NovelToon NovelToon

DENDAM GUNDIK

DG 1

“ARRRGGGHHH! PANAAAASS! SAAAKIIITTT!” Jeritan Arum sungguh menyayat hati manakala Atun—salah satu gundik, menyiram air panas ke punggung dan lengannya.

Semua orang di ruangan itu tertawa keras, kecuali Madun. Pria baya dengan wajah penuh bopeng itu hanya berdiri—seakan menikmati pemandangan itu.

Arum sudah terkapar lemas, namun ia masih terjaga—kesadarannya belum hilang. Dan meskipun Arum sudah tak berdaya, aksi keji mereka belum selesai juga.

Nyai Lastri menatap Madun dengan senyuman penuh maksud. Ia memberikan titah pada sang ajudan. “Laksanakan tugasmu, Madun!”

Pria dengan kulit wajah tak rata dan bertubuh besar itu meraup kasar wajahnya, menelan ludah dengan penuh hasrat—lalu mengangguk patuh. Perintah inilah yang sudah ditunggu-tunggu sejak tadi. Ia langsung berjalan mendekat ke arah Sekar Arum, mengangkangi kaki wanita yang sudah babak belur itu—lalu membuka resleting celananya.

“Tolong ... jangan ...,” suara Arum terdengar lirih. Ia terisak pelan, benar-benar ketakutan.

.

.

.

Tahun 1960.

Di sebuah desa terpencil yang dikelilingi ladang tebu sejauh mata memandang, berdiri megah sebuah rumah besar berarsitektur campuran Jawa dan kolonial. Rumah itu milik Juragan Karta, penguasa tanah, pemilik pabrik gula, dan tangan besi yang tak tersentuh hukum.

Di desa itu, nama Juragan Karta lebih ditakuti daripada apapun. Ucapannya adalah titah yang tak bisa dibantah. Dan laki-laki yang penuh kuasa ini punya satu kegilaan yang tak bisa ia tolak : hasratnya dengan perempuan muda.

Di teras rumahnya, mata juragan Karta yang sudah sedikit berkerut—memindai sosok gadis cantik yang baru saja dibawa oleh sang ajudan.

“Ini toh, yang namanya Sekar Arum?” Juragan Karta lekas berdiri, menyambut sosok cantik yang terus menunduk.

Usianya belum lama genap dua puluh tahun. Namun malang tak dapat ditolak—orang tua Arum yang terjerat hutang pada rentenir, menyerahkan putri mereka sendiri ke tangan Juragan Karta. Sebagai gantinya, Juragan akan melunasi seluruh hutang mereka, tanpa bunga, tanpa syarat lain ... kecuali satu : Arum harus menjadi gundiknya. Gundik yang kesebelas.

Arum sempat berpikir, apa dia sebaiknya kabur saja dari rumah? Namun, ketika dia mengingat betapa kejamnya para rentenir yang terkenal sering menyiksa para nasabahnya—Arum langsung mengenyahkan pikiran tersebut. Tidak mungkin baginya membiarkan kedua orang tuanya berada dalam bahaya. Apalagi kalau sampai kedelapan adiknya ikut terluka.

Ocehan Juragan Karta bak tak terdengar di telinga Arum yang sedang mengingat kembali perdebatan sengit semalam dengan ibunya. Suara tangis, nada kecewa, dan amarah bercampur jadi satu.

“Lebih baik Arum kerja banting tulang! Cari uang sendiri buat lunasi hutang bapak! Dari pada jadi gundik orang tua bangka itu—Arum nggak sudi!” teriaknya, dengan mata berkaca-kaca.

“Arum, dengarkan Ibu ...,” suara Bu Sarinem bergetar, wajahnya pucat. “Mustahil. Mau kamu kerja siang malam setahun pun, hutang bapakmu itu takkan lunas. Apalagi rentenir itu ... mereka minta dilunasi hari ini juga. Kalau tidak ... mereka akan mengambil rumah ini. Tidakkah kamu lihat adik-adikmu yang masih kecil ini? Tidakkah pula kamu melihat kondisi bapakmu itu?”

Arum menoleh ke sudut ruangan, Pawiro—bapaknya Arum, biang dari musibah ini, hanya duduk diam di atas tikar robek. Wajahnya tertunduk dalam. Aroma menyengat dari luka sabetan rotan di punggungnya belum hilang. Ia baru pulang dari rumah rentenir—dengan tubuh babak belur dan harga diri yang terhempas.

