Shanghai General Hospital – Ruang Gawat Darurat
Suasana di lorong rumah sakit mendadak riuh. Seorang gadis berambut panjang, mengenakan kaos lengan panjang yang berlumur darah, mendorong ranjang beroda dengan cemas. Di atas ranjang, seorang pria muda terbaring tak sadarkan diri, wajahnya pucat dan kepalanya berdarah deras, menodai bantal putih di bawahnya. Beberapa dokter dan tim medis ikut mendorong, mempercepat langkah ke ruang gawat darurat.
"Mark, kamu harus bertahan!" seru gadis itu dengan suara parau, air matanya bercampur keringat membasahi wajah. Tubuhnya gemetar, napasnya tercekat, seolah ikut merasa sakit atas apa yang menimpa pria itu.
Begitu ranjang memasuki ruang darurat, seorang suster menahan langkah si gadis.
"Nona, Anda harus menunggu di sini. Apakah Anda anggota keluarganya?" tanya suster sambil sigap mengarahkan dokter ke dalam ruangan.
"Bukan... saya... saya akan menghubungi keluarganya," jawab gadis itu terbata-bata, suara seraknya hampir tak terdengar karena panik.
Ia menunduk, menyentuh ponsel milik Mark yang tergenggam erat, kini sudah berlumuran darah. Dengan jari gemetar, ia membuka kontak dan menemukan satu nama yang langsung membuat jantungnya makin berdebar:
"Paman"
Ia menatap layar sejenak, wajahnya dipenuhi rasa takut dan penyesalan.
"Paman Mark pasti akan membunuhku... tapi aku tidak akan lari. Ini salahku. Ini semua karena aku, sehingga Mark menjadi korban," gumamnya lirih, suara tangisnya tersumbat di tenggorokan.
Tangannya pun menekan tombol panggil dengan rasa bersalah yang menyesakkan dada.
Di tempat lain – Bar Biliar Tepi Kota Shanghai
Lampu temaram menyinari sebuah ruang biliar bawah tanah, dipenuhi asap rokok dan denting bola-bola biliar yang beradu. Di tengah ruangan, beberapa pria meringkuk ketakutan, lutut mereka gemetar di atas lantai dingin yang basah oleh darah.
Seorang pria berpostur tegap berdiri di antara mereka. Wajahnya dingin, rahangnya kokoh, dan sorot matanya bagaikan pisau tajam. Ia mengenakan sarung tangan hitam, dan di tangan kanannya kini tergenggam botol minuman keras yang baru saja dihantamkan ke kepala salah satu pria di hadapannya.
Brak!
Jeritan memekakkan telinga terdengar.
"Aaarrghhh!" salah satu dari mereka tumbang ke lantai, darah mengalir dari pelipisnya, merembes ke celana dan menggenang di lantai.
Pria kejam itu menunduk sedikit, mendekati wajah pria yang meringis kesakitan. Tanpa ampun, ia menendang perutnya, membuat pria itu terbatuk hebat.
"Tuan Huang, maafkan kami... kami tidak tahu tempat ini milik Anda!" seru salah satu dari mereka dengan suara putus asa. "Kami... kami akan ganti rugi. Tolong jangan bunuh kami..."
Namun pria itu hanya tersenyum miring. Senyumannya lebih mengerikan daripada kemarahan.
"Aku adalah Wallace," ujarnya dengan nada datar namun mengancam. "Dan aku tidak suka ditantang. Kalian sudah membuat masalah... dengan orang yang salah."
Mata pria itu kini menyala dingin, menyiratkan amarah yang belum reda. Mafia Iblis — begitu dunia jalanan mengenalnya — adalah nama yang membuat banyak orang lebih memilih mati ketimbang berurusan dengannya.
"Karena kau sudah melakukan kesalahan..."
Suara Wallace terdengar tenang, namun dingin dan mematikan. Ia menatap lurus pria-pria yang gemetar ketakutan di hadapannya.
"...maka kau harus membayar dengan nyawamu."
Tangannya mengangkat perlahan, memberi isyarat.
"Putuskan kedua tangan mereka. Gantung di pohon. Biarkan mereka mati perlahan."
