Kota Qusra, tahun 742 kalender Kasturia.
Musim dingin telah tiba. Udara berembus kencang. Daun-daun berjatuhan dari pohonnya. Binatang-binatang melakukan hibernasi, menunggu musim semi muncul. Walaupun berada di daerah selatan, kota Qusra yang berada di bawah kaki gunung Alsain tetap merasakan hawa musim dingin yang dihembuskan oleh angin utara.
Kota Qusra merupakan salah satu kota terbesar di kesultanan Ammaruz. Penduduknya banyak dan beragam. Perkebunan menjadi komoditas utama kota Qusra. Di musim panas, kota Qusra selalu ramai akan festival-festival dan perayaan besar. Namun, dimusim dingin ini, kota Qusra seakan terlelap. Tidak banyak penduduk yang melakukan aktivitas, mereka lebih memilih menghangatkan diri di dekat perapian sambil menikmati cokelat panas lezat.
5 kilometer jaraknya dari pusat kota Qusra, di tepian danau Alsain yang indah, berdiri sebuah kastil besar nan kokoh. Kastil itu terbuat dari batu-batu pegunungan yang keras. Enam menara mengelilingi kastil. Tinggi menara itu masing-masing 20 meter dengan lebar 6 meter. Sangat besar dibandingkan menara-menara lain di daerah kesultanan Ammaruz. Kastil itu bernama kastil Ajjar. Kastil yang dipergunakan untuk pertahanan sekaligus tempat tinggal para tentara.
Kastil Ajjar merupakan titik terpenting kesultanan Ammaruz dalam menghadapi serangan dari arah utara dan timur. Bentang alam yang megah menjadi senjata utama para pasukan kastil Ajjar.
Tidak seperti kota Qusra yang mana penduduknya memilih untuk bersantai sekaligus menghangatkan diri, kastil Ajjar selalu sibuk. Setiap hari para tentara akan digembleng dengan sangat keras dan disiplin. Mereka adalah tombak terpenting kesultanan. Pasukan kebanggan sultan.
***
"Abyad! Abyad! Di mana kau?" Basril, pria berbadan atletis dengan rambut lurus, berseru keras.
"Percuma, Basril." Sabina, perempuan tercantik di kastil Ajjar, menepuk bahu Basril. Sabina dibilang cantik karena hanya dia perempuan yang bergabung dengan militer. Memang Sabina jika dilihat lebih teliti sangat menawan. Kulit berwarna eksotis ditambah dengan mata seindah zamrud. Banyak pria-pria di kastil mencoba untuk mendekatinya, tapi tidak ada yang berani.
Basril menepuk dahi. "Ya ampun, di mana si pemalas itu? Apa dia tidak mendengar panggilan Jenderal Akmar Pasha?"
"Entahlah." Sabina menjawab malas. Matanya melihat keliling dengan tajam. "Hmm, sepertinya aku tahu dia di mana."
"Eh, kau tahu, Sabina?"
"Ikuti aku." Sabina mulai berjalan. Basril dengan tergopoh-gopoh mengikutinya dari belakang.
Mereka berdua berjalan menyusuri lorong-lorong kastil Ajjar. Batu-batu granit tersusun rapih. Cahaya yang keluar dari obor membantu mereka menelusuri lorong kastil yang lumayan gelap.
Sabina terlihat berpikir di sebuah persimpangan. Tanpa ragu, Sabina memilih mengambil jalan ke kiri.
"Sabina, kita mau ke mana? Bukannya ini jalan menuju gudang senjata?" Basril bertanya tidak sabaran.
"Kita memang akan menuju gudang senjata." Sabina menjawab.
"Gudang senjata? Bukannya kita sedang mencari Basril?" Basril mendesak.
"Ya ampun, apa kau tidak bisa diam, Basril? Sudah ikuti saja!" Sabina menatap Basril tajam. Basril hanya menunduk pasrah.
Pintu kayu sebesar 2 meter tampak berdiri kokoh. Kaligrafi bertuliskan kata Ammaruz di ukirannya sangat indah. Sabina mendorong pintu itu. Secercah cahaya menyambut mereka berdua.
