"Ra—Ratih... maaf. Pernikahan kita... batal," ucap Bagas pelan, nyaris tanpa nada. Tatapannya kosong, tak berani menatap mata gadis itu.
"A—apa maksudnya, Mas?" suara Ratih gemetar. Wajahnya pucat, bola matanya mencari penjelasan di wajah Bagas yang malah tertunduk.
"Karena kamu nggak pantas menikah sama Bagas!" sahut Romlah tiba-tiba, tajam seperti cambuk. Tatapannya menusuk, mulutnya tak segan menghakimi.
“Bu... saya nggak ngerti…” suara Ratih pelan. Matanya mulai basah, bahunya melemah. Tubuhnya oleng sedikit, seperti mau jatuh.
Ia diam, bingung dan takut.
"Kamu pembawa sial, Ratih. Keluarga kami bisa hancur kalau Bagas tetap nikah sama kamu!" lanjut Romlah, keras tanpa belas kasihan.
"Enggak... ini salah paham, Bu… saya... saya nggak pernah berniat bawa sial..." suara Ratih gemetar.
Matanya gelisah, tangan gemetar.
Ia mencoba bicara, tapi lidahnya kelu. Hatinya ciut, keberaniannya hampir hilang.
"Kamu lahir, ibumu mati. Ayahmu terusir dari keluarga besarnya. Sekarang kamu tunangan sama Bagas, ayahnya malah lumpuh. Kami tanya orang pintar, katanya kamu sumber sial!" Romlah menuding, wajahnya merah padam, seperti menyumpahi takdir Ratih.
"Tapi... undangan sudah disebar, Bu… tinggal seminggu lagi… gimana keluarga saya harus jelaskan ini ke orang-orang?” tanya Ratih lirih.Nafasnya terasa sesak, tangannya memegang dada.Air matanya menetes satu-satu. Ia bingung dan sangat terpukul.
"Kami sudah siapkan pengganti. Sinta. Adikmu," jawab Romlah ringan, seolah mengganti pengantin semudah menukar baju lebaran.
Ratih menoleh pelan ke arah Sinta. Mulutnya terbuka sedikit, tapi tak ada suara. Ia hanya bisa memandang adiknya yang terdiam, lalu melirik ibu tirinya, Narti, yang juga tak berkata sepatah pun.
"Aku... nggak mau, Bu," kata Sinta pelan.
“Kenapa, Nak?” Romlah mendekat, matanya mengamati Ratih. Wajahnya datar, tapi nadanya menekan.
"Aku... nggak enak sama Kak Ratih. Bagaimanapun... mereka udah lima tahun pacaran..." jawab Sinta. Tapi wajahnya tak sepenuhnya sedih—matanya sempat berbinar sesaat.
"Kamu jangan mikir begitu. Ini demi kebaikan keluarga!" potong Romlah, mulai mengelus bahu Sinta seperti membujuk anak kecil agar tidak menangis.
---
“Saya sih ikut Sinta aja. Lagian jodoh jangan dipaksa,” kata Narti datar. Wajahnya tenang, tanpa rasa bersalah. Perkataannya terdengar ringan, tapi menampar keras perasaan Ratih.
“Kalau gagal, kita semua akan jadi bahan omongan. Sinta, kamu harus berkorban demi keluarga,” suara Handoko tegas. Alisnya mengernyit, tangan mengepal.
"Iya, Nak. Ini buat kehormatan kita semua," Romlah menambahi.
Tangan Ratih gemetar. Ia memandang Sinta, kemudian semua wajah yang menatapnya seolah ia penyakit yang harus disingkirkan. Bibirnya bergetar, tak tahu harus bicara apa.
"Aku... aku nggak bisa nikah kalau Kak Ratih belum nikah. Orang bakal bilang aku rebut calon suami kakakku sendiri… itu... itu nggak baik, Bu…" ucap Sinta akhirnya.
Ruangan hening. Semua seperti terpaku. Ratih berdiri kaku di tengah, dadanya terasa berat, seperti dipaku di tempat. Ia tak tahu harus pergi ke mana, dan tak ada satu pun yang merangkulnya.