Ucapannya begitu tenang—tenang seperti malaikat maut yang sudah memutuskan waktu kematian seseorang.
"Baik, Tuan!" jawab anak buahnya serempak, langsung bergerak dengan sigap.
Dengan satu gerakan santai, Wallace melepaskan sarung tangan hitamnya, lalu melemparkannya ke samping tanpa memandang lagi tubuh-tubuh yang akan segera kehilangan nyawa.
Namun sebelum ia sempat melangkah keluar dari tempat itu, seorang asisten berlari tergesa dengan wajah panik.
"Tuan! Sesuatu... sesuatu terjadi pada Tuan Muda!" serunya terengah.
Wallace menghentikan langkahnya, tatapannya menajam seperti pisau.
"Apa yang terjadi?"
Asisten itu—Nico—menelan ludah, sebelum menjawab dengan suara tegas namun cemas.
"Tuan Muda terluka parah. Semua ini karena perbuatan Mike Lin. Saat ini, Nona Celine Lin yang membawanya ke Rumah Sakit General."
***
Shanghai General Hospital – Lorong Ruang Gawat Darurat
Langkah kaki terdengar berat dan penuh tekanan. Wallace, mengenakan jas hitam panjang, berjalan cepat bersama Nico. Setiap langkahnya menggema di koridor putih rumah sakit, memancarkan aura ancaman.
Di ujung lorong, Celine Lin masih berdiri menunggu dengan wajah cemas, bajunya berlumuran darah, tangannya gemetar memeluk tubuh sendiri.
Suara langkah kaki yang mendekat membuatnya menoleh.
"Celine Lin."
Suara itu tajam, dingin, dan penuh amarah—membuat jantung Celine nyaris berhenti.
Ia menoleh, matanya membelalak melihat pria yang kini berdiri di hadapannya.
Wallace Huang. Paman dari Mark. Sang Mafia Iblis.
"Aku... "
Suara Celine nyaris tak terdengar, suaranya goyah oleh rasa takut dan tekanan batin.
Namun tanpa memberi kesempatan, Wallace mencengkeram leher Celine, menarik tubuh mungil itu mendekat. Cengkeramannya kuat, membuat Celine terpaksa bertumpu pada pergelangan tangannya sendiri.
"Kalau keponakanku sampai terjadi apa-apa..."
Nafas Wallace mengalir panas di wajah Celine, matanya menatapnya seperti ingin mengoyak hidup-hidup.
"...aku tidak akan tinggal diam. Kau... dan kakakmu... akan menerima balasan yang jauh lebih menyakitkan dari sekadar tersiksa."
Celine menggigil, tangannya berusaha melepaskan cekalan pria itu. Tapi Wallace tak bergeming. Luka dan darah di bajunya seolah tak mempengaruhi empatinya. Yang ada hanya dendam dan murka.
Wallace Huang, Mafia Iblis yang paling ditakuti dan tidak memiliki rasa simpati pada siapa pun. Namun, hanya gadis pujaannya yang mampu membuatnya luluh
"Maaf..."
Suara Celine terdengar lirih, hampir tercekik. Lehernya yang masih perih akibat cengkeraman Wallace membuatnya kesulitan berbicara.
Ia menunduk, mencoba menyembunyikan rasa sakit di balik kepasrahan. Tatapannya menelusuri wajah pria yang ada di depannya—dingin, penuh kemarahan, dan tidak mengenali siapa dirinya.
"Dia sama sekali tidak mengenaliku lagi..." batin Celine.
Matanya berkaca-kaca, beradu pandang dengan mata Wallace yang begitu tajam, menusuk, dan menyayat perasaan.
Tiba-tiba, pintu ruang UGD terbuka cepat, menciptakan hentakan kecil yang memecah ketegangan. Seorang dokter keluar dengan wajah lelah, lalu melepaskan masker medisnya.
"Siapa keluarga pasien?" tanya dokter itu dengan suara formal namun cemas.
Mendengar itu, Wallace melepaskan cekalannya dari leher Celine secara kasar. Tubuh gadis itu terhempas ke lantai.
Bruk!