Hutang akibat berjudi ayam sabung sudah kelewat batas. Tidak ada lagi sawah, tidak ada ternak, bahkan cincin kawin istrinya pun sudah dijual. Satu-satunya cara menyelamatkan dirinya ... adalah dengan menyerahkan anak gadisnya—ke rumah besar itu. Rumah Juragan Karta—pria baya yang menawarkan bantuan untuk melunasi hutang piutang nya.

Sore itu, Arum tersentak ketika jari kasar menyentuh dagunya. Lamunannya buyar, matanya membulat saat menyadari Juragan Karta tengah membelai dagunya.

“Alus tenan. Matamu mirip banget sama ibuku waktu muda ....” Ucap Juragan sambil meneguk ludah.

Arum tidak menjawab. Ia hanya memejamkan matanya—menetralkan jantungnya yang hampir meledak.

Juragan menoleh ke sisi belakangnya, menatap wanita tua yang bernama Mbah Darsih—seorang abdi dalem yang akan mengurus semua keperluan Sekar Arum.

“Mbok Darsih ....” Suara berat Juragan Karta memanggil abdinya.

“Iya, Juragan,” sahut Mbah Darsih cepat.

“Bawa Arum ke tempat yang semestinya, sudah kau siapkan, bukan?” titahnya sambil bertanya.

“Sudah, Juragan.” Wanita tua itu menunduk, lalu mendekati Arum. “Ayo kita ke kamarmu.”

...****************...

Rumah besar itu lebih sunyi dari biasanya ketika Sekar Arum dibawa masuk oleh Mbah Darsih, wanita tua yang sudah melayani Juragan—lebih dari sepuluh tahun lamanya.

Langkah Arum seakan tak berjejak. Sandalnya yang tipis seolah tak bersuara di lantai batu yang dingin.

Di dalam, seorang wanita baya sudah menanti keduanya. Arum menunduk hormat pada wanita baya yang parasnya masih terlihat cantik. Namun, tidak dengan wanita baya itu, dia menatap sinis ke arah Arum.

“Jadi kamu? Gundik baru suamiku?” sinis Nyai Lastri, istri sah juragan Karta. Dagunya mendongak angkuh.

Arum tak menjawab, hanya wajahnya yang semakin tertunduk dalam diam.

“Madun!” Nyai Lastri memanggil ketus ajudan kepercayaannya.

“Iya, Nyai ...,” sahut Madun cepat.

“Bawa dia ke belakang, agar berjumpa dengan para gundik lainnya,” titah Nyai Lastri dengan senyuman angkuh. “Dan, ajari dia menjadi manusia yang berguna di rumah ini.”

Madun mengangguk patuh, lalu mencengkram erat lengan Arum dan menariknya kasar. Namun, Mbah Darsih langsung mencekal lengan Madun, sorot mata sayu itu terlihat dingin. Lalu menoleh dan menatap berani Nyai Lastri.

“Maaf, Nyai. Sesuai titah Juragan Karta, Arum akan dibawa ke Paviliun,” kata Mbah Darsih.

Nyai Lastri tak menjawab, hanya kedua tangannya yang mengepal erat. Ia membiarkan Mbah Darsih dan Arum berlalu begitu saja.

.

.

Di pelataran belakang, sepuluh wanita sedang menumbuk daun-daunan. Mereka berhenti serempak saat melihat gadis baru itu masuk.

Sepuluh pasang mata memandang Sekar Arum. Lima dari mereka menatap tak suka. Mereka menatapnya seolah ia adalah duri yang baru tumbuh di batang pohon tua yang sudah mengering. Perasaan iri, marah, bercampur dengan rasa takut dan juga jijik.

Langkah Arum terhenti sejenak, ia mengamati aktivitas kesepuluh gundik.

“Ayo, cepet jalan.” bisik Mbah Darsih dengan nada datar.

Arum berjalan perlahan melewati para wanita itu. Tak satu pun yang menyapa. Beberapa membalikkan wajah, tapi yang lain terus menatap, menelanjangi Arum dari ujung rambut hingga jemari kakinya.

Gundik-gundik itu tau apa artinya kalau seorang gadis yang baru datang bukan langsung dibawa ke dapur, bukan ke gudang, dan bukan ke kamar para pelayan.

