NovelToon NovelToon

Dijual Untuk Hamil Anak Ceo

bab 1

Tamparan keras mendarat di pipi Liana, membuat tubuh mungilnya terhuyung dan jatuh ke lantai. Pipinya memerah, telinganya berdenging, namun matanya tetap memohon belas kasihan.

“Liana Antika, kau dengar baik-baik! Kau harus menuruti semua perintahku! Atau... kau mau lihat ayahmu yang lumpuh itu menderita sampai mati, hah?!” teriak Sandra, ibu tirinya, dengan mata menyala penuh kebencian.

“Tidak, Bu... Tolong... Jangan sakiti Ayah…” suara Liana lirih, diselingi isak. Lututnya gemetar, tubuhnya kurus dan pucat. Namun ia tetap merangkak mendekati Sandra, memohon ampun.

Sandra menepis tangan Liana yang hendak memeluk kakinya. “Sudah cukup drama murahanmu! Dasar anak tidak tahu diri! Kalau saja bukan karena ayahmu lumpuh, aku bisa hidup lebih enak!”

Dari balik pintu, suara tawa mengejek terdengar. Vika, adik tiri Liana, masuk sambil mengunyah permen karet dan menyilangkan tangan di dada.

“Kamu ini benar-benar menyedihkan, Kak. Kerja mati-matian di kafe kecil, sekolah seperti pengemis, ujung-ujungnya uangmu juga buat kita. Ha..ha…..tapi ya bagus juga sih, kamu itu berguna jadi sapi perah!”

Liana mengepal tangan, menahan amarah dan rasa hina. Namun demi ayahnya, ia memilih diam.

Setiap hari, ia berangkat sekolah dengan seragam lusuh, sepatu bekas yang solnya mulai lepas, dan wajah yang berusaha tersenyum meski jiwanya retak. Sepulang sekolah, ia bekerja di sebuah kafe kecil di ujung kota. Menyeduh kopi, membersihkan meja, melayani pelanggan kasar—semua dilakukannya demi sedikit uang.

Namun uang itu tak pernah menjadi miliknya. Begitu tanggal gajian, sampai di rumah, Sandra akan menunggunya di depan pintu, tangannya terulur menagih hasil kerja keras Liana. Setiap ada kekurangan dari gaji nya ia akan di siksa.

“Ini untuk biaya obat ayahmu,” katanya selalu. Padahal Liana tahu, uang itu habis dipakai Sandra membeli tas, make-up, dan membiayai gaya hidup Vika yang hobi belanja online.

Sang ayah, yang lumpuh total setelah kecelakaan kerja, hanya bisa terbaring di kamar belakang. Tak bisa bicara, hanya menangis setiap kali melihat putrinya datang dengan wajah lebam atau tubuh penuh luka.

Puncaknya terjadi malam itu. Liana pulang dalam keadaan lelah luar biasa. Tugas sekolah belum selesai, tubuhnya demam, dan ia tak sanggup berdiri lama. Tapi Sandra sudah menunggu di ruang tengah, wajahnya penuh kemarahan.

“Uangnya kurang! Kamu sembunyikan, ya? Kamu pikir aku bodoh?!”

“Tidak, Bu! Tadi aku gunakan uang itu untuk naik taxi aku ….”

Plak! Tamparan lagi-lagi mendarat di pipi Liana.

“Kau tahu akibatnya, kan?”

Tak lama, Vika membuka lemari dapur, mengambil gembok besi, lalu menyeret Liana menuju kamar kosong di ujung lorong. Ruangan itu gelap, tanpa jendela, dan selalu berbau lembab.

“Nikmati harimu di sini, Kak. Besok pagi mungkin mama  Sandra akan baik hati membiarkanmu makan,” ucap Vika sambil terkekeh. Pintu dikunci dari luar. Liana duduk di lantai dingin, menangis dalam diam.

Perutnya kosong. Tubuhnya demam. Tapi hatinya jauh lebih perih dari segalanya.

Di tengah malam, ia memejamkan mata dan hanya bisa berdoa. “Tuhan… jika Kau ada, tolong keluarkan aku dari neraka ini. Selamatkan ayah ku,Aku tidak tahu harus bertahan sampai kapan…”

Malam-malam seperti itu menjadi hal biasa bagi Liana. Ia belajar menyembunyikan luka dengan bedak murah, menyembunyikan tangis dengan senyum palsu. Tak ada teman yang tahu bagaimana kehidupan aslinya. Semua mengira Liana hanyalah gadis pendiam dari keluarga sederhana.

Tapi jauh di dalam dirinya, ada kobaran kecil yang terus menyala,keinginan untuk bebas, untuk hidup layak, dan untuk menyelamatkan sang ayah.

Namun takdir berkata lain.

Pagi itu, Sandra tampak lebih rapi dari biasanya. Ia memakai gaun mahal warna merah marun, rambutnya disanggul tinggi, dan wajahnya dipenuhi make-up tebal. Sementara Liana, seperti biasa, hanya memakai pakaian polos yang sudah pudar warnanya.

"Ganti bajumu. Hari ini kamu akan ikut denganku ke rumah majikan barumu ," kata Sandra tanpa menatap Liana ,” tapi Liana masih harus ke sekolah, Bu…" ucap Liana pelan.

Sandra menoleh cepat, menatap tajam dengan mata menyipit. "Kamu pikir sekolah penting? Hidupmu sudah kuatur. Kau hanya perlu menurut, atau ayahmu yang akan menerima akibatnya."

Dengan hati yang memberontak, Liana tetap diam. Ia tak punya pilihan. Demi ayahnya, dia rela melakukan apapun.ia segera Mengganti pakaiannya dengan pakaian terbaik yang ia punya .

Mobil hitam berhenti di depan rumah. Sopir membuka pintu belakang dan Sandra masuk dengan gaya angkuhnya. Liana duduk di sebelahnya, matanya terus memandang jalanan, mencoba menahan air mata yang menggenang.

