“Hanya kamu satu-satunya dalam keluarga itu yang di kucilkan, bisa jadi karena dendam akhirnya kamu membunuh mereka semua”
“Apa Bapak juga akan seperti itu kalau Bapak jadi saya?”
Ketua tim sontak terdiam, raut wajahnya seperti menimbang jawaban untuk perkataan Hara barusan
“Tentu, apalagi yang saya tunggu? mereka membenci saya, dan memperlakukan saya dengan buruk, alasan itu sudah cukup buat saya bisa membunuh mereka.”
Hara menyunggingkan senyum tipisnya, lalu menunduk dan tiba-tiba sara tertawa kecil
“Tapi saya gak bunuh keluarga saya.”
Hara mendongakkan kepalanya menatap dingin lelaki paruh baya di hadapannya.
“Kamu pikir karena kamu masih dibawah umur kamu tidak bisa ditahan? Hahaha Asila Ayu Tahara perkiraan kamu salah nak”
Tak ada raut atau pergerakan gelisah dari Hara, sejak memasuki ruang interogasi ia sangat tenang, dingin dan juga tak banyak bertingkah. Kebanyakan saksi atau tersangka ketika memasuki ruangan tersebut akan menunjukkan perilaku yang gelisah dan gugup, tapi Hara tidak.
“Alibi kamu mengatakan bahwa kamu pulang dari tempat les pukul 19.00, lalu kamu pulang dengan menaiki bus. Menurut perhitungan kami jarak dari halte tempat les ke halte bus terdekat rumahmu itu memakan waktu sekitar 20 menit, lengkap dengan perhitungan jika bus berhenti di halte-halte yang dilewati. Dan jarak dari halte ke rumah adalah 15 menit dengan berjalan kaki. Tapi saat itu bus kamu tidak berhenti di halte-halte yang terlewati maka perhitungan waktu nya kamu sampai 10 menit lebih cepat dari biasanya.”
Kali ini sudah berbeda orang yang menginterogasi nya, Hara tetap terfokus pada ucapan lawan bicaranya yang merupakan ucapan ulang dari alibi nya saat ia di TKP.
“Seharusnya kamu sampai di rumah pukul 19.25 jika memang kamu adalah saksi pertama yang melihat keluargamu terbunuh seharusnya saat itu juga kamu menelpon kepolisian untuk melaporkan hal tersebut. Namun kamu menelpon kepolisian tadi pada pukul 19.35, kemana kamu dalam waktu 10 menit itu? bahkan 10 menit cukup untuk membunuh empat anggota keluargamu dengan senjata pisau daging itu, bahkan waktunya masih cukup untuk membakar baju seragam mu yang mungkin terkena cipratan darah”
Hara yang semula tertunduk kali ini mengangkat pandangannya, menatap tenang tim penyidik di hadapannya
“Saya gak langsung pulang, saya mampir ke minimarket untuk beli makanan kucing. Setiap hari saya lihat kucing sembunyi di antara tumpukan sampah di depan minimarket, dan hari ini saya baru bisa beliin kucing itu makanan. Jarak dari halte ke minimarket ada 5 menit, dan saya berdiam di sana juga hanya 5 menit, setelah itu saya pulang. Dan ketika membuka pintu saya disambut darah dari Kak Sam.”
Hara juga sangat rinci saat menjelaskannya, membuat seseorang yang juga menyaksikan di ruangan sebelah terdiam juga.
“Pak, saya gak bunuh keluarga saya.”
Flashback Hara saat SMP
Pukul 06.15 seharusnya Hara sudah berjalan kaki menuju halte bus untuk ke sekolahnya, namun ia sedikit terlambat kali ini karena harus mengeringkan rok nya yang baru saja tersiram susu akibat ulah kakak nya.
“Kering gak rok lu?”
Itu suara kak Samuel yang dengan santai melewati kamar Hara, namun tak ada jawaban saat itu membuat Samuel tetap berjalan menjauh dari kamar adiknya.
Hara berjalan sedikit cepat ke arah pintu rumahnya untuk mengambil sepatu yang terkadang sudah disiapkannya, ia sering menyiapkannya tepat di depan pintu agar lebih cepat memakainya.
