Jin Lin tersadar dari kegelapan tak berujung, kepalanya masih terasa berputar dalam kebingungan.
Ada pepatah lama yang mengatakan, jika nasib sedang sial, minum air putih pun bisa membuat gigi patah. Jin Lin akhirnya mengerti makna sesungguhnya dari pepatah itu.
Dia hanya pernah melihat berita tentang ponsel meledak di internet dan selalu menganggapnya lelucon. Siapa sangka, lelucon tragis itu menimpa dirinya sendiri.
Jin Lin adalah seorang otaku sejati. Kesehariannya dihabiskan dengan berselancar di internet, bermain game, dan melahap novel daring.
Belakangan ini, ia tergila-gila pada sebuah novel berjudul "Naga Iblis Kuno", dan langsung mengunduhnya ke ponsel agar bisa dibaca kapan saja. Namun, saat sedang asyik membaca, sebuah panggilan masuk. Tepat ketika ia menempelkan ponsel murahan itu ke telinganya, benda itu meledak!
Ledakan dahsyat tepat di sisi kepalanya. Kekuatan destruktifnya tak terbayangkan. Kesadaran Jin Lin langsung direnggut, tubuhnya ambruk seketika.
"Syukurlah, aku selamat..." Itulah pikiran pertama yang melintas di benaknya. Ia membayangkan seorang pejalan kaki yang baik hati telah membawanya ke rumah sakit.
Seluruh tubuhnya terasa begitu hangat, seolah terbaring di atas alas yang luar biasa empuk. Ini pasti ranjang rumah sakit termewah yang pernah ada, pikirnya.
Dengan susah payah, Jin Lin membuka matanya. Namun, pemandangan di hadapannya sama sekali tidak familiar. Ini bukan bangsal rumah sakit, melainkan sebuah gua yang remang-remang, dengan dinding batu yang lembap dan beberapa kristal yang berpendar lembut.
"Mungkinkah... rumah sakit sekarang mengusung tema dekorasi fantasi?" Jin Lin bergumam dalam kebingungan.
Saat itulah, ia menyadari sesosok wanita rupawan tengah membungkuk dan menatapnya lekat. Wanita itu berusia sekitar dua puluhan, mengenakan gaun putih bersih yang anggun, dan senyumnya begitu menenangkan.
"Perawat yang cantik sekali..." Otak Jin Lin langsung merangkai skenario romantis antara pasien dan perawat. "Pakaiannya juga sangat klasik." Gaun panjang itu terlihat seperti kostum dari drama kolosal.
"Lin'er, kau sudah bangun." Suara wanita itu selembut sutra. Dengan gerakan yang tak terduga, ia mengangkat tubuh Jin Lin dan mendekapnya seperti seorang ibu menimang bayi.
Begitu hangat, begitu nyaman. Jin Lin secara naluriah menyandarkan kepalanya di dada wanita itu. Tunggu... Aku diangkat? Ada yang tidak beres.
Jin Lin sangat sadar akan postur tubuhnya. Tinggi 178 sentimeter dengan berat 125 kilogram. Meskipun jauh dari kata atletis, ia jelas bukan seseorang yang bisa diangkat dengan mudah oleh seorang perawat wanita.
Mungkinkah? Isekai? Sebagai pembaca novel daring yang fanatik, kata "transmigrasi" atau "reinkarnasi" langsung meledak di benaknya.
Baiklah, jika memang reinkarnasi, maka terjadilah. Kehidupannya yang dulu terlalu biasa, terlalu normal. Dia hanyalah satu dari miliaran manusia tanpa nama di lautan manusia. Jauh di lubuk hatinya, ia selalu berfantasi mengalami plot seperti di dalam novel.
Karena itu, Jin Lin tidak merasa takut. Sebaliknya, secercah kegembiraan mulai tumbuh. Hanya saja, pikiran tentang orang tuanya yang pasti akan cemas membuatnya sedikit sedih.
"Lin'er, apa kau lapar?" Suara lembut wanita itu kembali terdengar. Tangan kirinya menimangnya, sementara tangan kanannya menyodorkan sebuah piring kecil.
Jadi, aku bereinkarnasi menjadi bayi. Kalau bayi, seharusnya minum susu... Jin Lin menatap dada wanita itu, dan pikirannya mulai liar.
