Langkah gadis bersurai hitam sangat anggun ketika berjalan menyusuri halaman mansion yang cukup jauh dari pintu masuk. Manik hijau
mengerling bak elang ke kiri dan kanan, sangat sepi atau bisa dikatakan tenang bagi si pemilik mansion. Bangunan yang berasal dari abad 19 itu membawa memori ke masa lalu, pastinya dulu merupakan kediaman aristokrat pada jaman itu.
Jika harus memilih, mansion itu adalah tempat terakhir yang ingin di datanginya. Bukan mengapa, hubungan dengan si pemilik tidak terlalu baik beberapa tahun terakhir. Ya, mungkin sudah 5 tahun Hiver dan si pemilik mansion tidak saling bertegur sapa seperti ketika mereka masih anak-anak.
Tubuh bertinggi 178 cm itu menghembuskan napas panjang ketika berada di depan pintu ganda berwarna coklat tua. Hiver mengumpulkan
mood menghadapi si pemilik mansion.
Seorang pelayan langsung membukakan pintu, Hiver hanya membalas berupa anggukan kepala kepada pria berusia 40 tahun itu. Kedatangan
Hiver bukan yang pertama di tempat itu, melainkan ini merupakan kali ketiga untuknya. Sebelumnya ia pernah menginap ketika si pemilik merayakan ulang tahunnya yang ke 20 dan 23 tahun.
Pelayan yang mengenal Hiver berjalan di belakang tanpa bersuara, sepertinya tahu ruangan yang di tuju gadis berusia 27 tahun tersebut. Tangga kayu melingkar di tapaki Hiver, dadanya semakin berat saja seolah ia tidak pernah berolahraga.
Sepanjang koridor dilapisi permadani yang di pesan khusus dari Arab, sangat detail dan empuk beradu dengan loafer berwarna hitam milik Hiver. Sangat nyaman berbanding terbalik dengan si pemilik mansion.
Kriet !
Panjang umur! Yang dipikirkan Hiver muncul dari pintu dari sebelah kanan, ya itu dia si pemilik mansion. Pria bersurai emas pucat, bertubuh tinggi dan ringkih. Wajahnya cantik, mengalahkan saudara perempuannya.
Pria itu terlihat terpaku menatap Hiver, sepersekian detik kemudian hanya menunjuk ke arah pintu lainnya. Sebelum akhirnya si ringkih
berwajah cantik itu masuk kembali ke ruangan tanpa ada sepatah kata yang keluar dari bibirnya.
Hiver mendengus kasar melihat perlakuan yang diterimanya, ia sangat ingin berteriak kencang di depan wajah cantik itu.
Brengsek!
Sayangnya, ia tidak memiliki kekuatan dan sangat lemah menghadapi Orion Filante. Di antara ketiga saudara kembar yang merupakan teman kecil
Hiver, hanya Orion memiliki karakter yang berbeda. Acuh, dingin namun sangat pintar. Lupa mengatakan, jika pria berusia 30 tahun itu sangat genius.
Ketika River Phoenix menjadi CEO Bluette Corporation, Orion memilih menjadi pengembang perusahaan dari balik layar. Semua pengembangan produk perusahaan terkaya dunia itu, berasal dari isi kepala pria yang sangat
datar dan sepertinya sangat membenci Hiver.
Kembali ke tujuan utama Hiver, pintu yang ditunjukkan pria datar tadi.
“Thank you.” Suara lembut dan sopan dari bibir Hiver ketika si pelayan setia membukakan pintu.
Ruangan yang di tujunya adalah kamar tidur yang berluaskan 60 meter persegi, sangat luas. Hiver sangat tahu isi kamar tersebut, sebelumnya ia pernah tidur di tempat yang sama. Mengusung konsep abad 19, pun perabotannya seolah berasal dari jaman itu. Sebenarnya beberapa asli dari abad tersebut, selebihnya hanya menyerupai. Tentu saja, si pemilik tidak ingin tamunya tidur
dengan ranjang yang sangat tua, berderit dan mengganggu kenyamanan mimpi.
Hiver menghela napas lega ketika melihat sesosok tubuh yang terbaring di atas tempat tidur. Dengan langkah lebar iapun menghampiri sosok
bersurai hitam seperti miliknya.
“Prince Alistaire Onyx of Mersia.” Bisik Hiver sambil mengelus surai milik adiknya.
Hanya sekali namun sukses membangunkan pria tampan itu. Sang pewaris tahta tersebut, berbalik dan langsung memeluk pinggang Hiver dengan
erat.
“Bagaimana kau bisa tahu jika aku ada di sini, Marjorie Hiver?” geram rendah Onyx yang masih dalam keadaan separuh sadar.
“Kau adalah adikku, dan aku sangat tahu tempat yang membuatmu tenang ketika dilanda masalah.” Ucap Hiver masih mengelus surai Onyx
yang kini sepertinya melanjutkan tidur.
Sang putra mahkota sedang melarikan diri dari Mersia, publik menyalahkannya karena menilai keputusan yang di ambil Onyx sangat merugikan pihak kerajaan. Sebenarnya hal kecil dan telah diselesaikan oleh sang raja yang tak lain ayah mereka. Namun, entah mengapa mental Onyx sangat terpuruk, hingga berada di Perancis bagian selatan.
Jika Hiver tidak bertegur sapa dengan Orion, Onyx malah sebaliknya. Kedua pria itu bersahabat, pun dengan River. Hanya saja River adalah seorang CEO yang super sibuk. Saudara kembar Orion tersebut tinggal bersama dengan keluarganya di kota Lyon. Pria berwajah cantik satu ini cenderung aneh dan misterius, memilih tinggal sendiri dan ditemani oleh beberapa pelayan setia saja.
Hiver membiarkan Onyx melanjutkan tidur, ia menundukkan badan dan mengecup pipi adiknya sebelum beranjak dari tempat tidur. Dengan langkah kaki sangat pelan, Hiver keluar dari ruangan tersebut.
Langkah kaki Hiver mengarahkan ke lantai bawah, ia mengulang rute yang dilewatinya tadi. Bukan hendak meninggalkan mansion itu, tapi mengarah ke taman belakang. Tempat favoritnya.