Dia adalah gundik istimewa. Gundik yang akan menjadi kesayangan juragan.

...****************...

Malam itu, Sekar Arum tidak tidur di kamar gundik seperti yang lain. Ia ditempatkan di sebuah paviliun kecil di belakang rumah utama. Bangunan berisi dua kamar itu dipenuhi lampu minyak harum dan perabot dari kayu jati mengkilap.

“Mulai sekarang, kamu akan jadi gundik ku yang istimewa. Kamu akan tinggal di sini, enggak usah kumpul sama gundik lainnya. Fokus mu hanya melayani kemauan ku serta memberiku keturunan,” kata Juragan.

“Keturunan?” Arum memberanikan diri menatap manik legam milik Juragan.

Pria yang usianya berbeda tiga puluh tahun dari Arum itupun mengangguk. “Satupun gundik ku, tak ada yang mampu memberikan ku anak! Termasuk istriku sendiri. Pada mandul!” umpat Juragan.

Sambil membelai lembut buah dada Arum, pria itu kembali berkata, “sudah berapa hari kamu datang bulan?”

“Baru dua hari, Juragan,” dusta Arum. Padahal, lusa sudah bisa dipastikan menstruasinya akan selesai.

Juragan manggut-manggut sambil terus meraba—meneguk kasar ludahnya.

“Ya, sudah. Nanti kalau sudah berhenti mens nya, layani aku dengan baik. Malam ini, aku akan bermalam dulu dengan gundik lainnya.” Itu pesan Juragan, sebelum ia pergi meninggalkan kamar.

Arum hanya mematung, masih belum bisa beradaptasi dengan kejadian yang serba singkat ini.

Dari jendela kamarnya, ia bisa melihat ke arah dapur tempat para gundik lama berkumpul. Dalam keremangan, ia tau ... mata-mata itu masih mengawasinya.

Penuh kebencian.

Penuh amarah.

Penuh luka yang belum sembuh—dan kini diiris kembali oleh kehadirannya.

Dan di balik semua itu ... di lorong rumah besar ini, ada sepasang mata lain yang juga memperhatikannya. Sepasang mata penuh dendam.

*

*

*

Selamat membaca Readers, semoga suka💖

Jika berkenan, silahkan di subscribe ya 🥰

DG 2

Langit pagi di desa itu selalu tampak kelabu, meski matahari bersinar malu-malu di balik kabut tipis. Rumah besar milik Juragan Karta perlahan hidup kembali—suara sendok bergesek dengan piring, rebusan air di dapur, langkah pelayan yang mondar-mandir membawa kain basah dan sapu lidi.

Namun di paviliun kecil di belakang rumah utama—tempat Sekar Arum kini tinggal—suasananya berbeda. Terlalu tenang, terlalu sunyi, terlalu tentram.

Di meja kecil beralaskan kain bordir, duduklah Arum dengan rambut tergerai, mengenakan selendang tipis yang menutupi bahunya. Tatapannya kosong, lelah. Ia tidak tidur semalaman. Ada rasa tak nyaman yang terus menghantui, seolah ada sosok tak kasat mata yang memperhatikannya dari balik tirai atau celah dinding. Tapi, setiap ia menoleh, selalu selalu tak ada apa-apa di sana. Hanya ia seorang diri.

Tak lama, Juragan Karta datang membawa secangkir minuman hangat dalam cangkir porselen halus. Asap tipis mengepul, membawa aroma rempah yang tajam dan asing.

“Ayo diminum, Rum.” Ujarnya sambil meletakkan cangkir itu di hadapan Arum. “Aku sendiri yang membuatnya.”

Arum menatap cairan kecokelatan itu, mengendus pelan. Ada jejak aroma kayu manis, juga jahe dan ... sesuatu yang lebih getir.

“Apa ini, Juragan?” tanyanya pelan.

Juragan tersenyum. Senyum yang tak memiliki sedikitpun kehangatan. “Minum saja. Itu ramuan untuk menyuburkan rahim. Supaya kau bisa secepatnya memberi aku keturunan.”

Arum hanya mengangguk tanpa kata. Tangannya menggenggam cangkir itu, tapi belum juga membawanya ke bibir. Juragan lalu menyentuh bahunya, membelai pelan punggungnya, seolah memberi tanda bahwa tubuh Arum kini adalah miliknya.