"Ayo, makanlah." Wanita itu mendekatkan sepotong makanan ke mulut Jin Lin.
Jin Lin tanpa sadar membuka mulut, namun matanya membelalak ngeri saat melihat apa yang disodorkan... seekor katak hijau yang masih hidup, kaki-kaki kecilnya meronta-ronta panik tepat di depan matanya.
"Ah—!" Jin Lin ingin menjerit histeris. Apa ini makanan manusia? Daging katak mungkin lezat jika dimasak, tapi siapa yang memakannya hidup-hidup?
Anehnya, yang keluar dari mulutnya bukanlah teriakan, melainkan suara desisan aneh. "Hss... hssss..."
Saat itulah Jin Lin menyadari ada sesuatu yang sangat, sangat salah. Ia menunduk, mencoba melihat tubuhnya. Yang ia lihat bukanlah sepasang tangan dan kaki bayi yang mungil, melainkan tubuh panjang bersisik yang melingkar. Ia... seekor ular!
"HSSS—!" Jin Lin berteriak ngeri sekali lagi. Aku... Aku bereinkarnasi menjadi seekor ular?!
Kenyataan ini menghantamnya seperti palu godam. Ia tidak bisa menerimanya. Kenapa harus begini? Reinkarnasi ya reinkarnasi, tapi kenapa harus mengubahku menjadi ular?
Lalu, perawat cantik itu... oh, bukan, wanita rupawan itu, kenapa dia memegang ular? Apa dia tidak takut?
Logika Jin Lin masih kacau balau. Namun, pemandangan berikutnya memberinya jawaban yang lebih mengerikan dari pertanyaannya.
Melihat Jin Lin menolak makan, wanita itu tersenyum penuh kasih. "Lin'er, apa ini terlalu besar untukmu? Biar Ibu potong kecil-kecil." Wanita itu meletakkan Jin Lin kembali ke "ranjang" empuknya, lalu bergerak pergi.
Caranya bergerak bukan berjalan, melainkan meluncur. Tubuh bagian bawahnya... adalah ekor ular raksasa yang berkilauan!
"HSSS—!" Ini terlalu mengerikan. Jin Lin menjerit untuk ketiga kalinya, sebelum kegelapan kembali menelannya. Ia pingsan lagi.
"Lin'er... Lin'er..." Sebuah suara merdu yang lembut membangunkannya sekali lagi.
Alangkah indahnya jika aku hanya bisa melihat tubuh bagian atasnya saja, desah Jin Lin dalam hati. Setidaknya itu akan menyejukkan mata, dan ia bisa menipu dirinya sendiri untuk sesaat. Namun, untungnya, wanita setengah ular ini tampak sangat menyayanginya.
Dari panggilannya, sepertinya ia adalah ibunya di kehidupan ini.
"Lin'er, kau tidak boleh tidak makan. Dengarkan Ibu, makanlah yang banyak agar kau cepat besar dan kuat," wanita siluman ular itu membujuk Jin Lin dengan sabar.
Jin Lin menatap ngeri pada potongan-potongan katak di piring dan menggelengkan kepalanya dengan putus asa
.
"Kau tidak suka?" tanya wanita itu, sedikit bingung.
Jin Lin mengangguk cepat.
"Kita para siluman ular biasanya memakan ini. Bagaimana kalau Ibu carikan tikus untukmu?" tawarnya lagi.
Jin Lin menggelengkan kepalanya lebih keras. Kau bercanda? Katak hidup saja sudah cukup mengerikan, apalagi tikus.
"Katak tidak mau, tikus juga tidak mau. Jadi, kau mau makan apa?" Wanita itu mengerutkan kening, lalu matanya berbinar seolah teringat sesuatu. "Ah, benar! Kemarin Ibu baru memetik beberapa Buah Roh. Buah ini penuh dengan energi spiritual, sangat baik untuk kultivasimu. Makanlah ini dulu."
Mendengar kata "buah", Jin Lin merasa itu adalah pilihan yang jauh lebih aman. Ia mengangguk dengan antusias.
Wanita itu tersenyum lembut, berbalik, dan kembali dengan dua buah seukuran aprikot. Buah itu berwarna keemasan, memancarkan cahaya redup dan aroma yang sangat manis.