Setelah satu jam perjalanan, mobil berhenti di depan sebuah mansion mewah, berdiri kokoh dengan pagar tinggi dan penjaga berseragam di depan gerbang.

Liana terdiam. Tempat itu terasa asing, tapi hatinya langsung merasa tidak aman.

Sandra turun lebih dulu, lalu menarik tangan Liana. "Jaga sikap. Jangan banyak tanya. Kau akan tinggal di sini mulai sekarang."

Mereka disambut oleh seorang pria tinggi dengan jas hitam, sorot matanya tajam dan ekspresinya dingin. Ia bernama Tuan Darvel, pemilik mansion sekaligus pria yang selama ini membantu Sandra—bukan secara baik, tapi melalui transaksi kelam yang tak pernah diketahui siapa pun.

"Ini gadisnya," ucap Sandra, menyerahkan dokumen yang ia bawa.

Tuan Darvel hanya menatap Liana dari ujung kaki sampai kepala. "Usianya?"

"Delapan belas. Masih polos. Tapi kuat. Pintar juga. Cocok untuk tugas Anda," jawab Sandra cepat.

Tuan Darvel mengangguk pelan. Kemudian dengan suara pelan namun tajam, ia berkata, "Kalau dalam 30 hari dia belum hamil, keluarganya akan menanggung akibatnya. Aku tak suka bermain-main dengan waktu."

Liana menoleh dengan panik. "Hamil? Maksudnya apa? Aku bukan—"

Plak!

Sandra menampar pipi Liana keras.

"Diam! Jangan memalukan aku! Ini sudah keputusan. Kau akan mengabdi di sini. Jangan berani lari, atau nyawa ayahmu jadi taruhannya."

Liana menangis, tubuhnya gemetar. Dunia seakan runtuh di hadapannya. Ia tak mengerti, mengapa dirinya yang harus menjadi korban.

Liana berdiri mematung. Tubuhnya menggigil saat tangan Sandra mendorongnya ke arah pria berpakaian gelap .Senyuman wanita itu lebar, tak menyisakan sedikit pun belas kasihan. Matanya bersinar penuh keserakahan, seakan apa yang ia lakukan bukan sebuah dosa, melainkan kemenangan.

Pria itu menyodorkan banyak uang untuk Sandra Sebagai imbalannya. 

"Terima kasih, Liana," ucap Sandra dengan nada yang menyakitkan. "Berkat kamu, aku bisa membeli rumah baru dan mobil untuk Vika. Dan jangan khawatir… ayahmu akan tetap hidup, asal kamu menurut."

Ia mendekat, membisikkan kata-kata terakhir tepat di telinga Liana.

"Tapi jika kau berani menolak, aku bersumpah, aku akan biarkan dia mati perlahan. Aku tak main-main."

Air mata Liana mengalir tanpa henti. Lututnya lemas, tapi ia tak diberi waktu untuk jatuh. Tangan kekar penjaga menarik tangannya kasar, membawanya masuk ke sebuah ruangan yang pintunya segera ditutup rapat dari luar.

“Masuk,” perintah seorang pria yang sudah duduk di sudut ruangan. Wajahnya tersembunyi di balik bayangan, suaranya berat dan penuh kuasa.

Liana menunduk. Ia bisa mendengar detak jantungnya sendiri, kencang dan tak beraturan. Kakinya nyaris tak bisa bergerak.

“Mulai malam ini, kamu akan menjalani pemeriksaan, kamu harus siap. Tak hanya secara fisik, tapi juga mental. Tubuhmu adalah milik tuan  kami sekarang, dan kamu harus menurut .”

“T-Tapi… saya…”

“Tidak ada tapi,” potong pria itu dingin. “Sandra sudah menandatangani kontraknya. Keluargamu  dalam kendali tuan kami .”

Liana jatuh terduduk. Dunia terasa runtuh di atas pundaknya. Ia hanyalah gadis muda yang ingin menyelamatkan ayahnya, namun justru dikorbankan oleh ibu tirinya  dijual seperti barang.

Liana berpikir rumah mewah itu adalah tempat terakhirnya. Tempat di mana ia akan tinggal, menjadi tawanan dalam emas dan kemewahan yang dingin. Namun kenyataan jauh lebih buruk dari dugaannya.

Setelah ditinggal oleh Sandra, Liana tak langsung dibawa ke hadapan sang majikan. Ia malah dimasukkan ke dalam kamar steril berwarna putih, seperti ruang isolasi rumah sakit. Hanya ada kasur , tak ada selimut hangat. Hanya dinding dingin, kamera , dan tenaga  kesehatan berseragam putih di sana.

"Buka bajumu."

Liana menoleh, terkejut mendengar suara seorang wanita berseragam putih, lengkap dengan clipboard di tangan.

"Untuk apa?" tanyanya gemetar.

"Tes. Periksa kesehatanmu. Periksa rahimmu. Kita harus pastikan kau sehat dan subur sebelum diserahkan kepada Tuan Besar."

Liana melangkah mundur, tapi dua wanita lain masuk dan menggenggam tangannya dengan kuat. Ia melawan, berteriak, namun ruangan itu kedap suara. Tak ada yang mendengar. Tak ada yang peduli.

Hari-hari berikutnya dipenuhi pemeriksaan medis. Ultrasonografi, tes darah, pemeriksaan hormon, hingga pemindaian rahim. Semua dijalani tanpa penjelasan yang layak, tanpa izin, tanpa perasaan.

“Sangat ideal,” gumam salah satu dokter perempuan pada suatu malam setelah menerima hasil tes.

“Rahimnya dalam kondisi sempurna. Umur subur. Kadar hormon stabil. Dalam tiga minggu, Tuan Besar akan siap menerima gadis ini.”

Mendengar itu, Liana hanya bisa memeluk tubuhnya sendiri di sudut ranjang kecil tempat ia tidur.