Ia telaten mengikat tali sepatu yang sejujurnya sudah usang untuk ukuran siswa angkatan baru di sekolahnya, sesekali ia melihat ke arah sepatu kedua kakaknya yang jauh lebih bagus dari miliknya.
“Mah, aku sama Dita berangkat ya!” seru Samuel sambil melangkah pergi
Betul, kalian tak salah baca. Samuel berpamitan kepada orang tua nya hanya menyebutkan dirinya dan Dita (Kakak kedua Hara).
Bukan hal asing bagi Hara.
Ia melangkah keluar melewati pagar rumahnya menatap mobil silver yang di naiki oleh Samuel dan Dita, lalu berbalik ke arah berlawanan dan berjalan dengan tenang.
Tak masalah bagi Hara selama ia masih bisa tinggal dengan baik, makan dengan layak, bersekolah dengan layak, baginya perlakuan seluruh keluarga itu tak mengganggu sama sekali.
Sekitar pukul 06.55 ia baru sampai di pintu gerbang yang sudah ditutup perlahan oleh satpam sekolahnya, namun nasib baik masih memihak nya 5 menit sebelum bel berbunyi ia sudah menapaki halaman sekolah nya.
Ia siswa angkatan baru di sekolah ini, usia Hara baru saja menginjak 13 tahun sekarang. Namun sayangnya, Hara tak memiliki banyak teman bahkan sejak Masa Orientasi Siswa (MOS) berlangsung ia sama sekali tidak mendapatkan teman. Barulah ketika sudah ditentukan kelas saat itulah Hara mendapatkan teman satu-satunya yang bernama Dewi Azzari.
“Hara!”
Hara menoleh ke arah lorong sebelah kanannya, didapati Dewi yang tengah membawa tumpukkan buku hampir menutupi seluruh wajahnya.
“Tolong dong, bawain ini sebagian” ujar Dewi seketika sampai di hadapan Hara
Tanpa pikir panjang Hara mengambil sebagian tumpukkan yang dibawa oleh Dewi.
“Ini buat bacaan kita nanti, kalo di kelas ada jamkos kita bisa baca-baca tanpa harus ke perpus lagi hehehe”
Hara tak menanggapinya ia malah langsung berjalan ke lorong sebelah kirinya menuju kelas yang paling pojok. Dewi sudah biasa akan kelakuan Hara yang seperti itu, ia sama sekali tak tak tersinggung karena sejauh ini yang Dewi rasa bahwa Hara adalah anak yang baik.
“Oke pelajaran ibu cukup sampai disini ya, jangan lupa PR nya dikerjakan. Besok kita periksa bareng-bareng, baik ibu tinggal dulu ya, selamat istirahat anak-anak”
Sudah dua mata pelajaran yang Hara lalui kini waktunya istirahat, biasanya Hara tak pernah kemana-mana ia akan menghabiskan waktu istirahatnya dengan membaca buku atau tertidur di kelas.
Kali ini Hara memilih membaca buku yang dibawakan Dewi tadi pagi, sedangkan Dewi ia tengah sibuk menyantap bekal yang ia bawa dari rumahnya.
“Hara”
Hara tak menjawab panggilan dari Dewi ia tetap fokus membaca buku pilihannya
“Hara, aaaaaa” Dewi seketika menurunkan buku bacaan Hara yang menghalanginya lalu menyodorkan sendok berisi nasi dan telur
“Makan sendiri aja, aku gak laper” ujar Hara yang kembali menghalangi wajahnya dengan buku
Dewi bersikeras ingin menyuapi Hara hingga menimbulkan pergerakan yang cukup fatal membuat nasi, telur dan sedikit bumbunya tumpah mengenai rok yang dipakai Dewi.
Hara sontak terkejut ia langsung membersihkan rok Dewi dengan tangan nya, membuat Dewi sedikit tersenyum setidaknya dia masih punya empati pikirnya.
“Karena kamu udah numpahin bekel aku, sekarang gantinya antar aku ke kamar mandi buat bersihin ini”
Tanpa banyak basa-basi Hara segera bangkit dan mengikuti Dewi menuju kamar mandi yang letaknya cukup jauh sampai ia harus melewati lapangan.