Tanpa ragu, Jin Lin membuka mulutnya. Wanita itu meletakkan satu buah ke dalamnya. Saat itulah ia sadar, ular tidak bisa mengunyah. Ia hanya bisa menelan buah itu utuh, tanpa bisa merasakan cita rasanya... Sungguh tragis.
Setelah menelan dua buah, perutnya akhirnya terisi. Namun, sesuatu yang ajaib terjadi. Begitu buah itu menyentuh perutnya, buah itu meleleh menjadi aliran energi murni yang hangat. Aliran itu menyebar dari perutnya, mengalir deras ke seluruh penjuru tubuhnya, menyusuri setiap meridian yang tak kasatmata.
Seluruh tubuhnya terasa hangat dan nyaman, seolah setiap sel di dalamnya tengah bersorak gembira.
Rasa kantuk yang luar biasa menyergapnya. Aku... butuh tidur...
Kesadaran Jin Lin perlahan memudar, membawanya ke dalam tidur lelap yang penuh dengan mimpi akan kekuatan dan evolusi yang akan datang.
Jin Lin akhirnya berdamai dengan takdirnya. Ia telah bereinkarnasi menjadi seekor ular. Mungkin lebih tepatnya, ia tidak punya pilihan selain menerima, karena seekor ular kecil tak berdaya memangnya bisa berbuat apa?
Meskipun wujudnya kini adalah seekor ular, ada pepatah yang ia pegang teguh: "lebih baik hidup menderita daripada mati terhormat."
Bagaimanapun, hidup adalah anugerah. Ledakan ponsel itu telah merenggut nyawanya, jadi mendapatkan kesempatan kedua melalui reinkarnasi sudah merupakan berkah dari langit. Apa lagi yang bisa ia harapkan?
Meski begitu, jiwa Jin Lin tetaplah jiwa seorang manusia, seorang pemuda dari abad ke-21. Beradaptasi dengan kehidupan seekor ular ternyata jauh lebih sulit dari yang ia bayangkan.
Katak? Tidak, terima kasih! Tikus? Jauhkan benda itu dariku! Buah-buahan? Nah, itu baru bisa diterima...
Meskipun setiap hari hanya makan buah membuat mulutnya terasa hambar, setidaknya buah-buahan itu tidak membuatnya ingin muntah.
Seiring waktu, Jin Lin mengetahui bahwa ibunya adalah roh ular putih bernama Bai Su Su. Namanya hanya berbeda satu karakter dari sang Legenda Ular Putih yang tersohor, Bai Su Zhen. Setelah terbiasa, Jin Lin harus mengakui bahwa ibunya adalah siluman ular yang luar biasa cantik, mungkin kecantikannya tak kalah dari Bai Su Zhen dalam legenda.
Saat berubah sepenuhnya ke wujud manusia, ia adalah jelita yang dapat meruntuhkan kota, tanpa sedikit pun aura iblis yang jahat melekat padanya—sangat berbeda dari kebanyakan Yao (iblis) lain.
Faktanya, para Yao baru bisa bertransformasi sempurna ke wujud manusia setelah mencapai Alam Transformasi (Huanxing). Hari itu, Bai Su Su kebetulan sedang memanjat pohon untuk memetik buah, sehingga ia mempertahankan ekor ularnya untuk keseimbangan, dan tanpa sengaja membuat Jin Lin kecil ketakutan hingga pingsan.
Bai Su Su sangat memanjakan Jin Lin. Bahkan penolakannya yang aneh untuk memakan daging tidak membuat ibunya resah. Setiap hari, Bai Su Su akan berkelana mencari berbagai macam Buah Roh untuk dijadikan makanan putranya. Melihat cinta keibuan yang tulus itu, hati Jin Lin sebagai seorang manusia pun tersentuh.
Bai Su Su tidak hanya memberinya makan, tetapi juga mengajarinya bahasa dunia ini dan mewariskan sebuah Teknik Kultivasi padanya. Mungkin karena terus-menerus mengonsumsi Buah Roh, tubuh ular Jin Lin, meskipun tidak sekuat ular biasa, memiliki kecerdasan spiritual yang jauh lebih tinggi. Ia dengan cepat menguasai bahasa dan dasar-dasar kultivasi.