Berbagai tanaman bunga terawat dengan rapi, pohon-pohon berdaun hijau sangat asri, di bagian tengah ada kolam air mancur peninggalan
abad 19, ketika melihatnya memberikan kesan damai di hati. Jika ada tempat memberikan kenyamanan selain Palace Mersia, mansion inilah jawabannya. Wajar jika Onyx memilih menepi ke danau Lac d’Aiguebelette, Perancis.
Gadis yang mengenakan blus satin berwarna hijau seperti maniknya, dipadu dengan celana bahan berwarna hitam, loafer beledu senada kemudian duduk di kursi besi berukir tersebut. Dengan pelan ia mengambil ponsel dari sling bag -nya yang tadinya diletakkan dengan hati-hati.
Tanpa suara, Hiver berhasil mengambil gambar kolam air mancur tersebut dan langsung mengirimkan pesan kepada seseorang.
Aku di sini.
Tangannya terus memegang ponsel berwarna silver tersebut sembari menanti balasan dengan jantung berdegup kencang.
Manik hijau itu membulat maksimal ketika melihat panggilan suara masuk di ponselnya. Terlebih dulu ia berdeham mengatasi tenggorokannya yang mendadak kering.
“Halo.” Hiver memulai percakapan setelah menggeser layar ke atas.
Tawa renyah dan sangat familiar di telinganya.
Hai, adik cantik. Apa yang membuatmu hingga berada di mansion Orion? Kau bahkan tidak mengabariku jika akan berkunjung ke Perancis.
Dengusan bahagia keluar dari indera Hiver. Tubuhnya bergerak kiri dan ke kanan, pun ia sempat mengucapkan terima kasih kepada pelayan yang mengantarkannya minuman dingin.
“Onyx ada di sini. Apakah dia tidak mengabarimu, River?”
Suara decakan terdengar indah di telinga Hiver
Tunggu, Onyx ada di sana? Orion bahkan tidak mengatakan jika ada Onyx di situ. Hampir tiap saat kami berbincang via pesan dan skype, dia
tidak pernah mengungkit Onyx. Tuhan, kali ini ada masalah apa?
Hiver menggigit bibirnya dan menggelengkan kepala dengan lemah.
“Tidak begitu besar, Onyx memberikan sumbangan cukup besar kepada negara yang sedang berperang. Kemudian publik menyalahkannya, karena mereka berpikir sang pewaris tahta mendukung kekerasan. Mereka
mengatakan bisa saja uang pemberian Onyx dipakai untuk membeli senjata dan amunisi, bukan untuk kebutuhan bagi rakyat yang mendapatkan dampak kerugian. Ya begitulah
kira-kira garis besarnya. Hei, kau sangat sibuk dengan pekerjaan hingga berita kami tidak kau ketahui, tuan CEO.”
Deraian tawa terdengar renyah di telinga Hiver, jantungnya semakin berdebar dan ia pun langsung mengambil gelas berisi orange jus dari meja besi berukir di sebelahnya.
Aku akui akhir-akhir ini aku sangat sibuk, adik kecil. Tapi mengetahui kau sekarang berada di Lac d’Aiguebelette, aku akan membatalkan semua janji meetingku hari ini.
Jantung Hiver meloncat keluar mendengar perkataan River. Semua tata krama yang diajarkannya mendadak hilang, ia bergerak gelisah menanti perkataan lanjutan pria itu.
“Ya?” Hiver terdengar mendesah, sungguh rendahan teriak kewarasannya yang terkubur jauh di dalam sana.
Kembali tawa rengah itu mengalun di telinga Hiver.
Sejam lagi aku akan berada di sana. Kita akan makan siang bersama, adik kecil.
Suara tegas itu terdengar sangat menyakinkan, berikutnya Hiver tertawa manis dengan kepala mengangguk ke depan belakang dengan bahagia.
“Aku akan menunggumu, River.”
Selalu menunggumu, lanjutnya dalam hati.
Tangan indah mengepal dengan kuat kemudian suara pekikan riang keluar dari bibir Hiver.
Tak jauh dari sana, di lantai dua di dekat jendela kaca yang terbuka tampak pria bersurai keemasan pucat dengan manik biru menatap seksama setiap gerak-gerik Hiver.
…
Sedikit canggung, suasana di meja makan yang menyajikan chicken chasser, au gratin potatoes, tak lupa gelas red wine bersanding dengan air putih di sebelah kanan piring.
Hiver mencuri pandang kepada River yang berbincang dengan Onyx. Keduanya membahas bisnis yang terdengar menyenangkan namun kecanggungan berasal dari pria di sebelah River.
Ya, Orion hanya beberapa kali menimpali percakapan saudaranya dan Onyx. Pria itu fokus dengan dua hal, makanan di atas piring beserta i-pad yag berada di sebelah kiri.
Melihat itu Hiver hanya mengembuskan napas panjang.
“Jadi kalian akan pulang besok?” River mengarahkan pandangan ke arah Hiver. Sontak si gadis yang ditanya mengangguk dengan kuat.
“Onyx sudah 2 hari di sini, Mersia membutuhkannya. Bukan begitu Alistaire Onyx?” ucap Hiver menatap adiknya yang duduk di samping.
Pemuda berusia 25 tahun itu mengedikkan bahu dengan pasrah.
“Ya, mau bagaimana lagi. Aku memiliki tanggung jawab besar walau sekarang aku sedang bosan menghadapinya.” Jawab Onyx dengan acuh. Matanya memutar dengan malas, kedua tangannya terlepas dari sendok dan garpu. Sepertinya sang pewaris tahta itu sedang berkata sejujur-jujurnya.
Orion menghentikan tangannya yang menari di atas I-pad. Pandangannya lurus ke depan ke arah Onyx.
“Kau bisa tinggal selama yang kau mau.” Seperti wajahnya, suara Orion pun sangat lembut, terdengar mendayu, berbeda dengan suara rendah
dan dalam milik River.
Sontak Hiver menggelengkan kepala tidak setuju “Dia harus pulang sebelum papa yang datang menjemputnya di sini.” Tukasnya dengan tegas.