Dalam hati, Ratih hanya bisa bergumam, "Kenapa... semua ini harus terjadi ke aku...?"
---
“Baik… kalau aku tak jadi menikah dengan Bang Bagas… tak apa. Tapi… aku nggak mau asal menikah, Bu…” suara Ratih lirih.
Dadanya sesak, wajahnya pucat menahan tangis. Ia menunduk, menggenggam ujung kain kebaya erat-erat. Tubuhnya gemetar halus, tapi suaranya tetap berusaha tenang. Hatinya terluka, tapi ia mencoba bertahan.
“Kamu pikir kamu masih punya pilihan, Ratih?” suara Romlah keras, menyentak. Matanya tajam, mengunci Ratih seolah gadis itu adalah musuh yang harus dilenyapkan.
“Ibu…” Ratih menggigit bibirnya, matanya mulai berkaca. Suaranya seperti suara anak kecil yang tak tahu harus berlindung ke mana.
“Ingat… nyawa bapakmu ada di tanganku. Sekali kamu menolak… anggap saja dia sudah nggak ada.” Romlah membisikkan ancaman di telinga Ratih, suaranya pelan tapi mengancam.
Wajahnya dekat, matanya tajam.
Ratih gemetar, tubuhnya kaku.
Jantung Ratih seolah berhenti berdetak. Kepalanya mendadak ringan. Dunia seperti berputar. Ia memejamkan mata, mencoba menahan gemetar, tapi lututnya sudah mulai lemas.
“Kalau begitu… acaranya harus diundur…” ucap Bagas hati-hati. Ia melirik Romlah sejenak, lalu kembali menunduk, tak sanggup melihat wajah Ratih.
“Tidak bisa! Tanggal itu yang paling baik. Paling membawa berkah bagi keluarga kita.”
Romlah menyela cepat, wajahnya serius. Tangannya terangkat, menekankan ucapannya.
Suasananya jadi tegang seketika.
“Benar. Pak ustaz juga bilang begitu… tanggal itu penuh barokah.”Narti ikut bicara, wajahnya datar. Ia mengangguk pelan, seolah tak bisa dibantah.
Suaranya terdengar yakin tapi dingin.
“Tapi Bu… cari calon suami itu nggak semudah itu…” Ratih mencoba menyampaikan kegundahannya. Suaranya makin kecil, seperti orang yang mulai kehilangan tenaga.
“Tenang saja. Aku sudah siapkan penggantinya. Ini hasil ramalan guru agung. Katanya, kalau kamu menikah dengannya, kamu akan bawa kejayaan dan keberkahan.”
Narti tersenyum, wajahnya penuh percaya diri. Ia duduk santai, seperti semuanya sudah diatur.
“Siapa, Bu?” Ratih menatapnya bingung.
Narti menoleh ke luar dan berteriak, “Minto! bawa Masuk!”
Langkah kaki terdengar dari luar. Tak lama kemudian, muncullah sosok lelaki yang langsung membuat wajah Ratih pucat. Rambutnya acak-acakan, bajunya lusuh, matanya kosong. Lelaki yang selama ini ia beri nasi dan tempe di pinggir jalan.
Sinta menahan senyum, sementara Romlah memalingkan wajah dengan ekspresi jijik.
“Ibu… yang bener aja… masa saya disuruh nikah sama orang yang punya gangguan jiwa?” suara Ratih pecah. Tubuhnya gemetar, air mata jatuh satu-satu.
“Kata siapa dia sakit jiwa?” Nada Narti datar, tapi matanya menyala tak percaya. Ia bersedekap sambil menyipitkan mata. Pertanyaan itu terasa sebagai serangan langsung ke dada Ratih yang rapuh hari.
“Bu, orang sekampung juga tahu dia sakit jiwa,” keluh Ratih, suaranya pecah. Air mukanya muram, bahu menurun. Hidupnya serasa permainan tak adil yang memeras tenaga dan hati tiap hari lagi.