“Seminggu ini aku tidak pulang. Ada urusan penting di luar kota,” bisiknya. “Rawat tubuhmu baik-baik. Saat aku pulang nanti ... aku ingin kau melayaniku sebaik-baiknya.”

Tanpa menunggu balasan, Juragan menunduk, melumat singkat bibir Arum yang terkatup rapat. Kemudian ia pergi, meninggalkan aroma minyak rambut dan jejak jejak rasa jijik yang masih menggantung di udara.

Beberapa saat setelah itu, suara langkah sepatu kain terdengar mendekat. Mbah Darsih, perempuan tua yang mengurus segala hal di rumah besar itu, melangkah masuk dengan wajah datar namun matanya tampak menyimpan sesuatu.

“Apakah ada yang kamu butuhkan, Nak Arum?” tanyanya, suaranya rendah, nyaris tanpa intonasi.

Arum menggeleng pelan. Namun, sebelum Mbah Darsih sempat berbalik pergi, ia menatap perempuan tua itu dengan sorot berbeda. Ada tanya yang mendesak dari dasar hatinya.

“Mbah ... apa bisa—tolong carikan informasi tentang kedua orang tuaku. Aku ingin tau … apa benar hutang-hutang bapakku sudah dilunasi oleh Juragan?”

Pertanyaan itu meluncur pelan, hampir seperti bisikan. Tapi, terdengar jelas dan tegas. Arum menyeruput secangkir minuman di tangannya, tapi pikirannya berkecamuk.

Mbah Darsih tak segera menjawab. Ia hanya menatap Arum, lama. Lalu mengangguk kecil.

“Tentu bisa. Hanya itu?” Mbah Darsih menelisik lewat sorot matanya.

Arum tampak ragu-ragu sebelum kembali bertanya. “Apa bisa ... permintaan ku ini hanya kita berdua saja yang tau?”

“Baiklah,” ujar Mbah Darsih akhirnya. “Besok malam atau lusa, setelah tugas-tugasku selesai—aku akan mencari informasi untukmu.”

Kemudian ia pergi, seperti bayangan yang menyusup kembali ke lorong-lorong rumah tua itu.

...****************...

Sore itu, cahaya matahari mulai merunduk di balik hamparan awan tipis. Udara kebun belakang rumah besar terasa lembap dan manis, bercampur aroma tebu yang siap dipanen. Deru samar mesin penggiling gula terdengar dari kejauhan, menyatu dengan suara jangkrik dan gesekan dedaunan yang tertiup angin sore.

Arum melangkah pelan, mengikuti seorang lelaki yang belum ia kenal sebelumnya. Lelaki itu berusia sekitar dua puluh lima tahun, kulitnya cenderung kuning langsat, tubuhnya tegap, dan mengenakan ikat kepala dari kain hitam yang melilit rambut pendeknya. Meski wajahnya terkesan cuek, namun sorot matanya jernih dan senyumnya hangat—berbeda. Tidak seperti tatapan sinis atau hampa dari penghuni rumah besar itu.

“Sebelum berangkat, Juragan meminta saya menunjukkan area sekitar rumah dan ladang ....” Ujarnya sembari melangkah menyusuri jalan tanah yang membelah hamparan tebu. “Sekaligus supaya Nona tidak merasa sendirian terus di paviliun itu. Oh, ya, saya lupa memperkenalkan diri—saya Junaidi, Mandor di kebun tebu.” Lanjutnya, sambil sesekali mencatat sesuatu di buku kecil yang ia bawa.

Arum mengangguk kecil, matanya menelusuri ladang tebu yang menjulang seragam ke langit, seolah tak berujung. Hijau yang melimpah itu tak serta-merta memberi rasa nyaman. Justru terasa seperti pagar-pagar alam yang membatasi kebebasannya.

Beberapa langkah di belakang mereka, Mbah Darsih berdiri memantau. Diam dalam heningnya, tapi, tetap memperhatikan. Arum tau, bahkan dalam kebun seluas ini, ia tak bisa benar-benar bebas.

“Luas sekali,” gumamnya lirih. “Apakah semua ini milik Juragan Karta, Tuan Mandor?” tanya Arum, suaranya pelan namun jelas.

Junaidi tertawa kecil, nadanya ringan seperti angin.