"Abyad! Dasar pemalas! Di sini kau rupanya!" Basril langsung berseru keras. Sabina yang tahu hal seperti ini akan terjadi refleks menutup telinganya.
"Ah, Basril. Sabina. Aku cukup terkejut melihat kehadiran kalian di sini." Abyad berkata ramah. Pemuda dengan rambut ikal serta tatapan malas itu terlihat riang. Badannya tidak seatletis Basril, tapi dia lebih tinggi beberapa senti dari Basril.
"Cukup basa-basinya, Abyad! Kau tidak mendengar panggilan barusan? Jenderal Akmar Pasha mengumpulkan semua perwira." Basril sudah dua langkah di depan Abyad. Air mukanya terlihat kesal.
Abyad melambaikan tangannya. "Tenang, Basril. Aku juga mendengarnya. Itulah sebabnya aku ke sini, ke gudang senjata yang indah."
"Lalu, apa hubunga-"
"Sudahlah, ayo kita bergegas. Aku tidak mau melihat Jenderal Akmar Pasha murka. Ayo, Sabina. Basril." Abyad sudah berjalan meninggalkan gudang senjata. Sabina mengikutinya, sedangkan Basril hanya menepuk jidatnya.
***
Ruangan Jenderal Akmar Pasha cukup ramai. Terlihat beberapa perwira berpangkat tinggi sedang berkumpul di sana. Abyad, Sabina dan Basril juga sudah berada di ruangan semenjak 5 menit yang lalu.
"Kenapa kalian terlambat?" Falaq, salah satu perwira dengan luka di matanya, bertanya kepada Abyad.
"Ada keperluan kecil." Abyad tersenyum. Basril hanya menggeleng pelan.
Wajah-wajah di ruangan itu terlihat tegang. Jenderal Akmar Pasha duduk di meja yang dipenuhi gambar peta. Pria berumur lima puluh dua tahun itu terlihat berwibawa. Rambut serta janggut putihnya menambah kesan itu.
"Hari ini, kerajaan Havelar telah melakukan pergerakan." Jenderal Akmar Pasha membuka percakapan. "Mata-mata melaporkan bahwa mereka bergerak menuju perbatasan dengan pasukan berjumlah 2000 orang. Sampai saat ini, belum diketahui tujuan mereka. Namun, firasatku mengatakan mereka akan bergerak menuju lembah Bursa. Jika mereka berkumpul di sana, akan dipastikan mereka akan membuat jalur untuk terus mengirimkan pasukan dan persediaan."
Perwira-perwira tinggi itu mulai berbisik-bisik. Mereka saling menerka pergerakan apa yang harus dilakukan. Ruangan menjadi sedikit bising.
"Biarkan aku memimpin pasukan untuk memukul mundur mereka, Jenderal Akmar Pasha." Salah satu perwira dengan badan besar berkata lantang. Perwira yang lain mengangguk setuju.
"Berikan aku 8000 orang dan mereka akan mengetahui kehebatan tentara sultan." Perwira berbadan besar melanjutkan.
Jenderal Akmar Pasha tampak berpikir. "8000 orang? Bukannya itu terlalu banyak? Jika kau pergi dengan orang sebanyak itu, kastil akan menjadi hampir kosong. Aku tidak mau mengambil resiko. Kota Quraz berada dalam perlindungan kastil ini." Jenderal Akmar Pasha berkata.
Perwira berbadan besar itu terlihat kebingungan. Benar juga pendapat Jenderal Akmar Pasha. Dengan kosongnya kastil Ajjar, kota Quraz akan menjadi kota tanpa pertahanan.
Ruangan itu sekali lagi dipenuhi bisik-bisik para perwira.
Tanpa diduga-duga, Abyad mengangkat tangannya dan berkata, "Dengan segala hormat, Jenderal Akmar Pasha, biarkan aku yang mengurus pergerakan tentara kerajaan Havelar. Berikan aku 500 orang, itu sudah cukup bagiku."
