Langit Jakarta tampak mendung pagi itu, seperti mencerminkan kegelisahan hati Febi. Bus TransJakarta yang ia tumpangi bergoyang pelan, membawa dia menembus jalanan kota yang sibuk. Jemarinya menggenggam erat tali tas selempangnya, tas yang sudah mulai kusam tapi tetap ia pakai dengan bangga. Itu hadiah dari ayahnya dua tahun lalu, hasil lembur selama seminggu penuh.
Febi menatap keluar jendela bus, mencoba menenangkan dirinya. Pertama kalinya dia bekerja di perusahaan besar. Setelah bertahun-tahun berjuang untuk masuk ke dunia yang lebih baik, hari ini adalah langkah pertama menuju impian yang terasa begitu jauh, yang akhirnya kini nyata. Namun meski begitu, rasa takut dan khawatir masih terus menggelayuti.
"Febi, kamu pasti bisa," gumamnya pelan, berusaha meyakinkan diri.
Saat bus berhenti di depan gedung perkantoran tinggi yang berkilauan, Febi merasakan napasnya semakin cepat. Ia turun dengan langkah pelan, melangkah menuju gedung yang menjulang tinggi. Saat ia masuk ke dalam gedung, keraguan sempat melanda. Bagaimana kalau dia tidak bisa beradaptasi? Bagaimana jika pekerjaannya terlalu sulit? Semua pertanyaan itu muncul dalam benaknya, namun akhirnya ia berhasil menenangkan diri.
Di lobi gedung, seorang petugas resepsionis dengan ramah menyambutnya, "Selamat pagi, Mbak Febi. Silakan ke lantai tujuh, Bu Yuni menunggu di sana."
Febi mengangguk dan melangkah menuju lift, merasakan jantungnya berdegup kencang. Ia menekan tombol lift dengan jari gemetar, berharap ini adalah awal yang baik.
Di lantai tujuh, Bu Yuni, kepala divisi pemasaran, menyambutnya dengan senyuman hangat dan pelukan ringan. "Selamat datang, Febi. Semoga kamu betah di sini."
Hari pertama bekerja di PT Fortune terasa lebih mudah daripada yang dibayangkan. Rekan-rekan kerja di sekitarnya menyambutnya dengan ramah. Di sebelahnya, ada Wina, gadis berhijab yang humoris dan selalu bisa membuat Febi tersenyum. Pak Eko, rekan kerja yang lebih senior, juga tak kalah menghibur dengan candaan-candaannya yang membuat suasana menjadi lebih cair.
Namun, kerja keras pun tak lepas dari hari pertama Febi. Mulai dari mengenal sistem perusahaan hingga beradaptasi dengan rutinitas yang baru. Ia merasa tubuhnya lelah, tapi hati kecilnya merasa bangga karena akhirnya ia bisa bekerja di tempat ini, di tengah orang-orang yang tampak begitu profesional dan berkompeten.
Saat jam pulang tiba, Febi melangkah keluar dari gedung dengan langkah lesu, namun tiba-tiba matanya bertemu dengan sepasang mata tajam dari balik jendela besar ruang kantor. Itu adalah Arkan Putra Utomo, CEO muda yang dikenal tegas dan perfeksionis. Mereka hanya bertemu pandang sekilas, namun rasanya seperti ada yang berbeda dengan gadis itu. Febi menunduk dan tersenyum tipis, dan seketika Arkan merasakan ada sesuatu yang menarik dari gadis ini. Sesuatu yang berbeda dari perempuan-perempuan lainnya.
"Menarik." gumam Arkan pelan, meski segera ia kembali fokus pada pekerjaannya.
***
Sesampainya di rumah, Febi disambut dengan keributan khas adiknya, Vania. Suaranya yang cempreng terdengar jelas dari depan pintu, menyambut kakaknya dengan segudang pertanyaan.
"Kak Febi! Gimana hari pertama di kantor? Ada cowok ganteng nggak? Ada yang galak nggak, Kak?" Vania langsung menyerbu Febi begitu pintu terbuka.
