NovelToon NovelToon

Janda Bersegel

Bab 1

"Dasar anak haram!"

Suara pak Baskoro memecah keheningan malam di meja makan.

Mia hanya menunduk. Tak ada lagi air mata yang mengalir di pipinya. Cacian dan hinaan yang terucap dari ayahnya sudah membuatnya kebal.

"Pak, jangan begitu. Mia kan hanya lulusan SMP bagaimana dia bisa mencari uang selain dengan cara begitu. Ya Bapak juga tahu, kalau kerja begitu upahnya juga segitu." Bu Ningsih membela Mia dari amukan suaminya.

"Tidak apa Bu. Mia akan kerja lebih keras lagi. Maafkan Mia Pak," ucap Mia dengan lembut.

"Ya sudah, makanya nurut sama Bapak. Kerjanya di tempat Koh Yong saja. Duitnya besar. Cukup untuk makan dengan daging." Pak Baskoro ingin agar Mia menjadi wanita malam di tempat temannya.

Bukan tanpa alasan, wajah Mia yang cantik memang sangat menjual untuk pria hidung belang. Meskipun Mia adalah anak keturunan Jawa Timur dan Jawa Barat, namun nyatanya wajah Mia seperti keturunan Jepang. Sudah beberapa kali Koh Yong meminta Pak Baskoro untuk meminta Mia bekerja di tempatnya. Namun selalu gagal karena Mia menolak. Belum lagi bu Ningsih yang selalu mati-matian untuk membela anaknya.

"Astaga Pak. Istigfar, nyebut Pak. Ini Mia anak kita. Dia baru 17 tahun. Masa bapak tega menjual anak sendiri?" ucap bu Ningsih.

"Cih, seluruh dunia tahu kalau anak haram ini bukan anakku."

Lagi-lagi Mia hanya menunduk. Tak ada keberanian untuk membela diri. Ingin rasanya ia menangis, namun nyatanya air mata Mia seolah sudah habis.

"Pak," ucap bu Ningsih dengan suara agak tinggi.

"Sudah, Bu. Ayo lanjutkan makannya, Pak. Biar besok Mia cari tambahan ya!" Mia mengambilkan piring untuk ayahnya. Namun tangan ayahnya menghempaskan tangan Mia yang menyodorkan sebuah piring.

Praaaang

Piring itu hancur berkeping.

"Aku sudah tidak berselera makan. Tidak ada lauk dan suasananya membuat aku tidak lapar lagi." Pak Baskoro meninggalkan meja makan.

"Mia, maafkan Ibu ya. Ibu tidak bisa membela kamu." Bu Ningsih memeluk Mia yang masih diam mematung.

Dengan susah Mia menelan ludahnya. "Ibu tidak salah. Aku mengerti." Mia melepaskan pelukan ibunya kemudian memungut pecahan piring yang berserakan.

Tak ada acara makan malam. Mia kembali ke kamarnya setelah selesai membereskan ruang makan. Mia menutup pintu kamarnya. Menarik napas dalam-dalam. Menenangkan hatinya. Mencoba melupakan semua yang terjadi di meja makan.

Mia mengambil sebuah buku dari laci. Ada pulpen yang terselip di sana. Bukan buku diary pada umumnya, itu hanya buku tulis yang ia beli di warung bu Amin. Di sana Mia menulis semua perasaannya.

Mia tak pernah mempunyai teman untuk berbagi. Bahkan kepada ibunya saja, Mia tak pernah menceritakan kesedihannya. Hanya pada buku seharga tiga ribu rupiah saja Mia mampu menceritakan semua perasaannya.

"Mia, Ibu boleh masuk?" ucap bu Ningsih dari luar kamar.

Mia segera menutup buku itu dan menyimpan kembali pada laci. "Boleh Bu, masuk saja."

"Belum tidur, Mi?" tanya bu Ningsih basa basi.

Mia menggeleng. Memang kenyataannya tak ada kantuk sedikitpun yang menghampirinya.

"Jangan dianggap ya ucapan Bapak. Kamu anak Ibu dan Bapak. Hanya saja Tuhan memberikan rejeki rupa yang cantik kepadamu, sayang." Bu Ningsih nampak sangat bersalah pada anaknya.