“Ah, jangan panggil saya Tuan Mandor. Panggil saja Junaidi, atau ... Jun juga boleh.” Ia menoleh sambil tersenyum, lalu menjawab pertanyaan Arum dengan nada lebih serius. “Tentu saja ini semua milik Juragan Karta. Lebih tepatnya, beliau adalah pewaris satu-satunya dari ayahnya—yang dulu dikenal sebagai kaki tangan Belanda saat zaman kolonial. Tapi, warisan beliau tak berhenti di sini. Masih banyak—perkebunan, tambak, rumah penginapan, bahkan ... bisnis-bisnis yang tidak semua orang tau.”

Ucapan itu menggantung di udara. Arum tak menanggapi, namun sorot matanya mulai meredup, pikirannya melayang entah ke mana. Junaidi memperhatikannya sejenak, sebelum bertanya dengan hati-hati.

“Kalau boleh tau, kenapa Nona bertanya soal kepemilikan ladang ini? Apa ada yang membuat Nona ... merasa tidak nyaman?”

Arum mengerjap pelan, seolah baru ditarik kembali dari pikirannya sendiri.

“Tidak. Saya ... hanya ingin tau saja,” jawabnya pelan.

Junaidi melirik ke arah Mbah Darsih. Mata mereka saling bertemu, Junaidi mengangguk kecil—seolah baru saja selesai mengkonfirmasi sesuatu.

“Apa ... semua wanita yang ada di rumah itu … dulunya juga seperti saya?” tanya Arum lirih. “Dijual oleh kedua orangtuanya sendiri?”

Junaidi terdiam sesaat. Matanya menatap ladang tebu yang bergoyang tertiup angin—seolah sedang meratap.

“Ya. Mereka semua dulu masuk dengan alasan yang hampir sama. Kemiskinan, paksaan, hutang. Tapi ... hanya sedikit yang bisa bertahan. Banyak yang pergi karena Juragan tak lagi menginginkan, ada juga yang tiba-tiba ... hilang.”

“Maksudnya?” tanya Arum pelan.

“Entahlah. Tidak semua bisa berkata jujur di tempat ini. Bahkan suara pun bisa dibungkam oleh yang punya kuasa,” ujar Junaidi lirih. Lalu menatap Arum dalam. “Anda harus hati-hati, Nona.”

Arum menunduk. Tak menjawab. Namun di matanya mulai tumbuh rasa waspada—dan ketakutan yang merambat perlahan seperti kabut.

Tanpa mereka sadari, dari kejauhan—di lantai atas rumah besar, sepasang mata memperhatikan mereka. Di balik tirai tipis, Nyai Lastri berdiri dengan tubuh tegang. Matanya menyipit, menatap Arum dan Junaidi yang berdiri terlalu dekat di ladang belakang.

“Cantik sekali wajah perempuan murahan itu,” gumam Nyai Lastri dingin. Suaranya lirih, tapi tajam seperti silet.

Madun, lelaki setengah baya yang menjadi tangan kanannya, berdiri di belakangnya menunggu titah.

“Perintahkan orang dapur. Campurkan racikan seperti biasa ke makanannya,” perintah Nyai tanpa menoleh.

Namun Madun tampak ragu. “Maaf, Nyai. Nona Arum tak makan makanan dari dapur utama. Semua diantar langsung oleh Juragan sendiri.”

Mata Nyai membelalak. Jemarinya mencengkeram ujung selendang dengan gemetar menahan amarah.

“Juragan sedang pergi ke luar kota, yang ada hanya perempuan tua bangka itu! Atur bagaimana caranya agar Sekar Arum meminum ramuan itu!” desisnya dengan teriakan tertahan. “Aku tidak akan membiarkan perempuan lain di rumah ini mengandung anak Juragan. Tidak satu pun!”

*

*

*

DG 3

Dari luar, rumah besar milik Juragan Karta tampak seperti lambang kemakmuran. Dinding tembok yang kokoh, pilar kayu jati, dan kebun bunga di sisi halaman. Tapi, di dalam dapur belakang, ada rahasia busuk yang telah berlangsung bertahun-tahun lamanya.

Seorang pelayan tua, tubuhnya bungkuk dan tangan keriput, dengan sabar menumbuk bahan-bahan di dalam cobek batu. Ia tak pernah menanyakan tujuannya. Ia hanya melaksanakan perintah. Perintah dari Nyai Lastri.

