NovelToon NovelToon

Ceo Cantik Terjebak Cinta Pria Desa

bab 1- pertemuan takdir ceo cantik dan pemuda desa

Jakarta pagi itu diselimuti langit mendung, seolah ikut merasakan berat pikiran seorang wanita muda yang berdiri di balkon lantai dua rumah megah keluarga Adinata. Teresia Adinata, 27 tahun, CEO sebuah perusahaan properti ternama, menatap langit kosong. Rambut hitam kecokelatannya tergerai rapi, wajah cantiknya tampak sendu, meski berbalut makeup tipis.

Di bawah, di meja makan yang dihias bunga segar, Ny. Linda Adinata, ibunya, sudah sibuk menyiapkan sarapan. Wanita paruh baya yang tetap cantik di usia 50-an itu memasukkan potongan buah ke piring sambil melirik jam dinding.

“Kerja lagi, kerja lagi. Nggak ada mikir nikah tuh anak Papa,” gumamnya pelan.

Pak Adrian Adinata, suaminya, duduk santai membaca koran, senyum geli menghiasi wajahnya.

Langkah kaki menuruni tangga membuat Ny. Linda mengangkat wajah. Teresia muncul dengan setelan formal krem, elegan, khas wanita karier sukses.

“Pagi, Ma. Pagi, Pa,” ucapnya sembari menarik kursi.

“Pagi, sayang,” sahut Ny. Linda. Lalu, nada suaranya berubah sedikit menggerutu. “Lihat tuh, Pa. Anak kesayangan Papa ini kerja terus. Umur sudah 27, nggak ada tanda-tanda mau bawa calon mantu Mama. Mama tuh pengen cucu, tau!”

Pak Adrian menurunkan korannya sebentar. “Sudahlah, Lin. Jangan bikin anak kita tambah stres pagi-pagi begini.”

Teresia tersenyum canggung. “Ma, aku mau ke Sukasari hari ini. Cek lahan buat resort baru. Kan Mama tahu aku nggak bisa asal tanda tangan dokumen tanpa lihat langsung lokasinya.”

Ny. Linda mendengus, lalu menuang jus jeruk ke gelas putrinya. “Ya, kerja lagi. Mama tuh cuma pengen kamu bahagia, Teresia. Bahagia itu bukan cuma dari kerjaan, tahu?”

Teresia pura-pura sibuk dengan rotinya. “Ma, nanti kita bahas ya. Aku harus berangkat pagi biar nggak kemalaman di jalan.”

Pak Adrian menyela. “Kamu bawa supir?”

“Supardi sakit. Supir Papa lagi dipakai Papa. Aku nyetir sendiri aja, Pa.”

Ny. Linda langsung cemas. “Hah? Sendiri? Jauh loh itu, jalanannya kecil-kecil, banyak tikungan tajam. Mama khawatir, Teresia.”

Teresia bangkit, meraih tangan ibunya. “Ma, aku bisa jaga diri. Lagian, Mama selalu bilang aku nggak boleh manja kan? Ini kesempatan aku lihat desa. Doakan aja semuanya lancar.”

Dengan berat hati, Ny. Linda membiarkan putrinya pergi.

“Ya sudah. Tapi ingat, jangan ngebut. Jangan lupa makan di jalan. Hati-hati.”

 

Perjalanan menuju desa Sukasari

SUV hitam Teresia melaju menembus kemacetan pagi. Begitu keluar dari hiruk-pikuk Jakarta, jalanan mulai lengang. Sawah dan perbukitan hijau terhampar luas, angin desa menyapa lewat kaca jendela yang sedikit terbuka.

Teresia menghela napas lega. Pikirannya sedikit tenang, seolah semua beban hilang ditelan alam.

"Indah juga ya... Kadang kita lupa alam itu ada," gumamnya.

Namun, perjalanan panjang itu tak semulus harapan. Langit makin mendung, petir menggelegar, dan hujan deras turun tanpa ampun.

Jalanan berbatu yang sempit di pinggir jurang membuat Teresia memperlambat laju. Tapi, nasib berkata lain. Roda depan SUV menghantam lubang besar yang tertutup genangan.

