Sebuah desa terpencil di kaki Gunung Lanjani, hiduplah sepasang suami istri dengan seorang anak gadisnya yang sudah berusia dewasa. Sang Ayah memberi nama kepada anak semata wayangnya itu, Anjani. Sang Ayah bekerja sebagai seorang petani. Dan Sang Ibu bekerja sebagai pedagang sayuran hasil dari ladang suaminya atau hasil dari tetangga yang pekerjaannya sama dengan suaminya.
Mereka hidup secara sederhana selayaknya kehidupan di desa. Namun kehidupan mereka penuh dengan kebahagiaan dan kewibawaan. Pasalnya, ayah Anjani selain bekerja sebagai seorang petani, dia juga merupakan kepala adat desa, atau bisa dibilang sesepuh desa yang sangat dihormati oleh seluruh penduduk desa itu. Dan ibu Anjani adalah seseorang yang baik hati kepada siapapun.
Anjani tumbuh dalam lingkungan adat istiadat yang kental. Setiap gerak-gerik dan tutur langkahnya selalu diajarkan tata krama yang baik oleh ke dua orang tuanya. Ditambah lagi, Anjani diharapkan mampu untuk menjadi pewaris segala keilmuan sang ayah.
Anjani merupakan gadis yang cantik jelita. Setiap lelaki bujang yang melihatnya pasti ada rasa tertarik untuk melamarnya. Ditambah dengan segala perilaku Anjani yang dididik dengan tata krama serta pemahaman adat istiadat yang kental, membuatnya menjadi primadona setiap lelaki di sana. Ayah dan Ibu Anjani sangat menyayangi dan rela memberikan apapun untuk anak gadis semata wayangnya itu. Bahkan, memberikan 'sesuatu' yang mungkin Anjani akan berat untuk menerimanya kelak.
*****
Di suatu pagi yang cerah, seperti biasa Ayah Anjani pergi ke ladang. Dan Anjani membantu Ibunya di rumah, terkadang hanya membantu pekerjaan rumah atau membantu Ibunya berdagang sayuran ke pasar di desa sebelah. Namun kali ini, Anjani diminta oleh Ibunya untuk membantu membersihkan rumah saja. Padahal biasanya saat Ibunya hendak ke pasar Anjani ikut membantu.
"Anjani, hari ini kamu di rumah saja ya nak, biar Ibu saja yang pergi ke pasar." Ucap sang Ibu.
Anjani agak merasa heran. Dan bertanya, "Biasanya Ibu selalu aku bantu ke pasar, atau Ibu lagi tak banyak dagangan?"
"Tak apa-apa nak, Ibu hari ini sendiri saja ke pasar. Kamu di rumah saja. Tolong bersihkan halaman rumah ya nak." Pinta sang Ibu kepada Anjani.
Anjani sebagai anak yang berbakti kepada ke dua orang tuanya, tak bisa membantah. Dan akhirnya dia menuruti permintaan Ibunya untuk di rumah saja hari ini. Meskipun Anjani tau bahwa dagangan Ibunya tetap banyak seperti biasanya.
Tak lama setelah ibunya berangkat ke pasar untuk berdagang, Anjani segera membersihkan seisi rumah. Menyapu setiap sudut hingga tak terlewatkan sedikitpun. Termasuk juga membersihkan halaman rumah sesuai perintah ibunya.
Srek... Srek... Srek... Srek...
Anjani mulai membersihkan halaman rumah yang cukup luas. Halaman itu dipenuhi oleh dedaunan yang jatuh dari beberapa pohon di sekitar rumahnya yang terbawa angin. Namun ada satu pohon yang cukup besar di sudut halaman rumah Anjani. Pohon beringin itu selalu saja menjadi sumber banyaknya sampah daun yang berjatuhan.
Namun pagi itu, meski dengan cuaca yang cerah dan sejuk, Anjani merasakan sesuatu yang berbeda. Suasana menjadi lebih hening. Dan udara menjadi lebih dingin tak seperti biasanya. Bahkan angin dingin yang berhembus pelan mampu menembus kulitnya. Benar-benar suasana yang tak seperti biasanya dia rasakan.
Anjani terus membersihkan halaman. Dengan sabar dia membersihkan seluruh sisi halaman rumahnya. Saat dirinya hendak membersihkan bagian bawah dari pohon beringin itu, seketika sekujur tubuhnya merinding halus. Perasaan yang aneh merasuk ke dalam hatinya.