Suara benturan tubuh dengan lantai membuat beberapa suster dan perawat menoleh sejenak. Celine meringis kesakitan, tubuhnya menggigil, dan ia terbatuk-batuk sambil memegangi lehernya yang mulai memar.
"Bagaimana dengan keponakanku?" tanya Wallace tajam, sorot matanya menusuk seperti bilah baja.
Dokter itu menunduk sedikit, menunjukkan hormat sekaligus tekanan berat yang ia rasakan.
"Pasien kehilangan banyak darah. Tapi, dia sudah melewati masa kritis. Dia hanya butuh banyak istirahat dan perawatan intensif," jelas sang dokter dengan tenang, meski peluh membasahi dahinya.
"Lakukan yang terbaik."
Wallace mendekat satu langkah, aura kemarahannya menyesakkan udara di sekitar.
"Kalau sampai dia meninggal... rumah sakit ini akan ku ratakan dengan tanah!"
Para staf medis saling berpandangan, ngeri akan ancaman itu.
"Kami akan berusaha menyelamatkan pasien sebaik mungkin," jawab dokter dengan hati-hati.
"Aku tidak butuh janjimu."
Wallace menyipitkan mata, suaranya rendah namun menggelegar.
"Yang kuinginkan hanyalah bukti dari tindakanmu."
Sementara itu, Celine mulai beringsut bangkit. Tubuhnya masih lemah, tapi kecemasan di wajahnya jauh lebih kuat dari rasa sakit di tubuhnya. Ia berdiri perlahan, lalu menatap ruang UGD tempat Mark dirawat.
"Mark... maafkan aku. Aku tak bisa melindungimu. Kalau bukan karena kau melindungiku... kau pasti tidak akan berada di sana," bisik batinnya penuh rasa bersalah.
Air mata mengalir di pipinya, tanpa suara, tanpa henti.
Wallace, yang telah berbalik arah, kini menoleh kembali ke arah Celine. Tatapannya lebih gelap dari sebelumnya.
"Aku tidak peduli siapa dirimu."
Kata-katanya menggantung dingin di udara.
"Mulai detik ini, jangan pernah muncul di hadapanku lagi. Dan... jangan pernah bertemu Mark. Jika kau berani melanggar, aku pastikan kau... tidak akan bisa meneruskan hidupmu."
Tanpa menunggu jawaban, Wallace melangkah pergi, diiringi denting sepatu kulitnya yang terdengar nyaring dan menyeramkan di lantai rumah sakit yang sunyi.
Celine menunduk, menggigit bibirnya. Tangannya menggenggam sebuah kalung batu giok bermotif naga—kalung yang sudah lama ia pakai. Memiliki makna baginya.
Ia mengangkatnya perlahan, menatap ukiran naga di batu giok itu.
"Kakak Wallace... sekian lama tidak bertemu, kau telah berubah. Lebih kejam dari dulu..."
"Yang lebih mengejutkan... ternyata Mark adalah keponakanmu."
Senyum tipis melintas di wajahnya, pahit dan penuh luka.
"Mark sering menyebutmu. Katanya, kau paman yang sangat menyayanginya... meski juga dikenal kejam. Dan... kau juga telah memiliki seorang tunangan."
Celine mengepalkan kalung itu erat-erat, seolah kalung itu menyimpan jawaban dari semua luka yang kini ia rasakan.
Beberapa saat kemudian.
Celine berada di toilet rumah sakit. Ia mencuci tangan kirinya yang terluka—sayatan cukup dalam. Ia menahan rasa sakit itu, hingga wajahnya berkeringat dingin. Dengan susah payah, ia melilitkan perban sendiri untuk menutup lukanya.
"Mark, aku tidak bisa menemuimu lagi. Tapi aku juga tidak akan tinggal diam. Apa yang kakakku lakukan padamu, membuatku kehilangan harapan terhadap hubungan persaudaraan ini. Aku akan menebusnya, meski harus mengorbankan nyawaku sendiri," ucap Celine sambil menatap wajah pucatnya di cermin, akibat rasa sakit dan pendarahan yang cukup lama.
Di sisi lain.
Wallace berdiri bersama Nico di ujung ranjang Mark yang tengah berbaring lemah.
"Tuan, sampai saat ini kami belum menemukan jejak Mike Lin. Biasanya dia suka pergi ke klub malam," lapor Nico.