Brak!

Mesin mati.

“Ya ampun!” desis Teresia. Dia mencoba menyalakan ulang. Gagal. Lagi dan lagi.

Ia turun, hujan membasahi tubuhnya. Tangannya gemetar menekan ponsel. Tak ada sinyal.

 

Pertemuan takdir

Di kejauhan, seorang pemuda dengan sepeda butut muncul. Hujan membuat rambutnya basah kuyup. Pemuda 20 tahun itu bertubuh tegap, wajahnya bersih, senyumnya ramah meski sederhana. Dialah Arga, anak yatim yang sehari-hari membantu warga desa.

Melihat mobil terhenti dan sosok wanita kebingungan, Arga mendekat.

“Mbak, mobilnya mogok ya? Biar saya bantu dorong ke pinggir?”

Teresia mendongak, kaget. Dia tak ingin terlihat lemah.

“Ah, nggak usah, makasih. Aku bisa sendiri.”

Tapi Arga menggeleng, tetap mendekat.

“Jalan di sini rawan, Mbak. Apalagi hujan deras. Biar saya bantu.”

Teresia mundur, menolak. Namun kakinya terpeleset lumpur.

“Aaah!”

Refleks, Arga menangkap tubuh Teresia yang nyaris jatuh. Mereka saling menatap.

Arga terpana. Wajah cantik di hadapannya membuat detak jantungnya kacau. Sorot mata itu, hidung mancung, bibir yang sedikit bergetar menahan gugup... begitu memesona.

Teresia juga terdiam. Hangat dada Arga membuatnya sedikit kikuk.

Suara teriakan memecah suasana.

“Eh! Apa itu?! Malam-malam pelukan?! Malu-maluin!”

Beberapa warga dengan payung mendekat, mengira yang tidak-tidak.

Teresia buru-buru menjauh.

“Bukan! Ini salah paham!”

Arga ikut menjelaskan.

“Dia terpeleset. Saya cuma nolongin!”

Tapi warga sudah kadung curiga.

“Ayo! Ke rumah Pak Lurah. Biar jelas urusannya!”

Dengan berat hati, keduanya digiring ke rumah Pak Lurah.

Hujan semakin deras. Langkah mereka menapak di tanah becek, tanpa sadar takdir telah mengikat keduanya dalam sebuah drama kehidupan yang tak pernah mereka bayangkan.

 

bab 2- menikah

Hujan deras membasahi bumi malam itu. Di rumah Pak Lurah, suasana tegang menyelimuti ruangan yang diterangi lampu petromaks. Teresia duduk menunduk, menahan isak tangisnya. Rambutnya yang basah menempel di pipi, dan bajunya sudah kusut bercampur lumpur. Arga duduk di sampingnya, wajahnya pucat, matanya tak sanggup memandang warga yang berkumpul di dalam rumah itu.

Pak Lurah menarik napas panjang, menatap kedua anak muda itu dengan mata penuh pertimbangan.

“Kita semua tahu aturan di desa ini. Kalian berdua ketahuan berduaan di tempat gelap, di bawah hujan pula. Tidak ada jalan lain. Malam ini juga kalian harus menikah.”

“Pak, kami nggak ngapa-ngapain! Saya cuma nolongin Mbak ini yang jatuh di sawah!” suara Arga bergetar, berusaha meyakinkan semua orang.

Teresia menatap penuh harap.

“Iya, Pak. Saya terjatuh, dan Arga menolong. Tolong percaya pada kami...”

Namun warga sudah terlanjur menaruh curiga. Bisik-bisik terus terdengar di sudut ruangan.

“Jangan-jangan memang ada apa-apa...”

“Nama baik desa ini harus dijaga...”

Pak Lurah memutuskan.

“Cukup. Warga sudah berkumpul. Tidak ada waktu menunggu pagi. Kita undang Pak Kiai sekarang. Malam ini kalian menikah, biar besok tak ada fitnah.”

Air mata Teresia jatuh makin deras, bercampur dengan air hujan yang menetes dari ujung rambutnya. Arga memejamkan mata, pasrah dengan keadaan yang menimpa dirinya dan gadis asing itu.