*

*

*

Sandra melangkah masuk ke kamar dengan langkah congkak, tumit sepatunya berderap di lantai seperti genderang kemenangan. Di tangannya tergenggam setumpuk uang, berikat dengan karet tebal. Wajahnya berseri-seri, penuh kepuasan. Ia mendekati ranjang besar di sudut ruangan tempat suaminya, Hartawan, terbujur lemah tak berdaya.

Pria tua itu hanya bisa menatap kosong ke langit-langit, separuh tubuhnya lumpuh sejak kecelakaan setahun lalu. Ia tak bisa bicara, hanya bisa menangis dan merintih pelan jika merasa sakit. Namun matanya masih berbicara banyak, terlebih saat ia melihat Sandra datang membawa uang dengan wajah penuh ejekan.

“Lihat ini, Hartawan,” ujar Sandra dengan nada menghina, melemparkan setumpuk uang ke atas dada suaminya. “Ini hasil dari anakmu! Liana... si gadis suci kesayanganmu itu... sekarang sudah menjadi pelacur murahan!”

Hartawan terkejut. Matanya membelalak, tubuhnya seolah menggigil walau tak bisa benar-benar bergerak. Air matanya mengalir begitu saja, seakan menjerit tanpa suara.

“Kamu tahu kenapa semua ini terjadi?” lanjut Sandra seraya mencubit dagunya sendiri dengan angkuh. “Karena kamu! Karena kamu tak pernah bisa mencukupi semua kebutuhanku! Kau pria lemah yang bahkan tak bisa membayar hutang! Jadi aku jual saja anakmu! Itu adil, bukan?”

"HAHAHAHA!" tawa Sandra menggema di kamar itu seperti kutukan. "Liana mungkin menangis sekarang. Tapi aku? Aku bahagia!"

Hartawan menahan napas. Hatinya seperti dihancurkan perlahan. Ia ingin berteriak, namun suaranya terkubur di kerongkongan. Ia ingin berdiri, tapi kakinya mati rasa. Ia hanya bisa menangis... menangisi anak gadisnya yang dijual oleh wanita keji yang pernah ia menikahi karena cinta buta.

Dalam diamnya, batinnya berteriak:

"Tuhan... ampuni aku. Aku gagal menjadi ayah. Aku gagal menjaga Liana... Aku bersumpah, jika aku bisa hidup kembali... aku akan hancurkan wanita ini!"

Sandra tak peduli. Ia membalikkan badan, berjalan keluar kamar sambil bersiul. Setiap langkahnya meninggalkan luka baru di hati Hartawan. Ia bahkan sempat berkata di ambang pintu,

“Mulai besok, aku akan hidup mewah bersama Vika. Sementara kau… tetap saja tergeletak di sana, menyaksikan kehancuran anakmu. Menyesal? Sudah terlambat.”

Pintu tertutup. Kamar kembali sunyi, hanya tersisa isak pilu dari seorang ayah yang kehilangan putrinya, harga dirinya, dan harapannya.

bab 2

Setelah berhari-hari berada di ruangan yang dingin dan penuh ketegangan, Liana akhirnya dinyatakan lulus dari semua tes medis yang telah ia lalui—tes kesuburan, kesehatan fisik, bahkan tes genetika yang tak pernah ia pahami tujuannya. Tubuhnya lelah, namun ia tidak menangis lagi. Air matanya seakan habis. Yang tersisa kini hanyalah kehampaan.

Para dokter yang bekerja di bawah perintah "Tuan Besar" tak menunjukkan empati sedikit pun, hanya mencatat hasil dengan wajah datar. Hingga sore itu, seorang pelayan perempuan berusia sekitar lima puluhan masuk ke kamarnya dengan membawa kabar yang membuat jantung Liana berdebar.

"Nona Liana, Nyonya Claudia akan datang besok untuk bertemu Anda. Saya diminta mempersiapkan Anda sebaik mungkin."

Liana mengangkat kepalanya pelan. Nama itu belum pernah ia dengar sebelumnya, namun nada suara pelayan itu membuat tubuhnya kaku. Ada ketakutan yang tak dapat dijelaskan saat mendengar nama "Claudia".

Maria, pelayan muda yang selama ini diam-diam menunjukkan simpati pada Liana, datang malam harinya dengan wajah gelisah. Ia duduk di tepi ranjang Liana sambil memegang tangan gadis itu dengan erat.

"Liana... kau harus berhati-hati besok. Claudia bukan wanita biasa. Dia istri sah dari Tuan Besar. Tapi hubungan mereka sangat dingin. Claudia sangat cantik, namun hatinya dingin seperti es. Dulu dia seorang model terkenal, dan sampai sekarang dia sangat menjaga tubuhnya. Karena itulah dia menolak untuk hamil."

Liana memandang Maria, matanya menyiratkan luka yang dalam. "Jadi... karena itu aku...?"

Maria mengangguk pelan, matanya berembun. "Kau dipilih... bukan karena cinta, tapi karena kau sehat, subur, dan bisa memberikan keturunan bagi keluarga mereka. Claudia setuju... asalkan anak itu bukan berasal dari rahimnya."

Liana tercekat. Dunia yang ia pijak seakan runtuh sedikit demi sedikit.

"Tapi kenapa dia ingin bertemu denganku?"

"Entah," jawab Maria sambil menggeleng. "Tapi kemungkinan besar, dia ingin memastikan bahwa 'rahim pengganti' ini pantas untuk keturunan suaminya."

Malam itu, Liana tidak bisa tidur. Ia memandangi langit-langit ruangan mewah itu yang terasa seperti penjara berlapis emas. Ia tahu, esok hari mungkin akan menjadi awal dari penderitaan baru yang lebih menyesakkan. Namun di hatinya yang terkoyak, ia bertekad satu hal—ia tidak akan membiarkan siapapun menghancurkan jiwanya, meski tubuhnya telah dimiliki.

Ketukan pelan terdengar di balik pintu kamar yang mewah tapi dingin itu.

Tok... tok... tok...