Febi tertawa kecil. "Ada banyak hal baru, dek. Tapi aku capek, bisa nggak ya nanti aku cerita?" jawabnya sambil melepas sepatu.
Namun, Vania tak bisa diam begitu saja. "Aku harus tau semua, Kak! Kantor kamu punya bakso enak nggak? Terus, gimana sih bos kamu? Tampan nggak? Galak nggak?" tanya Vania tanpa henti, sambil melompat-lompat penuh semangat.
Febi hanya menggelengkan kepala. "Nanti deh, dek. Aku harus istirahat."
Di ruang tamu, ibu mereka juga turut bergabung, menegur Vania yang terus mengganggu kakaknya. "Vania, kasih waktu istirahat buat kakakmu. Dia capek, biarin dia tenang dulu."
Ayah Febi yang baru pulang dari kerja juga masuk, wajahnya lelah, namun di balik itu ada senyum tipis. "Aku nggak ngerti kenapa kamu semangat banget, Vania. Sore-sore gini udah kayak jadi pembawa acara!"
Vania tertawa lebar. "Ya, biar Kak Febi juga senang! Kita semua harus senang karena hari pertama dia di kantor!"
Setelah makan malam, Febi duduk di kamar, berusaha menghubungi Roni, tunangannya. Namun, teleponnya tak kunjung dijawab. Febi merasa khawatir. Tidak biasanya Roni seharian tanpa memberi kabar. Rasa cemas semakin melanda.
Vania yang melihat wajah kakaknya cemas bertanya, "Kak, kenapa? Ada masalah?"
Febi menghela napas panjang dan menceritakan kekhawatirannya tentang Roni yang tidak mengangkat telepon. "Hmm….Roni seharian nggak ada kabar. Aku nggak ngerti, deh. Biasanya dia selalu ngabarin."
Namun, Vania hanya tertawa. "Mungkin kak Roni lagi sibuk, Kak. Atau dia sedang meeting sama teman atau kliennya. Jangan khawatir gitu dong!"
Febi tersenyum kecil, meskipun sedikit cemas. Namun Vania tak berhenti bicara. "Jujur yah kak, Aku sih nggak suka sama Kak Roni. Aku nggak suka cara dia memperlakukan kamu, Kak. Apalagi sama ibunya. Itu aja udah bikin aku ga srek."
***
Di tempat lain, Roni duduk di sebuah klub malam bersama Raisa, wanita yang sudah sejak lama menaruh hati padanya. Mereka berbicara sambil menikmati minuman keras, suasana intim di antara mereka jelas terasa. Raisa dengan cemas menatap Roni yang tampak termenung.
"Roni, kamu harus segera mutusin pertunanganmu dengan Febi. Jangan cuma diam aja. Aku nggak mau jadi pilihan kedua, tahu!" ujar Raisa dengan nada cemas namun penuh tuntutan.
Roni menunduk, matanya kosong. Ia merasa berat hati untuk melepas Febi, meskipun hubungan mereka sudah mulai membosankan. Namun di sisi lain, Raisa terus mendesaknya.
"Roni, kamu harus bisa memilih. Febi itu nggak ada apa-apanya dibanding aku!" tegas Raisa, sambil menatap Roni dengan penuh harapan.
Roni tak bisa menjawab. Dalam hatinya, masih ada cinta untuk Febi, namun rasa bersalah semakin menghimpit dirinya.
***
Febi terbaring di tempat tidur, namun matanya sulit terpejam. Pikirannya dipenuhi dengan berbagai pertanyaan tentang Roni. Mengapa dia tidak mengangkat telepon? Mengapa hari ini sangat berbeda? Biasanya, meskipun sibuk, Roni selalu menyempatkan diri untuk memberi kabar. Terkadang Febi merasa bahwa hubungan mereka sudah mulai terasa sedikit kaku. Apakah ini hanya perasaan cemas yang berlebihan? Ataukah ada sesuatu yang sedang dia sembunyikan?
Sambil merenung, Febi meraih ponselnya sekali lagi, berharap ada pesan atau panggilan dari Roni yang muncul di layar. Tapi nihil. Hanya deretan notifikasi kerja dan beberapa pesan masuk dari teman-teman kantornya yang mengucapkan selamat datang.