Pak Kiai datang tak lama kemudian, membawa kitab dan sorban. Beberapa warga menjadi saksi. Di ruang tamu rumah Pak Lurah, di antara bau tanah basah dan suara hujan, prosesi ijab kabul digelar.

Dengan tangan gemetar, Arga mengucapkan kalimat sakral:

“Saya terima nikahnya Teresia binti adrian dengan mas kawin seperangkat alat salat dibayar tunai.”

Hening sejenak, lalu suara saksi dan warga serempak menjawab:

“Sah! Sah! Sah!”

Teresia menangis makin keras, hatinya remuk. Pernikahan impiannya bukan begini yang dia bayangkan. Sementara itu, Arga hanya bisa menatap lantai, menyembunyikan rasa bersalah dan bingung di dadanya.

Setelah akad selesai, warga perlahan membubarkan diri. Pak Lurah menepuk pundak Arga.

“Arga, ini ujian. Jaga istrimu baik-baik. Jangan biarkan fitnah menyebar lebih jauh.”

Arga hanya mengangguk pelan. Ia menatap Teresia, lalu berkata lirih, “Ayo kita pulang.”

Mereka berjalan pulang di bawah rintik hujan yang mulai reda. Rumah Arga yang sederhana menyambut mereka. Dinding kayu yang lapuk, atap seng yang meneteskan sisa hujan, dan suasana sepi menemani langkah mereka masuk ke dalam.

Di dalam rumah, suasana makin canggung. Arga mencoba berbicara, suaranya pelan.

“Mbak... bajumu basah, mandi dulu aja. Nanti pakai baju aku ya. Aku ada kaos oblong sama celana santai. Maaf kalau nggak layak…”

Teresia mengangguk tanpa kata. Arga mengambil baju bersihnya, lalu memberikannya pada Teresia.

“Ini... maaf seadanya.”

Setelah Teresia masuk ke kamar mandi, Arga duduk di kursi kayunya, menunduk memikirkan nasib. Tak lama, Teresia keluar dari kamar mandi. Kaos oblong kebesaran itu menutupi tubuhnya, dan celana santai Arga yang kedodoran membuat wajahnya semakin polos dan lugu. Arga terpaku sejenak — betapa cantiknya perempuan itu, meski hanya dengan baju lusuh.

Arga menunduk lagi, tak berani menatap lama-lama.

“Aku... aku tidur di luar aja. Kamu di kamar.”

Teresia hanya mengangguk. Suaranya masih tercekat. Malam itu mereka tidur di ruang terpisah. Arga menggigil di atas tikar ruang depan, sementara Teresia memandangi langit-langit rumah kayu itu, matanya basah menahan sedih.

Di luar, hujan telah berhenti. Tapi badai di hati mereka baru saja dimulai.

 

bab 3- rumah sederhana

Matahari baru saja naik di ufuk timur, membiaskan cahaya keemasan yang mengintip malu-malu lewat jendela kayu rumah sederhana itu. Tere terbangun dengan kepala berat. Matanya menatap langit-langit yang berbeda dari kamarnya di Jakarta yang mewah dan berpendingin udara. Aroma kayu tua, bau tanah basah, dan sedikit bau asap kayu bakar menyesakkan hatinya.

Ia mengerjap-ngerjapkan mata, menoleh ke sisi lain ruangan. Tidak ada siapa-siapa. Kaos oblong lusuh Arga masih melekat di tubuhnya, dipadukan celana pendek longgar. Pipinya memerah malu, teringat semalam betapa canggungnya saat menerima pakaian itu. Tapi tak ada pilihan lain. Gaun mahalnya sudah basah kuyup dan kotor.

Tere menarik napas panjang. “Astaga... aku ini istri orang sekarang. Istri... Arga. Siapa dia? Bahkan aku nyaris nggak tahu apa-apa soal dia...” batinnya penuh sesal.

Di luar kamar, terdengar suara panci beradu dengan sendok kayu. Aroma nasi goreng sederhana mulai menyeruak ke dalam ruangan. Tere menggigit bibir bawahnya.

