rere juga datang, ya. Mari ke ruang makan, makan siangnya sudah siap dari tadi." Asia tersenyum, sedangkan Rere mengangguk kecil. Mereka meletakkan tas di sofa ruang televisi dan berjalan ke ruang makan menyusul Bi Lina.
Mereka makan bersama Bi Lina dan Bi Eva. Mereka berbincang-bincang kecil tentang Asia dan Rere yang akan melanjutkan pendidikan mereka ke perguruan tinggi di mana.
"Kalau saya sih, palingan di kampus yang sama dengan Kakak saya, Bi," jawab Rere atas pertanyaan Bi Eva setelah menyelesaikan kunyahannya.
"Kakak Non Rere kuliah di mana?" tanya Bi Lina.
"Kakak saya kuliah di kampus favorit di kota ini, Bi. Itu juga kemauan orang tua saya, katanya agar saya bisa diawasi Kakak saya nantinya," jelas Rere. Mamanya dan Papa Rakha mau dia satu kampus dengan Rakha agar Rakha bisa mengawasinya nanti, karena Rakha juga baru semester 3 saat ini, jadi mereka bisa bertemu nanti saat kuliah.
"Ohh begitu. Kalau Non Asia?" tanya Bi Eva.
"Saya mau di kampus yang sama dengan Rere aja, Bi," jawab Asia. Bi Eva dan Bi Lina mengangguk-angguk kecil. Mereka melanjutkan makan dengan tetap sesekali berbincang-bincang.
Mereka berdua naik ke kamar Asia setelah membantu Bi Eva dan Bi Lina mencuci piring. Asia duduk di meja belajarnya dan bermain ponselnya. Sedangkan Rere, dia merebahkan dirinya di kasur Asia sambil memejamkan mata dengan lengan kanannya yang berada di atas kedua matanya.
"Aletta dibully karena apa? Karena kedapatan bicara sama lo?" tanya Rere penasaran. Sedari tadi, dia sudah sangat penasaran, tetapi dia berusaha untuk tahan.
Asia yang saat ini beralih mencoret-coret sketchbook barunya, menolehkan kepala menatap Rere yang tidak menatapnya sama sekali. Perempuan bersurai sepinggang itu tetap pada posisinya di tempat tidur, tidak berubah sedari tadi.
"Gue dengar, dia dianggap tebar pesona sama Kak Devan. Katanya Prisca dan teman-teman ekskul dancenya itu meminta Aletta untuk membawakan mereka minum, tapi bukannya membawakan mereka minum, Aletta bicara dengan Kak Devan di koridor. Terus ketahuan sama mereka."
"Lo sendiri tahu, Prisca udah ngejar Kak Devan sejak mereka kelas satu menurut cerita yang beredar. Jadi, jelas Prisca pasti bully orang-orang yang berusaha mendekati Kak Devan. Apalagi, Aletta itu anak beasiswa, dan kita semua tahu Prisca itu nggak suka sama anak beasiswa, karena mereka miskin, nggak selevel dengan dia yang anak salah satu donatur sekolah," jelas Asia yang membuat Rere bangun dari posisinya. Rere duduk dan menatap Asia.
"Lo serius?"
"Iyalah. Gue dengar sendiri tadi, tapi kata Aletta dia nggak sengaja menabrak Kak Devan terus dia mau minta maaf doang. Ketahuan sama mereka, terus dibawa ke belakang perpus dan dibully di sana," lanjut Asia.
"Oh," balas Rere singkat dengan raut muka datar. Dia kemudian kembali membaringkan badannya dan menutup mata.
Asia tersenyum jahil dan berkata," Kenapa muka lo datar gitu? Lo cemburu karena Kak Devan tadi urut kakinya Aletta?"
"Ngapain gue cemburu? Lagian, Aletta dibully penyebabnya dia juga, jadi wajar aja kalau dia urut Aletta tadi, walaupun dia pasti nggak tahu alasan Aletta keseleo dan basah kek tadi. Dan muka gue emang sering datar kali, lo nggak usah sok ejek-ejek gue, deh." Rere menjawab dengan tetap berbaring.
"Hahaha, iya deh. Tapi, Re, gue cuma mau ingetin sama lo soal Prisca. Dia jelas benci sama lo, karena lo lumayan dekat dengan Kak Devan, kalau lo dan Kak Devan ketemu pasti debat mulu kerjanya. Jadi, lo hati-hati sama tuh cewek," ucap Asia memperingati Rere.
"Lo tenang aja, gue bisa jaga diri baik-baik. Apalagi untuk cewek manja kayak dia, yang bisanya memanfaatkan uang orang tuanya untuk berkuasa di sekolah," jawab Rere yang tidak terdengar kata khawatir.
"Iya gue tahu, tapi lo harus tetap hati-hati. Lo bisa cerita sama gue kalau lo diganggu, gue siap bantu kok nanti."