Orion berdecih menatap remeh ke arah Hiver “Bukan kau yang aku ajak menetap lama, tapi Onyx. Jika dirimu yang ingin pergi, hari ini juga
pintu terbuka dengan lebar.” Sahutnya dengan dingin
“Kau!” seru Hiver membanting sendok dan garpunya. Dengan wajah memerah marah menatap pria yang sama sekali tidak merasa berdosa setelah membuat hati Hiver memanas.
“Orion, tolong hentikan!” River berseru kepada saudara kembarnya.
Onyx yang paling muda di meja memilih diam, bukan ranahnya untuk ikut campur dengan permasalahan kedua orang tersebut.
“Ini adalah rumahku, aku berhak memilih siapa yang akan menjadi tamu di sini.” Tambah Orion lebih dingin dari sebelumnya. Mukanya sangat
datar selepas mengucapkan kata yang lebih menyakitkan bagi Hiver.
“Orion!” teriak River.
Dengan tangan gemetar Hiver meraih gelas berisi air putih dan menenggaknya hingga habis. Dengan pelan ia kembali menaruh gelasnya di atas meja.
Pemilik manik hijau itu menatap ke depan, ke arah pria yang tidak pernah sekalipun beradu pandangan dengannya.
“Aku tidak tahu apa yang terjadi denganmu, Orion. Sebelum ini, kita sangat akrab. Kita semua berteman baik, aku, kamu, River dan Autumm . Juga dengan Onyx. Di setiap pesta keluarga, kau selalu diam. Sekarang kau bersikap seperti memusuhiku. Sebenarnya aku salah apa kepadamu?” tuturnya dengan suara bergetar menahan amarah dan juga sedih.
Orion menghela napas kasar lalu menaikkan pandangan menatap Hiver. Manik biru itu untuk pertama kalinya beradu dengan manik hijau Hiver.
“Aku hanya tidak menyukaimu, Princess Marjorie Hiver.” Pukasnya dengan datar tanpa merasa bersalah sedikit pun.
Hiver hendak membalas perkataan Orion namun Onyx menahan dengan menyentuh lengannya. Ia pun menoleh dan mendapati gelengan lemah dari
adiknya.
Pria pembencinya terlihat sangat tenang menengguk wine, sementara River menatap penuh iba.
“Baiklah aku akan pergi.” Ucap Hiver dengan lemah yang kemudian berdiri dari kursi kayu berusia puluhan tahun itu.
“Lihat apa yang kau lakukan, Orion.” Desis marah River yang ikut berdiri dari kursi, mengejar tubuh tinggi semampai Hiver yang melangkah tergesa meninggalkan ruang makan.
“Adik kecil.” River menangkap tangan Hiver dengan kuat. Langkah Hiverpun seketika terhenti. Tubuhnya yang bergetar hebat karena perlakuan Orion kepadanya.
“Sebenarnya aku salah apa hingga dia sangat membenciku, River.” Erang sedih Hiver berbalik dan bersamaan dengan itu River memeluknya
dengan erat.
Pria berambut keemasan pucat yang berdiri tidak jauh dari mereka mengeraskan rahang, hatinya lebih marah jauh daripada sebelumnya.
Selalu seperti ini, ketika ia salah melangkah selalu ada River menjadi penolong Hiver. Jurang semakin melebar, Orion tidak tahu bagaimana cara memperbaikinya. Ia sama sekali tidak tahu berurusan dengan hati yang mencinta, walau sangat sadar jika ia memiliki perasaan yang sangat besar kepada gadis kecil bersurai hitam itu.
###
Orion
River
Onyx
Hiver
alo kesayangan💕,
welcome to a new love story, drama, katanya tempatnya cast-cast tampan, ckckckck
oh ya, di sini masih ada yang belom moveon dr Jason Udayana?? 🤭
btw, aku akan sibuk beberapa hari terakhir, tapi ak berharap bisa menulis 1 chapter dari 3 novel lainnya..
love,
D😘
Bunyi gerusan halus membuat Hiver menoleh, River mengacungkan rokok beserta pemantiknya dari kuningan.
“Sorry.” River memanjangkan ucapannya membuat Hiver terkekeh ringan. Mendapatkan respon Hiver yang tidak mempermasalahkan rokoknya, ia pun membakar batang nikotin lalu menyesap panjang dengan nikmat.
“Aku ingat saat kita remaja, kau merokok dan melihatnya.” Gumam Hiver sembari mengingat 13 tahun yang lalu.
“Aku sudah remaja dan kau masih anak-anak.” Tukas River lalu tertawa ringan.
Hiver sekilas terdiam, ingatan saat ia berusia 14 tahun kembali mengurai di memorinya. Kala itu mereka masih rutin meluangkan waktu untuk saling mengunjungi. Atau berwisata bersama ke suatu negara. Biasanya hanya ia dan Onyx berhasil keluar dari Mersia, Lou dan Cyrus masih dalam pengawasan ibunda ratu, Summer Rindu of Mersia.
“Aku sudah tinggi saat 14 tahun.”
Hiver menatap River dengan sorot mata tajam, pria bermanik biru itu melanjutkan kekehan tawanya.
“Maafkan aku telah mengajarkanmu hal tidak baik, Princess Marjorie.” River mengisap batang nikotin dan mengembuskan asapnya ke udara. Sungguh nikmat, walau ia melihat Hiver mengibaskan asap yang berhembus ke depan wajahnya.
“Tidak, aku juga ingin mengetahui rasanya. Merokok maksudku. Sungguh tidak enak, itu membuatku terbatuk selama berjam-jam dan mukaku memerah seperti lobster.”
“Kau seperti keracunan.” Potong River lalu menambahkan.
“Aku bisa mengingat wajahmu yang memucat karena mencemaskanku. Kau sampai berlari ke dalam rumah dan membawakan bermacam minuman dan buah.”
River tertawa keras ketika ingatannya berhasil kembali ke masa yang sama dengan pikiran Hiver.
“Untungnya kita merokok di bagian belakang bangunan dekat kolam. Tempat paling aman dari CCTV papa. Andai saat itu ia tahu jika aku meracuni seorang putri, papa akan menggantungku terbalik di dekat kolam. Menjemurku selama 2 hari 2 malam.”
Hiver tergelak tawa keras, tangannya memegang kuat pinggiran anak tangga tempat mereka duduk berdampingan.