Liana membuka matanya perlahan. Tubuhnya masih lelah, tapi suara ketukan itu terus mengusik hingga pintu terbuka pelan. Seorang pelayan perempuan, mengenakan seragam hitam dengan apron putih yang rapi, masuk dengan langkah penuh tata krama.

"Selamat pagi, Nona Liana," ucapnya lembut, tapi terdengar tegas. "Mohon maaf, saya harus membangunkan Anda sekarang. Hari ini, Nyonya Claudia akan datang. Kami harus mempersiapkan Anda dengan sempurna."

Liana menegakkan tubuhnya di ranjang. Tenggorokannya kering. Meski baru saja terbangun, ia sudah merasakan tekanan di dadanya.

Pelayan itu segera membuka tirai, membiarkan cahaya matahari pagi menyelinap masuk. Lalu, ia menyiapkan air hangat di kamar mandi dan menyiapkan pakaian berwarna krem lembut yang tampak sangat elegan. Tak ada renda berlebihan, tak ada perhiasan mencolok—semuanya tampak berkelas dan sederhana, seperti mencerminkan selera Claudia.

Beberapa pelayan lainnya datang membantu. Rambut Liana ditata rapi dalam sanggul sederhana, wajahnya dirias dengan sangat halus—hanya untuk menampilkan kesan "alami" yang sebetulnya dipoles dengan sangat teliti. Tidak ada ruang untuk kesalahan hari ini.

"Nona Liana," ucap salah satu pelayan senior saat semua selesai. "Nyonya Claudia sangat memperhatikan penampilan dan cara bicara. Jangan menunduk terlalu dalam, tapi jangan menatap mata beliau terlalu lama. Jika ditanya, jawab secukupnya. Dan yang paling penting—jangan membuatnya merasa tersaingi."

Liana mengangguk pelan. Ia merasa seperti boneka porselen yang akan dipajang untuk diperiksa. Tapi dibalik tatapannya yang diam, hatinya bergetar kencang.

Sekitar pukul sembilan pagi, pintu ruang tamu besar di lantai bawah dibuka dengan sopan oleh pelayan utama. Di sana, berdiri seorang wanita yang nyaris tak tersentuh oleh waktu—anggun, berkelas, dengan aura dingin yang mematikan. Claudia masuk dengan langkah pelan namun tegas, mengenakan setelan putih gading, rambutnya ditata sempurna, wajahnya tajam namun cantik bak pahatan marmer.

Semua pelayan menunduk rendah. Suasana berubah sunyi, hanya suara langkah high heels Claudia yang terdengar menggema.

"Bawa dia kemari," ucap Claudia datar. Suaranya tenang, namun menggigit.

Liana digiring ke ruang tamu itu. Jantungnya berdetak lebih cepat dari sebelumnya.

Saat keduanya bertemu, waktu seolah membeku.

Claudia mengamati Liana dari ujung kepala hingga kaki. Tatapannya bukan seperti wanita menatap manusia lain—lebih seperti seorang kolektor menilai barang antik.

"Jadi ini gadisnya," gumam Claudia dingin. "Masih sangat muda..."

Liana menunduk sopan, tubuhnya kaku.

"Angkat kepalamu sedikit. Aku ingin melihat matamu."

"Siapa namamu?" suara Claudia terdengar tenang namun penuh wibawa.

Liana mendongak sedikit, suaranya bergetar saat menjawab, "Liana… Liana Antika, Nyonya."

Claudia mengangguk pelan. Senyum tipis terlukis di wajahnya, tapi bukan senyum ramah—melainkan seperti seseorang yang puas menemukan apa yang ia cari.

"Cantik… muda… Tubuhmu juga bagus," gumamnya pelan, seperti bicara pada dirinya sendiri. Lalu, ia menoleh ke Maria yang berdiri di belakang Liana. "Kau yang merawatnya?"

Maria menunduk sopan. "Ya, Nyonya. Sejak dia tiba."

Claudia kembali memandangi Liana. Ia melangkah lebih dekat, begitu dekat hingga Liana bisa mencium wangi parfum mahal wanita itu. Ia mengangkat dagu Liana dengan satu jari, memaksa gadis itu menatapnya.

"Kau tidak sakit, tidak cacat, dan kau masih suci. Sangat sempurna." Claudia menyeringai pelan. "Kau tahu kenapa kau ada di sini, Liana?"

Liana menelan ludah, suaranya nyaris tak terdengar. "Untuk… menjadi calon ibu dari penerus…"

"Tepat sekali." Claudia mengangguk puas. "Dan kau harus tahu, ini bukan permintaan. Ini perintah. Kau akan mengandung anak dari pria yang ku pilih. Dia suamiku—tapi jangan merasa tersanjung. Aku tidak peduli siapa yang tidur dengannya, selama anak itu lahir dari rahim yang sehat dan bibit dari suamiku.”

“Kau akan melahirkan anak dari darah suamiku. Tapi ingat satu hal, gadis kecil... Anak itu milik aku. Bukan milikmu. Setelah kau melahirkan,kau akan ku bayar dengan mahal. kau bukan siapa-siapa, Tidak ada ruang untuk cinta disini.” tambah Claudia.

"Kenapa… kenapa tidak Anda saja, Nyonya?" tanya Liana lirih, tak mampu membendung perasaannya.

Claudia terkekeh. Tawa dingin dan merendahkan.

"Karena aku mencintai tubuhku. Aku membangun tubuh ini dengan susah payah—dan aku tidak akan merusaknya hanya demi satu anak. Lagi pula, itu tugasmu sekarang, Liana."

Maria menggenggam tangan Liana dari belakang, mencoba menenangkan. Gadis itu hampir ambruk jika tidak disangga pelayan setianya.

"Darvel akan datang malam ini. Dia akan membawamu ke tempat yang lebih privat, lebih… 'hangat'. Di sana, semuanya akan dimulai. Siapkan dirimu."