Tentu saja, Jin Lin tahu betul bahwa kecerdasan sejatinya berasal dari jiwanya sebagai seorang sarjana dari bumi. Bai Su Su tidak terkejut dengan kecerdasan putranya; baginya, seolah-olah sudah sewajarnya Lin'er menjadi jenius.
Tempat tinggal mereka berada di sebuah gua tersembunyi di sisi selatan sebuah pulau besar bernama Pulau Awan Merah (Pulau Chixia). Pulau ini sangat luas, dikelilingi lautan tak bertepi, dan menjadi rumah bagi puluhan ribu Yao dari berbagai klan.
Berita tentang seekor ular aneh di Pulau Awan Merah dengan cepat menyebar, menjadi bahan tertawaan para iblis cilik (xiao yaoguai) saat mereka bosan.
"Lihat si ular vegetarian itu! Dia tidak makan daging, aneh sekali!"
"Sebenarnya aku juga makan daging kodok dan kelinci... kalau kalian memasaknya untukku," keluh Jin Lin dalam hati.
Namun, Jin Lin juga memiliki teman. Karena ia tidak berbahaya dan tidak memangsa hewan lain, banyak iblis cilik yang suka bermain dengannya. Yang paling akrab adalah iblis cilik bernama Tanduk Hitam, seekor roh kerbau liar.
Dengan kekuatan dewa bawaan, Tanduk Hitam adalah petarung hebat dan menjadi pemimpin tak terbantahkan di antara para iblis cilik di wilayah mereka. Anehnya, Tanduk Hitam yang perkasa justru sangat mengagumi Jin Lin yang lemah secara fisik, karena menurutnya, Jin Lin adalah yang paling cerdas.
Teknik kultivasi para Yao di Pulau Awan Merah terbagi menjadi tujuh alam besar: Pondasi Awal (Foundation Building), Transformasi (Huanxing), Formasi Inti (Core Formation), Roh Purba (Primordial Spirit), Inti Emas (Golden Core), Melampaui Kesengsaraan (Tribulation), dan Mahayana. Ibunya, Bai Su Su, telah mencapai Alam Formasi Inti, di mana ia telah membentuk Inti Iblis dan bisa menyerap Energi Spiritual Langit dan Bumi sebagai makanan. Daging biasa sudah tak berguna baginya.
Para iblis cilik yang telah mencapai Alam Transformasi diizinkan untuk belajar di kediaman seorang roh rubah tua bernama Tetua Hu Qi. Tetua Hu sangat dihormati karena tingkat kultivasinya yang misterius dan tak terduga. Ia hanya mau mengajar anak-anak, dengan alasan orang dewasa sudah terlalu keras kepala. Selain kultivasi, Tetua Hu juga mengajarkan baca-tulis, sesuatu yang diremehkan oleh kebanyakan ras Yao.
Di antara murid-muridnya, Jin Lin adalah sebuah anomali. Sementara yang lain kesulitan, Jin Lin belajar membaca dan menulis secepat kilat, seolah memiliki ingatan fotografi. Hal ini membuat Tetua Hu terperangah, yakin bahwa ia telah menemukan seorang jenius langka dari Ras Yao yang hanya muncul sekali dalam sepuluh ribu tahun.
Hanya Jin Lin yang tahu alasannya. Apa yang diajarkan Tetua Hu pada dasarnya adalah aksara kuno yang sangat mirip dengan bahasa Mandarin. Tentu saja ia bisa mempelajarinya dengan mudah.
Jin Lin menikmati statusnya sebagai "jenius" dan tidak berniat mengungkap rahasianya. Kekaguman Tanduk Hitam padanya pun semakin menjadi-jadi, hingga ia tanpa malu-malu bersumpah untuk menjadi pengikut Jin Lin.
Punya pengikut yang kuat sebagai pengawal bukanlah hal buruk, pikir Jin Lin sambil menerima pengikut barunya itu dengan senang hati.
Setelah berkultivasi tanpa henti, hari yang ditunggu-tunggu Jin Lin akhirnya tiba. Ia berhasil menembus Alam Transformasi!
"Aku... aku akhirnya menjadi manusia lagi!" serunya dalam hati penuh suka cita.
Meskipun ini hanyalah wujud manusia dari seekor iblis dan belum stabil—bisa kembali ke wujud ular jika terluka atau terlalu emosional—itu sudah cukup untuk membuatnya merasakan kembali nikmatnya memiliki tangan dan kaki.