"Ada apa ini?" Sambil dia mengusap-usap tangan dan pundaknya. Berusaha mencerna apa yang sebenarnya dia rasakan. Semakin ia merasakan, semakin aneh.
Ketika Anjani memperhatikan pohon beringin yang ada di hadapannya itu, tiba-tiba secara samar, halus, ada suara yang memanggilnya.
"Anjani..."
Saat ia mencoba mencari suara yang memanggilnya itu, dirinya seperti melihat sesuatu yang tak biasa. Ada sesosok makhluk yang mengintip dari balik batang besar pohon beringin di hadapannya. Namun sosok itu bukanlah manusia.
Anjani melihat sosok seperti kepala. Namun dengan wajah yang mengerikan. Rambutnya berantakan. Dengan gigi taring panjang yang keluar dari dalam mulutnya. Lidahnya menjulur ke luar. Matanya melotot menyala. Dengan ke dua tangan yang memegangi batang pohon beringin itu, kukunya sangat panjang dan tajam.
Seketika itu juga Anjani bergidik ngeri. Dia tinggalkan sapu dan sisa sampah yang belum sempat dia bersihkan. Ia langsung berlari menuju ke dalam rumah. Ditutup rapat-rapat pintu rumahnya. Dan Anjani berdiri terpaku di balik pintu. Mencoba mengatur nafas.
"Anjani... hahahaha..."
Suara itu terdengar lagi memanggilnya dengan tawa berat yang menyeramkan. Anjani semakin ketakutan dan dua kakinya tak bisa digerakkan. Sekujur tubuhnya terpaku di balik pintu.
Tak lama kemudian, dari dalam rumah, Anjani teralihkan perhatiannya ke arah kamar sang Ayah. Pintunya tiba-tiba terbuka dengan sendirinya.
Krieeeet....
Anjani lantas memperhatikan ke arah pintu kamar sang Ayah. Kamar itu tak ada jendela sehingga terlihat lebih gelap dari ruang lainnya meskipun di siang hari.
"Anjani..." Suara itu terdengar kembali. Namun kali ini berasal dari dalam kamar sang Ayah. Jantungnya semakin berdegup kencang, nafasnya semakin tak karuan, dan sekujur tubuhnya semakin terasa kaku tak mampu digerakkan.
Suara itu terus terdengar memanggil namanya dengan lebih jelas. Sejurus kemudian, tampaklah sosok mengerikan yang Anjani lihat di balik pohon beringin, sekarang ada di dalam kamar Ayahnya. Menatapnya dengan bola mata melotot menyala, dengan tubuh setinggi pintu kamar.
"Kemarilah... Anjani... Mendekatlah..."
Sosok itu memanggil Anjani dengan suaranya yang mengerikan. Dan tak lama kemudian, tubuh Anjani tiba-tiba bergerak dengan sendirinya. Seolah dikendalikan oleh sosok itu. Anjani mendekat perlahan. Namun dirinya masih sadar dan dalam ketakutan yang semakin hebat. Tapi, sekuat apapun pikirannya mencoba memerintah tubuhnya supaya tak mendekat, tubuhnya tetap saja mendekati sosok itu.
Anjani sekarang semakin dekat dengan sosok yang ada di dalam kamar Ayahnya. Dan pintu kamar tertutup dengan sendirinya. Kini Anjani berhadapan langsung dengan sosok mengerikan itu.
Tangan dengan kuku panjang membelai pipi kanan Anjani. Sementara tangan kirinya memegang kepala Anjani. Wajah sosok mengerikan mendekat ke wajah Anjani. Hingga dua mata mereka saling bertatapan.
Seketika itu juga, ke dua mata Anjani berubah. Menyala merah. Menyala seperti dua mata sosok itu. Pikiran Anjani tak lagi sadar. Tubuhnya tak lagi ketakutan. Sosok itu sudah mengendalikan Anjani.
Dari mulut sosok itu, terdengar ucapan-ucapan dengan bahasa kuno. Yang bahkan Anjani sendiri tak pernah mendengarnya. Ucapan seperti mantra sakral. Tanpa sadar Anjani mengikuti ucapan sosok itu. Mengikuti setiap ucapannya dengan tepat.
Ketika sosok itu selesai mengucapkan mantra-mantra itu, ia melepaskan tangannya dari kepala Anjani. Dan perlahan, sosok itu mundur, menghilang dalam kegelapan kamar sang Ayah.