“Papi tidak akan melakukan itu, Riv. Beliau sangat mencintaimu, Autumm, Kaia dan Orion.” Bersamaan ia menyebut nama yang terakhir, Hiver menoleh dan mendapati Orion berdiri dalam ruang tengah. Tepat menatapnya dengan sangat lekat.
Mereka sempat berpandangan sebelum akhirnya Orion berjalan meninggalkan tempatnya berdiri. River mendapati saudara kembarnya yang berlalu dalam langkah panjang.
“Dia seperti itu, Hiv. Kita semua tahu bukan, jika tidak ada orang disukainya. Well, selain kami bersaudara. Orion tertutup, genius dan sangat suka ketenangan. Begitu papa menjelaskan kepada kami ketika dia ingin tinggal sendiri. Otak Orion baru akan bekerja di tempat sepi seperti ini, dia tidak cocok dengan perkotaan dan orang banyak. Jadi wajar kau mendapatkan perlakuan seperti itu, Orion tidak tahu bersikap.”
“Dulu dia tidak separah ini, Riv. Walau Orion jarang bermain bersama tapi dia selalu ada di dekat kita. Membaca atau memerhatikanku melukis. Waktu yang merubah kita semua. Kau bahkan telah berubah, Riv.” Todong Hiver
memerhatikan wajah temannya, sekaligus pria yang dicintainya dengan diam.
“Aku?” River menunjuk dirinya, Hiver pun menganggukkan kepala.
“Ya, siapa lagi jika bukan CEO Bluette Corporation. River Phoenix Bluette.”
River mendengus lalu mengesap sisa rokoknya.
“Sekarang aku berusia 30 tahun, Hiv. Dan kau sendiri 27 tahun. Kita bukan berubah namun semakin dewasa. Banyak hal yang mengambil waktu kita, termasuk pekerjaan. Pikiran kita telah berkembang, bukan seorang anak-anak lagi yang merengek kepada orang tua untuk bertemu dan wisata bersama. Di pundak kita ada tanggung jawab besar, aku memiliki ribuan pekerja yang harus kugaji. Kau memiliki Mersia.” sanggah River dengan bijak.
“Aku tidak sesibuk dirimu yang tidak membalas pesanku, tidak mengangkat teleponku. Andai tadi aku hanya menyapamu seperti biasa tanpa menyertakan foto halaman belakang mansion ini, kau pasti tidak menggubrisku. Apakah kau mengabaikan diriku karena Carole?”
River terdiam lalu menoleh menatap Hiver. Gadis di sampingnya menyebut nama tunangan River, Carole Deneuve.
Hiver benar dalam menerka, Carole melarang River membalas pesan dan telepon putri Mersia itu. Carole cemburu, sangat cemburu kepada Hiver. Walau kekasih River itu sangat tahu jika Hiver adalah teman kecilnya, namun tetap saja Carole membebani dirinya dengan perasaan itu.
“Kenapa kau tidak menikahinya, Riv? Kalian berpacaran selama 3 tahun, bertunangan lebih setahun. Apa yang kau tunggu?” Hiver memberondong pertanyaan yang telah lama di simpannya dalam hati. Sekian lama mereka tidak
bertemu dalam suasana santai membuat segala macam pertanyaan tumbuh di benak Hiver. Termasuk keraguan River untuk menikah, sebuah harapan muncul jikalau pria di sebelahnya memiliki perasaan yang sama.
“Carole sibuk dengan dunia aktingnya. Kau tahu jika kariernya sedang naik beberapa tahun terakhir. Aku hanya menanti saat yang tepat, Hiv.”
Lenyap sudah, semua harapan Hiver usai mendengar jawaban River. Ia pun memalingkan wajah ke arah halaman yang sangat luas.
“Kau sendiri kenapa belum menikah?” tambah River bertanya hal yang terlalu pribadi. Beriringan usia bertambah, hal yang menjadi candaan kala mereka muda menjadi tabu untuk ditanyakan.
Hiver mendesah pelan lalu berdiri dan menuruni tangga, berbalik menatap River.
“Aku belum menemukan dia.” Jawabnya dengan pelan lalu tersenyum simpul.
“Pangeranmu?” River ikut berdiri dan berjalan mendekat ke arah Hiver, sang putri kerajaan Mersia yang memiliki kecantikan alami dan tidak pernah membosankan untuk dipandangi.
“Aku tidak tahu, Riv.” Gumam Hiver yang melangkahkan kakinya, menyusuri jalanan taman. River berada di sebelahnya, terus memerhatikan segala gerak-gerik yang membuat jantungnya berdebar hebat.
“Kau adalah seorang putri, tentu saja kau harus menikah dengan seorang pewaris tahta. Pangeran dari sebuah kerajaan yang lebih besar dari Mersia.” Bukan hanya sekali ini River mengatakan kalimat sama kepada Hiver. Sejak mereka remaja dan mengenal arti cinta, ia sering menyindirnya dengan kalimat itu.
“Apakah aku harus menikah tanpa cinta dengan seorang pangeran? Menjadi ratu yang dijadikan pajangan di kursi kerajaan? River, kau ingin melihatku seperti itu, menjadi boneka seumur hidup? Sementara kedua orang tuaku
menikah karena cinta. Tidak mesti harus seorang pangeran, bisa saja aku jatuh cinta kepada pelayan kafe dan aku akan hidup bahagia dengannya hingga tua.”
River tertegun mendengar perkataan tegas dari Hiver “Kau memiliki kekasih seorang pelayan kafe? Sungguh beruntung pria itu, mendapatkan cinta dari dirimu.”
Hiver mendengus kasar dan menatap kesal kepada River.
Harusnya kau, pria itu.
Gerutu Hiver mempercepat langkahnya, jalanan taman indah mengantarkan kakinya hingga ke rerimbunan pohon, kemudian ia bisa melihat danau yang sangat luas.
“Hiv, apakah kau marah?”
Rupanya River setia mengejar Hiver, kini mereka berdampingan pada dermaga kayu dimana sebuah yatch kecil namun berharga jutaan Euro bersandar di sebelah 2 jet ski berwarna hitam.
“Tidak, aku tidak marah.” Jawabnya pelan. Bagaimana mungkin ia bisa marah kepada pria yang dicintainya.