"Ikuti saja Celine Lin. Sebagai adiknya, dia pasti tahu di mana kakaknya!" perintah Wallace.
"Baik, Tuan," jawab Nico.
"Kalau Celine Lin berani menghalangi kita, jangan ragu memberi pelajaran padanya," tambah Wallace dingin.
"Siap, Tuan."
Di rumah keluarga Celine.
Plak!
Tamparan keras menggema di ruangan sempit itu. Celine terkapar, menerima tamparan dari ibunya.
"Kurang ajar! Dia itu kakakmu! Kenapa kau malah membelanya demi orang luar? Siapa Mark Huang itu, ha? Sampai kau berani melawan kakakmu sendiri demi dia?" bentak sang ibu dengan nada tinggi.
"Ma, Kakak melakukan hal bodoh. Dia menangkap dan memukuli Mark hingga mengalami pendarahan hebat. Kalau terjadi sesuatu pada Mark, kita semua juga bisa ikut terseret. Apa Mama tidak tahu kalau Mark memiliki paman seorang mafia?" jawab Celine dengan napas terengah.
"Mafia? Kalau benar begitu, dan mereka berhasil menemukan Mike, kau yang harus bertanggung jawab! Segera kirim uang dan biarkan kakakmu pergi ke luar negeri!" seru ibunya ketus.
"Baiklah. Aku akan siapkan uang dan tiket keberangkatan besok. Untuk sekarang, Kakak tidak bisa pulang. Aku akan kemas pakaiannya dan antar ke tempat persembunyiannya," ujar Celine lirih, seraya berdiri dengan wajah yang masih memerah bekas tamparan.
"Ingat! Jangan coba-coba bertindak macam-macam! Dia adalah anak laki-laki harapan keluarga ini. Kau, sebagai adik, bertanggung jawab melindunginya. Apa pun yang dia lakukan, kau harus menutupinya. Kalau mafia itu benar-benar datang, kau harus rela mengorbankan nyawamu demi kakakmu!" ujar sang ibu dengan dingin dan tegas.
Celine menatap ibunya dengan pandangan kosong.
"Beritahu aku di mana kakak sekarang, sebelum mereka menemukannya," gumamnya lirih.
"Ma... maafkan aku. Mungkin saat itu kau akan membunuhku karena ini. Tapi aku tidak bisa lagi membiarkan kakak terus berbuat sesuka hati. Hanya ada satu cara... menghentikannya kemudian mati bersamanya," batin Celine.
Celine Lin, telah melakukan percobaan bunuh diri sebanyak tiga kali. Dengan keberanian dan penderitaan yang ia alami selama ini berhasil meluluhkan Wallace Huang, si mafia iblis.
Hujan rintik turun pelan, membasahi aspal jalanan yang berkilau terkena cahaya lampu. Celine melangkah cepat keluar dari rumahnya, membawa satu tas pakaian di tangan. Wajahnya pucat, sorot matanya hampa.
Tanpa menoleh ke belakang, ia menahan taksi yang melintas dan segera masuk ke dalam.
Dari seberang jalan, sebuah mobil hitam terparkir dalam senyap, nyaris tak terlihat di balik bayang-bayang pohon. Di dalamnya duduk Wallace Huang, diam dengan ekspresi tajam, serta Nico, asistennya, yang mengamati situasi dengan waspada.
"Tuan, apakah dia melarikan diri... atau sedang membantu Mike Lin?" tanya Nico, menatap bayangan Celine yang semakin menjauh di dalam taksi.
Wallace tidak langsung menjawab. Ia menyipitkan mata, mengamati gerak-gerik gadis itu dengan sorot penuh kecurigaan. Jemarinya mengetuk pelan sisi kursi, seperti sedang menghitung kemungkinan.
"Kalau dia membantu Mike..."
Suara Wallace dalam, dingin, dan mengandung ancaman yang tak terselubung.
"...maka dia harus diberi pelajaran yang setimpal dengan apa yang dialami Mark."
Ia membalikkan wajahnya ke Nico, tatapannya tajam bagaikan pisau.