Ruangan terdiam selama beberapa saat. Basril menepuk dahinya. Dasar bodoh, pikir Basril. Sabina hanya diam seperti biasanya.
"Apa kau sudah kehilangan akal sehat?" Perwira berbadan besar itu berseru keras. "Kau hanya akan bunuh diri, anak muda. Kau akan membuat Sultan malu."
Abyad tersenyum. Matanya masih terlihat malas. "Dengan segala hormat, aku sudah memikirkannya. Percayakan kepadaku, maka kemenangan akan didapatkan."
Jenderal Akmar Pasha menatap Abyad penuh ketertarikan. Keputusan yang diambilnya mengingatkannya pada seseorang.
"Siapa namamu?" Jenderal Akmar Pasha bertanya.
"Abyad, Jenderal." Abyad menjawab sambil memberi hormat.
"Baiklah, Abyad. Aku akan memberikanmu 500 tentara untuk misi ini. Aku tidak suka kegagalan. Jangan sampai membuat kegagalan." Jenderal Akmar Pasha berkata tajam. Matanya, walaupun sudah tua masih tetap tajam dan mempengaruhi.
"Dengan segala hormat, Jenderal, aku tidak akan mengecewakan kesultanan Ammaruz." Abyad menjawab mantap.
"Kita sudah menemukan solusinya, sekarang semuanya bubar. Falaq, aku ingin kau meningkatkan penjagaan di arah barat kota Quraz. Sebarkan orang-orangmu untuk berjaga-jaga. Abyad, besok pagi aku ingin kau sudah bergerak menuju lembah Bursa!" Jenderal Akmar Pasha menutup pertemuan.
"Baik, Jenderal!" Semua perwira menjawab serentak.
***
Hari itu, tiga negara akan menjadi saksi munculnya pahlawan baru di tanah Kasturia. Pahlawan yang sama sekali tidak diduga-duga. Angin pertempuran besar sudah menunggu.
Lembah Bursa, lembah yang dulunya adalah rekahan dari gempa kuno ribuan tahun yang lalu itu berada di sebelah utara kota Qusra. Lembah indah dan besar itu ibarat sebuah gerbang besar. Kenapa begitu? Karena lembah Bursa adalah perbatasan langsung dua negara. Kesultanan Ammaruz dan Kerajaan Havelar. Lembah Bursa menjadi titik penting bagi kedua kerajaan itu. Dengan dikuasainya lembah Bursa, akses menuju daerah-daerah penting baik di Kesultanan Ammaruz dan Kerajaan Havelar akan terbuka.
Lembah Bursa adalah daerah tidak berpenghuni. Tingkat kelembapannya terlalu tinggi, ditambah dengan suhu yang selalu turun mencapai batas ekstrim. Hanya para pemburu yang selalu berkeliaran di sekitar lembah. Hewan-hewan seperti rusa tanduk besar serta beruang adalah buruan mereka.
***
Pasukan Kesultanan Ammaruz yang bergerak dari kastil Ajjar sudah mulai memasuki lembah tepat tengah hari. Abyad, Basril, dan Sabina yang memimpin pasukan itu. Hanya 500 orang.
"Baiklah, kita berkemah di sini. Tempatnya cocok." Abyad memberi perintah dan turun dari kudanya.
"Apa kau yakin, Abyad? Tempat ini terlalu terbuka." Basril bertanya. Dia juga turun dari kudanya.
"Aku yakin dan, hei, aku tidak menyuruhmu turun dari kuda Basril." Abyad berkata.
"Eh, apa? Maksudmu apa?" Basril terlihat bingung. Banyak pertanyaan yang muncul di kepalanya.
"Kita akan membagi pasukan menjadi setengah." Abyad menjawab. "Aku dan Sabina akan tetap di sini, sedangkan kau bersama setengah pasukan yang lain akan berhenti di puncak sana." Abyad menunjuk puncak yang menjulang di atas lembah.
Basril mengusap wajahnya. "Kau tidak bilang apa-apa mengenai pembagian pasukan. Lagi pula, kenapa harus di puncak sana. Bukannya itu terlalu jauh?"