“Kau ingin ikut denganku ke Lyon?” River mengalihkan pembicaraan agar gadis di sebelahnya tidak bermuram durja lagi.
“Tidak.” Tolak Hiver menatap River.
“Kau bilang tadi ingin pergi, aku menawarkan tumpangan agar kau tidak perlu naik mobil untuk ke kota. Chopperku bisa terbang kapan saja, Hiv.”
“Tidak dan terima kasih. Misiku kesini adalah membawa pulang putra mahkota kami. Jika Onyx masih bertahan, aku juga harus berada di sini walau kau tahu jika Orion tidak menyukaiku.”
River sungguh ingin memeluk Hiver, gadis cantik bermanik hijau seperti danau di depan mereka memilih termenung dengan pikiran yang sama sekali tidak bisa ia baca.
“Aku akan menghadiri pesta di Lyon, nanti malam. Aku mengundangmu menjadi temanku.”
Hiver tersenyum miring “Itu tempat Carole, Riv. Aku tidak ingin mengambilnya. Lebih baik aku berada di tempat sunyi ini dibandingkan tersorot kamera dan keesokan hari berita kita naik di berbagai media. Putri Mersia menghabiskan malam bersama dengan CEO Bluette Corporation, River Phoenix yang tak lain tunangan dari aktris Carole Deneuve.” Sindir Hiver lalu menelengkan kepalanya dengan kuat.
River terdiam, ia kehilangan kata-kata. Bukan hanya usia yang bertambah dewasa memisahkan mereka, tapi orang lain termasuk Carole. Wanita yang hadir di kehidupan River, ketika ia menyerah berharap akan cinta sang putri Mersia.
…
Hiver tersenyum geli mendengar dengkuran halus Onyx, adiknya. Setelah berbincang dengan terbuka dan sangat dalam tentang beban berat sebagai putra mahkota, Onyx pun terlelap. Keputusan Hiver untuk tidak ikut ke
Lyon membuahkan hasil, Onyx setuju besok pagi akan kembali ke Mersia bersama dengannya.
Alih-alih tidur di kamar yang disediakan pelayan mansion, Hiver memilih beristirahat di tempat Onyx. Di Mersia pun Onyx yang manja sering datang saat tengah malam hanya untuk tidur bersama. Bukan hanya Onyx, Cyrus pun
melakukan hal yang serupa.
Rasa kantuknya menghilang, Hiver tidak tahu melakukan sesuatu dengan kamar yang gelap gulita. Hampir sejam ia menatap dinding dan perabotan kamar yang samar bentuknya. Tak lama kemudian ketika bosan tidak bisa di tahannya, gadis bersurai hitam menggeser tubuhnya hingga ke tepi tempat tidur dengan perlahan, tidak ada
perubahan dengkuran Onyx akan perbuatan Hiver. Akhirnya dengan kaki berjingkat ia berhasil keluar dari kamar tidur mereka.
Dengan bibir terkulum Hiver menghela napas lega, iapun lalu berjalan menyusuri permadani empuk dengan kaki telanjang.
Mansion itu sangat sepi, tidak ada pelayan yang masih berjaga pada saat jam besar berdentang sebanyak dua kali. Pukul dua, tentu saja semua orang telah terlelap dengan mimpi indahnya, kecuali gadis bergaun putih dari sutra
yang melangkahkan kaki ke arah taman belakang.
Walau dalam keadaan malam yang tanpa purnama, taman belakang mansion tetap saja nyaman dan tidak menakutkan. Hiver bukan seorang gadis bernyali kecil, hal kasat mata bukanlah sesuatu yang harus ditakutkan. Apalagi mansion seluas itu dibersihkan setiap hari, tidak ada kesan angker melainkan ketenangan hakiki bermuara dalam sukma.
Bunyi gemercik air jatuh dari pancuran membuat suasana taman lebih hidup, angin bertiup sepoi-sepoi membuai Hiver dengan rasa kantuk. Langkah kaki menapaki lantai bermarmer kasar membuat Hiver menoleh, ia melihat
sosok Orion berjalan menghampirinya.
Kembali kantuknya menghilang, ketika sumber aroma parfum maskulin dan earthy tepat berada di sampingnya. Ya, Orion duduk satu kursi dengan Hiver.
Pria aneh berambut emas pucat mengenakan piyama katun berwarna putih, jika Hiver memerhatikan teman duduknya, Orion seperti malaikat yang sedang tugas malam.
Orion sangat tampan sekaligus cantik, bertinggi 189 cm dengan tubuh yang ceking namun tetap saja indah untuk di lihat. Hanya saja, penampilan luarnya tidak sama dengan caranya bersikap. Orion pendiam, misterius, sedikit kata dan cendurung tidak berperasaan ketika mengucapkan sesuatu. Contohnya ketika makan siang tadi.
“Marjorie.” Sebuah kata lembut yang memecahkan keheningan di antara mereka. Nama Hiver terdengar merdu diucapkan Orion, selembut angin meniup surai emas pucat.
Hiver menoleh menatap pemilik wajah cantik dengan manik kelihatan lebih biru dari biasanya.
“Aku sangat kasar kepadamu.”
Hiver menjawab dengan sebuah kerjapan lalu menaikkan bahu.
Orion mengalihkan pandangannya ke depan, Hiver tidak. Ia malah menemukan pemandangan indah di sampingnya. Wajah Orion yang cantik, kulit putih bercahaya, hidung tinggi terpahat dengan sempurna, surai emas bergoyang pelan akan tiupan angin.
“Je regrette, Marjorie.”
Hiver tersenyum mendengarkan permintaan maaf dari Orion. Mungkin hal ini yang membuat Hiver tidak bisa tidur, perkataan Orion tadi siang dan mungkin juga memikirkan River yang berpesta dengan Carole. Lebih baik ia melupakan hal yang terakhir, tidak ada gunanya.
“Jangan lakukan itu lagi, Orion.” pinta Hiver lalu menarik napas panjang.
“Ya.” Respon Orion lebih cepat dari perkiraan Hiver.
Gadis Mersia itu berbalik menatap suara lembut sehalus sutra, Orion tersenyum sekarang malaikat itu jauh lebih sempurna dari sebelumnya. Sekian lama mereka berperang dingin, malam itu bumi sepertinya sedang berbaik hati meluluhkan hati Orion dan menjaga mata Hiver untuk tetap terjaga.