“Kalau dia sakit jiwa, kenapa setiap hari kamu memberi makan dia?” sindir Narti, bibirnya melengkung tipis.
“Kasihan, Bu,” Ratih mengaku, suara lirihnya hampir tenggelam. Matanya berkaca, Baginya, orang gila juga manusia yang layak dihargai.
Narti tersenyum sinis. “Bu Romlah, Anda masih ingat tender sapi besar itu datang dari mana?” ucapnya manis. Ia mencondongkan tubuh, seperti mau membocorkan rahasia menggiurkan yang belum pernah terungkap sebelumnya.
Romlah mengangguk, nada yakin. “Kita pulang dari guru agung Ki Jaka Kelana,” jawabnya mantap. Matanya berbinar, mengingat berkat lama itu. Kepercayaannya pada ramalan semakin kuat dalam diri setiap keputusan baru.
“Sebelum memutuskan ini, aku juga bertanya pada Ki Jaka Kelana,” lanjut Narti, nada menekan. Bibirnya terangkat licik. Ia membuka tiga jari, menandai poin-poin penting yang tak bisa diabaikan oleh siapapun.
“Pertama, Bagas cocok dengan Sinta. Kedua, bencana datang bila Sinta melangkahi Ratih. Ketiga, kalau Ratih menikah, kita naik drastis,” ucap Narti puas. Senyumnya melebar, jari mengetuk meja, ramalan jadi senjata.
..
..
..
"Dia juga tidak gila, coba saja tanya siapa namanya?" ucap Narti pelan.
Suasana ruangan langsung hening. Semua mata tertuju pada pria dengan pakaian lusuh dan rambut awut-awutan yang berdiri di pojok ruangan. Ratih merasa tubuhnya lemas, pikirannya kacau. Hidupnya seolah benar-benar hancur hari ini. Ia memandang ke arah Bagas dengan kecewa. Bukankah Bagas pernah berjanji akan menikahinya dan membawanya keluar dari rumah penuh luka ini?
"Siapa nama kamu?" tanya Pak Handoko.
"Rojali," jawab pria itu singkat.
"Dari mana asalmu?" tanya Handoko lagi.
"Gunung Galunggung."
"Menurutmu, Ratih itu cantik?"
"Cantik," jawab Rojali, tanpa ragu.
"Apakah kamu suka padanya?"
"Saya suka orang baik."
"Apakah kamu akan membahagiakan Ratih?"
"Tentu saja! Aku akan membahagiakan Ratih. Seluruh dunia akan kuberikan untuknya!" ujar Rojali penuh semangat dan keyakinan.
"Stop!" Ratih tiba-tiba berseru, suaranya gemetar karena marah dan bingung. "Walaupun dia tidak gila, aku tetap tidak mau menikah dengannya! Aku bahkan tidak mengenalnya!"
"Buat apa kenal lama-lama? Akhirnya juga menikahnya sama orang lain," sahut Rojali enteng.
Ratih terdiam. Matanya membulat. Dalam hati, ia tahu kalimat itu... ada benarnya.
"Bu Romlah, saya hanya bisa menikahkan Sinta kalau Ratih menikah. Tapi untuk dapat tanggak baik, kita harus nunggu empat tahun lagi," jelas Narti.
"Sudah, dia waras kok. Kalau mandi dan bajunya rapi, saya yakin dia lumayan tampan," ujar Sinta lembut, seolah bijaksana. Tapi dalam hatinya, ia tertawa puas.
"Mampus lu, Ratih. Orang gila untuk kamu sedangkan bang Bagas cocoknya untuk aku, nikmati orang gila itu Ratih" ucap
Angin malam merayap melalui celah pintu, menusuk tulang. Tirai tipis berkibar, lampu temaram berayun pelan—seakan rumah tua itu menahan napas. Romlah merapatkan selendang, merinding. Narti ikut bergidik, sementara Handoko di kursi roda menegakkan punggung, mata terbelalak tak berkedip.