Daun jarak dikombinasikan dengan akar kunyit dan daun pepaya muda. Tiga bahan itu diracik dengan hati-hati. Getah daun jarak yang pahit dan panas dipercaya dapat mengganggu sistem reproduksi. Akar kunyit, meski terkenal sebagai obat, dalam jumlah besar justru bisa mengacaukan siklus rahim. Dan daun pepaya muda yang getir itu, jika diminum terus-menerus, akan melumpuhkan rahim pelan-pelan. Membuat setiap wanita sulit hamil meskipun tampak sehat di luar.

Ramuan itu tak tampak berbahaya. Ia dicampur ke dalam teh manis, bubur kacang hijau, atau rebusan sayur. Setiap wanita yang menjadi gundik Juragan pasti akan merasakannya. Tapi, tak pernah ada yang sadar. Mereka hanya melewati waktu ... dengan perut mereka yang ... tetap datar.

Nyai Lastri selalu memastikan semuanya berjalan rapi. Ia tak akan membiarkan satu pun perempuan meninggalkan warisan darah di rumah ini. Tidak, tidak selama ia masih menjadi istri sah.

Sore itu, amarah Nyai Lastri mendidih dalam diam ketika seorang pelayan masuk dengan langkah hati-hati, membawa nampan berisi secangkir teh utuh.

“Maaf, Nyai,” ucap si pelayan dengan suara lirih. “Saya tidak diperbolehkan masuk ke paviliun oleh Mbah Darsih. Tehnya ... tidak sampai ke tangan Sekar Arum. Mbah Darsih mendapatkan perintah langsung dari Juragan untuk mengurus semua keperluan Sekar Arum. Termasuk, makanan dan minumannya.”

Tatapan Nyai Lastri tajam menancap ke cangkir teh itu—seolah ingin membelah porselen hanya dengan pandangan.

“Kembalilah ke dapur,” ucapnya dingin.

Pelayan itu menunduk dalam, lalu cepat-cepat mundur dan menghilang dari pandangan.

Begitu pintu tertutup, Nyai Lastri menghentakkan tangannya ke meja rias. Beberapa alat kecantikan berjatuhan—bedak pecah, sisir terlempar, cermin kecil terguling ke lantai. Wajahnya merah padam, gigi-giginya menggertak menahan geram.

Madun, sang ajudan setia, berdiri di sudut ruangan tanpa suara. Ia tau betul kapan harus bicara dan kapan harus diam seperti patung.

“Madun!” desis Nyai Lastri tajam.

“Saya, Nyai,” sahutnya cepat, langsung melangkah mendekat.

“Siapkan rencana selanjutnya,” ucap Nyai, suaranya rendah namun tajam seperti belati. Sebuah senyum muncul di bibirnya—senyum penuh kebencian.

“Baik, Nyai.” Madun menunduk patuh, lalu mundur perlahan sebelum akhirnya menghilang dari ruangan yang dipenuhi aroma mawar dan dendam.

Sepeninggalan Madun, Nyai Lastri melangkah ke jendela besar yang menghadap ke taman belakang. Pandangannya mengarah jauh ke paviliun—tempat perempuan itu tinggal. Tangannya meremas ujung kebaya dengan erat, hampir seperti ingin merobek kain itu dari tubuhnya.

Dari kejauhan, Arum tampak sedang duduk di teras, menikmati secangkir teh hangat. Wajahnya tenang, seperti tak menyadari badai yang tengah mengintainya dari balik dinding rumah besar ini.

Nyai Lastri menyipitkan mata. Suaranya lirih serta sinis.

“Jika bukan dari rahimku, maka Kang Mas Karta tidak berhak memiliki keturunan. Terlebih lagi ... dari rahim perempuan hina yang datang karena hutang dan belas kasihan. Tidak akan kubiarkan!” Jerit Nyai Lastri, wanita yang sudah di cap tak dapat memiliki keturunan oleh para dukun beranak.

Tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Pandangannya membakar paviliun dari kejauhan, seolah ingin meluluhkan nya hanya dengan kebencian yang menyesakkan dada.

...****************...

Malam itu, Arum tengah menyisir rambut di depan cermin ketika suara ketukan terdengar di pintu paviliun. Cukup lama—sampai akhirnya Arum baru menyadari kalau ia hanya seorang diri di rumah itu. Sebelum senja, Mbah Darsih sedang berpamitan ke ujung desa, untuk mencari informasi tentang hutang piutang orang tua Arum—dan akan pulang sebelum fajar menyingsing.