Malam semakin tua, keduanya kembali terdiam dengan pikiran masing-masing.
…
Hiver menjaga senyumannya agar terus terkembang dengan batasan yang seharusnya. Lucu jika orang biasa mendengarkan ini, bahwa sebuah senyuman pun harus memiliki standar bagi seorang putri Mersia. Hanya senyuman yang boleh terpajang, karena seburuk apapun suasana hati Hiver, tidak boleh ia tampakkan kepada orang-orang, terlebih pada perjamuan besar yang diadakan oleh kerajaan tetangga.
Hiver berada di London, Garden Palace nama pesta yang dihadirinya. Berbagai tamu dari kerajaan lainnya berada di ballroom besar tersebut, semua berdarah biru layaknya Hiver. Sebenarnya Hiver tidak datang sendiri, ia bersama dengan Onyx. Sang putra mahkota tampak berbincang dengan anggota kerajaan tuan rumah. Onyx terkenal sangat ramah, berteman baik dengan siapapun. Jadi tidak susah bagi calon raja itu menemukan temannya di pesta seperti ini.
“Princess Marjorie Hiver, calon istriku.” Suara bariton menghentakkan lamunan Hiver. Ia melihat pria yang menyapanya. Tinggi besar, tampan dan kesempurnaan fisik seorang pria berada dalam satu paket. Dan yah, sebuah kerajaan besar di Swedia tak lama lagi berada dalam kuasa pria itu.
“Prince Philip Bernadotte, Duke af Vasterbotten.” Hiver menyebut nama lengkap pria bersuit biru yang tersenyum lebar kepadanya.
“Kau mengingat dengan jelas nama calon suamimu, Sayang.” Ucap Philip meraih jemari tangan Hiver lalu mengecupnya dengan dalam. Sebuah sentuhan mistis yang membuat sekujur tubuh Hiver bergetar tak karuan.
____
River
Orion
Hiver
Philip
Alo kesayangan^^,
Bagaimana weekend kalian, lama baru mengupdate novel ini..
terlintas di pikiranku jika ingin mengupdate novel ini setiap hari.
Mungkin, belum sekarang.
Have a heavenly day y'all :)
Love,
D
Prince Philip Bernadotte, tahun ini tepat berusia 32 tahun. Putra pertama sekaligus pewaris tahta kerajaan Swedia. Bernadotte adalah nama dinasti yang berkuasa selama 7 generasi di negara itu. Sistem pemerintahan Swedia sama seperti Mersia, dimana ada sistem parlementer dan monarki yang berkuasa dalam satu negara. Keduanya berjalan seiring, namun kerajaan Swedia tidak mempunyai kewenangan terhadap tindakan pemerintah, yakni perdana menteri itu sendiri beserta jajarannya. Kerajaan Swedia mengatur beberapa provinsi yang masuk dalam
wilayah tetorial, baik sektor ekonomi maupun pariwisata.
Royal House of Sweden, begitu julukan kepada istana kerajaan Swedia yang besarnya 3 kali lipat dari Mersia. Bisa dikatakan Hiver kini berhadapan dengan pria yang sangat kaya raya. Siapa lagi jika bukan Prince Philip Bernadotte, pria yang enggan melepaskan genggaman tangannya. Pria itu malah menarik Hiver agar bersisian ketika fotografer mengabadikan momen kebersamaan mereka.
“Aku tahu kau akan datang, Princess Hiver.” Suara bariton itu berbisik tepat di telinga Hiver, si gadis cantik bersurai hitam yang tubuh semampainya dibalut oleh gaun berbahan lace berwarna gold itu hanya bisa memamerkan senyuman simpul di bibirnya.
“Aku mendapatkan kepastian dari pihak penyelenggara pesta bahwa putri pertama Mersia juga hadir dan akupun membatalkan semua jadwal demi bertemu denganmu, calon istriku.”
“Kita tidak akan menikah.” Hiver menoleh dengan senyuman tipis ke arah Philip. Bahkan menolak seorang pria pun harus disertai dengan sikap yang anggun dan tersenyum manis.
Satu lagi yang membuat pangeran Swedia ini menarik yaitu manik mata berwarna kuning bak singa. Manik langka itu sedang menatap Hiver, seketika iapun gugup dan menoleh ke arah kiri. Menghindari tatapan Philip Bernadotte.
“Kau belum menolak, maksudku lamaranku masih digantung oleh Mersia. Apa kurangnya aku hingga kau memikirkan lamaranku terlalu lama.”
Hiver menautkan alisnya “Bukannya aku sudah menolak lamaranmu, lewat raja kami.”
“King Robert? Tidak ada. Jikalau pun ada, aku tidak ingin mendengarnya kecuali kata “YA” dari Mersia. Princess Marjorie Hiver, apakah kau tidak tahu jika aku jatuh cinta kepadamu sejak remaja. Kita menghadiri pesta yang sama dan aku melihatmu. Saat itu aku mengatakan kepada pihak istana, aku menunggu putri Mersia menjadi permaisuriku baru akan naik tahta.”
Hiver tersenyum geli lalu menatap pria yang menggamitnya “Aku mendengar bukan cinta yang tuan pangeran katakan, melainkan ambisi. Yah, ambisi untuk mendapatkanku, karena cinta setahuku tidak seperti ini.”
Keduanya terus berlaku sopan karena ribuan pasang mata sesekali melirik ke arah mereka. Andai saja Hiver dan Philip bukan keturunan pertama sebuah kerajaan. Sedari tadi Hiver telah berjalan jauh dari pria berwangi maskulin menggoda indera. Sementara Philip yang memiliki tatapan sensual telah membopong Hiver ke peraduan.
“Terus seperti apa itu cinta, tuan putri yang cantik? Mungkin kau lebih paham hingga bisa mengajarkanku.”
Hiver mengembangkan senyuman simpul “Harusnya yang lebih dewasa di antara kita lebih berpengalaman, Prince Philip.”
Philip tergelak tawa rendah, walau sebenarnya ia ingin meledakkan cerianya akan perkataan Hiver, sang putri idaman.