Di sisi lain, Vania yang tak kunjung tidur, mendekat ke kamar Febi. "Kak, kamu masih nggak tidur?" tanyanya pelan, namun tetap bisa terdengar jelas. "Kakak masih khawatir? hmmm percaya deh, Kak Roni pasti cuma sibuk aja. Jangan terlalu dipikirin."
Febi tersenyum lelah mendengar perkataan adiknya. "Iya, dek, terima kasih. Tapi kadang aku merasa... ada yang beda. Sepertinya Roni mulai jauh deh dari kakak.."
Vania mengangguk, menyadari bahwa kakaknya memang tak mudah melepaskan kekhawatirannya. "Ya udah, tidur yang nyenyak, Kak. Besok kan hari baru. Mungkin Roni juga cuma butuh waktu sendiri. Nanti dia juga bakal ngabarin kakak."
Febi hanya mengangguk pelan. Ia mematikan lampu dan menarik selimut, berusaha menenangkan diri. Walau pikirannya masih kacau, ia tahu bahwa hari esok pasti akan membawa jawaban.
(To be continued...)
Hari kedua Febi bekerja berjalan nyaris sama seperti kemarin. Ruang kantor ramai dengan kesibukan, tumpukan dokumen yang menanti, dan suara keyboard yang tak henti-hentinya berdetak. Febi berusaha tetap fokus, menyelesaikan tugas-tugas kecil yang diberikan, dan perlahan mulai terbiasa dengan ritme pekerjaan.
Pak Eko beberapa kali melempar candaan, terutama karena Febi yang masih terlalu banyak diam.
“Wah, Febi ini pasti agen rahasia ya. Datang, kerja, pulang. Tanpa suara. Hehehe!”
Febi hanya membalas dengan senyum tipis. Masih terasa kaku, tapi ia tak bermaksud dingin. Ia hanya belum sepenuhnya nyaman.
Waktu berjalan cepat. Tanpa terasa, langit sudah mulai menggelap. Febi keluar dari kantor dengan langkah tenang dan menuju halte bus seperti biasanya. Ia berdiri di sana, menatap layar ponsel. Berkali-kali. Membuka aplikasi pesan, lalu menutupnya. Tidak ada kabar dari Roni. Lagi.
“Kenapa, Ron...? Kamu betah banget nggak kasih kabar ke aku” gumamnya lirih.
Mobil putih berhenti tak jauh darinya. Terdengar suara akrab memanggil,
“Febi! Mau nebeng nggak? Kita searah kan?”
Itu Wina.
Awalnya Febi menolak halus, “Nggak usah, Win. Aku naik bus aja.”
Tapi Wina, dengan gaya cerewet dan ekspresi bersahabatnya, terus membujuk.
“Ayolah! Masa baru hari kedua udah jadi karyawan teladan yang suka nyiksa diri? Naik aja. Nggak usah bayar kok.”
Akhirnya Febi menyerah dan duduk di kursi penumpang mobil Wina. Selama perjalanan, Wina banyak bercerita. Tentang drama kantor, tentang mantan pacarnya yang nikah sama sepupunya sendiri, sampai tentang makanan kesukaannya yang aneh, sambel rujak dicampur ke dalam mie goreng.
Febi tertawa kecil menanggapinya, ia mulai merasa nyaman.
Namun tawa itu lenyap saat mereka berhenti di lampu merah. Dari kaca mobil, Febi melihat sebuah mobil hitam di jalur sebelah. Ada sosok yang duduk di kursi pengemudi dan hatinya langsung mencelos.
Roni.
Ia yakin itu Roni, meski wajahnya hanya terlihat sekilas. Tapi yang membuatnya lebih sesak adalah sosok perempuan di samping Roni. Mereka tampak... terlalu dekat. Bahkan, sepertinya bibir mereka saling menempel sesaat sebelum Roni menyadari lampu hijau menyala.
Febi terdiam. Matanya membelalak. Wina yang menyadari perubahan ekspresi Febi langsung melirik ke arah yang sama.
“Kenal?” tanya Wina pelan.