Seketika, asap putih merembes dari lantai kayu. “Duar!” Ledakan singkat mengguncang ruang tamu; kaca jendela bergetar, hati semua orang tersentak. Dari pusaran asap, seorang lelaki berambut perak muncul. Jubahnya berderai bagai kabut, sorot matanya setajam bulan purnama.
“Cucuku… harus menikah malam ini. Jika tidak, ayahmu akan meregang nyawa.” Suara sang lelaki serak, namun menggema, menancap di dada Ratih seperti paku dingin.
Di sudut ruangan, Rojali menggeram pelan. Trik murahan, desisnya dalam hati, tapi ia tetap diam, menahan gejolak kanuragan yang mendidih di tapak tangannya.
Ledakan kedua meletup—lebih keras. Asap berputar, sosok itu lenyap secepat ia datang. Keheningan menggantung, hanya napas tercekat yang terdengar.
“Guru Agung!” seru Narti, matanya berbinar seperti anak kecil menemukan harta karun.
“Keberkahan besar,” sambung Romlah, menepuk dadanya lega.
“Ia bilang cucunya harus menikah...” Karman mencondongkan tubuh di kursi roda, wajahnya tegang. “Untuk siapa pesan itu? Ratih atau Sinta?”
“Tentu Ratih, Pak,” tegas Narti tanpa ragu. Matanya mantap menatap Karman, tangannya mengepal di pangkuan.
“Kalian jangan percaya begitu saja. Aku rela putus dari Bagas, tapi aku tak mau dinikahkan sembarangan. Aku juga berhak bahagia...” Ratih menggigit bibir hingga nyaris berdarah, air mata panas menggenang, suaranya pecah, tubuhnya bergetar, sorot matanya memohon.
“Diam! Itu wahyu Sanghyang Widi. Melawan berarti menantang nasib,” bentak Narti, menepis simpati, matanya tajam menusuk.
“Betul, jangan sampai murka Guru Agung menimpa kita,” sahut Sinta seolah nabi kecil, wajahnya tenang namun sorot matanya menusuk.
“Ratih, dengar ayah. Bencana bisa datang kalau kau membangkang,” ucap Handoko pelan, wajahnya pucat, lehernya menegang saat mengangguk.
Narti menuding Rojali, yang masih berdiri tenang di sudut, mata tertutup, seakan badai di luar hanyalah bisikan. “Kau harus menikah dengan Rojali. Sekarang!”
“Ayah… izinkan aku merawat Ayah saja. Jangan paksa aku kembali terluka karena lelaki,” isak Ratih lirih, tangisnya pecah saat ia meraih sandaran kursi roda dan menunduk di pangkuan ayahnya.
“Tidak bisa, Ratih… ini demi keberkahan kita semua.” Suara Romlah bergetar seperti besi diseret di lantai batu. Tatapannya menembus pertahanan Ratih, memaku gadis itu pada ketakutan lama yang tak pernah benar-benar pergi. Hening sejenak; hanya detak jantung Ratih yang berdentam di telinganya sendiri.
“Baik… kalau itu maunya Ibu.” Napas Ratih keluar sehalus bisikan angin; kata-katanya hampir lenyap tertelan ruang tamu yang dingin.
“Bagus. Malam ini juga kita langsungkan akad; Aku panggil Lebe dan Kuwu sebagai saksi,” ujar Narti, suara menggelegar sarat kepastian, matanya menyala penuh kemenangan, bibirnya melengkung sinis; ia menepuk tangan keras, gaun merah berkibar, langkah tergesa menggema bersama derap sandal kayu di papan lantai lapuk, memekik pada malam gelap, pekat.
Bagas berdiri kaku di ambang pintu, bola mata beradu dengan Ratih satu detik yang terlalu panjang. Ada kepedihan di sana—atau mungkin cuma bayangan penyesalan. Namun jemarinya tetap menggenggam tangan Sinta, membenamkan segala keberanian yang tersisa. Tatkala ia pamit, Ratih sempat melihat bibirnya bergerak membentuk kata maaf tanpa suara, lalu hilang ditelan malam.