BUUKK
Sebuah bola voli menghantam kepala Dewi sangat keras
“Aakkhhh, Hara” Dewi memegangi kepala nya dengan tubuh yang juga ikut terguncang
Hara reflek memegang kedua bahu Dewi dan menatap ke arah bola itu berasal, dalam pandangannya beberapa siswa tengah menertawakan kejadian singkat tersebut termasuk siswa laki-laki yang kali ini berlari menghampiri mereka berdua
“Ahahaha sorry” kekeh nya
Rahang Hara mengeras, bisa-bisanya dia masih tertawa? Batin Hara.
Lama tak mendapat jawaban siswa laki-laki itu hendak kembali ke lapangan, namun Hara dengan cepat menginjak kaki anak itu menggunakan sepatunya yang usang
“Sorry” ucap nya menaikkan kedua alis nya dan berlalu menggandeng tangan Dewi
Sontak teriakan siswa itu menggelegar di lanjut dengan semua perkataan buruk dan sumpah serapah tentunya. Namun Hara tetap melenggang pergi melewati beberapa siswa yang juga tengah memperhatikan mereka.
“Ahahaha kamu ini ya kok kepikiran aja sih nginjek kaki dia, mana dia gak pake sepatu lagi” tawa Dewi tak ada hentinya mengingat kejadian barusan
Namun tak bohong bahwa Dewi menyukainya, Hara memang terbilang cuek namun ia sangat peka terhadap sekitar. Dewi juga merasakan hal yang berbeda dari diam nya Hara, Dewi sudah menebak mungkin Hara aslinya tak sediam, sedingin itu. Ia dapat menebak bahwa Hara pasti memiliki hati yang hangat, Dewi berniat mencari tahu lebih jauh lagi namun untuk sekarang begini saja sudah cukup selebihnya akan ia cari tahu sedikit demi sedikit.
“Hara kapan-kapan kita belajar bareng di rumah kamu boleh gak?” tanya Dewi
Mereka sudah berjalan menuju gerbang karena ini sudah waktunya pulang
“Di luar aja, gak usah di rumah” jawab Hara
“Kenapa?”
“Rumah ku berantakan, malu.”
“Maklum lah, pasti kamu punya adek kan”
“Enggak, aku anak terakhir.”
Dewi tak melanjutkan bicaranya ia malah menghentikan langkahnya memperhatikan Hara dari atas sampai kebawah, dan Dewi baru menyadari bahwa dari mulai rambut Hara yang sedikit berantakan, baju seragam yang mulai kuning, rok yang juga mulai luntur, kaos kaki yang kendur, sepatu yang usang dan sedikit sobek di bagian tumitnya.
Dewi amat prihatin melihat teman sebangkunya itu seperti tidak terurus, mungkin Hara anak kurang mampu batinnya.
“Hara! tungguin aku!” seru Dewi sambil berlari menghampiri Hara
Ia menggenggam lengan Hara meski terkadang ditepis oleh Hara namun Dewi tak kalah keras ia tetap mempertahankan genggaman nya pada Hara sambil tersenyum menang.
“Hara, aku mau temenan sama kamu sampe kapanpun. Kalo ada apa-apa jangan sungkan bilang atau minta tolong ke aku ya, jangan sendirian sekarang ada aku, Hara” bisik Dewi yang terdengar jelas di telinga Hara
Hati nya luluh saat itu Hara dengan wajah nya yang datar, sikapnya yang dingin, cuek, dan monoton kini merasakan sakit di hatinya ketika Dewi berkata demikian, ia baru tersadar bahwa selama ini selalu menelannya semua sendiri. Namun apakah mempercayai Dewi adalah sebuah pilihan tepat?.
Masih flashback
Ia membuka payungnya sebelum melewati pintu agar terhindar dari hujan yang sangat deras dari tadi malam, baru saja kaki hendak melangkah tubuh besar dan tinggi menabraknya.
“Anjing! Ngehalangin jalan aja lu!”
Kak Sam memang selalu seperti itu.
Payung nya tergeletak di tanah, Hara terjatuh di atas bebatuan yang ibu nya susun di depan rumah, rok nya tentu saja basah, bahkan kini rambutnya sudah lepek karena air hujan.
Ia berdiri kembali mengambil payung yang tadi terlempar, lalu melangkah melewati pagar rumahnya.