Di lubuk hatinya yang paling dalam, bu Ningsih menyesal karena sudah membuat anaknya bernasib seperti ini. Tuntutan ekonomi, membuat bu Ningsih menjadi TKW dua puluh tahun yang lalu. Niatnya untuk bekerja di Luar Negeri selama lima tahun harus pupus karena ia diperkosa oleh majikannya sendiri.

Pulang ke Indonesia dengan membawa bibit Jerman, membuat suaminya sering menyiksa bu Ningsih jika saja melakukan kesalahan. Setelah Mia tumbuh semakin besar, bahkan sudah beranjak remaja pak Baskoro tidak pernah menyiksa bu Ningsih lagi. Namun kekejamannya pindah pada Mia.

Tidak seperti remaja umumnya yang menikmati masa puber dengan merasakan indahnya getar jatuh cinta, Mia hanya tahu bagaimana bisa mendapatkan uang setiap harinya.

"Bu, Mia sayang sama Ibu dan Bapak. Jangan pernah berpikir macam-macam ya Bu!" Mia selalu menjadi anak yang tegar di depan siapapun.

Bu Ningsih tahu, apa yang anaknya rasakan. Ikatan batin antara ibu dan anak itu tak dapat di elakkan. "Tidur! Istirahat! Ibu keluar dulu, ya!" Bu Ningsih sengaja memberikan waktu agar Mia bisa menangis sepuasnya. Karena menurut bu Ningsih jika Mia tak bisa menceritakan perasaannya pada siapapun, mungkin Mia akan lega dengan menangis. Tapi nyatanya salah, Mia lebih memilih untuk benar-benar tidur.

"Pak, jangan begitu sama Mia! Aku sudah bilang dari dulu, kalau Bapak tidak bisa menerima Mia lebih baik kita cerai saja." bu Ningsih kesal pada suaminya.

"Apa? Cerai? Enak saja. Sekarang dia sudah besar. Dia bisa menjadi ladang uang buatku. Kalau kita cerai mana mungkin dia memberi uang untukku?" jawab pak Baskoro dengan sangat enteng.

"Kamu kelewatan Pak." Bu Ningsih meninggalkan pak Baskoro yang masih merokok di teras depan.

"Aku harus berpikir bagaimana caranya agar anak itu bisa aku jual ke Koh Yong. Harganya pasti mahal. Tinggal di poles sedikit, dia pasti bakalan lebih cantik," gumam pak Baskoro.

Kukuruyuuuuuukk

Suara ayam membangunkan Mia. "Jam berapa ini?" Mia membuka sedikit demi sedikit matanya untuk melihat jam hello kitty yang menempel di dinding kamarnya. "Hah? Jam enam?" Mia segera turun dan membereskan ranjangnya.

Bagi Mia, jam enam adalah waktu yang sudah sangat siang. Karena sedang haid, Mia jadi kebablasan. Dengan segera Mia membersihakn dirinya dan pergi ke dapur untuk menyiapkan sarapan.

"Bu, maaf ya. Mia kesiangan." Saat ke dapur, ternyata bu Ningsih sudah menyiapkan sarapan.

"Makanya bangun subuh. Biar rejekinya tidak dipatok ayam," ucap pak Baskoro yang tiba-tiba muncul dari dalam kamarnya.

"Iya Pak. Nanti jam tujuh, Mia mau ke rumah bu RT. Katanya ada setrikaan. Terus sorenya mau ke tempat bu Dian," ucap Mia.

"Nah begitu dong. Anak muda itu harus produktif. Tidak boleh malas." Kalau sudah urusan kerja pak Baskoro selalu mendukungnya.

"Iya Pak," ucap Mia pelan.

Bu Ningsih tak berkomentar apapun. Malas rasanya jika masih pagi sudah harus berdebat dengan suaminya yang selalu merasa paling benar itu. Selalu berkata jadi orang harus produktif, nyatanya pak Baskoro hanya menghabiskan wantunya untuk merokok saja.

Sesekali pak Baskoro memang ke sana ke sini seperti orang yang sibuk. Padahal hanya sibuk mencari pekerjaan agar Mia bisa keliling kampung setiap hari untuk bekerja di rumah warga.

Sudah sejak SD kelas enam, Mia kerja sebagai buruh setrika. Hidupnya yang sederhana menuntutnya hidup mandiri. Bahkan bukan hanya mandiri saja, sejak SMP ia sudah berlatih untuk menjadi seorang tulang punggung keluarga.