“Hei, kamu mandi dulu, memalukan nanti,” desis Sinta, alis terangkat, ia menutup hidung sambil mendorong Rojali ke arah kamar mandi.
“Tapi aku tak punya baju,” keluh Rojali, pipinya memerah, tanganya memegang baju lusuh yang sudah banyak tambalan, dan tentu saja bau badan yang menyengat.
“Sudah kusiapkan,” sahut Sinta, melempar baju bekas ayah tirinya ke udara, matanya berkilat puas saat pakaian jatuh menimpa kepala Rojali.
“Ayah… maafkan Ratih tak bisa melawan. Tapi—bolehkah kita kabur malam ini? Aku sanggup hidup jadi kuli di ladang, asal tak dipaksa menikah,” bisik Ratih lirih di balik pintu kayu yang rapuh, kepalanya tertunduk, menggenggam tangan ayahnya yang gemetar, tak pernah terbayangkan dalam benaknya dia akan gagal menikah dan dipaksa harus menikah hanya karena untuk menghindari kutukan
“Nak, ke mana pun kita lari, Romlah tetap punya cengkeramannya. Rumah ini memang seperti kandang, tapi di luar sana lebih buas,” ucap Karman pelan.
Ia menarik napas panjang, dalam, seperti lelaki yang sudah lama kalah perang. Dia merasa tidak berguna sebagai seorang ayah tapi hanya ini yang bisa dia lakukan untuk menyelamatkan ratih
“Ayah, mengapa nasibku begini? Aku mencintai Bagas… tapi semuanya berakhir sebelum dimulai,” ucap Ratih sambil terisak.
Ingin sekali dia membawa ayahnya pergi jauh dari rumah ini, tapi ayahnya selalu saja melarangnya.
“Ingat, lelaki sejati mengorbankan apa pun demi yang ia cintai. Jika Bagas tak mampu, mungkin Tuhan menyiapkan jalan lain,” ucap Karman pelan sambil meraba lembut rambut putrinya yang kusut, matanya sendu menatap Ratih yang masih terpaku.
“Aku hanya ingin suami setangguh Ayah,” bisik Ratih dengan suara kering dan retak, matanya menatap wajah renta di depannya, menyusuri garis-garis usia yang penuh pengorbanan.
“Maafkan Ayah tak bisa melindungimu lebih jauh,” ucap Karman dengan suara gemetar, menahan isak yang nyaris pecah, napasnya berat, membuat hati Ratih terasa ditampar hingga perih.
Ratih tersungkur di pangkuan ayahnya, menangis tanpa suara. Di luar, dentang lonceng musala menyelit masuk jendela, mengabarkan malam kian larut—dan takdir menunggu di ujung waktu yang semakin sempit.
..
..
“Menikah…” gumam Rojali pelan. Suaranya tenggelam dalam sunyi malam. Dadanya berdebar, tapi bukan karena takut. Ini lebih dari sekadar akad—ini soal kehormatan, kejantanannya yang tak boleh gagal.
Ia menyentuh bak tanah liat berisi air. Dalam sekejap, air dingin itu jadi hangat kuku Tenaga dalamnya mengalir tenang, air mendidih dan mengeluarkan asap.
Tubuhnya perlahan masuk ke dalam air hangat. Ia menutup mata, meresapi sensasi tenang sebelum badai. Lalu dari kantong kulit macan, ia mengambil sebotol kecil minyak Jayasakti—minyak langka yang dipakai raja, kini dijadikan sabun mandi olehnya.
Usapan minyak itu membuat tubuhnya harum dan hangat. Tapi yang membuatnya tersenyum adalah saat ia menatap ke bawah, lalu bergumam, “Pusaka negara… kau harus siap.”
Ia mengambil kain halus, menyeka bagian paling dijaganya itu dengan khidmat. Tak ada yang tahu, pusaka itu konon pernah diperebutkan ratu pantai barat dan ratu Galunggung.