Anjani masih berdiri dengan mata menyala merah, perlahan cahaya merah itu meredup, lalu dalam pandangan Anjani, segalanya menjadi gelap, sangat gelap....
Anjani terbangun dan mendapatkan kesadarannya kembali. Terbangun di atas dipan bambu dalam kamarnya. Ia mencoba untuk bangkit namun badannya terasa sakit. Ia akhirnya duduk di pinggir dipan. Matanya mencoba memperhatikan sekitar. Dan ia ingat betul sebelumnya dia ada di dalam kamar Ayahnya bersama sosok menyeramkan itu. Namun kali ini Anjani sama sekali tak merasakan takut. Kali ini dirinya justru merasa sangat akrab dengan sosok itu. Sosok yang bahkan dirinya tak tau sama sekali. Apa? Atau siapakah sosok itu sebenarnya?
Saat Anjani mencoba berpikir sambil mengumpulkan tenaga, ia mendengar percakapan dari luar kamarnya. Suara seorang lelaki yang sangat dia kenal sedang berbicara dengan sesuatu yang sudah tak lagi ia takuti. Suara sang Ayah dan sosok menyeramkan itu. Anjani bangkit dari duduknya, berjalan perlahan menuju pintu kamar. Dan dia membuka pintu itu. Ia melihat Ayahnya sedang duduk bersila berhadapan dengan sosok menyeramkan itu.
"Sudah waktunya aku akan mewariskan ilmu ini kepada anakku, Anjani." Ucapan yang didengar oleh Anjani dari ayahnya kepada sosok itu.
"Sebentar lagi akan tiba waktu yang tepat. Aku ingin kau menjadikannya tuanmu, bukan sebagai budakmu. Kau harus menjadi pelindungnya, bukan menjadi pembawa petaka. Tidak pula menjadi petaka untuk desa ini." Tambah sang Ayah.
Sosok itu dengan berdiri tegap, dengan penampakan yang persis sama seperti sebelumnya Anjani lihat, tertawa dengan suara berat dan mengerikan. "Hahahaha... Baiklah..."
Seketika itu pula, sosok tersebut menoleh ke arah Anjani. Seolah memang dia tau bahwa Anjani ada sedang memperhatikan mereka berdua. Namun Anjani melihat semua itu perlahan mulai samar, lalu... Gelap...
*****
"Nduk, bangun Nduk..."
Anjani perlahan membuka ke dua matanya. Terlihat dengan samar Ibunya sudah ada di sampingnya.
"Ayah... Ayah... Anjani sudah sadar..." Ucap Ibu memanggil suaminya. Tak lama Ayahnya pun datang dengan membawa segelas air. Lalu duduk di samping Anjani yang masih terbaring di atas dipan.
"Nduk, kamu sudah sadar nak?" Tanya Ayahnya.
"Ayah... Aku... Kenapa?" Tanya Anjani dengan suara lirih sambil menahan rasa sakit di kepalanya.
Ibunya mencoba mendudukkan anak kesayangannya itu. "Tadi Ibu pulang dari pasar, lihat kamu tergeletak di dalam kamar Ayah Nduk..." Jawaban Ibunya dengan tenang.
Ayahnya memberikan segelas air kepada Anjani, "Nduk, minumlah, ini akan membuatmu lebih tenang."
Anjani meminum air itu. Kemudian ia bertanya lagi kepada ke dua orang tuanya. "Ayah, Ibu, aku kenapa?"
"Justru kami yang harus tanya itu ke kamu Nduk, ada apa sama kamu selama kami tak di rumah?" Ucap Ayahnya.
Anjani mencoba mengingat-ingat kembali apa yang dia alami sampai ditemukan oleh Ibunya tergeletak dalam kamar Ayahnya.
"Ayah... Aku..." Jawab Anjani terputus sambil mencoba menceritakan yang sudah ia ingat kembali.
"Aku... Melihat sosok di bawah pohon beringin itu." Sambil menunjuk ke arah luar rumah. Seketika itu juga Ayah dan Ibu Anjani terdiam. Seolah memahami sesuatu yang sudah terjadi pada anaknya itu.
"Sosok itu memanggilku, tapi aku berlari ke dalam rumah. Dan... Aduuuh..." Anjani tak melanjutkan ceritanya, kepalanya terasa sangat sakit. Seolah ada sesuatu yang mencengkeram kepalanya. Ayah dan Ibunya kembali menenangkan putrinya itu. Disuruhnya Anjani untuk istirahat kembali.