Claudia berbalik, jubah panjangnya mengepak ringan saat ia berjalan keluar. Sebelum melangkah melewati pintu, ia sempat berkata pelan tanpa menoleh,

"Jangan coba-coba lari. Kami punya cara yang lebih kejam dari kematian jika kau berani menolak takdirmu."

Pintu tertutup dengan suara dentum pelan.

Maria langsung memeluk Liana yang gemetar. Gadis itu meneteskan air mata dalam diam, tubuhnya lemas, pikirannya hancur.

Sebelum benar-benar pergi, Claudia menoleh sekali lagi ke arah Liana. Tatapannya tajam, penuh peringatan. Dalam hening yang menyelimuti ruangan, ia berucap tanpa menyentuh emosi.

"Darvel."

Seorang pria dengan jas hitam rapi segera melangkah maju. Wajahnya datar, tapi sorot matanya menyiratkan bahwa ia bukan sembarang pelayan. Ia adalah orang kepercayaan Claudia, seseorang yang akan mematuhi perintah tanpa bertanya.

"Kirim gadis itu ke mansion yang sudah kusiapkan. Pastikan dia sampai di sana dengan selamat. Bawa satu pelayan untuk melayaninya—pilih yang tahu caranya menjaga mulut."

Darvel menunduk dengan angkuh, tangannya menyilang di depan dada. "Baik, Nyonya."

Claudia memutar tubuhnya dan berjalan anggun menuju mobil mewah yang sudah menunggu di depan pintu utama. Deretan pelayan membungkuk dalam diam ketika wanita itu menaiki kendaraannya. Dalam sekejap, mobil itu meluncur pelan, meninggalkan rumah besar yang kini kembali terasa dingin dan kosong.

Liana hanya bisa berdiri diam. Tubuhnya masih dibalut gaun rapi yang tak pernah ia pilih sendiri. Maria, pelayan yang diam-diam menyayangi Liana, menghampiri dan menunduk pada Darvel.

"Jika Tuan Darvel mengizinkan, saya ingin menjadi pelayan yang menemani Nona Liana."

Darvel menatap Maria sejenak. Ia mengenali wanita itu—bukan yang termuda, tapi cermat, bersih, dan tidak cerewet. Ia mengangguk singkat.

"Baik. Kalian berdua ikut aku sekarang."

Tanpa banyak kata, mereka dibawa keluar rumah menuju sebuah mobil berwarna hitam legam, dengan jendela gelap yang tak bisa ditembus mata dari luar. Liana duduk di kursi belakang bersama Maria. Mobil itu meluncur keluar dari halaman besar rumah Claudia, menuju tempat yang belum pernah Liana lihat atau dengar.

Perjalanan memakan waktu hampir dua jam. Mereka melewati jalan panjang yang berkelok, melewati perkebunan sunyi, hingga akhirnya memasuki kawasan pribadi yang dijaga ketat oleh petugas keamanan. Gerbang besi besar terbuka otomatis saat Darvel menunjukkan tanda pengenal.

Di balik gerbang itu, berdiri mansion megah, tersembunyi di antara pepohonan besar dan taman yang terawat. Meski indah, tempat itu terasa asing, jauh dari kehangatan. Seperti penjara yang dibungkus dalam balutan kemewahan.

"Selamat datang di kediaman sementara Anda," ucap Darvel datar, membuka pintu mobil.

Liana turun perlahan. Hatinya terasa dingin. Maria meraih tangannya diam-diam, mencoba memberikan ketenangan tanpa suara.

Darvel memimpin mereka masuk. Mansion itu dipenuhi perabot mahal, kaca bening, dan langit-langit tinggi. Tapi tak ada satupun tanda kehidupan. Semua terasa sunyi.

"Di tempat ini, tak ada yang datang tanpa izin Nyonya Claudia. Tak ada yang pergi tanpa perintah. Kalian akan tinggal disini sampai waktu yang ditentukan," jelas Darvel, sebelum menyerahkan kunci kamar kepada Maria.

"Aku akan datang setiap minggu untuk mengecek keadaan. Pastikan gadis itu tetap dalam kondisi terbaiknya."

Setelah itu, Darvel pun pergi.

Maria membawa Liana ke kamar besar yang akan menjadi tempat tinggalnya. Dindingnya krem, tempat tidurnya besar dan empuk, jendela menghadap ke taman kecil. Namun di balik semua kemewahan itu, ada belenggu tak kasat mata.

Liana duduk di tepi ranjang, menatap lantai marmer. Maria menghela nafas, lalu berkata lirih,

"Nona Liana… mulai sekarang, hidupmu bukan milikmu sendiri. Tapi aku akan tetap di sisimu. Aku tahu kamu gadis baik. Dan kamu tidak pantas diperlakukan seperti ini…"

Air mata menggenang di sudut mata Liana. Tapi ia hanya mengangguk, menyimpannya dalam diam. Ia tahu, penderitaan yang lebih besar mungkin baru saja dimulai.

bab 3

Malam itu, angin berhembus lembut dari sela-sela tirai panjang yang menjuntai di depan jendela besar. Cahaya bulan menerobos masuk, menerangi sebagian ruangan mewah yang kini menjadi tempat tinggal Liana dan Maria.

Mansion milik Claudia berdiri megah di atas tanah luas, dikelilingi pagar tinggi dan kamera pengawas di setiap sudut. Penjagaan begitu ketat, seolah tempat itu menyembunyikan rahasia besar yang tak boleh diketahui siapa pun. Bahkan untuk sekedar menghirup udara malam di teras depan, Liana dan Maria harus meminta izin.

Maria sibuk di dapur. Matanya mengamati setiap sudut ruangan, lemari, dan rak yang penuh bahan makanan. Ia membuka kulkas besar berwarna perak mengkilap, mendapati daging segar, susu, sayuran, dan buah-buahan tertata rapi. Semua tersedia. Terlalu lengkap. Terlalu sempurna—untuk sebuah rumah yang menyimpan rencana busuk.

Sementara itu, Liana melangkah pelan ke dalam kamarnya. Saat pintu terbuka, ia tertegun.