Kebetulan, nama ular kecil yang ia masuki ini juga Jin Lin. Ia pernah bertanya pada Bai Su Su, "Ibu, kenapa namaku Jin Lin? Apakah margaku Jin? Dan... siapa ayahku?"
Setiap kali ayahnya disebut, raut wajah Bai Su Su akan berubah sendu dan ia selalu mengalihkan pembicaraan. Karena ibunya menolak bercerita, Jin Lin pun tak bisa memaksa.
Mengenai namanya, Bai Su Su tersenyum dan menjelaskan, "Karena kau adalah Ular Emas Kecil, dan seluruh sisikmu berkilauan seperti emas, maka namamu adalah 'Jin Lin' (金鳞 - Sisik Emas).
Lihat saja temanmu si Tanduk Hitam, ia punya sepasang tanduk legam, makanya namanya Tanduk Hitam."
"Oh, begitu rupanya..." Jin Lin sedikit kecewa. Jadi namanya bukan sebuah warisan.
Namun, terkadang ia menghibur dirinya sendiri dengan sebuah pepatah kuno.
"Makhluk bersisik emas bukanlah benda biasa di dalam kolam; begitu bertemu angin dan awan, ia akan berubah menjadi Naga."
Nama ini sebenarnya cukup megah.
Tapi... bisakah aku, seekor ular kecil, benar-benar berubah menjadi Naga suatu hari nanti?
Di dunia ini, jika ada monster, tentu saja ada pula peri dan juga manusia yang mengejar keabadian—para kultivator.
Suatu hari, ketika Jin Lin dan Hei Jiao pulang dari kunjungan mereka ke kediaman Guru Hu Qi, mereka melihat dua sosok manusia melayang di langit. Mereka mengenakan jubah emas yang berkibar tertiup angin, dengan sikap agung dan senjata ajaib aneh di tangan mereka.
"Hai! Para Abadi!" seru Jin Lin dengan semangat. Bukankah mereka itu para abadi legendaris? Ia bahkan ingin menyapa mereka dan mungkin meminta tanda tangan... atau mungkin kitab rahasia teknik abadi.
"Bos, berhentilah melamun! Lari!" Hei Jiao segera menarik Jin Lin yang terpaku dan berlari menjauh.
Saat para monster di tanah melihat para kultivator manusia datang, mereka berhamburan ke segala arah.
Senjata ajaib kedua kultivator itu memancarkan cahaya dari waktu ke waktu, dan setiap berkas cahaya yang melesat, selalu merenggut satu nyawa monster.
Monster-monster yang terkena serangan dan kembali ke bentuk aslinya langsung dibawa pergi oleh kedua kultivator itu. Ketika Hu Qi mendengar kabar dan bergegas ke lokasi, keduanya telah pergi. Tempat itu porak-poranda, beberapa rumah hancur. Rumah-rumah itu bukan sembarang rumah, melainkan tempat tinggal para Yao. Jangan kira semua monster hidup di gua.
Faktanya, Jin Lin adalah salah satu yang menyebabkan banyak monster pindah ke rumah. Awalnya ia tinggal bersama Bai Su Su di gua, tapi merasa sangat tidak nyaman. Begitu bisa berbicara, ia bersikeras ingin tinggal di rumah seperti manusia. Bai Su Su mengabulkan keinginannya. Sebagai kultivator tahap Inti Emas, membangun rumah dengan kekuatan sihir bukan hal sulit baginya.
Monster-monster di sekitar melihat kenyamanan tinggal di rumah, dan mereka pun mengikuti. Rumah memang kurang defensif dibanding gua, tapi lebih mudah untuk melarikan diri bila diserang. Di gua, jalan keluar hanya satu.
Kedua kultivator itu telah melukai dan menangkap banyak monster. Di dekat kediaman Jin Lin, ada sebuah keluarga roh burung pegar tujuh warna. Kepala keluarga itu, yang biasa dipanggil Paman Qi oleh Jin Lin, ikut dibawa pergi. Istri dan anak-anak burung pegar yang tersisa hanya bisa menangis pilu. Bai Su Su berusaha menghibur mereka, sementara Jin Lin menatap langit, diam-diam mengingat wajah para kultivator itu.
"Ibu, kenapa ini terjadi?" tanya Jin Lin.