"Ikuti dia. Aku ingin tahu... apakah dia benar-benar peduli pada Mark... atau hanya berpura-pura."
"Baik, Tuan!" Nico segera menyalakan mesin, dan perlahan mereka mengikuti taksi dari kejauhan.
Beberapa saat kemudian – Depan Sebuah Klub Malam
Taksi berhenti di depan sebuah bangunan dengan lampu neon mencolok. Musik berdentum samar dari dalam. Celine turun perlahan, wajahnya tetap pucat, keringat dingin membasahi pelipisnya. Langkah kakinya lemah, namun penuh tekad.
"Aku berharap... sebelum waktunya tiba, rencanaku berhasil."
Batin Celine bergejolak. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan degup jantungnya yang tak beraturan. Lalu, ia melangkah masuk ke dalam klub malam, menghilang di balik pintu bercahaya merah.
Dari kejauhan, Wallace memperhatikan dengan ekspresi tak terbaca.
"Beraninya dia masuk ke tempat seperti itu di malam hari..." gumamnya rendah.
Tanpa membuang waktu, Wallace membuka pintu mobil dan turun. Langkahnya mantap, tegas, membelah hujan tipis malam itu dengan aura dingin yang membuat orang enggan mendekat.
Nico segera turun dan mengikuti dari belakang, namun menjaga jarak.
Di lorong remang klub malam itu, lampu-lampu redup berkedip dan suara bass berdentum lembut dari balik pintu-pintu berlapis kedap suara. Celine melangkah pelan namun pasti, menyusuri lorong panjang menuju sebuah ruangan karaoke di ujung. Sepatunya bergema ringan, seolah menandai setiap langkah yang mengantarnya pada sesuatu yang tak ia inginkan, tapi harus ia hadapi.
Tanpa menyadari bahwa Wallace mengikuti dari belakang, menjaga jarak agar tidak terdeteksi, Celine berhenti di depan pintu dengan nomor buram yang menyala redup. Ia membuka pintunya—dan langsung disambut dengan pemandangan yang membuat hatinya semakin mual.
Mike Lin, kakaknya sendiri, sedang duduk santai di sofa merah dengan tangan merangkul dua wanita malam yang mengenakan pakaian minim. Meja di depannya penuh botol minuman keras, abu rokok, dan sisa-sisa kekacauan pesta murahan.
"Kau sudah datang. Lama sekali. Apa tidak bisa lebih cepat? Sungguh tidak berguna," cetus Mike dengan nada menghina. Matanya setengah mabuk, mulutnya menyeringai sinis.
Celine tidak menanggapi hinaan itu. Dengan wajah dingin dan suara tegas, ia memerintah.
"Kalian semua keluar!" ucapnya lantang, menatap dua wanita itu tajam.
Kedua wanita itu saling berpandangan, tak percaya seorang gadis kurus dan tampak lemah berani mengusir mereka.
Mike tertawa sinis, memutar matanya.
"Hei, kau ke sini hanya untuk mengantar baju, uang, dan tiket. Bukan untuk mengganggu kesenanganku!" katanya, masih malas beranjak dari posisi santainya.
Celine menahan amarah. Tangannya gemetar, tapi suaranya tetap kokoh.
"Ada yang ingin aku bicarakan. Suruh mereka keluar. Uang dan tiket ada padaku," katanya dengan nada yang tak bisa ditawar.
Mike memutar bola matanya, wajahnya menunjukkan kejengkelan. Namun, ia juga tahu, tanpa Celine, ia tidak akan bisa kabur dari kota ini.
"Berani sekali melawan!" desisnya, tapi akhirnya mengibaskan tangan.
"Kalian keluar, tunggu aku di luar," titah Mike dingin.
Kedua wanita itu mendengus kesal namun tetap keluar, menutup pintu dengan kasar di belakang mereka.
Kini, hanya Celine dan Mike yang tersisa di dalam ruangan. Cahaya lampu merah temaram menerangi wajah Celine yang pucat dan penuh luka batin, serta wajah Mike yang licik dan tak tahu malu.
Di luar sana, Wallace berdiri di balik tirai pintu kaca yang sedikit terbuka, mengamati dengan rahang mengeras.