"Serangan kejutan." Sabina menjawab.
"Betul sekali!" Abyad berseru. "Aku sangat yakin pasukan Kerajaan Havelar sudah berkemah di utara sana. Kalau perhitunganku tidak keliru, jarak mereka sekarang kurang lebih 6 kilometer. Kesempatan bagus. Kau akan membawa pasukanmu melalui jalan kecil menuju puncak. Tidak banyak orang yang tahu jalan itu, hanya para pemburu handal. Mereka menyebutnya jalan emas. Dari sana tujuanmu akan terlihat jelas."
"Lalu apa yang akan aku lakukan setiba di sana?" Basril bertanya. Dia sudah naik lagi ke atas kuda.
"Puncak itu adalah menara alami. Dari sana kau bisa melihat pergerakan dua pasukan. Aku dan Sabina akan memancing mereka untuk mendekat. Di saat jarak mereka sudah dekat, kau akan melakukan serangan kejutan dari belakang. Jangan lupa untuk menempatkan pemanah di tempat tinggi. Serangan tiga arah." Abyad menjelaskan.
"Baiklah, aku akan segera bergerak." Basril menjawab.
"Tunggu! Bawa ini. Kau akan tahu kegunaannya." Abyad menyerahkan minyak tanah yang sangat banyak.
Basril berpikir sejenak, lalu mengangguk. "Aku percaya akan rencanamu. Pasukan ikuti aku!" Basril dan setengah pasukan sudah memacu kudanya menuju jalan emas. Jalan yang hanya diketahui oleh para pemburu handal.
Abyad menunjukkan wajah kepuasan. Dia sangat yakin rencananya akan berhasil dan para pasukan kerajaan Havelar akan termakan umpannya. Abyad berjalan menuju pasukannya.
"Kalian bisa beristirahat dulu. Nyalakan api unggun untuk menghangatkan diri kalian! Cuaca akan menjadi sangat dingin nanti." Abyad memberi komando.
Sabina datang menghampiri Abyad. Baju zirah yang dikenakannya sangat cocok. Sabina terlihat menawan. Abyad tanpa sadar tersenyum mematung.
"Apa perintahmu untukku, Abyad?" Sabina bertanya yang membuat Abyad tersadar dari lamunannya.
"E-eh, ah, iya, aku ingin kau membawa beberapa orang untuk mulai mengintai bagian depan. Kalau bisa, aku ingin kau secara terang-terangan membuat pasukan Havelar percaya dengan jumlah kita. Di saat kepercayaan diri mereka semakin tinggi, di situlah kita menghancurkannya." Abyad menjawab. Tangan kanannya mengusap-usap telinga. Ciri khasnya dalam berpikir.
"Baiklah, aku akan melakukannya. Aku juga akan membawa sepuluh orang. Sudah cukup bagiku." Sabina berbalik arah dan mulai mengumpulkan beberapa orang untuk bergerak.
Tidak butuh waktu lama, sepuluh orang pilihan Sabina sudah berkumpul. Sabina membuka zirahnya yang sontak membuat seluruh pasukan terkejut.
"A-apa yang kau lakukan, Sabina?" Abyad berlari menghampiri Sabina. Dengan tangannya, Abyad mencoba menutupi Sabina yang hampir membuat seluruh pasukan mimisan.
"Ini misi pengintaian, bukan? Aku tidak mau mengenakan zirah yang bisa menimbulkan suara. Cukup baju biasa saja." Sabina menjawab dingin.
"A-ah, kau benar, Sabina. Persiapanmu sangat matang." Abyad tertawa sambil memegang kepalanya. Aku kira dia bakal berbuat nekat, pikir Abyad.
"Kalau begitu, aku berangkat sekarang. Aku akan kembali jika sudah menyelesaikan misi." Sabina mulai berlari tanpa kuda, diikuti oleh pasukannya.