Febi mengangguk, tenggorokannya tercekat.
“Itu... kayaknya Roni. Tunanganku.”
Wina langsung menepuk setir mobil.
“Ya ampun, yang bener?! Kok dia... Gila! Di mobil pula? Sama siapa tuh cewek?!”
“Kayaknya Raisa...” suara Febi gemetar. “Sahabatku.”
Wina melotot. “Wah, ini sih plot twist-nya keterlaluan!”
Dengan cepat, Wina membelokkan mobilnya dan mengikuti arah mobil Roni. Mereka melaju dalam keheningan yang penuh ketegangan.
Mobil Roni berhenti di sebuah hotel. Febi menunduk, hatinya bergetar hebat. Wina makin kesal.
“Mereka mau... Aduh, ini beneran ya, Feb? Kamu masih mau mikir positif?”
Febi tak bisa menjawab.
Mereka memarkirkan mobil agak jauh, lalu diam-diam mengikuti Roni dan Raisa masuk ke dalam hotel. Sampai di lantai lima, mereka melihat keduanya masuk ke kamar nomor 308. Wina berdiri mematung, matanya tak bisa lepas dari pintu kamar itu.
“Feb... mereka masuk. Kamu masih yakin dia tunangan kamu?”
Febi mengangguk lemah.
Wina mendengus. “Greget banget! Aku yang bukan siapa-siapa aja pengen jambak tuh cewek!”
Tanpa menunggu keputusan Febi, Wina melangkah cepat dan mengetuk pintu kamar itu dengan keras. Tok tok tok! Tok tok tok!
Beberapa detik kemudian, pintu terbuka.
Roni muncul, hanya mengenakan boxer dan wajah kesal.
Matanya membelalak begitu melihat Febi berdiri di depan pintu bersama seorang perempuan yang tidak dikenalnya.
“F-Febi...”
“Roni,” suara Febi pelan namun bergetar hebat. Matanya menatap pria yang selama ini ia percaya, dengan air mata menggenang. “Apa... yang kamu lakukan?”
Raisa muncul dari dalam kamar, hanya mengenakan tanktop dan celana pendek, dengan bekas ciuman dan cupang di lehernya. Ia menyeringai sinis.
“Ups….Fe…Febi?”
PLAK!
Febi menampar Roni sekeras-kerasnya. Tangannya gemetar, wajahnya penuh luka dan amarah.
“Dasar pengkhianat! Brengsek. Dan kamu, Raisa... tega-teganya kamu nusuk aku dari belakang. Padahal kita sahabat tapi kamu malah sekamar dengan tunanganku. Aku nggak akan pernah maafin kamu!”
Wina juga ikut menyumpah.
“Astaga! Pantesan wajah lo dua-duanya cocok, sama-sama murahan!”
Roni hanya bisa terdiam. Raisa tertawa kecil, tanpa rasa bersalah.
Febi tak sanggup lagi menatap keduanya. Ia berlari keluar, masuk lift hotel dengan air mata yang tak bisa dibendung. Wina mengikuti di belakang, mengumpat panjang lebar.
Namun, di lobby hotel, nasib mempertemukannya kembali pada sosok yang tak terduga.
Brak!
Tubuh Febi bertabrakan dengan seseorang. Ia nyaris terjatuh, namun tangan lelaki itu sigap menangkap lengannya. Saat Febi mendongak, wajahnya berhadapan dengan...
Arkan.
CEO tempatnya bekerja.
Wajahnya tampak terkejut dan bingung melihat pegawainya berada di tempat seperti ini, dalam keadaan menangis, matanya merah, napas tersengal.
“Febi?” suara Arkan berat dan pelan.
Wina segera menghampiri dan menarik Febi pergi.
“Maaf, Pak. Salah tempat, salah waktu. Kami pergi dulu.”
Arkan menatap punggung Febi yang menjauh dengan alis mengerut. Ada luka dalam mata gadis itu. Luka yang tampaknya... tidak sederhana.
Dan sejak malam itu, nama Febi benar-benar menempel di ingatan Arkan. Bukan hanya sebagai staf baru.