Pemandangan pagi yang ia dapati adalah kedua kakaknya yang tengah menunggu sang ayah mengambil mobil yang mana semalaman di tinggalkan di rumah pamannya.
Ia tak juga melangkah meninggalkan rumah, entah ada apa.
Tak lama mobil ayah nya datang dan menyuruh masuk kedua anaknya itu, harusnya hati Hara sakit sekali bukan? Namun kali ini ia menatap mobil itu sambil melayangkan senyum nya, senyum yang entah apa artinya.
Tak Hara sadari bahwa ada dua orang yang tengah memperhatikannya dari kejauhan.
Ia melangkahkan kaki menyusuri jalanan basah dengan payung kecil, sampai ke sekolah nya.
“Hara!”
Itu Dewi yang baru saja turun dari mobil ayahnya. Melihat Dewi melambaikan tangan seketika tangan Hara ikut terangkat membalas lambaian itu, namun tak lama ia menyadari perilakunya yang membuat ia turunkan lambaian tangan itu sambil memudarkan senyumnya.
Hara menunggu Dewi yang tengah berpamitan dengan kedua orang tua nya, sambil sesekali melirik interaksi sahabatnya. Tak lama netra nya menangkap Dewi yang tengah berlari kecil dengan payung merah mudanya.
“Loh, baju kamu basah?” tanya Dewi saat melihat baju dan rambut Hara yang basah
Hara diam saja memandang Dewi.
“Aku bawa baju ganti, nanti di dalem langsung ganti aja ya” ujar Dewi
Dewi menunggu Hara yang tengah berganti baju ia benar-benar ikut ke dalam kamar ganti karena permintaan Hara, entah apa maksudnya namun Dewi menurutinya dengan ikut saat Hara berganti baju.
Dewi melihat secara jelas bahwa punggung Hara banyak goresan, Ah! Bukan goresan. Itu seperti luka cambuk dengan benda tipis, kecil, dan panjang.
Mata Dewi terbelalak namun ia tak berbicara sepatah katapun ia malah memalingkan wajahnya, ia tak sanggup melihatnya. Dewi menahan dirinya, ia paham benar-benar paham sahabat nya itu kenapa namun ia bingung harus berbuat apa.
Kini mereka tengah berjalan santai menuju ruang kelas mereka yang hanya dihadiri beberapa murid, karena hujan yang sangat deras beberapa siswa dan siswi memilih untuk tidak hadir hari ini.
“Ngapain tuhan nangis” ujar Hara
“Hah?” Dewi sontak menoleh ke arah Hara yang masih lurus pandangannya
Hara menggeleng.
Hara menghentikan langkahnya, Dewi pun sama lalu beralih menatap wajah Hara yang masih belum menoleh ke arahnya.
Dewi melanjutkan jalannya mendahului Hara, tak lama berdiam Hara pun mengikuti langkah Dewi.
“Gak ada salahnya nangis, nangis gak buat kamu jadi hina, atau jadi ciptaan yang paling lemah. Hara, aku tau banget dimata kamu, di dalem sana kalo aku tatap lamat-lamat semuanya berisi dendam, amarah, sakit, pilu, benci”
“Kamu gak tau siapa aku Dew, jangan sok tahu”
Lantas Dewi terdiam, menghentikan langkahnya seraya berbalik untuk menatap temannya
“Oke, aku emang gak tahu apa-apa soal kamu. Jadi mulai sekarang coba lihatin ke aku, siapa sih kamu?”
Hawa dingin bersama angin meniup surai keduanya yang tengah beradu pandang itu, Hara yang tak menyangka jika Dewi akan berkata seperti itu sontak tak bergerak sama sekali. Begitupun Dewi yang masih menatap lamat mata cantik milik Hara itu menunggu apa jawaban yang akan didapatkan.
“Aku gila asal kamu tau, udah cukup disana aku kasih tau kamu. Semoga pikiran kamu ke buka biar jauhin hal gila kaya aku” jawab Hara
Dewi melangkah lalu mengalungkan kedua lengannya ke perpotongan leher Hara, merengkuhnya dengan lembut dan hangat di tengah hawa dingin yang menyeruak itu. Ia menepuk-nepuk halus punggung Hara sambil sesekali mengusapnya.