"Sudah Nduk, istirahatlah... Ayah dan Ibu akan menjagamu sampai kamu pulih." Ucap sang Ayah sambil merebahkan tubuh anaknya di atas dipan.
*****
Sudah mendekati waktu tengah malam, Anjani belum juga terbangun lagi. Ayah dan Ibunya dengan sabar dan penuh waspada menjaganya. Mereka duduk berdua di ruang tamu.
"Ayah, apakah sudah waktunya untuk Anjani?"
"Iya Bu, memang sudah waktunya, dan itu akan dilakukan tiga hari lagi Bu. Tepat di malam kelahiran anak kita." Jawab sang Ayah.
"Tapi, apakah akan kuat tubuhnya menerima itu? Sahut sang Ibu. Suaminya menatap wajah istrinya itu, terlihat jelas raut wajah penuh kekhawatiran. Kekhawatiran yang sebenarnya dirasakan pula oleh dirinya.
"Siap tidak siap, kuat tidak kuat, memang sudah harus dilakukan Bu. Lagi pula aku sudah tua. Aku takut jika sampai tak mewariskan itu kepada Anjani. Akan terjadi malapetaka besar bagi desa ini." Jawab sang Ayah meyakinkan istrinya.
"Kamu sudah mencari semua sesajen untuk ritual? Lanjut sang Ayah.
"Sudah aku siapkan semuanya. Tapi... Aku seperti tak rela jika Anjani menjadi..." Sebelum selesai ucapan istrinya itu, sang Ayah memotong dengan penuh keyakinan, "Sudah Bu, jangan khawatir, ini semua demi keselamatan desa dan juga demi keselamatan hidup Anjani Bu." Tegas sang Ayah.
"Apa kamu sudah lupa kejadian masa lalu yang menimpa desa kita ini Bu?" Tanya sang Ayah dengan nada penuh kekhawatiran. Rasa khawatir jika kejadian itu terulang kembali jika sampai ilmu itu tak segera diwariskan kepada anak mereka, Anjani.
Dahulu, di desa tempat Anjani dan ke dua orang tuanya tinggal, telah terjadi sebuah kejadian mengerikan. Berkaitan dengan sosok makhluk mengerikan yang mencari mangsa. Makhluk yang selalu haus darah. Hampir setengah dari penduduk desa menjadi korban, tak luput juga desa sebelah menjadi sasaran keganasan makhluk tersebut.
Makhluk itu entah datang dari mana, entah siapa yang mengirimnya, mencari korban tumbal manusia. Tak pandang usia. Selama beberapa tahun desa dalam ketakutan. Orang-orang tak berani keluar rumah ketika senja menjelang. Suasana desa menjadi mencekam. Ditambah terror makhluk itu yang meninggalkan jejak korban dalam keadaan mengenaskan. Setiap korbannya ditemukan dalam kondisi perut yang sudah tersobek, dan isinya semua hilang. Dan begitulah cara makhluk itu mengambil tumbalnya.
Sang Ayah kembali mengingatkan istrinya, dengan kembali mengisahkan seseorang yang akhirnya mampu menaklukkan makhluk tersebut. Orang itu memiliki ilmu kanuragan tinggi. Sehingga mampu menaklukkan makhluk itu meski dengan susah payah. Dan tak lain orang itu adalah kakek Anjani.
"Bu, aku diwariskan ilmu itu oleh mendiang bapakku. Dan sudah menjadi perjanjian antara aku dan bapakku, bahwa aku harus mewariskannya kepada anakku kelak." Sang Ayah berdiri dan berjalan ke arah jendela ruang tamu. Menatap dengan mata penuh kekhawatiran sekaligus harapan, "Jika tidak, maka makhluk itu akan kembali lepas dan liar. Mencari tumbal seperti masa itu. Semoga Anjani kuat. Dan aku berjanji akan membimbingnya sampai makhluk itu pun tunduk kepada Anjani." Tambahnya.
"Lagipula, setelah makhluk itu ditundukkan, justru bisa bermanfaat untuk orang yang menjadi tuannya, dan juga bagi semua orang yang membutuhkan bantuan." Lanjut sang Ayah kepada istrinya.
"Ya sudah, Ibu terima dan pasrah jika memang itulah takdir Anjani..." Sang Ibu menjawab dengan suara lirih. Namun sudah tak bisa lagi untuk menolak kenyataan bahwa ilmu yang akan diwariskan kepada anaknya sangatlah berat. Hanya harapan dan doa kepada Sang Pencipta untuk Anjani, anak semata wayangnya.