“Tenang… sebentar lagi kau bersarung mulia,” ucapnya pelan, seolah berdialog dengan diri sendiri. Ia tertawa kecil, geli sekaligus bangga.
Rojali berdiri, menatap cermin. Kumisnya ia sisir, janggut ia rapi—tapi matanya menatap jauh, bukan ke dirinya, tapi pada nasib Ratih. “Aku akan jadi lelaki terakhir yang membuatmu menangis,” bisiknya tegas.
..
..
Kain putih gading membalut tubuh Rojali, tapi justru tampak semakin sempit di dada—seolah tak sanggup menahan otot-otot yang mencuat tegas seperti pahatan batu.
Rambut panjangnya kini tersisir rapi, diikat ke belakang dengan seutas benang hitam. Di bawah cahaya lampu teplok, kilau rambutnya tampak berkilat.
Kumis tipis melengkung halus di atas bibir. Jenggotnya yang dulu lebat, kini tersisa bayangan samar yang menambah aura berwibawa
---
Rojali melayang ringan ke atas dahan pohon besar di pinggir hutan. Di sanalah ia biasa tidur—dekat langit, jauh dari manusia. Malam ini, masa lajangnya akan berakhir. Ia menarik napas panjang. Ratu Galunggung sudah lama mengejarnya, begitu pula cucu Ratu Pantai Selatan. Tapi Rojali sudah lelah dikejar-kejar wanita sakti. Ia ingin menikah, iya. Tapi hanya dengan perempuan baik, bukan yang sakti.
Menjelang sore, rumah Ratih mulai dipenuhi tamu. Suasana riuh, tapi sunyi di hati Ratih. Ia berdandan seadanya, tanpa semangat. Namun, parasnya tetap bersinar. Bahkan dengan bedak tipis, dia tampak seperti bidadari yang disesatkan di tengah kampung.
Di luar, bisik-bisik menyambar seperti angin panas.
"Kasihan banget si Ratih, menikah sama orang gila," bisik seorang ibu.
"Itu kan pengemis yang suka minta di ujung desa!" sambung yang lain dengan nada iba.
"Astaga, apes banget nasib Ratih," gumam tetangga, menatap miris.
Dan di sudut ruangan, terselip senyum penuh kemenangan.
Akhirnya, Sinta membisik dalam hati, “Kamu hancur juga, Ratih.”
Menjelang malam, suasana desa mulai ramai. Warga berdatangan, duduk berjejal di bawah tenda. Semua ingin menyaksikan pernikahan aneh yang bikin heboh: si Ratih, kembang desa, akan menikah dengan seorang gembel.
Sebagian warga kasihan, tapi sebagian lagi sudah termakan omongan Narti—katanya kalau Ratih menikah dengan orang itu, desa bakal jadi makmur. Banyak yang percaya, apalagi setelah disebut-sebut nama Ki Jaka Kelana.
Sinta mondar-mandir gelisah, wajahnya kesal.
“Ke mana si orang sableng itu?!” gumamnya, menyapu pandangan ke arah dapur belakang.
“Mana Rojali?” tanya Narti ketus.
“Tadi aku suruh mandi, Bu. Tapi dia lama banget. Aku tinggal karena males nungguin,” jawab Sinta dengan nada cemas.
“Bu, calon pengantinnya ke mana?” tanya Najri, sesepuh desa, dengan dahi mengernyit, tubuhnya condong penuh cemas.
“Aku juga nggak tahu! Ini bikin malu aja!” Narti mulai panik, nada bicaranya meninggi.
“Ratih memang sial. Sudah ditinggal Bagas, sekarang malah orang gila itu juga ninggalin dia. Kurang apalagi coba?” semprot Narti sambil membanting kipas di tangannya.
Warga mulai saling berbisik, beberapa melirik Ratih yang duduk terpaku di pelaminan. Wajahnya pucat, matanya kosong. Tangannya mengepal di pangkuan, berusaha tegar.