Ruangan itu seperti milik putri kerajaan. Tempat tidur besar berlapis sutra putih, tirai tebal berwarna krem keemasan menggantung anggun, dan furnitur bergaya klasik dengan ukiran detail menghiasi setiap sudut. Cermin tinggi berdiri megah di sisi kanan, menghadap lemari pakaian yang entah berisi apa. Di sudut, ada meja rias dengan lampu-lampu kecil mengelilingi cermin bundarnya.

Liana melangkah mendekati tempat tidur, menyentuh selimut halusnya dengan ragu. Sesaat, ada rasa nyaman, rasa damai… tapi segera berganti menjadi takut. Ia tahu kemewahan ini bukan untuk membuatnya bahagia. Ini hanyalah panggung bagi peran yang harus ia jalani—peran sebagai wadah, sebagai penghasil darah baru untuk keluarga yang bahkan tak menganggapnya manusia.

Liana duduk di pinggir ranjang, menatap lantai kayu mengkilap di bawah kakinya. Ia menatap cermin besar di seberangnya. Refleksi dirinya tampak rapuh, begitu asing.

Tak lama, Maria masuk dengan langkah pelan. Ia membawa segelas susu hangat untuk Liana.

"Minumlah ini, kau butuh tenaga," ucap Maria lembut, meletakkan gelas di meja samping tempat tidur.

Liana menggeleng pelan, air matanya mulai mengalir. "Maria… kenapa semua ini terjadi padaku? Aku belum pernah mencintai siapa pun. Bahkan aku belum sempat bermimpi besar…"

Maria duduk di sampingnya, memeluk gadis muda itu dengan erat.

"Aku tak tahu, lia… dunia memang kejam untuk orang-orang baik sepertimu. Tapi dengarkan aku, Liana. Selama aku masih di sisimu, aku akan melindungimu. Kita akan cari jalan keluar, apapun caranya."

Liana mengangguk pelan di pelukan Maria, air matanya jatuh membasahi bahu wanita  yang telah menjadi satu-satunya tempatnya bergantung kini.

Setelah Liana meneguk susu hangat dan mencoba menenangkan diri, Maria mengajaknya untuk memeriksa seisi kamar. Ia ingin memastikan bahwa tempat itu benar-benar aman dan nyaman, setidaknya untuk malam ini.

Dengan langkah pelan, Maria membuka satu per satu laci meja, memeriksa kamar mandi, hingga akhirnya berdiri di depan sebuah lemari pakaian besar berwarna coklat tua dengan ukiran mewah. Maria membuka pintunya perlahan.

Tiba-tiba, matanya terbelalak. Tangannya gemetar saat menyibak gantungan pakaian satu demi satu. Wajahnya berubah pucat.

"Ya Tuhan..." desahnya pelan.

Liana yang berada di belakang Maria ikut mendekat. Saat ia melihat isi lemari itu, jantungnya seperti berhenti berdetak. Pakaian-pakaian di dalam lemari itu… bukan pakaian biasa. Bukan pakaian untuk wanita yang hendak hidup normal.

Semua pakaian di sana tipis, menerawang, seksi, dan menggoda. Gaun malam dengan belahan dada rendah. Lingerie dari renda hitam dan merah. Bahkan ada beberapa yang terlalu vulgar untuk dikenakan. Tak ada satupun pakaian kasual. Tidak ada celana panjang, tidak ada kaos sederhana. Hanya pakaian yang... jelas bukan untuk kenyamanan.

“Apa… apa maksud semua ini…?” bisik Liana, suaranya tercekat, gemetar.

Maria menutup pintu lemari dengan cepat dan menatap Liana, mencoba menyembunyikan kegelisahannya, namun raut wajahnya sudah cukup menjelaskan.

“Mereka tidak membawamu ke sini untuk tinggal sebagai manusia biasa, Liana...” ucap Maria lirih. “Mereka memperlakukanmu hanya sebagai alat… tempat untuk melahirkan darah baru… bukan wanita, bukan anak, bukan manusia.”

Liana memeluk dirinya sendiri, tubuhnya menggigil. Semua ketakutan yang ia tahan sejak dipisahkan dari ayahnya kini pecah menjadi tangis.

"Aku ingin pulang… aku ingin ayahku… aku bukan seperti ini, Maria… aku hanya ingin hidup biasa…kuliah , kerja, bahagia bersama ayah ku … kenapa dunia begitu kejam padaku?”

Maria memeluknya erat. Ia tahu Liana masih terlalu muda untuk menanggung beban seberat ini. Seharusnya gadis itu sedang berada di kampus, mengenakan seragam rapi, tertawa bersama teman-temannya. Bukan di ruangan seperti ini, mengenakan pakaian seperti itu, menunggu perintah untuk... menyerah.

“Tenang, Liana . Kita akan cari cara. Aku tidak akan membiarkan mereka menghancurkanmu.”

Namun jauh di dalam hati Maria, ia tahu... mereka takkan membiarkan Liana pergi semudah itu. Claudia dan orang-orangnya terlalu kuat, terlalu kaya, dan terlalu licik.

Tapi satu hal yang Maria yakini, selama darahnya masih mengalir, ia akan melindungi Liana.  Entah apa yang membuat maria sangat menyayangi Liana.tapi yang ia tahu Ia tidak akan membiarkan gadis muda itu menjadi boneka di rumah megah ini. Walu usia mereka terpaut tak terlalu jauh.

Malam itu, Liana membersihkan diri dan bersiap untuk tidur, ia membuka lemari berharap menemukan pakaian yang lebih sopan. Tapi tak ada pilihan lain—semua isi lemari hanya berisi pakaian tipis dan menggoda. Dengan berat hati, ia memilih mengenakan jubah mandi berbahan satin yang menggantung di balik pintu kamar mandi.dan itu lebih tertutup dibandingkan baju yang ada di lemari.