Abyad menyaksikan tubuh Sabina yang menghilang di dalam hutan lembah Bursa. Abyad berjalan menuju meja yang sudah disiapkan untuknya. Dibukanya gulungan kertas yang dari tadi disimpan di saku bajunya. Sesuai rencanaku, gumam Abyad.
Musim dingin di penghujung tahun 742 kalender Kasturia. Abyad untuk pertama kalinya terjun ke dalam pertempuran yang akan mengubah hidupnya. Benua Kasturia akan menjadi saksi si jenius yang membenci darah, tapi handal dalam membunuh. Pertempuran besar sudah menanti.
Basril yang pergi menuju puncak lembah Bursa telah sampai. Pasukannya sedang beristirahat sejenak. Jalan Emas adalah jalan yang sangat sulit untuk ditempuh. Sempit dan terjal.
Basril berjalan menuju ujung puncak. Dari sana, terlihat jelas posisi dua pasukan yang sedang berkemah. Mata Basril tertuju kepada bendera bintang yang berkibar, Kerajaan Havelar.
"Jumlah mereka lebih unggul dibandingkan kita." Basril berpikir. "Apa rencanamu untuk ini, Abyad?" tanya Basril di dalam hati.
"Tuan Basril, apa perintahmu?" Salah satu pasukan mendekat dan bertanya.
"Aku belum bisa memutuskan. Kita masih harus menunggu sinyal dari Abyad." Basril menjawab. Tangannya erat memegang pedang kilij yang berada di pinggangnya. Pedang bermata satu itu adalah senjata andalannya. Basril sangat mahir menggunakan pedang kilij.
"Baik, Tuan." Salah satu pasukan itu menjawab dan bergegas pergi.
Basril mengangguk. Matanya kembali tertuju kepada lembah yang terpampang di hadapannya. Angin mulai berembus kencang. Membawa hawa dingin yang menusuk.
"Sepertinya akan turun kabut tebal." Basril bergumam.
Tiba-tiba, Basril teringat sesuatu. Dia segera berlari ke arah pasukan yang sedang melepas penat di pepohonan. Pasukan yang sedang beristirahat itu langsung bergegas berdiri melihat Basril yang berlari menghampiri mereka.
"A-ada apa, Tuan?" tanya salah satu pasukan.
"Minyak! Di mana minyak yang kita bawa tadi?" Basril bertanya.
"Di dekat para kuda, Tuan Basril." Salah satu pasukan menjawab.
"Kumpulkan semuanya!" Basril memberi perintah. "Dan juga cari kayu-kayu yang banyak. Kita akan memasang barikade!"
"Baik, Tuan Basril!" Semua pasukan menjawab serentak dan mulai bergerak untuk menjalankan tugas.
"Aku paham rencanamu, Abyad." Basril bergumam sambil tersenyum.
***
Kemah utama Kesultanan Ammaruz.
Abyad dan pasukannya sedang sibuk memasang barikade. Barikade itu terbuat dari kayu-kayu yang disusun menyerupai pagar yang memiliki ujung yang runcing. Selain untuk berlindung, barikade juga berfungsi untuk menghalau pasukan berkuda.
"Susun di sebelah sana!" Abyad memberi komando. Dia dan pasukannya sudah menyusun barikade sepanjang 20 meter.
Dari arah hutan, Sabina dan pasukannya juga sudah datang. Sabina langsung menghampiri Abyad untuk memberi tahu keadaan.
"Aku sudah melakukan pengintaian." Sabina berdiri di belakang Abyad. "Pasukan mereka terdiri dari pasukan berkuda yang banyak. Selebihnya adalah pasukan pejalan kaki. Tidak banyak pemanah yang mereka miliki."
"Seperti dugaanku." Abyad tersenyum. "Pasukan Havelar selalu meremehkan lawan mereka. Siapa yang memimpin mereka?"
"Marco. Jenderal Marco." Sabina menjawab
"Hmm, Marco yang terkenal akan reputasinya dalam pertempuran pantai Siliya? Cukup menarik. Aku tidak menduga orang seperti dia yang akan memimpin pasukan ekspedisi Havelar. Tapi, tidak apa, semua telah berjalan sesuai rencanaku. Bagaimana pancinganmu?"