Arum meletakkan sisirnya di meja rias, lalu menuju ke ruang utama. Ia membuka pintu, dan mendapati seorang pelayan muda berdiri gelisah.

“Nona ... Juragan memanggil Anda ke gudang tua di belakang,” ucapnya gugup. “Katanya ... ada barang peninggalan ibunda Juragan yang harus dipilih. Juragan ingin Nona yang memilih.”

Arum memiringkan kepala, bingung. “Juragan? Bukannya beliau sedang ke luar kota? Ada urusan pekerjaan, katanya?”

Pelayan itu menunduk cepat. “Juragan sudah kembali. Beliau sedang menunggu di gudang. Mari, saya antar.”

Arum menatap wajah pelayan itu cukup lama. Ada sesuatu yang ganjil. Tapi karena nama Juragan disebut, ia menepis rasa curiga yang menggelayut. Dengan langkah pelan, ia mengikuti pelayan itu melewati lorong sempit yang gelap dan lembap. Bau tanah basah dan dinding berlumut menyambut mereka.

Mereka tiba di depan pintu gudang tua yang sudah jarang digunakan. Ketika pintu dibuka, cahaya lampu gantung kuning temaram menyambut. Bau debu bercampur karat dan kayu lapuk menyeruak dari dalam.

Dan di sana—dalam cahaya redup—lima perempuan berdiri. Perempuan-perempuan yang sejak awal kedatangannya memandang dengan tatapan tajam penuh benci. Mereka berdiri mengapit sebuah kursi jati besar, tempat Nyai Lastri duduk sambil mengulas senyuman tipis yang mengembang, layaknya ular yang siap memangsa.

Langkah Arum terhenti. Firasatnya buruk. Ia segera berbalik, berniat pergi. Tapi belum sempat menyentuh gagang pintu, Madun sudah berdiri di sana, menutup pintu rapat dan menguncinya dari dalam.

Arum membalikkan tubuh. Jantungnya berdegup kencang. Ia kini berhadapan dengan Nyai Lastri dan para gundik.

“A-apa yang kalian inginkan?!” suaranya bergetar. Langkahnya mundur teratur, seakan lupa dengan sosok Madun di belakang.

Madun cepat melangkah maju dan menendang punggungnya.

BRUGH! Arum terjatuh ke lantai, pipinya menghantam lantai kayu yang kasar.

Tawa membahana langsung pecah di ruangan itu.

“Hahaha! Rasain!”

“Dasar gundik murahan!”

“Kecil-kecil udah bisa nyihir juragan!”

“Pake pelet apa kamu, hah?!”

“Dasar pelacur kampung!”

Arum menggigit bibir, menahan rasa sakit dan rasa malu yang menyayat. Ia berusaha bangkit, merangkak, mencoba menuju pintu. Namun, sebelum sempat berdiri tegak, Madun sudah mencengkeram rambutnya dari belakang dan menarik paksa.

“Lepaskan aku!” teriak Arum.

PLAK!

Sebuah tamparan mendarat keras di pipi Arum. Gadis itu terhuyung. Darah segar menetes dari sudut bibirnya.

Madun melirik ke arah kursi besar itu. Nyai Lastri masih duduk tenang, dengan senyum tipis penuh kemenangan.

“Silahkan, Nyai,” ucap Madun pelan, menunduk memberi jalan bagi sang penguasa.

Nyai Lastri berdiri perlahan dari kursi jatinya. Dagunya mendongak angkuh, seolah ia ratu di singgasana. Seringai keji belum surut dari bibirnya. Langkahnya pelan, mantap, dengan ujung kain kebayanya berdesir menyapu lantai berdebu.

“Andai saja kau meminum apa yang kuberi, kau tak akan berakhir di tempat kotor seperti ini, Sekar Arum,” ucapnya dingin. “Semua ini ... adalah buah dari kebodohanmu sendiri.”

Arum yang masih terduduk di lantai hanya mampu mengernyit, wajahnya pucat dan penuh debu. “Apa maksud Anda, Nyai ...? Apa sebenarnya tujuan Anda?!”

PLAK!

Tamparan keras mendarat di pipi Arum, membuat kepala itu tertoleh ke samping.