Bab 2

Mia mengayuh sepedanya menuju rumah bu RT. Ia sudah janjian untuk menyetrika pakaian bu RT pagi ini. "Selamat pagi, bu!" ucap Mia ramah menyapa bu RT yang sedang duduk di teras depan.

"Pagi sekali, Mia. Sarapan dulu!" Bu RT memberikan piring berisi gorengan pada Mia.

"Terima kasih, Bu." Mia mengambil satu gorengan dan dua cabai. Mia adalah wanita pecinta pedas sejak masih duduk di bangku SD.

"Bisa sekarang Bu nyetrikanya?" tanya Mia setelah menghabiskan gorengannya.

"Kenapa buru-buru? Minum dulu. Santai saja. Setrikaannya juga tidak sebanyak minggu kemarin Mi." Bu RT memberikan Mia segelas air.

Diantara warga di sana, Bu RT lah yang paling peduli padanya. Mungkin karena dia tahu bagaimana perjuangan hidup Mia.

"Habis dari sini, Mia mau ke rumah bu Dian. Biar pulangnya tidak terlalu malam Bu."

"Mau apa ke rumah bu Dian?" tanya bu RT penasaran.

"Katanya ada pekerjaan buat Mia, Bu. Lumayan buat tambah-tambah."

Bu RT menghela napas, ia merasa iba pada Mia. Anak itu masih belasan tahun tapi sudah banting tulang untuk menafkahi keluarganya.

"Bu, sudah selesai." Mia membereskan alas setrikanya.

"Terima kasih Mi. Ini buat jajan." Bu RT menyerahkan uang pada Mia.

"Bu, kenapa seratus ribu? Kan cuma sedikit bajunya juga. Lima puluh ribu juga cukup, Bu." Mia mengembalikan uang itu kepada bu RT.

"Tidak, ini buat mu. Anggap saja bonus. Ibu lagi ada rejeki lebih."

"Wah, terima kasih Bu. Semoga rejeki Ibu semakin banyak ya!" Mia mencium uang itu dan pamit dengan sangat bahagia.

Bu RT hanya senyum menatap Mia yang semakin menjauh dan hilang dari pandangannya.

"Permisi... Bu Dian.. Bu Dian..." Teriak Mia dari balik pagar besi yang dikunci.

"Iya, sebentar Mi." Teriakan bu Dian tak kalah kerasnya dari suara Mia.

"Ayo sini. Ibu mau bicara sama kamu Mi." Bh Dian menarik tangan Mia untuk mengikutinya masuk ke dalam rumahnya.

"Mi, usiamu sekarang berapa tahun?" tanya bu Dian.

"17 tahun Bu," jawab Mia bingung.

"Bisa baca, nulis, ngitung?" tanya bu Dian.

"Bisa,"

Mia memang hanya lulusan SMP, tapi dia termasuk siswa berprestasi. Ia selalu mendapat juara. Bahkan untuk melanjutkan ke SMA saja, Mia mendapat beasiswa. Namun Mia menolaknya karena lebih memilih untuk mencari uang, agar ibunya tidak disiksa lagi oleh bapaknya.

"Mau kerja di toko? Adeknya Ibu mau buka grosir sembako. Mia jadi pelayannya ya!"

Bu Dian percaya kalau Mia adalah anak yang cerdas dan sangat jujur.

"Kerjanya tiap hari?" tanya Mia ragu.

"Iya. Tapi tenang aja Mi. Gajinya gede."

"Wah, kalau gitu Mia mau Bu, mau. Kapan Mia mulai kerja?" tanya Mia penasaran.

"Minggu depan. Kamu tahu kan tempat yang di pinggir jalan?" tanya bu Dian.

Mia mengangguk dan melanjutkan ucapannya. "Di sana tempatnya. Jadi sekarang lagi persiapan belanja dulu."

"Mia pamit ya Bu kalau gitu. Nanti Mia ke sini lagi," ucap Mia.

"Eh, ini bawa. Lumayan buat cemilan nanti malam." Bu Dian memberikan sebungkus martabak telor pada Mia.

"Wah, makasih banyak Bu. Mia jadi malu ini."

"Jangan malu. Bawa pulanga saja. Hati-hati di jalannya ya, Mi!"

Mia mengangguk dan mengayuh Sepedanya dengan sangat riang. Hari ini Mia membawa uang seratus ribu dan martabak telor. Mia yakin hari ini terhindar dari amukan pak Baskoro.