“Aku menyimpan cinta yang besar untuk sang ratu. Jadi pikirkan kembali lamaran kami, sayang. Ketika kau sah menjadi milikku, saat itu pula kau menjadi wanita paling bahagia di muka bumi.”
Hiver sangat kurang dalam praktek hubungan percintaan, tapi secara teori ia mempelajarinya. Perkataan Philip sesaat lalu termasuk kategori bualan dan rayuan seorang pria kelas tinggi. Hiver mengatakannya tinggi karena tingkatan strata Philip berbeda dengan kebanyakan pria di luar sana.
“Prince Philip Yang Agung, mungkin saja ratumu kelak akan menjadi yang kau cintai, sementara di saat yang sama kau juga memelihara selir-selir cantik di tempat lain. Teramat sayang, aku tidak ingin masuk dalam itu.”
Manik kuning keemasan itu menatap dalam, rahang Philip mengendor dan bibir sensual itu menyeringai indah.
“Kau pasti jadi milikku, Princess Hiver. Dirimu dan diriku telah ditakdirkan sejak roh kita masih di surga, jadi selama apapun kau menggantung lamaranku, selama itu pula aku akan menunggu. Dirimu, ya hanya dirimu yang bisa mendampingiku memimpin kerajaan Swedia, sayang.”
Hiver tidak ingin membantah lagi, percuma karena ia berhadapan dengan seorang pangeran yang terkenal berambisi kuat, pemimpin pasukan bersenjata kerajaannya. Ketegasan dan tekad kuat tidak terkalahkan adalah bagian dari kesempurnaan Prince Philip Bernodetta, Duke af Vasterbotten.
Akhirnya mendung di langit hati Hiver terkuak ketika melihat sosok jangkung adiknya, Alistaire Onyx berjalan menuju tempat ia dan Philip berdiri.
“Prince Philip, apa kabar? Rupanya sedang berbincang dengan kakakku.” Sapa Onyx ramah kepada pria bersuit biru itu. Tangannya di sambut dengan hangat oleh Philip.
“Prince Onyx, kabarku sangat bahagia. Ya, aku sedang berbincang dengan calon istriku.” Philip menoleh menatap Hiver yang berhasil melepaskan diri dari gamitan tangannya.
Kedua ujung bibir Onyx naik maksimal ke atas, bergantian menatap Hiver dan Philip “Ini kabar bagus untuk kami, Mersia dan Swedia akan bersatu.” Ucap pemuda berusia 25 tahun tersebut, lalu mengedutkan alisnya kepada Hiver.
Sang putri tak lain kakak dari Onyx hanya bisa menahan ringisan keluar dari mulutnya, ia sangat tahu jika adiknya sedang mengejek dengan kata-kata sarkasme.
Manik hijau Hiver memicing dan licik, sembari menaruh kesal dalam hati untuk Onyx.
“Sesama calon raja, kita harus akrab sejak awal, Lil Brother.” Philip bergerak merangkul Onyx.
Hiver tidak bisa menahan diri untuk tidak memutar bola matanya, kekesalannya memuncak ketika adiknya tertawa miring dan kembali mengedutkan alisnya sebanyak dua kali.
…
Hiver berderap menyusuri karpet Palace, sengaja ia meminta agar tidak ada pelayan yang berjalan di belakangnya. Sejak pesawat mendarat di Mersia, kemudian di perjalanan hingga ke Palace, selama itu pula ia mendengarkan puja-puji Onyx terhadap Philip Bernadotte.
Adiknya sekaligus pewaris tahta itu menjelma menjadi sales manager mewakili kerajaan Swedia. Hiver bingung, hal apa yang dibisikkan Philip hingga Onyx dengan gencarnya meminta agar lamaran itu di terima.
“Marc, tunggu aku.” Langkah kaki berat menggema di koridor besar dan panjang. Hiver tidak perlu berbalik, ia sangat tahu jika Onyx mengejarnya.
Marc adalah panggilan khusus Onyx kepadanya, singkatan dari kata Marjorie.
“Aku tidak suka kau membawa-bawa Philip di setiap perkataanmu. Seolah dia telah menjelma menjadi Tuhan baru yang kau sembah, Prince Alistaire.” Gerutu Hiver ketika Onyx tidak perlu menjaga wibawa, ia pun langsung merangkul bahu kakaknya.
Onyx tertawa keras seraya mengecup pipi Hiver “Maafkan aku, Marc. Sungguh aku hanya ingin mencandaimu. Aku tahu jika kau tidak menyukainya, mungkin sama halnya kau tidak menyukai si Bintang Jatuh.”
Hiver mengerucutkan bibirnya “Orion Filante.”
Onyx mengangguk kuat dan menarik tubuh Hiver untuk bergerak lebih cepat, tentu menuju ke arah kamar tidur kakaknya.
“Bukan aku yang tidak menyukainya, mungkin dia yang tidak suka kepadaku. Herannya dia sangat akrab denganmu. Tapi saat malam itu aku bisa menghitung berapa kata yang diucapkan Orion.”
“Wow. Kalian menghabiskan malam bersama? Kapan?” Onyx mengerling jahil.
Hiver sangat menyesali akan kalimat yang harusnya ia simpan. Tapi bau busuk serapat mungkin pasti akan tercium, apalagi wangi maskulin dan earthy. Angin akan membawanya hingga masuk ke dalam rongga dada dan menempel kuat di sana.
“Saat kau tertidur, aku turun ke taman dan Orion menemaniku hingga jam 4 pagi. Kami hanya duduk terdiam selama itu.”
Onyx tertawa dan merapatkan rangkulannya “Nama Bintang Jatuh cocok dengannya, tiba-tiba saja terlihat jatuh dari langit tanpa ada suara, dia indah tapi juga aneh, Marc. Sangat tidak normal duduk berjam-jam hanya diam tanpa membicarakan sesuatu.”
Hiver mengedikkan bahu seraya mengingat kejadian 2 minggu yang lalu “Sekian lama kami tidak bertegur sapa, malam itu sepertinya kami sudah berbaikan. Dia juga mengantarkan kita pergi.”
“Di depan pintu.” Onyx kembali tertawa seraya memegang kedua bahu Hiver untuk masuk ke dalam kamar. Daun pintu setinggi 3 meter itu dibuka oleh pelayan yang berjaga di depannya.