Wina menarik Febi keluar dari hotel dengan langkah cepat. Sesekali menoleh ke belakang, memastikan Roni atau Raisa tidak mengejar. Tapi yang mereka tinggalkan hanya dua manusia tak tahu malu yang tetap berdiri di ambang pintu dengan wajah datar.
Angin malam terasa lebih dingin dari biasanya. Febi terduduk di bangku taman depan hotel. Tangannya gemetar, wajahnya pucat, dan air matanya mengalir terus-menerus tanpa suara. Ia menggenggam ponsel erat-erat, seperti berusaha menahan agar hatinya tidak hancur sepenuhnya.
Wina duduk di sampingnya. Meski cerewet, kali ini ia memilih diam, memberi ruang bagi Febi untuk meluapkan semua rasa.
“Kenapa harus mereka, Win...” bisik Febi pelan. “Orang yang paling aku percaya. Sahabatku... tunanganku...”
Wina menghela napas panjang.
“Aku nggak tahu harus bilang apa, Feb. Tapi satu hal yang pasti, kamu nggak salah. Yang salah itu mereka. Mereka yang menghancurkan kepercayaan kamu.”
Febi mengangguk pelan, matanya kosong.
Di dalam mobil, dalam perjalanan pulang, Febi hanya diam menatap ke luar jendela. Lampu-lampu kota berkelebat, tapi semuanya terasa gelap. Di dalam hatinya, badai telah datang. Dan ia tahu, hidupnya tidak akan lagi sama mulai malam ini.
Sesampainya di rumah, Febi langsung masuk ke kamar tanpa berkata sepatah kata pun. Vania yang melihat wajah kakaknya begitu kusut hendak menyusul, tapi Wina mencegahnya dan hanya menggeleng pelan.
“Biarin dia sendiri dulu,” bisiknya. Vania hanya mengangguk walau hatinya ikut gelisah.
“Kakak ini teman kantornya Kak Febi?”
“Iya…kenalin aku Wina.”
“Vania. Adik Kak Febi paling cantik.”
Wina membalas dengan tawa.
“Btw Kak, Kakak aku kenapa? Kok mukanya kusut kek belum di setrika gitu?”
“Kakak kamu baru aja mergokin tunangannya lagi ena-ena di hotel.”
“WHAAAAATTTTTTTTT???”
“Adduh cempreng….telinga aku sakit tau nggak….”
“Adduh Kak…gimana ceritanya…..”
Akhirnya Wina menceritakan dengan detail perselingkuhan Roni dan Raisa. Vania sungguh geram dan sakit hati dibuatnya. Pertemuan pertama Vania dan Wina malah menambah keakraban mereka.
Sementara itu di lobi hotel, Arkan masih berdiri di tempat yang sama. Matanya mengarah ke pintu keluar, ke arah Febi dan temannya menghilang. Wajah gadis itu, yang berlinang air mata, terus terbayang di benaknya. Ada sesuatu yang menusuk dadanya bukan karena kasihan saja, tapi karena tatapan Febi saat itu seolah menyimpan luka yang dalam. Luka yang entah mengapa, membuatnya merasa ikut peduli.
Arkan menatap ke atas langit yang mendung, sama seperti pagi tadi. Entah kenapa, perasaannya mendadak tak tenang.
Malam itu, di kamar hotel bernomor 308, Raisa masih terbaring di tempat tidur dengan wajah puas. Ia memainkan rambutnya sambil menatap Roni yang duduk di tepi ranjang, memandangi layar ponselnya yang kosong dari pesan masuk.
“Kamu masih mikirin Febi?” suara Raisa terdengar malas.
Ronimendesah. “Aku nggak nyangka kita ketahuan Sa.”
Raisatertawa kecil, tanpa rasa bersalah. “Yah, cepat atau lambat, dia pasti tahu juga. Lagian kamu yang selalu bilang dia membosankan, terlalu polos, nggak nyambung sama kamu.”
Ronimenoleh dengan wajah tak pasti. “Tapi... mau bagaimana pun dia tunanganku.”