“Dia... masak untuk aku?”

Tak lama, pintu diketuk pelan.

“Mba... mba Tere, sarapan dulu ya. Aku masak seadanya...” suara Arga terdengar gugup.

Tere diam. Gengsinya setinggi langit. Ia ingin menolak. Tapi perutnya berbunyi nyaring, menghianati niatnya.

“Taruh aja di meja...” ucapnya ketus.

Arga masuk perlahan, meletakkan sepiring nasi goreng hangat di atas meja kecil di sudut ruangan. Ia menyelipkan pandangannya pada Tere, lalu buru-buru menunduk. Jantungnya berdegup lebih kencang dari biasanya.

“Cantik banget...” gumamnya dalam hati, sebelum akhirnya keluar dan menutup pintu.

Tere menatap piring itu. Sederhana, hanya nasi goreng polos dan telur dadar, tapi aromanya menggoda.

“Ya ampun... bahkan masakan sederhana dia bikin aku lapar gini...” desahnya. Dengan ragu, ia mulai menyuap. Pelan-pelan. Hingga akhirnya tak sadar piring itu kosong.

Sementara itu, di Jakarta...

Bu Linda duduk di ruang keluarga, gelisah. Berkali-kali menatap layar ponselnya.

“Pa..! Tere nggak bisa dihubungi. Kamu lihat kan? Dia nggak pernah begini sebelumnya!”

Pak Adrian menoleh dari koran yang dibacanya.

“ma... kamu jangan terlalu panik dulu. Mungkin sinyalnya jelek. Atau dia lagi sibuk kerja. Dia itu anak Papa, kamu tahu sendiri, selalu bertanggung jawab.”

Air mata mulai membasahi sudut mata Bu Linda.

“Kalau memang dia bertanggung jawab, harusnya dia kasih kabar. Aku khawatir terjadi apa-apa, Pa. Perempuan itu lemah... apalagi di luar sana...”

Pak Adrian akhirnya mengalah.

“Baiklah. Aku minta sekretaris cari tahu. Kita tunggu kabar sampai sore, kalau belum ada, kita sewa detektif pribadi.”

Di rumah Arga...

Tere sudah selesai makan dan beranjak ke kamar mandi. Suara jerit kecil terdengar.

“Airnya dingin banget!”

Arga yang sedang memotong kayu di halaman mendengarnya. Bergegas ia memanaskan air di tungku. Beberapa menit kemudian, ia membawa baskom air hangat ke depan kamar mandi.

“Mba Tere... aku taruh air hangat di sini ya...” katanya lirih.

Tere tercekat mendengar suara itu.

“Kenapa sih dia baik banget...” batinnya.

Ia membuka sedikit pintu, hanya cukup untuk mengambil baskom itu. Saat mata mereka bertemu sekilas, jantung keduanya serasa berhenti.

Arga langsung menunduk, wajahnya memerah.

Tere buru-buru menutup pintu kembali, hatinya berkecamuk.

akhirnya teresia selesai mandi, arga melihat tere hanya menggunakan handuk kulit putih rambut nya basah menambah kecantikan nya, arga terpaku lalu sadar dan mengalihkan pandangan nya.

arga bicara" mba nanti mba pilih saja baju yang di lemari aku, aku tidak bisa memilih nya. tere hanya mengangguk.

Siang itu, setelah semua selesai, Arga mempersilakan Tere duduk di ruang depan. Rumah itu bersih meski sederhana. Arga mengambilkan teh hangat.

“Kalau ada apa-apa, mba bilang aja ya. Aku mau ke kebun sebentar. Nggak jauh, cuma di belakang rumah.”

Tere mengangguk kecil. Dalam hatinya, ia mulai mengakui satu hal:

“Dia sopan, dia perhatian......”

Arga berjalan pergi, sementara Tere menatap punggungnya yang mulai menjauh. Angin siang membawa aroma rumput basah dan tanah, seolah ikut menertawakan gengsi yang masih membelenggu hatinya.

Dan untuk pertama kalinya, Teresia merasakan...

Rumah sederhana itu tak lagi terlalu asing.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!