“Berani sekali gundik murahan sepertimu menanyakan maksudku!” desis Nyai Lastri, matanya menyala. “Tidakkah kau sadar siapa dirimu di rumah ini?! Kau hanya serpihan dari kenikmatan sesaat!”

Tangannya mencengkeram rambut Arum dan menariknya paksa ke atas, membuat kepala Arum mendongak. Pandangan mereka bertemu—mata Arum basah dan bergetar, sedangkan Nyai Lastri membara oleh api cemburu yang membusuk.

“Kenapa perempuan melarat sepertimu bisa punya wajah secantik ini, hah?” bisik Nyai Lastri tajam, suaranya bergetar oleh amarah yang ditahan. “Apa karena wajah inilah ... Juragan jadi lupa pada janji-janji lamanya? Tak sekalipun bertanya, tak sekalipun meminta pendapatku ... sebelum menyeretmu masuk ke rumah ini.”

Nyai semakin mempererat cengkraman di rambut Arum. Lalu menadahkan tangan, sambil menatap Madun. Sang ajudan paham maksudnya. Ia maju dan menyerahkan sebilah pisau kecil, tipis, dan tajam—benda yang biasanya digunakan untuk menguliti hewan.

Melihat kilatan logam itu, tubuh Arum menegang. Nafasnya memburu. Ia menggeliat mencoba kabur, tapi Madun dengan cekatan mencekal kedua lengannya dari belakang.

“Lepaskan aku! Lepaaas!” Arum menjerit, suaranya melengking dan putus asa.

Nyai Lastri tertawa senang, jantungnya berdebar-debar. Ia mengarahkan benda tajam itu ke wajah Sekar Arum, dan dengan satu sayatan—pipi Arum mengeluarkan darah segar.

"Aaaaarrrghhh!" Jeritan Arum menggema di ruangan itu.

Nyai Lastri semakin menyeringai, ia memberi sayatan kedua—lebih panjang, dan membuat jeritan Arum semakin membahana.

Bibirnya bergetar hebat. “A-mpun, Nyai ... maafkan saya ....”

Bukannya kasihan, permohonan itu justru menjadi musik terindah bagi Nyai Lastri. Ia tertawa puas. Aksinya kembali berlanjut. Madun menyerahkan jeruk nipis yang sudah di belah dua, Nyai langsung menyambarnya—meremas dua jeruk nipis ke luka-luka di wajah Arum.

“Aaaarrrgghhhh!” Sekar Arum semakin menjerit, tubuhnya menggeliat kesakitan. “Juragaaaan, tolong sayaaaa!”

“Panggil sana Juraganmu!” teriak Nyai Lastri sambil terbahak. “Kau pikir, Juragan akan menolongmu setelah melihat wajahmu yang menjijikkan itu? Hahaha! Jangan mimpi!”

Lima gundik lain ikut terbahak. Mereka semua ikut muak. Sejak Arum hadir, pekerjaan mereka di rumah besar itu jadi bertambah—mencuci pakaian milik Sekar Arum, atas perintah Juragan.

Nyai Lastri menoleh ke arah para gundik, matanya tajam. “Laksanakan tugas kalian.”

Empat orang gundik yang masing-masing memegang kayu balok, mengangguk patuh. Mereka maju, mendekati Arum. Dan dengan kejinya, mereka memukul Arum tanpa ampun.

BUGH!

BUGH!

BUGH!

BUGH!

Arum terkulai di lantai berdebu, tubuhnya menggeliat lemah. Setiap pukulan membuat napasnya tersengal, pandangannya buram. Darah mengalir dari kepala dan pelipisnya.

Nyai Lastri tertawa kencang, lalu menatap satu gundik yang masih diam di tempat sambil membawa sebuah termos.

“Atun. Sekarang giliranmu,” desis Nyai.

Atun mengangguk, membuka tutup termos, dan aroma menyengat dari uap air panas langsung menyebar. Ia lekas maju.

“Minggir!” serunya pada yang lain.

Begitu yang lain menyingkir, Atun mengangkat termos tinggi—

BYUUURRR!

“ARRRGGGHHH! PANAAAASS! SAAAKIIITTT!”

Air panas itu menyiram punggung dan lengan Arum. Kulit berbalut gaun putih itu langsung memerah, melepuh. Jeritannya menembus malam, menggema hingga ke luar gudang.

*

*

*

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!