Jubah itu lembut dan dingin di kulitnya. Panjangnya hanya sebatas paha, dengan tali pinggang kecil yang diikat erat di perutnya. Meski bagian dada dan bahu tertutup, Liana merasa tubuhnya seolah tetap terlihat. Ia menatap cermin, merapikan rambut yang masih setengah basah, lalu menghela nafas panjang.

Ketukan terdengar di pintu.

" Nona Liana." Suara berat dan dalam itu milik Darvel. "Tuan Kenzo ingin bertemu denganmu. Sekarang."

Liana tersentak, menatap pintu dengan panik. Ia merapatkan jubahnya lebih erat dan melangkah pelan ke arah pintu. Tangan kirinya masih berusaha menutup bagian leher jubah yang sedikit merenggang.

“Aku belum berpakaian pantas…” bisiknya gugup dari balik pintu.

“Kenakan saja jubahmu. Tuan tak suka menunggu,” jawab Darvel datar.

Dengan langkah ragu, Liana membuka pintu perlahan. Darvel berdiri tegak, menatapnya singkat lalu memberi isyarat untuk mengikutinya.

Di sepanjang lorong mewah itu, Liana berjalan pelan. Ujung jubahnya bergoyang seiring langkah, dan hatinya berdegup semakin kencang. Ia tahu, pertemuan ini bukan pertemuan biasa. Di balik pintu besar di ujung lorong… pria bernama Kenzo Wiratama sedang menantinya.

 Pikirannya terus membayangkan seperti apa pria bernama Kenzo Wiratama yang akan menjadi "tuan" atas dirinya.

Lampu-lampu temaram memberikan suasana suram. Saat tiba di depan sebuah ruangan besar dengan pintu ganda ukiran mewah, Darvel membuka pintu itu dan memberi isyarat padanya untuk masuk.

Liana melangkah pelan, dan di sanalah dia—Kenzo Wiratama.

Pria itu berdiri di depan jendela besar dengan pemandangan taman malam di luar. Tinggi, tegap, mengenakan jas hitam yang disesuaikan sempurna dengan tubuhnya. Rambutnya rapi, wajahnya tegas, namun dingin. Sorot matanya tajam, seakan bisa menembus isi hati siapa pun yang menatapnya.

Saat mendengar langkah Liana, Kenzo perlahan berbalik.

Tatapan mereka bertemu.

Liana menunduk spontan, merasa tubuhnya seolah telanjang di hadapan pria itu meskipun ia masih mengenakan pakaian.

“Namamu Liana, bukan?” suara Kenzo dalam dan datar.

“Iya, Tuan...” jawabnya pelan.

Kenzo mendekat, matanya menyapu tubuh gadis itu dengan pandangan yang sulit ditebak. Tidak sepenuhnya penuh nafsu, tapi jelas bukan pandangan seorang pria kepada wanita yang ia cintai.

“ Claudia bilang kau sangat sehat dan subur.” ucapnya tanpa ragu.

Liana merasa tenggorokannya tercekat.

“Kau tidak perlu berkata apa-apa malam ini. Aku hanya ingin melihatmu langsung. Aku tidak suka kejutan.”

Ia mengitari Liana, memperhatikannya seperti menilai barang lelang berharga.

“Tubuhmu sesuai dengan yang kulihat di laporan. Wajahmu juga cukup menarik. Tapi kau harus tahu… tugasmu bukan mencintaiku. Tugasmu adalah memberi keturunan untuk keluarga Wiratama. Jika kau bisa melakukannya dalam waktu tiga puluh hari, kau akan hidup tenang. Jika tidak…” Kenzo berhenti, menatap matanya lurus.

“…aku akan kirim ayahmu ke tempat yang sama seperti ibumu .”

**“Ibuku sudah meninggal…” bisik Liana, suara lirih, hampir tak terdengar.

“Berarti disanalah  ayahmu akan di kirim. Pikirkan baik-baik.” Kenzo berbalik, melangkah ke meja dan menekan bel.

Darvel kembali masuk.

“Kembalikan dia ke kamarnya.”

Liana dibawa kembali, namun matanya sudah basah oleh air mata yang ia tahan mati-matian. Setiap langkah terasa seperti menuju neraka yang tak bisa ia hindari.

Di balik dinding, Claudia menyaksikan semuanya lewat kamera tersembunyi, bibirnya tersenyum puas.

“Mainan yang cantik. Tapi berapa lama dia bisa bertahan?”

Malam itu, Liana tidur dengan air mata yang tak kunjung kering.  Setelah Liana di kembalikan ke kamar nya ,darvel memanggil  Maria untuk mengambilkannya minum. Dan betapa terkejutnya maria melihat Liana berurai air tanpa suara .matanya  melihat wajah gadis itu penuh luka , ia tahu… malam pertama belum dimulai, tapi luka Liana sudah sangat dalam.

Maria menemani Liana yang akhirnya tertidur dengan tenang setelah tangis dan ketakutan yang menghujani malam itu. Wajah gadis muda itu masih menyisakan gurat lelah, namun akhirnya damai dalam tidurnya. Maria menyelimuti tubuh Liana dengan lembut, lalu mematikan lampu kamar dan keluar perlahan.

Saat berjalan menyusuri lorong kembali ke kamarnya, langkah Maria terhenti di depan sebuah ruangan yang pintunya sedikit terbuka. Dari celah sempit itu, terdengar suara percakapan samar-samar.

“Bagaimana, Kenzo? Apa kamu tertarik dengan gadis itu?”

Suara perempuan—tenang, namun tajam dan menuntut. Maria yakin itu suara Nyonya Claudia.

Beberapa detik sunyi. Lalu, terdengar suara laki-laki membalas dengan nada dingin namun mengandung emosi terpendam.

“Dia... berbeda. Tapi tak bisa dibandingkan denganmu, sayang.”

Maria membekap mulutnya sendiri agar tak mengeluarkan suara. Jantungnya berdetak cepat. Kata-kata itu—apa artinya? Siapa perempuan yang disebut ,"Liana ? “Dan mengapa Claudia bertanya soal ketertarikan Kenzo terhadap Liana? Apakah Claudia cemburu pada Liana ?....