"Bu, Pak. Mia pulang." Teriakan Mia membuat rumah yang ramai menjadi sepi.

Mia sudah tak enak hati saat melihat beberapa sepatu berjejer di halaman rumahnya.

"Masuk, Nak." Pak Baskoro dengan sangat ramah menyambut Kedatangan Mia.

Mia menjadi curiga. Melihat ke setiap sudut rumahnya. Nampak beberapa orang sedang duduk di sana. "Mia, sehat?" tanya seorang pria tua.

"Se-sehat," ucap Mia gugup.

Pak Baskoro menjelaskan maksud kedatangan Haji Hamid ke rumahnya. Apalagi kalau bukan untuk melamarnya.

Mia hanya membulatkan bola matanya. Hatinya menolak dengan sangat keras, namun bibirnya kelu. Tak bisa berucap apapun, Mia hanya diam membisu. Hingga akhirnya tamu itu pamit meninggalkan rumah Mia.

"Pak, Mia tidak mau menikah dengan Haji Hamid. Mia mau kerja, nanti upahnya buat Bapak semua. Mia janji." Setelah berapa lama Mia tak menangis, kini air matanya mulai membanjiri pipinya. Dadanya sesak. Usianya baru tujuh belas tahun. Bahkan KTP saja dia tidak punya, tiba-tiba harus menikah dengan Haji Hamid yang terpaut usia tiga puluh tahun dengannya.

"Mau bernegosiasi?" tanya pak Baskoro dengan nada mengancam.

Mia diam, dia tidak menjawab.

"Ok, kalau kamu mau pilihan. Bapak punya dua pilihan. Menikah dengan Haji Hamid atau kerja di tempat Koh Yong?" ucap pak Baskoro dengan mengangkat dagu Mia dengan telunjuk kanannya.

Isak tangis Mia semakin keras. Tubuh Mia dirangkul oleh bu Ningsih. "Sudah cukup, Pak. Itu bukan pilihan. Biarkan Mia menentukan pilihannya sendiri."

Mia ditarik oleh ibunya untuk segera beristirahat di dalam kamarnya. "Maafkan bapak, ya Mi." Bu Ningsih memeluk Mia dengan berderai air mata. Merasa sangat bersalah dengan sikap suaminya.

"Tidak apa-apa Bu. Mia yakin Bapak tahu yang terbaik buat Mia. Mia mau menikah dengan Haji Hamid Bu."

"Tidak Mia. Kamu masih sangat kecil. Belum waktunya kamu menikah. Beban kamu sangat berat, Mi. Maafkan Ibu, ya!"

"Cukup Bu. Ibu tidak bersalah. Mia

yang harusnya minta maaf karena tidak bisa memberi yang terbaik buat Bapak dan Ibu."

Hati bu Ningsih semakin teriris dengan semua ucapan Mia. Tidak ada kebencian sedikitpun pada pak Baskoro meskipun cacian dan makian selalu Mia terima setiap hari.

Bu Ningsih keluar dari kamar Mia kemudian menemui pak Baskoro. Perdebatan hebat terjadi malam itu. Mia mendengar semua ucapan kedua orang tuanya.

Tapi kali ini, Mia tak berniat untuk memisahkan mereka seperti biasanya. Mia lebih memilih untuk menulis perasaannya pada buku. Rasa pusing di kepalanya membuat Mia menyimpan kembali bukunya ke dalam laci kemudian tidur.

Mia sudah tidak peduli lagi dengan masa depan. Tak ada harapan apalagi sebuah cita-cita. Mia hanya memiliki satu keinginan. Ingin melihat kedua orang tuanya bahagia. Lebih tepatnya bapaknya.

Hidup bersama sejak bayi, tak pernah sedikitpun Mia merasakan apa itu kasih dan sayang dari seorang bapak. Pak Baskoro bahkan sering kali terang-terangan menyebut kalau Mia adalah anak haram. Awalnya Mia tidak mengerti, tapi semakin besar Mia paham maksud bapaknya.

Belum lagi nyinyiran dari tetangganya membuat Mia menjadi manusia yang sudah mati rasa. Sudah tidak sakit hati lagi saat mulut-mulut mereka menghina dirinya habis-habisan.

Mia hanya berjanji pada dirinya sendiri untuk menuruti semua keinginan orang tuanya. Paling tidak, hidup Mia masih bisa berguna untuk orang lain.