"Aku telah meninggalkan banyak pesan tersembunyi. Aku yakin sesaat lagi mereka akan menyadarinya dan segera bergerak." Sabina berkata.
"Bagus. Aku juga yakin Basril sudah memahami rencanaku. Sabina, kenakan zirahmu kembali, kita harus bersiap. Pertempuran bisa terjadi kapan saja."
"Baik, Abyad." Sabina berputar arah menuju kemah tempat dia menyimpan baju zirahnya.
Abyad tersenyum. Dia memandang langit yang mulai gelap. Kabut juga sudah mulai tampak. Abyad sangat percaya diri dengan rencananya. Kemenangan ini, baginya akan melambungkan namanya. Kesempatan emas yang selalu dinantinya.
"Ah, aku lupa memberi tahu kalian." Abyad berseru ke arah pasukannya. "Kita tidak akan bertempur menggunakan kuda. Kita hanya akan menunggu mereka datang."
Pasukan di bawah kepemimpinan Abyad saling bertatap-tatapan. Bingung. Mereka hanya bisa mengangguk dengan seribu pertanyaan di kepala.
Abyad bertepuk tangan. "Baiklah, lanjutkan pekerjaan kalian! Barikade ini harus selesai sebentar lagi."
"Baik, Tuan Abyad." Pasukan Kesultanan Ammaruz menjawab serentak.
Hari mulai beranjak menuju malam yang gelap. Karena berada di daerah lembah, kabut mulai menyeruak sedikit demi sedikit. Hawa dingin juga mulai menusuk. Jarak pandang yang bisa di lihat oleh mata telanjang hanya 30 meter, dan akan terus berkurang seiring bertambah tebalnya kabut yang muncul. Kedua pasukan yang akan segera bertempur berada dalam kondisi mental yang sama-sama rentan untuk hancur. Tergantung bagaimana jalannya pertempuran, mental pasukan seperti tali yang di tarik-ulur.
***
Kemah pasukan Havelar.
Marco, si pemimpin pasukan Havelar sedang duduk di atas kudanya. Dia tengah menunggu para pasukannya untuk bersiap-siap. Wajahnya rusak, mungkin akibat pertempuran yang selalu di jalaninya. Marco adalah jenderal veteran di Kerajaan Havelar. Jenderal yang berpengalaman, tapi terkenal nekat dan brutal. Dulu, di pertempuran pantai Siliya yang terkenal, pasukan Kerajaan Havelar yang dipimpin Marco hampir saja kalah oleh Kekaisaran Gastonia. Kondisi medan yang berpasir membuat pasukan berkuda Havelar tidak bisa bergerak bebas. Hasil pertempuran sudah bisa dilihat secara jelas. Namun, Marco mengambil inisiatif untuk berlari tanpa kudanya dan menerobos formasi bertahan musuh yang juga diikuti pasukannya yang berani mati.
Pasukan Kekaisaran Gastonia tidak menduga Marco akan nekat seperti itu. Formasi pertahanan Kekaisaran Gastonia hancur dan Marco berhasil memenangkan pertempuran besar di pantai Siliya itu.
Sekarang, Marco diberi perintah untuk melakukan ekspedisi pembuka jalan menuju kota Quraz, kota penting di Kesultanan Ammaruz. Baginya misi ini adalah misi yang menyenangkan. Marco bisa dengan mudahnya menjarah harta-harta penduduk Kesultanan Ammaruz yang berharga. Kekayaan memberinya gairah untuk bertempur.
"Kita bergerak sekarang! Kesultanan Ammaruz sangat meremehkan kita. 500 pasukan? Bah, mereka akan menyesal nantinya." Marco berseru dari kudanya dan disambut gelak tawa oleh para pasukan Havelar.
Pasukan Havelar mulai bergerak. 2000 tentaranya berjalan menuju arah pasukan Kesultanan Ammaruz. Marco menyeringai lebar. Aku akan menikmati pertempuran ini, gumam Marco.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!