"Iya, iya," balas Rere dengan malas.
Asia menghela napas pelan. Perempuan yang berstatus sahabatnya itu pasti selalu bilang dia bisa jaga diri kalau dia memperingatkan hal itu. Dia selalu kelihatan tidak peduli dengan peringatannya itu. Ini bukan pertama kalinya Asia memperingatkan Rere, karena kakak kelas perundung itu sudah menunjukkan tanda-tanda tidak suka pada Rere sejak Rere berbicara pada Devan pertama kali.
"Ngomong-ngomong, lo kok nggak sebut Prisca dengan embel-embel Kak?" tanya Rere sambil menatap Asia.
Asia mengangkat bahu, memutar kursinya kembali menghadap meja belajarnya. "Gue malas aja sebenarnya manggil dia Kak. Gue manggil dia Kak karena dia Kakak Kelas. Kalau di sekolah dan dia ada, gue akan memanggil dia Kak. Tapi, kalau dia nggak ada, gue nggak mau panggil dia Kak," jelas Asia. Dia sibuk mencoret-coret kembali sketchbook-nya itu.
"Oh gitu," jawab Rere. Mengingat satu hal, Rere berkata, "Eh, gue baru ingat. Tadi di ruang mading Prisca dan teman-temannya itu muncul di pintu terus panggil Aletta. Ternyata untuk disuruh beli minuman? Gue penasaran, orang tuanya nggak malu gitu sama kelakuan anaknya yang kayak gitu?" tanya Rere.
Rere memperhatikan langit-langit kamar Asia yang dipenuhi lipatan origami berbentuk burung bangau. Dia pernah bertanya pada Asia jumlah semua lipatan itu, karena lipatan itu sangat banyak. Asia bilang ada 999 lipatan dan dia juga bilang dia tidak berniat menambah 1 lipatan lagi untuk genap 1000.
"Entahlah, Re. Kalau gue jadi orang tuanya yah, pasti malu. Bukannya belajar dengan baik, kerjanya di sekolah malah membully. Setelah ghe pikir-pikir lagi, semester depan kelas 12 sudah fokus pada ujian, pasti dia udah sibuk belajar bukannya sibuk bully murid beasiswa dan orang yang nggak dia sukai. Malas juga lama-lama lihat dia bully orang tiap hari," jawab Asia.
"Gue juga malas. Bisanya menindas orang seenaknya."
"Oh iya, Re. Gue mau tanya sama lo sesuatu. Terserah sih lo mau jawab atau nggak," ucap Asia. Dia berbalik dan menatap Rere.
"Apa?"
"Lo udah mulai terima keluarga tiri lo itu?"
Rere masih berbaring, ia mengalihkan perhatiannya dari Asia, dia kembali menatap lipatan burung bangau. "Mungkin, gue nggak yakin juga."
"Kalau lo belum terima mereka, nggak mungkin 'kan lo mau-mau aja kuliah di kampus yang sama dengan Kak Rakha?" tanya Asia yang membuat Rere terdiam.
Rere memang mulai menerima keluarga tirinya itu. Mereka semua baik, papa tirinya, walaupun cukup sibuk, tetapi dia kelihatan sayang padanya. Raiya walaupun masih kecil, tetapi dia terlihat baik pada Rere. Wajar saja mamanya perhatian pada Raiya, karena adik tirinya itu masih kecil. Dan Rakha, walaupun Rere sering bersikap buruk padanya, tetapi dia tetap menganggap Rere adiknya dan tetap mau menjaganya.
"Gue mau mencoba menerima mereka. Nggak ada salahnya mencoba menerima keadaan gue sekarang. Karena itu, gue mau menuruti permintaan mereka yang mau gue satu kampus dengan Rakha," jawab Rere.
Asia tersenyum mendengar jawaban Rere. Awal-awal dekat dengan Rere, dia tahu orang tuanya sudah bercerai saat dia masih SD kelas 6. Rere pernah mengajak Asia bermain ke rumahnya, dan Asia bertemu dengan mama kandung Rere yang sedang bersama Raiya. Rere tidak menyapa mereka dan mengajak Asia ke kamarnya. Asia tetap menyapa Mama Rere yang teriak memanggil Rere yang menyelonong begitu saja.
Asia bertanya pada Rere saat itu. Kata Rere, dia belum bisa menerima orang tuanya yang bercerai, dan mamanya yang menikah lagi. Tetapi, melihat Rere yang mulai menerima keadaannya saat ini membuat Asia tersenyum.
"Baguslah kalau lo mulai menerima mereka. Gue yakin kok, lo bisa bahagia dengan mereka," ucap Asia dengan senyum manisnya yang tidak luntur. Asia bahagia Rere mulai bisa menerima keadaannya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!