Kepala gu xiulan sakit.
Bukan seperti pusing biasa… tapi seperti ada seseorang yang menghantam tengkuknya dengan batu besar.
Nyut-nyutan. Berdenyut tak beraturan. Menyiksa.
Gu xiulan tidak bisa membuka mata, tapi … aku sedang berbaring.
"bukankah aku sudah mati ?"Tuhan apakah kau tidak punya mata kau hanya melihat bagaimana aku menderita tanpa memberikan aku kesempatan untuk bertahan? dan sekarang aku mati hahaha...
tapi tunggu dulu.
Dia sekarang sedang berbaring di atas sesuatu yang keras, kasar, dan lembap
. Tikar?
Tubuh gu xiulan terasa ringan. Bukan ringan yang menyenangkan tapi seperti… kosong dan Lemah.
Lambungku melilit, tenggorokanku kering. Aku ingin bicara, tapi bibirku seakan disegel udara.
‘Apa… ini neraka?’
Pikiran itu muncul begitu saja.
Tidak ada wangi dupa. Tidak ada nyanyian surgawi. Tapi juga… tidak ada api yang membakar atau suara jeritan.
Hanya bau tanah yang menusuk hidung, dan hawa lembap yang menempel di kulit seperti kabut lengket.
Aku mengerang pelan. Suara itu keluar, samar dan serak.
"apakah sudah sejelek ini?"
Perlahan, mata gu xiulan mulai terbuka. Cahaya masuk dengan kekuatan yang menyakitkan—matahari dari celah dinding anyaman bambu yang buruk. Karena sinar matahari, dia mengangkat tangan, mencoba menutupi cahaya itu.
Tapi tunggu dulu.
Tanganku kok tipis, kecil. Bahkan tulang-tulangnya terlihat jelas dari balik kulit. Ini… tanganku?
Aku menggertakkan gigi , dia tiba-tiba memiliki rasa Ketakutan yang mulai merayap. Napas nya segera memburu.
Di mana aku?
Aku menoleh pelan.
Langit-langit reyot. Tiang-tiang kayu tua yang mulai rapuh. Sebuah panci besi tergantung di dinding, dan tungku tanah liat di pojokan terlihat tak terpakai.
Rumah ini… rumah ini…
Tiba-tiba, suara-suara asing menerobos masuk dari luar.
"Xiaozhi, kenapa kamu lambat , apa kau tidak makan seminggu hah!"
"Kau mau ayam itu kabur? Cepat ikat kakinya!"
" nenek... ini bukan tugasku ini tugas Ulan …"
Gu xiulan membeku.
Suara-suara itu… bukan dari tempat terakhirku menghembuskan napas.
Gu xiulan ingat,dia mati dalam cuaca dingin alias mati beku.Rasa dingin sampai ke tulang itu tidak akan pernah dia lupakan meskipun dia masuk ke dalam neraka sekalipun.Anak anakku...
Dia mencari anak-anaknya, tapi sampai dia matipun dia tidak dapat menemukan jejak anak-anak menghilang.
Di luar ada suara orang dewasa yang berdebat dengan Dialek yang kental.
Aku mengenal nada dan aksennya nya seperti akses pedesaan. Tapi bukan desa sekarang. Ini seperti… seperti desa dari masa lalu.
Tangan gu xiulan menggenggam ujung tikar dengan erat. Jantungku berdetak terlalu cepat untuk tubuh sekecil ini. tiba-tiba saja sesuatu yang tidak mungkin mengalir dalam benaknya.
“Tidak… ini tidak mungkin…”pikirnya .
"Ulan ..?"
Gu xiulan terbatuk. Suara itu nyaring, mengoyak kesunyian ruangan. Seketika, dari balik dinding, terdengar suara langkah kaki cepat menuju pintu.
“ Ulan Kau sudah bangun?” ada suara perempuan yang terdengar para sekaligus dingin.Tak ada kehangatan di dalamnya.
Langkah itu terhenti di depan pintu, tapi pintu tak kunjung dibuka.
“Jangan berpura-pura sakit lagi, ulan. Kau pikir bisa tidur terus dan tidak kerja?”
Darah gu xiulan membeku.
Itu… nama lamaku. Nama sebelum segalanya berubah.
Nama yang tidak pernah dipanggil lagi sejak…
Aku menggigit bibir bawahku. Mata gu xiulan kini terbuka sepenuhnya, menatap atap reyot di atas kepalanya.