Di kursi roda, Karman hanya diam. Tatapannya kosong, seperti tak sanggup berkata apa-apa. Ia tahu, jika Ratih gagal menikah malam ini maka ratih akan dicap sebagai pembawa sial jika jadi menikah malam ini maka karman tidak tahu dengan nasib ratih kedepan karena siapa yang bisa menyebut keberkahan jika punya suami orang gila.
Seorang wanita gemuk berdiri di tengah kerumunan, suaranya lantang memecah suasana.
“Bu Narti, kalau malam ini Ratih nggak jadi menikah, maka kita usir saja dia dari kampung ini!” serunya. Dialah Iyem, wanita cerewet yang diam-diam sudah disuap Narti untuk memprovokasi warga.
“Jangan asal bicara kamu, Bu Iyem! Itu cuma tahayul!” sahut Siti, teman dekat Ratih yang ikut hadir dengan wajah cemas.
“Diam kamu! Anak kecil tahu apa tentang hidup ini, aku tahu tanggal lahirmu jadi tutup mulutmu!” bentak Iyem sambil melotot dan menunjuk Siti dengan kasar, lalu membalikkan badan dengan napas memburu.
“Ratih anak baik, Bu Iyem! Mana mungkin dia disebut pembawa sial!” balas seorang ibu dari sisi lain, tapi suaranya tenggelam oleh teriakan dan kegaduhan.
Tiba-tiba, DUAR!
Suara ledakan terdengar keras dari tengah hajatan. Semua orang terkejut, sebagian berteriak, sebagian lagi spontan bersujud ketakutan. Suara tabuhan gamelan berhenti, suasana berubah mencekam.
“Itu... wahyu dari Guru Agung! Ratih harus menikah malam ini, kalau tidak dia harus diusir dari kampung!” seru Sumanto, ketua kampung yang sejak tadi duduk tenang di kursi kehormatan, wajahnya pucat, mulutnya komat-kamit menahan gemetar dan tekanan batin.
Suasana mendadak sunyi. Semua menoleh ke arah Ratih, yang duduk kaku di pelaminan dengan mata bengkak dan tubuh gemetar.
“Sepertinya laki-laki itu memang tidak akan datang,” gumam Bu Darsih pelan.
“Kalau tidak datang, ya sudah. Ratih harus pergi. Dia bawa sial,” timpal Karti dingin.
Tangis Ratih pecah. Hatinya remuk. Ia tak mengerti, apa salahnya? Ia tak pernah mencelakai siapa pun. Mengapa semua keburukan dilemparkan kepadanya?
Pak Karman yang duduk di kursi roda hanya bisa menatap putrinya dengan mata berkaca. Suaranya tak keluar. Dadanya sesak melihat anaknya dipermalukan begitu rupa.
“Maaf, Pak Karman, tapi kalau Rojali nggak datang juga, kita tak punya pilihan,” ucap Karyo dengan suara pelan sambil menunduk gelisah.
Kerumunan semakin riuh. Semua mulai berbisik, ada yang menyalahkan Ratih, ada yang setuju ia diusir. Tapi tak ada satu pun yang berani membelanya.
Tiba-tiba Iyem kembali mendekat ke pelaminan. “Ini semua salahmu, Ratih! Sudah kubilang jangan suka kasih makan orang gila! Lihat sekarang akibatnya!” hardiknya sambil mencengkeram lengan Ratih.
Ratih menggigit bibirnya, menahan sakit. Air matanya jatuh tak tertahan. Suaranya nyaris tak terdengar saat berkata, “Saya cuma kasihan, Bu… dia juga manusia.”
“Kalau kamu sudah kasih makan, ya harus kamu nikahi! Itu syarat biar kampung ini selamat, sayangnya orang gilanya malah nggak datang, jadi kamu yang harus pergi dari sini!” bentak Iyem sambil melotot dan menghentakkan kakinya penuh amarah di hadapan warga.
Kerumunan mulai bersorak, seperti menonton tontonan murahan. Sebagian warga mulai setuju dengan ucapan Iyem. Mereka menyebut-nyebut bahwa memberi makan orang gila tanpa menikahinya malah membuka pintu sial.