Raisamengangkat bahu. “Ck bukan urusan aku. Kamu yang bikin pilihan.” Ia lalu merebahkan diri kembali. “Kalo kamu nyesel, itu juga bukan salah aku.”
Ronimenatap langit-langit kamar. Hatinya kacau. Antara rasa bersalah, takut kehilangan, dan kebodohan yang baru saja ia lakukan. Tapi segalanya sudah terlambat.
**
Pagi harinya, rumah Febi dipenuhi keheningan yang berat. Febi duduk di ruang tamu bersama kedua orang tuanya. Wajahnya masih sembab, namun tekadnya bulat. Dengan suara lirih tapi mantap, ia menceritakan kejadian semalam, tentang Roni, tentang Raisa dan pengkhianatan yang ia saksikan sendiri.
Ayah Febi terdiam lama, rahangnya mengeras. Ibu Febi menangis pelan sambil memegangi dada. Vania berdiri, matanya memerah, marah membara.
“Astaga, Kak... Astaga! Mereka berdua, ya Allah, tega banget!” Vania memekik. “Roni brengsek! Raisa juga! Aku sumpahin hidup mereka nggak bakal tenang! Biar karma cepet dateng!”
“Vania!” Ayah Febi menegur, tapi suaranya serak.
“Biarin, Yah! Aku nggak tahan! Kak Febi diperlakukan kayak gini?! Mereka main belakang di hotel?! Sahabat dan tunangan sendiri?! HINA!”
Ibu Febi hanya bisa menangis dan menggenggam tangan putrinya. “Nak, kamu kuat? Ibu nggak tahu harus gimana, tapi kamu nggak sendirian...Kami ada disini untuk kamu”
Febimengangguk perlahan. “Aku udah mutusin, Bu. Aku nggak mau lanjut lagi sama dia. Cukup sampai di sini.”
**
Di kantor PT FORTUNE, Febi duduk termenung di depan komputernya. Air matanya sudah kering, tapi rasa sesaknya masih tinggal. Wina mendekat sambil membawa dua gelas kopi.
“Hey,” sapanya lembut. “Ini, kopi spesial buat penyintas patah hati.”
Febitersenyum lemah. “Thanks, Win.”
Di kantin pun, saat jam makan siang, Febi hanya mengaduk makanannya tanpa selera. Wina terus berusaha mengajak ngobrol, melempar lelucon tapi Febi hanya membalas seadanya.
“Kalau kamu terus kayak gini, aku bisa-bisa ngerasa gagal jadi teman kantor paling gokil, lho,” goda Wina.
Febitertawa kecil, tapi matanya tetap murung.
Saat kembali bekerja, langkah Febi yang melamun tak sengaja menabrak seseorang di lorong. Benda di tangan orang itu hampir terjatuh.
“Maaf, maaf...” Febi buru-buru menunduk.
“Jalan hati-hati, jangan melamun” tegur suara berat itu.
Febimenatap ke atas dan langsung mengenali pria yang ia tabrak. Arkan. CEO tempatnya bekerja. Lagi.
“Sa-saya minta maaf, Pak.”
Arkanmengangguk singkat, tapi matanya menatap Febi lekat-lekat. “Kamu baik-baik saja?” tanyanya, meski nadanya tetap tenang.
Febiterdiam. “Saya... akan baik-baik saja.”
Arkanmenatapnya sebentar sebelum kembali berjalan. Tapi ia tahu, ekspresi itu, mata Febi yang berkabut luka masih sama seperti semalam.
**
Malam harinya, rumah Febi kembali diterpa badai.
Ronidatang.
Vaniayang membuka pintu langsung membelalak. “KAMU?! MASIH PUNYA MUKA DATANG KE SINI?!”
“Vania, tolong... Aku cuma mau bicara sama Febi.” ujar Roni pelan.
“BICARA? Setelah kamu tidur sama si Raisa di hotel?! KAMU GA TAU MALU YA?!” Vania hampir mendorong Roni keluar dari halaman rumah.
Keributan itu menarik perhatian ayah dan ibu Febi.
“Ada apa ini ribut-ribut?” tanya ayahnya dengan nada tegas.