‘Apa yang sedang terjadi?"
Tidak ada jawaban. Hanya detakan jantung sendiri yang menggema di telinga nya.
Dan untuk pertama kalinya, setelah sekian lama, aku merasa takut akan hidupku.
" aku...aku tidak seharusnya di sini"
Tubuhnya tersentak.
Dengan gerakan berat, Ulan memaksa bangkit dari tikar lusuh yang sudah hampir lapuk. Rasa sakit di belakang kepalanya masih menyebar, membuat matanya berkunang setiap kali mencoba duduk tegak. Tikar kasar itu menempel di kulitnya, dan udara di dalam ruangan terasa lembap dan pengap, seperti sudah lama tak ada yang membuka jendela.
Ia menarik napas pendek,terlalu pendek. Dadanya seperti tertekan. Hembusan napas itu justru membawa aroma tanah basah, anyir kayu tua, dan debu. Semuanya begitu nyata. Terlalu nyata untuk disebut mimpi.
Ulan mengerjapkan mata, mencoba membiasakan diri dengan cahaya samar yang merembes masuk dari celah-celah dinding bambu yang reyot. Saat ia menoleh ke kanan, sinar pagi memantul dari celah pintu yang sedikit terbuka. Debu-debu beterbangan di udara, berkilau dalam cahaya itu seolah waktu sendiri berhenti bergerak.
Dari luar, suara-suara samar mulai menyusup,
"Cepat habiskan air cucianmu, jangan buang waktu!"
"Ikat ayam itu sebelum lepas lagi, kau dengar?"
"Ibu Liu katanya sakit lagi, padahal panen belum selesai..."
Ulan menegang. Suara-suara itu terlalu asing, tapi juga… entah mengapa, terdengar sangat dekat. Akrab.
Seolah dirinya pernah tinggal di tempat ini.
Seolah ia sedang mendengarkan masa lalu yang berputar ulang.
Kaki kecilnya yang kurus bergetar saat mencoba berdiri. Ia meraih tiang bambu di sampingnya untuk menjaga keseimbangan, lalu menghela napas pelan. Ruangan di sekelilingnya kecil, nyaris kosong. Sebuah tungku tanah liat berdiri di pojok ruangan, tidak digunakan. Beberapa pakaian tua dan lusuh terlipat di atas bangku kayu, dan di sisi lain, ada sebuah ember kosong.
Tempat ini…
Tempat ini sungguh terasa seperti rumah lamanya. Tapi itu tidak mungkin.
" Gu Xiulan?!”
Tiba-tiba suara parau terdengar dari luar pintu.
Ulan terkejut. Langkahnya terhenti.
Suara itu…
"Ibu..??"
Pemilik suara itu tidak masuk tapi masih mengomel di depan pintu.“Kalau masih tidur juga, jangan harap dapat sisa makan siang nanti!”*
Nada bicaranya kasar dan dingin. Tak ada belas kasih. Tak ada perhatian. Hanya perintah, diselingi nada marah yang penuh kejengkelan.
Ulan menggigit bibir. Jantungnya berdegup kencang. Nama Ulan belum pernah dipanggil sejak…
Sejak dia menikah?
Kepalanya berdenyut. Ulan terdiam.
Ia tidak menjawab. Masih belum bisa.
Suaranya sendiri bahkan terasa asing jika harus keluar dari mulut kecil yang belum ia kenali.
Ia menunduk, menatap kakinya sendiri. Kecil. Kurus. Seperti tubuh anak usia belasan tahun.
Apa yang sebenarnya sedang terjadi?
Tangan kecilnya gemetar. Napasnya kembali pendek. Di luar, dunia terus bergerak, seolah tidak peduli bahwa di dalam gubuk kecil ini, seorang gadis muda sedang diliputi kebingungan dan ketakutan akan keberadaannya sendiri.
Apakah dia sedang bermimpi?
Atau… apakah dirinya benar-benar telah kembali?
Ulan menggenggam ujung bajunya yang kasar dan longgar. Jari-jarinya terasa dingin.
Pintu masih belum dibuka. Tapi ia tahu seseorang masih berdiri di baliknya, menunggu—atau mungkin hanya mengomel.
Namun ada satu hal yang Ulan tahu dengan pasti.
Tempat ini adalah bagian dari masa lalu.
Dan dia, entah bagaimana caranya, telah ditarik kembali ke dalamnya.