Iyem menarik tangan Ratih hendak menyeretnya keluar.
“Jangan dipaksa… saya bisa pergi sendiri…” suara Ratih lirih, tubuhnya lemas.
Ia menunduk, menggenggam ujung kain kebayanya. Dalam hati, ia berdoa lirih, “Tuhan… siapa pun yang menolongku malam ini… aku pasrah. Jika dia datang, maka mungkin… dia memang jodohku.”
“Tenang saja. Aku pria sejati… dan aku pasti datang.”
Ucapan itu menggema di kepala Ratih. Dan benar saja—saat hujan mulai turun rintik-rintik, seseorang muncul dari arah ujung jalan. Sosok itu berjalan pelan, mantap, dengan tubuh tegap.
Dia mengenakan mantel dari plastik sampah yang disobek asal, menjadikannya jas hujan darurat. Di kepalanya terpasang cetok petani reyot. Bajunya? Masih compang-camping seperti biasa. Tapi langkahnya… tegap. Wajahnya… tak lagi lesu dan linglung. Itu Rojali—si gembel yang selama ini dianggap gila.
Sinta menyipitkan mata, tersenyum tipis. Entah kenapa, dia senang. Kalau Ratih menikah dengan Rojali, berarti Ratih akan “hilang” dari persaingan. Tapi kalau pernikahan gagal, Ratih akan terusir. Di kepala Sinta, semua kemungkinan itu menguntungkannya.
Namun warga mulai berbisik.
“Aneh, biasanya bau busuk... sekarang malah wangi,” kata Nyai Rina, mendekap dada.
“Asmaku sembuh! Barusan aku bisa tarik napas panjang!” seru Kake Riman kaget.
Bukan sihir. Warga tak tahu, Rojali baru saja mandi dengan Minyak Jaya Sakti—minyak legendaris yang diperebutkan para pendekar, dan kini, dengan polosnya digunakan Rojali sebagai sabun mandi.
Bisik-bisik mulai menggema.
“Aku kasihan Ratih harus nikah sama orang gila…”
“Dia sendiri yang nyari sial, ngasih makan gembel…”
Tapi Ratih hanya diam. Matanya sembab, tapi wajahnya pasrah. Dalam hati, dia sudah siap. Siapa pun yang menolongnya malam ini, akan dia terima sebagai suami. Bahkan jika itu Rojali.
Rojali berhenti di tengah kerumunan. Ia membuka mantelnya. Baju di baliknya ternyata baju lama milik Pak Karman, ayah Ratih. Meski usang, tampak gagah di tubuhnya. Otot-otot Rojali terlihat kuat, berbeda jauh dari pria linglung yang biasa dilihat warga.
Sinta menahan napas. Begitu juga warga lain. Mereka menatap tak percaya.
Rojali membuka cetoknya. Rambut hitamnya rapi, mengkilap, terikat sederhana. Ia membuka penutup wajahnya—dan… semua terdiam.
Wajah itu… bersih, tegas, tampan. Tidak ada bekas luka, tidak ada tampang orang linglung. Tatapannya tajam, penuh wibawa.
“Astaga… itu Rojali?” gumam seseorang.
“Bukan… bukan, itu bukan si gila itu…”
“Tapi… bajunya, jalannya, mukanya… mirip…”
Rojali menatap langsung ke arah Ratih. Dia tak bicara sepatah kata pun, hanya mengangguk. Tapi dalam tatapan itu, seolah ia berkata, “Kau tak sendiri lagi.”
Ratih menangis dia juga tidak tahu kenapa tiba-tiba menangis, walau tampan dia belum tumbuh rasa cita, dan yang lebih penting bagi ratih adalah ukuran lelaki baik adalah bagas.
Bagas saja bisa meninggalkan dirinya yang sudah 5 tahun berpacaran, sedangkan rojali siapa, hanya orang asing yang mendadak harus dia nikahi untuk mengusir kutukan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!