"Tapi Bu, ada satu syarat yang harus dipenuhi supaya ritualnya berjalan lancar..."
"Apa itu Ayah?" Tanya sang Ibu.
Sang Ayah berbalik badan, menatap kepada istrinya yang sudah bertanya, dan menarik nafas perlahan kemudian menjawab,
"TUMBAL ANJANI"
Di suatu sore, di sebuah desa yang lain, ada seorang pemuda yang sedang berjalan pulang dari ladang milik majikannya. Dia ditugaskan sebagai penggarap ladang dan diberikan bayaran yang cukup. Tugas yang diberikan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Karena ia tak ingin kepercayaan yang diberikan kepada dirinya tersia-siakan. Sang majikan awalnya memberikan tugas di ladang itu kepada Ayah si pemuda. Namun karena sang Ayah sedang melaksanakan sebuah pertapaan dan jaraknya jauh dari desa, akhirnya diberikanlah tugas tersebut kepada sang anak.
Sesampainya dia di pasar sebelum menuju rumahnya, ia berhenti di pedagang makanan langganannya. "Mbok, saya beli nasi dan pecelnya ya." Ucap pemuda itu.
"Eh, nak Kirman, sudah pulang dari ladang ya? Tumben sampai sore begini..." Ucap si mbok penjual sambil mulai menyiapkan pesanannya.
"Iya mbok, lagi banyak pekerjaan di ladang, soalnya garapan saya sudah mulai berbunga, jadi harus saya rawat lebih baik supaya hasilnya banyak nanti." Jawabnya.
"Oh begitu ya nak Kirman, ya sudah, mbok doakan supaya tahun ini hasil garapanmu banyak, jadi nanti majikanmu bisa kasih uang lebih banyak ya nak." Tutur si mbok penjual dengan senyum ramah. "Terima kasih ya mbok atas doanya..." Jawab si pemuda dengan sopan.
"Iya nak Kirman, sama-sama. Sebenarnya mbok kangen sama mendiang ibumu. Dia selalu jadi teman mengobrol mbok ketika di pasar. Sekarang mbok jadi tak ada teman mengobrol nak..." Ucapan si mbok membuat pemuda itu sedikit terdiam dan menunduk. Kemudian menengok ke arah samping lapak si mbok. Karena selama mendiang ibunya masih hidup, di sanalah tempat mendiang ibunya juga berjualan. "Saya juga kangen mendiang ibu, saya merasa belum banyak berbakti kepada beliau mbok. Doakan saja semoga mendiang ibu tenang di alam sana ya mbok." Jawab pemuda itu supaya si mbok pun tak larut dalam kesedihan.
"Ini nak Kirman nasi dan pecelnya." Si mbok memberikan pesanan pemuda itu dengan dibungkus daun pisang. Disusul oleh si pemuda dengan memberikan uang dan mengucapkan terima kasih.
"Eh, nak Kirman, tunggu dulu..." Si mbok penjual membuat langkah pemuda itu terhenti.
"Ada apa mbok? Uangnya kurang?"
"Bukan itu nak Kirman, mbok hanya mengingatkan, malam ini jangan keluar rumah, dan tutup rapat semua pintu sama jendela rumahmu ya!" Tegas si mbok. "Kamu itu kalau tidak diingatkan suka sembrono nak..." Tambahnya.
"Oh, iya mbok, aku paham. Nanti semuanya aku tutup rapat, sampai nyamuk saja tak bisa masuk kok... Hehehe..." Jawab si pemuda dengan tawa halusnya yang khas. Dan ia melanjutkan perjalannya menuju ke rumah.
Sesampainya di rumah pemuda itu merapikan alat berladang di sudut dapur miliknya. Ketika ia sedang duduk beristirahat sejenak, ia teringat kembali akan keberadaan sosok mendiang Ibunya. Sang Ibu memang telah lama meninggalkan dirinya, namun semua kenangan indah itu tak pernah ia lupakan. Tak terasa air matanya mengalir lembut di pipi kanannya. Terbayang saat sang Ibu memasak di tungku perapian kayu untuknya, masakan yang sangat ia suka, nasi pecel.
"Ibu..." Ucapnya lirih dengan rasa rindu yang mendalam di hatinya.
"Seandainya ibu masih ada, aku tak akan merasa kesepian. Dan tak perlu membuat orang lain di desa sibuk memperhatikan keseharianku Bu." Tambahnya dengan suara sedikit terisak.