“Hara, dunia gak akan berubah kalo kamu gak berani lawan. Ada aku di dunia kamu kali ini. Hara, aku harap kamu jangan ngomong gitu lagi, ada aku Hara, tolong bawa aku ke kehidupan kamu buat nemenin segala langkah kamu meski di tengah kegelapan sekalipun”
Hara yang masih tak bergeming tiba-tiba merasakan sakit sekali hatinya ditambah mendengar sedikit isakan yang keluar dari mulut Dewi. Perlahan kedua tangannya terangkat ingin membalas pelukan hangat itu juga, Hara juga ingin menyalurkan hangatnya ke Dewi, ingin melakukan segala hal yang Dewi lakukan untuk membuatnya tenang.
Namun belum juga telapak tangan itu menyentuh permukaan baju seragam Dewi, tangan Hara kembali turun mengurungkan niatnya.
Dewi yang sadar itu sedikit terpejam merasakan lega sedikit karna setidaknya Hara mau mencoba. Ia melepaskan rengkuhan itu, mengambil lengan Hara dan menariknya pelan agar berjalan berdampingan dengannya.
Sunyi kelas ini membuat beberapa murid disana juga tak bergeming mereka sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Termasuk Hara dan Dewi yang tengah sibuk membaca buku.
“Aaaaakkkkkkkk”
Suara teriakan siswi nyaring dari arah luar kelas yang membuat beberapa murid ikut menghambur keluar untuk menyaksikan apa yang terjadi.
Beberapa murid keluar dan menyaringkan teriakan mereka juga, membuat Hara dan Dewi saling menatap hingga akhirnya Hara beranjak menuju luar kelas.
Hara menerobos beberapa murid untuk melihat apa yang ada di tengah kerumunan itu.
Ia kaget dengan apa yang ia lihat namun ekspresi kaget dan takut itu tidak terpancar dari wajahnya, ia hanya menatap datar pada hal yang membuat semua orang berteriak itu. Sedangkan Dewi hanya bisa membelalakkan matanya.
Seekor kucing dengan kepala dan tubuhnya yang terpisah tergeletak begitu saja di depan ruangan kelas Hara, ia menajamkan pandangan menatap sekelilingnya barangkali ada wajah-wajah yang menunjukkan kecurigaan.
Kucing abu-abu yang terkapar itu rupanya menindihi secarik kertas di bawah tubuhnya. Hara berjongkok hendak mengambil kertas yang ia lihat sudah berlumur darah juga, namun tepukan di pundaknya seolah menjadi pengingat agar ia tak melakukan itu.
Ia mendongak ke belakang melihat Dewi yang berdiri tepat di belakangnya, orang yang baru saja menepuk bahunya. Dewi menggeleng kecil dengan sorot yang memohon.
Hara kembali berdiri lalu menatap datar kucing yang mati di hadapannya, ia meraih tangan Dewi mengajaknya keluar dari kerumunan itu dan berjalan menuju kelas yang sepi.
“Aku yakin itu sengaja” Hara membuka bicaranya
“Iya aku juga, tapi udah lah kita jangan ikut-ikutan” sahut Dewi
Dewi berjalan menuju meja nya, dan kembali membuka buku bacaan yang tadi tengah ia baca.
“Kok dibiarin aja sih? Ayo kita liatin temen-temen diluar ada yang mencurigakan apa ngga”
“Hara, udah lah kucing doang”
“Tapi kucing juga makhluk hidup Dewi!”
Dewi menatap Hara yang baru saja berkata dengan nada sedikit kencang, sejujurnya dihati Dewi sangat senang karna kini Hara sudah mulai mau lebih banyak berinteraksi dengan nya.
Ditambah ia senang karna feelingnya benar kalo Hara tak sedingin itu, dia punya hati yang hangat dan besar.
Dewi beranjak dan menggenggam tangan Hara
“Iya ayo, kita cari tau”
Hara sedikit menunduk dan menyunggingkan senyum nya, sedikit merasa bersalah karna sudah meninggikan nada bicaranya.
Mereka keluar mengamati keadaan yang masih ricuh karna tidak tahu harus di apakan kucing tersebut. Sementara Hara dan Dewi menyusuri semua murid hanya untuk menangkap eskpresi nya.
Flashback off.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!