Ronimenunduk. “Om, Tante... saya minta maaf. Saya mau bicara sama Febi. Tolong beri saya kesempatan.”
Ayah Febi mendesah berat. “Tunggu di luar. Biar Febi yang tentukan.”
Beberapa menit kemudian, Febi keluar. Ia berdiri di hadapan Roni, matanya sudah tak seteduh dulu, sekarang hanya tersisa dingin dan kecewa.
“Aku cuma mau minta maaf, Feb,” Roni berkata lirih. “Aku khilaf. Aku nggak bermaksud nyakitin kamu.”
“Kamu nggak bermaksud?” suara Febi pelan, tapi tajam. “Kamu selingkuh. Di hotel. Sama sahabatku sendiri. Dan kamu sebut itu khilaf?”
Ronimencoba meraih tangan Febi, tapi ditampik.
“Feb, aku nyesel. Tapi aku nggak bisa kehilangan kamu. Kita sudah tunangan. Nikah kita tinggal beberapa bulan lagi. Masa kamu mau nyerah karena satu kesalahan?”
“Satu?” Mata Febi berkaca-kaca. “Kamu nggak cuma mengkhianati aku, Ron. Kamu hancurin semuanya. Kepercayaan, hubungan, harga diriku.”
“Aku janji akan berubah.”
“Terlambat,” Febi menggeleng. “Aku nggak mau lanjut. Pertunangan ini selesai.”
Ronitampak panik. “Jangan gitu, Feb! Aku serius mau nikahin kamu. Aku sayang kamu!”
Febimenatapnya dengan getir. “Tapi aku nggak percaya lagi.”
“Aku nggak bisa terima Feb!” Roni mendekat, hampir memaksa.
Namun ayah Febi berdiri di depan putrinya, wajahnya tegas.
“Cukup. Kalau Febi bilang selesai, maka selesai. Pergi sekarang, sebelum saya benar-benar marah.”
Ronimasih berdiri di sana, bingung, tak percaya. Tapi tak ada lagi yang memihaknya. Ia pun akhirnya melangkah pergi dengan kepala tertunduk.
Febiberdiri mematung dan ketika pintu tertutup kembali, air matanya jatuh lagi. Tapi kali ini, ada sedikit kelegaan di dalam hatinya. Ia tahu, ia sudah membuat keputusan yang tepat.
Ia berjalan masuk ke dalam rumah tanpa berkata apa-apa. Ibu memeluknya dengan erat, menahan tangis. Ayah hanya mengangguk pelan, memberikan restu tanpa kata. Vania masih berdiri di ambang pintu, wajahnya penuh amarah yang belum sepenuhnya reda.
“Maaf ya, Kak. Tadi aku nggak bisa tahan diri.” gumam Vania.
Febimenggeleng sambil tersenyum tipis. “Aku malah bersyukur kamu ada hadapin dia dek.”
Malam itu mereka duduk berempat di ruang tengah dalam keheningan yang penuh makna. Tak ada televisi menyala, tak ada suara musik. Hanya bunyi detik jam dinding dan desah napas yang berat. Namun di balik keheningan itu, Febi merasa tenang untuk pertama kalinya setelah semalam.
Di kamarnya, Febi memandangi cincin pertunangannya yang masih tergeletak di meja rias. Ia mengambilnya perlahan, menatap kilau dinginnya. Lalu tanpa ragu, ia memasukkan cincin itu ke dalam kotak kecil, menutupnya rapat dan menyimpannya di dalam laci terkunci.
“Selamat tinggal,” bisiknya lirih.
Hatinya masih sakit, masih ada bekas luka yang belum kering. Tapi ia tahu, luka ini akan sembuh karena ia memilih menyembuhkan dirinya sendiri, bukan menunggu orang lain memperbaiki kerusakan yang mereka buat.
Ia menatap langit malam dari balik jendela. Bintang-bintang tampak lebih terang dari biasanya. Mungkin karena ia telah melepaskan sesuatu yang selama ini membebani langkahnya. Dan besok, ia akan kembali bekerja... melanjutkan hidup... dan perlahan menyusun ulang potongan dirinya yang sempat hancur.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!