“Setidaknya hargai ketulusan pria yang menampungmu. Biasanya Orion tidak melakukan seperti itu, sejak kapan dia mengantar tamunya pergi? Ketika kita kecil dia tetap pada tempatnya, diam dengan bukunya.”
Onyx melepaskan tangannya ketika berada di dalam kamar tidur Hiver “Aku akan mandi dan kembali ke sini.”
Hiver memiringkan kepala dan menatap malas Onyx “Bisakah kau membiarkan aku tidur dengan nyaman di kamarku sendiri, Prince Alistaire Onyx?
Onyx menggeleng dengan cebikan di bibirnya “Tidak. Selama kakakku Marjorie Hiver belum menikah, kita akan tidur bersama. Jadi sampai nanti, Marc.” Ucapnya disertai kekehan tawa lalu berbalik dengan langkah lebar.
Ruangan itu sangat luas di selimuti ketenangan yang membuat hati damai. Ketenangan yang membawa ingatan Hiver ke malam di danau Lac d’Aiguebelette, Prancis Selatan. Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia merasakan nyaman berada di samping seseorang tanpa banyak bicara.
Berbeda ketika bersama River, baik ia dan pria itu banyak bicara. Mereka bisa membincangkan sesuatu hingga berjam-jam lalu menertawainya. Tak salah jika Hiver mencintai River, hanya pria itu yang mengerti segala hal
tentangnya setelah pria-pria Mersianya. Sang raja, Onyx dan Cyrus.
Hiver mulai merasakan cinta kepada River ketika berusia 15 tahun, saat ia tidak bisa bertemu dengan temannya itu disebabkan pendidikan sebagai putri Mersia yang harus diselesaikannya selama 12 bulan tanpa libur.
Pada saat hari terakhir pendidikan, River datang dan membawakan sebuket bunga. River, ya teman sekaligus sahabatnya terbang dari Lyon ke Mersia hanya untuk memberikan ucapan selamat atas kelulusannya.
Hal kecil bagi River tapi sangat besar maknanya bagi Hiver. Dan setelah itu, River mulai disibukkan dengan bangku perkuliahan. Intensitas pertemuan mereka dari 3 kali setahun menjadi sekali dalam 3 tahun.
“Big sis.” Sapa suara riang dari ambang pintu
Hiver yang baru saja akan naik ke tempat tidur melihat adik bungsunya melambaikan tangan lalu setengah berlari mendekatinya.
“Cyrus.” Pekik Hiver melihat Cyrus melompat naik ke atas tempat tidur.
Kedua tangan dan kaki panjang Cyrus mengembang naik dan turun, merasakan kehalusan alas tempat tidur sang kakaknya.
“Aku merindukanmu, Princess Hiver.” Cyrus menghentikan perbuatannya lalu menatap sendu dan manja ke arah kakaknya.
Hiver mendengus ringan lalu menarik selimut menutupi tubuhnya “Aku juga merindukanmu, Cyrus.” Gumamnya lirih menjawab adiknya.
Cyrus mendekat di lengan Hiver, sebagai bungsu ia teramat manja kepada kakaknya pun terhadap Summer, sang ratu.
“Aku mendengar jika kau bertemu dengan Prince Philip, big sis. Kabar pernikahan kalian menjadi perbincangan orang di Palace. Beberapa koran lokal memajang foto kebersamaan kalian.”
Tadi manik hijau itu memejam, kini melirik ke arah manik hijau satunya yang merajuk manja di lengannya.
“Apa katanya?”
Cyrus tersenyum miring “Koran?”
Hiver mencebik dan alisnya naik ke atas “Ya, koran-koran itu.”
“Pasangan serasi, Hiver dan Philip. Kita sedang melihat raja dan ratu Eropa.” Jawab Cyrus dengan suara lantang, seperti pembaca acara parade yang memanggil orang untuk bergabung menyaksikan pertunjukan.
Hiver menangkup wajahnya sekaligus memijat pelipisnya “Besok aku akan bertemu dengan papa dan menjelaskan ini. Cyrus, aku tahu kau lebih berpengalaman dalam cinta dibandingkan kakakmu sendiri. Sungguh aku tidak ingin menikah dengan Philip. Caranya memandangku seperti ingin membuka semua pakaian yang melekat di tubuh, sorot matanya sangat tajam dan alisnya melengkung dan berkerut, dia memikirkan hal yang tidak-tidak. Sementara bibirnya mengucapkan sanjungan dan rasa cinta yang tinggi kepadaku.”
Ruangan yang tadinya tenang menjadi semarak akan gelegak tawa Cyrus “Semua laki-laki memandang wanita seperti itu, Princess Hiver. Terlebih putri Mersia memiliki tubuh yang indah, pria mana yang tidak tertarik kepadamu. Menurutku sebagai pria, itu sangat normal. Yang tidak normal itu jika berada di dekatmu dan tidak melakukan apapun.”
“Apapun seperti apa?” Hiver bertanya dengan polosnya.
Adik bungsunya kembali tertawa “Lihat aku, big sis. Aku saja sebagai adik kandungmu tidak bisa diam tidak memelukmu. Karena aku menyayangimu, kau seperti mama. Aku sangat senang bermanja seperti ini.”
Hiver memalingkan pandangan ke atas, langit-langit kamar yang berukir emas.
“Jadi ketika berdekatan harus bersentuhan? Bagaimana jika tanpa sentuhan pun aku sudah merasakan kenyamanan.” Gumam Hiver pelan mengingat sosok bersurai emas pucat.
“Tidak ada kejadian seperti itu, Prince Hiver. Semua pria memiliki gairah, dan mereka melampiaskannya dalam sentuhan berharap akan ada kesempatan untuk lebih daripada itu.”
Hiver terdiam dengan helaan napas berkali-kali keluar dari inderanya.
“Ponselmu berkedip, big sis.” River mengulurkan benda canggih miliknya yang belum sempat ia matikan.
Hiv, tidur? Please, aku butuh dirimu. Bisakah aku menelepon?
###
Hiver
River
Orion
Philip
Cyrus
Onyx
alo kesayangan^^,
aku menepati janjiku untuk menambah chapter Mersia..
semoga kalian menyukainya..
Jogja mulai gerimis dan aku sangat menyukai musim hujan..
love,
D
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!