“Aku tak peduli seberapa cantik dia. Yang penting dia subur dan patuh. Kau tahu tujuan utamanya, bukan?”

“Ya. Mewarisi darahmu... dan kekuasaan itu, menjadikannya anak kita” balas Claudia pelan.

Maria mundur satu langkah, berusaha menenangkan napasnya. Hatinya langsung terhubung pada Liana—gadis malang yang dijual demi uang dan sekarang terjebak dalam skema yang bahkan belum ia mengerti sepenuhnya.

Tanpa menunggu lebih lama, Maria segera berbalik dan berjalan cepat ke kamarnya. Pikirannya kacau. Ia harus berhati-hati. Dan ia harus mendampingi  Liana... apapun yang terjadi.

Claudia berjalan pelan ke arah jendela besar dalam ruangan itu, membelakangi Kenzo yang masih berdiri tegak di tengah ruangan. Suasana malam di luar sunyi, namun dalam ruang itu, udara dipenuhi ketegangan.

“Dia boleh kau tiduri,” ujar Claudia pelan, suaranya seperti bisikan tajam di antara gemerisik angin dari celah jendela. “Tapi jangan pernah—aku ulangi, jangan pernah kau menyukainya.”

Kenzo menatap punggung istrinya dalam diam. Sorot matanya sulit ditebak. Ia tahu betul Claudia bukan wanita biasa. Perkataan seperti itu bukan sekadar kecemburuan… ada rasa takut di sana. Takut kehilangan kuasa.

Claudia berbalik perlahan, wajahnya tegas tapi ada keretakan yang tak bisa ia sembunyikan.

“Aku tahu dia cantik,” lanjut Claudia. “Muda, polos, dan tubuhnya... sempurna. Tapi ingat, Kenzo, dia bukan untukmu. Dia alat. Tidak lebih.”

Kenzo mendekat, langkahnya pelan namun pasti. “Kenapa kau takut?” tanyanya akhirnya, dengan nada lembut namun menyentuh luka tersembunyi Claudia. “Takut aku jatuh cinta padanya? Bukankah selama ini kau selalu percaya, aku hanya milikmu?”

Claudia tertawa kecil—tawa getir yang tak membawa kebahagiaan.

“Aku wanita, Kenzo. Dan wanita tahu… betapa mudahnya pria jatuh hati pada sesuatu yang segar, murni, dan... belum ternoda dunia.”

Ia melangkah mendekat, menatap mata suaminya. “Lakukan tugasmu. Buat dia mengandung. Tapi hati dan pikiranmu tetap padaku. Kalau tidak... kau tahu apa yang bisa kulakukan.”

“ Kalau kamu takut aku jatuh cinta dengan gadis itu,kenapa kamu tidak hamil saja Claudia.” Suara tegas Kenzo mengarah pada istrinya.

“ Kau tau alasan ku Kenzo”. Suara Claudia tegas.

Kenzo tak menjawab. Ia hanya menatap Claudia dengan mata yang kini mulai gelap, seolah menyimpan badai. Ia sangat mencintai Claudia melebihi apapun. Tapi cinta itu kini jadi bumerang sendiri untuknya. Tuntutan keluarga besar ia harus punya keturunan darah dagingnya kalau tidak ia akan kehilangan kekuasan di Kerajaan bisnis keluarganya.

Claudia berbalik lagi. “Besok malam. Aku akan kirim Maria keluar dari mansion. Pastikan kau tahu tugasmu.”

Kenzo tetap diam. Tapi dalam diamnya, ada sesuatu yang mulai berubah.

Malam telah benar-benar larut ketika suara mobil Claudia menghilang dari pelataran mansion. Kenzo masih berdiri lama di balkon, memandangi langit yang gelap. Di tangannya, segelas anggur yang tak sempat disentuh. Pikirannya kalut. Kata-kata Claudia terus terngiang di telinganya: “Dia boleh kau tiduri, tapi jangan pernah menyukainya.”

Seolah Claudia sedang menanam jebakan, dan dia adalah pion yang dipaksa memilih.

Dengan langkah tenang, namun dalam hati bergemuruh, Kenzo menyusuri lorong menuju kamar Liana.

Ia membuka pintu kamar Liana perlahan, tanpa suara. Di dalam, lampu tidur temaram menerangi wajah gadis muda itu yang terlelap di tempat tidur besar berhias kelambu tipis. Wajah Liana damai, tapi garis luka batin tergambar jelas di sana—seolah tidur pun tak bisa sepenuhnya membebaskannya dari kenyataan.

Kenzo berdiri disisi tempat tidur, memandangnya lama. Ia tahu seharusnya ini hanya tentang tugas. Claudia sudah memperingatkan. Tapi entah kenapa, di hadapan Liana, hatinya tidak bisa sekeras biasanya.

Perlahan, ia menaiki sisi tempat tidur dan berbaring di samping  gadis itu. Ia hanya ingin terbiasa dengan gadis itu, setidaknya untuk malam ini. Tapi tiba-tiba, Liana menggeliat pelan dalam tidurnya, dan tanpa sadar ia membalik tubuh… langsung memeluk tubuh Kenzo erat.

Tangannya melingkar erat di pinggang pria itu, wajahnya menggesek perlahan ke dada Kenzo seolah mencari kehangatan yang tak pernah ia miliki selama ini.

Tubuh Kenzo menegang.

Ia bisa merasakan nafas Liana di dadanya. hangat dan teratur. Aroma vanila dari rambut dan kulit gadis itu menyergapnya—lembut, manis, dan membuat pikirannya melayang.

Ia tak menyangka pelukan itu bisa membuatnya merasa… lemah dan nyaman.

Seharusnya ia melepaskan. Berdiri. Menjauh.Tapi ia tak bisa.

Kenzo tetap diam. Dalam hening malam itu, hanya detak jantung mereka yang terdengar. Dan mencoba untuk tidur.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!