"Kipas bulu yang mereka bawa, terbuat dari bulu ekor burung pegar tujuh warna," jelas Bai Su Su pelan. Bulu tersebut adalah bahan berkualitas tinggi untuk membuat artefak sihir.
"Jadi... mereka membunuh Paman Qi hanya demi bahan pembuat kipas?" Jin Lin tercengang.
Bai Su Su hanya mengangguk.
"Kalau suatu saat mereka menginginkan sesuatu dari kita, apa mereka akan datang dan membunuh kita juga?" teriak Jin Lin.
Bai Su Su mendesah lirih dan tidak menjawab.
Jin Lin terdiam. Untuk pertama kalinya, ia merasakan jarak yang amat jauh antara dirinya dan manusia.
"Mereka manusia. Aku iblis," ucap Jin Lin berulang-ulang dalam benaknya. "Aku bukan manusia lagi. Para kultivator tidak akan pernah menerimaku."
Ia tentu tahu bahwa para kultivator dan iblis adalah musuh bebuyutan, tapi ia tak pernah membayangkan akan benar-benar mengalami dilema ini sendiri.
Bagaimana aku harus bersikap?
Sebagai manusia di kehidupan sebelumnya, ia punya rasa akrab dengan para kultivator. Tapi kini ia adalah iblis, dan harus menimbang segalanya dari sudut pandang Yao. Menyaksikan pembantaian itu dengan mata kepala sendiri membuatnya sulit menerima kenyataan.
Ia tidak bisa bertanya pada siapa pun. Ia hanya bisa menyimpan pertanyaan itu di hati dan terus mengulanginya:
Apa yang harus kulakukan?
Ia tak menemukan jawaban, tapi satu hal menjadi sangat jelas: ia harus menjadi kuat!
Di dunia sekejam ini, kekuatan adalah fondasi untuk bertahan hidup. Jika suatu hari seorang kultivator ingin menangkap atau membunuhnya, ia tak bisa hanya duduk diam.
Jin Lin menjadi lebih tekun dari sebelumnya. Ia menghabiskan lebih banyak waktu berkultivasi.
Lima belas tahun berlalu.
Jin Lin telah tumbuh menjadi pemuda yang tampan. Ia telah berada di puncak Alam Transformasi dan hampir membentuk Inti Iblis. Tubuh manusianya kini stabil, bahkan jika terluka parah, ia tak akan kembali ke wujud ular.
Hei Jiao yang dulunya lebih kuat, kini tertinggal jauh. Meskipun ia berbakat, ia baru mencapai tahap awal Transformasi. Namun, Hei Jiao tak mempermasalahkan hal ini. Sejak kecil, ia telah mengagumi Jin Lin, dan tetap menganggapnya sebagai bos sejati.
Sebagai remaja, Jin Lin kerap menatap langit yang luas dan tak terbatas. Ia mendengar bahwa mereka yang mencapai Alam Inti Emas bisa terbang di udara menggunakan artefak sihir. Ia terus bermimpi kapan dirinya bisa bebas menjelajah langit tanpa rasa takut.
Seperti biasa, hari itu Jin Lin datang ke sebuah danau kecil tak jauh dari rumahnya untuk berlatih.
Tiba-tiba, dua bayangan melintas di permukaan air.
Jin Lin menoleh ke langit dan melihat dua sosok terbang. Mereka tampak seperti kultivator manusia... lagi! Namun kali ini, ada yang berbeda. Gerakan mereka tampak tergesa-gesa, seolah-olah sedang melarikan diri dari sesuatu.
Mereka terlihat gelisah, bahkan terbang dengan tidak stabil. Dan yang mengejutkan, arah terbang mereka adalah ke danau tempat Jin Lin berada!
"Aku bukan manusia lagi. Aku iblis. Jangan lupakan itu," ucap Jin Lin dalam hati. Ia berniat bersembunyi sebelum mereka melihatnya.
Namun semuanya terjadi terlalu cepat. Sebelum sempat bersembunyi, kedua kultivator itu telah mendarat di dekatnya.
"Monster muda dalam tahap Transformasi?" salah satu kultivator pria menilai kekuatan Jin Lin dengan cepat.
Pertemuan tak terduga ini menandai awal dari perubahan besar dalam hidup Jin Lin.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!