Mike menyandarkan tubuhnya ke sofa dengan kasar, memutar kepalanya penuh kesal.
"Mana uang dan tiketku?" bentaknya tajam. Matanya merah dan sedikit sayu akibat alkohol, tapi masih menyimpan sorot dingin penuh tuntutan.
Celine tidak langsung menjawab. Ia berdiri tegak di depan kakaknya, tangan mengepal di sisi tubuhnya, menahan amarah yang sudah terlalu lama ia pendam.
"Kenapa harus Mark?" suaranya nyaris bergetar, namun penuh luka.
"Apakah kau belum cukup menyiksaku selama ini sampai harus melibatkan temanku juga?"
Mike tertawa pendek, sinis, seolah tidak mengerti mengapa adiknya bisa merasa tersakiti.
"Kenapa kau harus keberatan, ha? Siapa dia, si Mark itu? Dia cuma orang asing. Dan kau, Celine..." katanya sambil mencondongkan tubuhnya ke depan, suaranya berubah mengancam.
"...berani melawanku demi dia?"
Ia berdiri, melangkah pelan ke arah Celine sambil menudingkan jarinya.
"Jangan lupa. Aku ini kakak kandungmu. Satu-satunya harapan keluarga. Jadi kau harus ingat tanggung jawabmu!"
"Kau harus membantuku jadi pengacara. Rajin kerja. Dan rutin transfer uang padaku!" lanjutnya, nada suaranya menuntut, tanpa rasa bersalah sedikit pun.
Celine memejamkan mata sejenak, menahan air mata yang hampir jatuh. Tapi kali ini, ia tidak akan diam. Tidak lagi.
"Selama ini, semua gajiku—aku kirim ke rekeningmu," ucapnya pelan tapi jelas.
"Semua uang itu... kau habiskan untuk berjudi. Untuk minum. Untuk main perempuan."
Napasnya tercekat, tapi ia menatap Mike tepat di mata.
"Bahkan... diriku juga kau jual."
Hening.
"Apa lagi yang belum aku lakukan untukmu?" lanjut Celine, suaranya mulai bergetar.
"Aku kehilangan hidupku. Aku kehilangan masa depanku. Semua karena kamu. Tapi sekarang... kamu melukai satu-satunya orang yang peduli padaku tanpa alasan!"
Dan tanpa mereka sadari… Wallace, yang masih mengintip dari luar, mendengar semuanya.
Sorot matanya berubah. Wajahnya yang tadinya penuh kebencian terhadap Celine perlahan mulai retak. Ada sesuatu dalam kata-kata gadis itu yang menusuk hatinya—sesuatu yang mungkin tidak ingin ia akui, tapi tidak bisa ia abaikan.
"Tidak perlu basa-basi," desis Mike, nadanya dingin dan tajam seperti pisau.
"Kalau kau hanya ingin mengungkit bajingan itu—lebih baik kau diam. Serahkan uang dan tiketnya sekarang juga!"
"Tidak!" katanya tegas, dengan napas berat.
"Aku tidak ada uang lagi, Dan malam ini... tidak ada satu pun dari kita yang bisa tinggalkan ruangan ini."
Mike menghentak satu langkah ke depan, ekspresinya berubah gelap.
"Apa maksudmu?! Kau... mengancamku?"
Tangan Mike yang kasar terangkat cepat, mengarah ke leher Celine seperti kebiasaannya saat ingin mendominasi. Tapi malam ini berbeda.
Brak!
Sebuah suara keras memecah udara di ruangan itu.
Celine bergerak lebih cepat—dengan tangan gemetar dan mata penuh air, ia meraih botol kaca dari atas meja dan menghantamkannya ke kepala kakaknya dengan seluruh kekuatan yang ia punya.
Botol pecah. Darah mengalir. Mike terhuyung.
Ia terdiam sejenak, lalu berlutut dengan tangan memegang sisi kepalanya yang berdarah, mengerang kesakitan.
"Dasar jalang... kau berani...!" geram Mike, masih berusaha bangkit meski tubuhnya limbung.
Celine terengah-engah, jantungnya berdebar seakan akan meledak. Tangannya berlumuran darah—bukan darahnya, tapi darah orang yang selama ini menyiksanya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!