Bab 3

Pagi sekali Mia sudah siap dengan sepedanya. Tiba-tiba suara pak Baskoro menghentikan langkahnya. "Mau kemana kamu?"

"Ke rumah bu Dian, Pak."

"Nyetrika? Sudah, mending diam saja di rumah. Nunggu Haji Hamid. Kau akan senang dan menyenangkan orang tuamu Mia," bujuk pak Baskoro.

Mia menelan ludahnya. Seketika bibirnya kelu. Ada rasa yang menyeruak tak tentu dalam hatinya. Ia memaksa bibirnya yang kaku itu untuk tersenyum, walaupun hatinya hancur berkeping-keping.

Mia melangkahkan kakinya menuntun sepeda, kemudian mulai mengayuhnya. Di jalan, ia berhenti sebentar. Menepi dan duduk di pemantang sawah. "Indah, sejuk. Aku ingin seperti sawah. Meskipun kotor, namun banyak yang diuntungkan dengan sawah. Hasilnya bisa untuk makan, belum lagi bisa bikin udara jadi sejuk."

Mia sedang memikirkan perkataan pak Baskoro. Jika menikah dengan Haji Hamid, ia akan senang dan akan menyenangkan orang tuanya. Tak peduli dengan dirinya, asalkan orang tuanya bahagia.

"Aku harus menikah dengan Haji Hamid," ucap Mia pelan dan menyemangati dirinya sendiri.

Ia berdiri dan berjalan menuju sepedanya, kembali mengayuh sepedanya menuju rumah bu Dian. Setelah cukup lama menenangkan pikirannya, ia merasa harus membatalkan pekerjaan untuk menjadi pelayan toko pada bu Dian.

"Bu," sapa Mia saat melihat bu Dian ada di warung.

"Hey, mau kemana kamu?" tanya bu Dian.

"Mau ketemu Ibu," ucap Mia.

"Mia, jadi ya kawin sama Haji Hamid?"

"Yang bener? Masa mau sih Mia?"

"Dia kan udah 47 tahun. Beda nya 30 tahun sama kamu."

"Ya kalau udah urusan duit, jangankan beda 30 tahun beda 100 tahun aja bukan masalah."

Mulut ibu-ibu gosip itu berkicauan meskipun Mia sedang ada di depan mereka. Sekali lagi, Mia sudah mati rasa. Ia hanya tersenyum dan meninggalkan mereka saat bu Dian menarik tangan Mia.

"Mau apa kamu Mi?" tanya bu Dian.

"Itu Bu.. Soal jaga toko, sepertinya Mia tidak jadi, Bu. Maaf ya Bu!" ucap Mia sopan.

Bu Dian diam sejenak, memperhatikan raut wajah Mia. Datar, tak terlihat sedang menyimpan beban berat.

"Jadi benar kata mereka?" tanya bu Dian memastikan.

Mia hanya tersenyum, kemudian mengangguk. "Mia permisi ya Bu!"

Sekarang giliran bu Dian yang diam, ia hanya mengangguk dan melihat Mia pergi dari rumahnya.

Mia kembali mengayuh sepedanya untuk pulang. Hari ini Mia tidak bekerja, karena pak Baskoro melarangnya. Mia hanya menurut saja.

"Tadi Haji Hamid ke sini, kapan kamu siap?" tanya pak Baskoro saat Mia baru sampai di depan rumah.

"Pak, Mia belum masuk. Biarkan Mia istirahat dulu." bu Ningsih rasanya sudah sangat geram dengan sikap suaminya. "Jangan mau nikah sama aki-aki Mia. Dia sudah tua. Kamu pantas jadi cucunya." Bu Ningsih menarik tangan Mia untuk masuk dan makan.

"Jadi kapan siapnya?" tanya pak Baskoro lagi.

Mia menghentikan tangannya yang hampir saja masuk ke dalam mulutnya. Mia menatap ayahnya.

"Eh, Mia dengar ya! Haji Hamid janji akan memperbaiki rumah kita yang sudah reyot ini. Belum lagi nanti ada uang bulanan untuk kami. Apa kamu tidak mau melihat ibu dan bapakmu senang di masa tua?" bujuk pak Baskoro.

Mia menatap ibunya, namun ibunya menggeleng. Menghela napas dalam kemudian menunduk. Mungkin akan lebih baik jika menikah saja. Jadi penyakit asam urat ibunya bisa diobati jika ada uang bulanan dari Haji Hamid untuk keluarganya.