Waktu tak terasa sudah mulai malam. Tak ingin berlarut dalam kesedihan, ia segera menuju ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya yang kotor setelah berladang. Setelah ia mandi, ia memakai pakaian dan segera menyantap makanan yang dibelinya saat melewati pasar ketika pulang tadi sore. Rasa nasi pecel si mbok benar-benar mirip dengan buatan mendiang ibunya. Membuatnya sedikit tersenyum ketika melahap makanannya.
Selesai makan ia merasakan kantuk mulai datang. Ia membereskan makannya, lalu bergegas menuju kamar untuk beristirahat. Tak ingin terlambat karena esok dia harus bangun pagi sebelum matahari terbit, ia harus membuka saluran air, mengalirkan air ke ladang yang ia garap. Tak lupa sebelum mata terpejam, ia mendoakan mendiang Ibunya, dan juga ia mendoakan sang Ayah yang sedang dalam pertapaan.
*****
Malam ini adalah waktunya gerhana bulan merah. Sebuah waktu yang sangat sakral bagi orang-orang yang menguasai ilmu ghaib. Pada waktu gerhana bulan merah inilah masing-masing dari mereka akan memperkuat keilmuannya. Dengan berbagai cara yang dilakukan, mulai dari ritual pertapaan, melakukan ritual persembahan sesajen, hingga memperkuat ilmu dengan mencari tumbal darah manusia.
Tepat saat tengah malam, desa sudah sangat sepi. Tak ada aktifitas apapun dari warga. Hanya suara hembusan angin, suara hewan malam, dan juga suara-suara hewan dari dalam hutan sekitar desa. Sang pemuda sudah terlelap dan terbang ke dalam mimpinya. Suasana malam ini sangat memanjakan dirinya untuk terlelap pulas dengan cepat.
Di luar rumah, tiba-tiba angin berhenti berhembus, dengan hawa lebih dingin, dan seketika itu juga suara-suara hewan malam menghilang. Hening, sangat hening. Beberapa warga yang masih terjaga dalam rumah mereka, mulai menyadari sesuatu yang aneh akan terjadi malam ini. Dan mereka pun tak berani berucap sepatah katapun. Mereka memutuskan untuk segera masuk ke dalam kamar dan menjaga keluarga masing-masing.
Di luar rumah sang pemuda, ada bayangan hitam berdiri. Seolah bayangan hitam itu sedang memperhatikan dari kejauhan. Memperhatikan sang pemuda yang sedang tidur di dalamnya.
"Grrr... Grrr... Grrr..." Bayangan itu berjalan perlahan dengan suara menggeram yang mengerikan. Dan sampailah ia di sisi luar kamar pemuda tersebut. Sang pemuda tetap dalam tidurnya yang pulas, tak merasakan apapun dari kehadiran bayangan itu.
Krieeet....
Terbukalah jendela kamar sang pemuda perlahan. Dan bayangan itu berubah bentuk. menjadi sosok menyeramkan dengan dua bola mata merah menyala, melotot memperhatikan pemuda itu di atas dipannya. Giginya yang bertaring panjang keluar dari mulutnya. Lidahnya menjulur merah. Dua tangannya dengan kuku panjang dan tajam mulai memegang dinding kamar.
Seketika itu juga sang pemuda terkaget dan matanya langsung terbuka lebar. Namun tubuhnya tak mampu digerakkan. Mulutnya seperti terkunci. Hanya bergetar dalam kekakuan yang mencekam.
Sosok menyeramkan itu menembus dinding kamar. Dan kini sudah berdiri di samping dipan sang pemuda. Ia melihat sosok itu tengah menatapnya. Namun sekali lagi, sekuat apapun dia mencoba bergerak dan berteriak, tak mampu ia lakukan. Sosok itu menatap dirinya dengan aura haus darah yang sangat kuat.
Sosok itu mulai menggerakkan kedua tangannya, menyentuh tubuh sang pemuda yang bergetar ketakutan. Sampai ketika tangan sosok itu tepat berada di atas perut sang pemuda, pemuda itu merasakan sakit yang tak terkira. Dia melihat dengan jelas sosok itu mulai membelah perutnya. Lalu dengan perlahan memakan seluruh isi perutnya.
Sang pemuda yang bersimbah darah itu tak lagi mampu bernafas, tak mampu lagi bergerak, matanya mulai memutih, dan dipenghujung nyawanya di tangan sosok itu ia berkata dalam hati...
"Ayah... Tolong..."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!