"Mia sih terserah Bapak saja. Mia ikut maunya Bapak saja."

"MIA," teriak bu Ningsih yang tidak mengaharapkan jawaban itu keluar dari mulut anaknya.

"Tidak apa-apa Bu. Nanti ibu bisa berobat, biar bisa sehat lagi."

Bu Ningsih memang punya penyakit asam urat yang sudah parah. Bahkan kaki kanannya sudah sering kebas sehingga sering menyeret kakinya ketika berjalan. Itulah sebabnya bu Ningsih sudah tidak bisa bekerja. Makanya Mia yang menggantikan perannya untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.

"Ibu lebih baik tidak sehat lagi, asal kamu jangan menikah dengan Haji Hamid, Mia." Tangisan bu Ningsih pecah saat tak kuasa menahan betapa sakit hatinya dengan nasib anaknya.

"Bu, jangan begitu. Mia sayang sama Ibu." Mia berlari meninggal meja makan dan memeluk ibunya yang berdiri di depan kamarnya.

Merek berdua sama-sama menangis dalam pelukan orang yang paling mereka sayangi, namun tidak untuk pak Baskoro. Pria itu lebih memilih untuk meninggalkan mereka berdua dan menemui Haji Hamid untuk memberi kabar berita yang sangat membahagiakan ini.

Hanya butuh waktu tiga hari untuk mempersiapkan pernikahan Mia dan Haji Hamid. Tak ada pesta mewah dalam pernikahan mereka. Bukan tidak sanggup untuk hajatan, dangdutan tujuh hari tujuh malam saja bisa. Hanya saja Mia yang memintanya untuk menikah dengan sederhana.

Dari pada uangnya dibuang-buang untuk hajatan, lebih baik untuk merenovasi rumah dan bisa untuk berobat ibunya. Haji Hamid tak ingin berdebat dengan Mia, ia hanya mengikuti maunya saja.

Setelah ijab kobul itu, tak ada rasa bahagia ataupun sedih karena sudah menikah dengan Haji Hamid. Yang Mia rasakan hanyalah kesedihan karena harus berpisah dengan Ibunya. Mia akan tinggal di rumah Haji Hamid yang berukuran tiga kali lebih besar dari rumahnya.

Mia membawa sedikit pakaian ganti. Sengaja, agar ada alasan ia bisa pulang ke rumahnya untuk bertemu dengan ibunya. Rumahnya memang tidak terlalu jauh, namun cukup melelahkan jika harus mengayuh sepedanya.

Bu Ningsih belum berhenti menangis, sepertinya sangat berat melepas Mia untuk tinggal bersama Haji Hamid. Pria tua yang tidak tahu diri. "Mi kalau kamu sedang ada waktu luang, main ke sini ya!" ucap bu Ningsih sambil berderai air mata.

"Iya bu, pasti." Mia meyakinkan ibunya dan mengusap air mata yang mulai berjatuhan di pipi bu Ningsih.

Sedangkan pak Baskoro hanya duduk santai sambil merokok. Melihat Mia dan Haji Hamid akan pergi, pak Baskoro segera mendekat dan berbisik. "Pak Haji, saya tunggu bulanannya ya!"

"Belum juga satu hari, sudah minta jatah bulanan." Suara Haji Hamid cukup keras sampai terdengar oleh Mia dan bu Ningsih. Mereka berdua hanya menggelengkan kepala.

"Ini, buat rokok saja dulu ya!" ucap Haji Hamid memberikan uang dua ratus ribu.

Senyum bahagia tersungging di bibir pak Baskoro. Lambaian tangan kedua orang tuanya, membuat Mia meneteskan air mata. Sekali lagi, bukan karena menyesal dengan Haji Hamid. Air mata itu bukti betapa sakitnya saat harus berpisah dengan orang tuanya. Padahal Mia masih bisa bertemu dengan orang tuanya. Apalagi jika ia tak bisa bertemu lagi untuk selamanya.

Tidak! Ibu harus sembuh. Haji Hamid akan memberi uang untuk pengobatan ibu kalau aku bersikap baik dan sopan padanya. Aku janji akan menuruti semua perintah Haji Hamid.

Mia mengikuti Haji Hamid yang masuk ke dalam mobil Avanza hitam keluaran tahun 2012. Bukan mobil keluaran terbaru, namun mewah untuk warga di sekitar kampungnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!