Tangan kecil Ulan menggenggam pegangan pintu yang sudah aus. Suara-suara dari luar masih terdengar, tapi kini terasa lebih jelas, lebih nyata,dan lebih menyakitkan.
Perlahan, ia mendorong pintu kayu reyot itu. Engselnya berderit, seperti mengaduh karena terlalu lama tak disentuh pelumas. Sinar pagi menyambut wajahnya, membuatnya menyipit.
Di depan pintu, berdiri seorang perempuan paruh baya. Wajahnya keras, kulitnya gelap terbakar matahari. Rambutnya disanggul seadanya, dengan beberapa helai uban mencuat tak terurus. Ia mengenakan baju abu-abu pudar dengan lengan panjang yang sudah bolong di siku. Beberapa tambalan kasar menghiasi kainnya, dijahit dengan benang warna berbeda,tanda bahwa baju itu sudah sering diperbaiki, tapi tak pernah benar-benar layak pakai.
Perempuan itu membawa sebuah ember alumunium tua di satu tangan, dan tangan lainnya bertolak pinggang.
“Akhirnya bangun juga, dasar pemalas! Sudah cukup tidurmu, ya? Lihat itu cucian menumpuk, babi belum dikasih makan, dan sumur sudah antre air dari tadi pagi! Apa kau pikir bisa tinggal di rumah ini cuma untuk menghangatkan tikar?”
Wajahnya memerah karena emosi. Nafasnya memburu.
“Kalau tidak cepat-cepat bergerak, jangan harap makan siang nanti dapat jatahnya! Dasar anak perempuan tak tahu diri! Tubuhmu sehat begitu masih saja lemas-lemasan!”
Ulan tidak menjawab. Ia hanya berdiri diam di ambang pintu, menatap perempuan itu dalam hening.
Tapi di dalam hatinya, omelan itu… justru menjawab semuanya.
Ini ibunya.
Wanita yang membawanya ke dunia—namun tak pernah menyebutnya dengan kelembutan. Omelan itu, nada suaranya, bahkan cara matanya memicing ketika marah… semuanya persis seperti yang Ulan ingat.
Dan dari semua itu, Ulan hanya butuh satu kalimat saja untuk mengerti.
"Jangan banyak alasan! Kau pikir karena sudah besar dan sebentar lagi bisa dinikahkan kau boleh istirahat seenaknya?! Masih umur lima belas juga sudah mau malas!”
Lima belas.
Kata itu berdentang dalam kepala Ulan. Seperti palu yang mengetuk pelan peti kenangan. Ia akhirnya yakin. Tubuh kecil ini, desa ini, suara ibunya, bahkan rasa perih di balik kepala yang belum pulih… semuanya nyata.
Ia telah kembali.
Kembali ke titik awal.
Sebelum segalanya hancur.
Sebelum dia dijual dengan dalih dinikahkan.
Sebelum pengkhianatan demi pengkhianatan.
Dan ibu di hadapannya ini,dengan pakaian tambal-sulam dan mata yang tak pernah hangat,adalah tanda paling jelas bahwa masa lalu benar-benar mengulangi dirinya.
Ulan mengepalkan tangan kecilnya di sisi tubuh. Ia tidak membantah. Tidak mengeluh. Hanya menatap perempuan itu dalam diam. Dalam diam itulah, pikirannya mulai menyusun kembali semua bagian yang telah ia ingat, dan semua kesalahan yang tidak akan ia ulangi.
Untuk saat ini, ia hanya perlu mendengar.
Mendengar,dan mengingat segalanya.
"Lima belas tahun, di usia itu sebagai seorang ibu kau menghancurkan hidupku. bukan saja ibu tapi keluarga ini semuanya melakukannya. tapi kenapa aku kembali di sini?"
Selagi dia tercengang suara penuh kemarahan itu masih terdengar jelas “Dengar tidak kau itu, Gu Xiulan? Jangan berdiri seperti patung rusak! Kau kira pagi ini matahari terbit hanya untukmu?”
Suara ibunya semakin tajam, seolah menampar telinga Ulan berkali-kali. Ia menunjuk ember kosong di sudut pekarangan sambil menggerutu panjang.
“Air belum kau angkut, cucian belum dicuci, rumput untuk babi pun belum disiapkan! Kau pikir ini rumah nyonya besar?! Dasar anak perempuan tak berguna!”
Ulan tetap diam. Wajahnya masih pucat, tubuhnya goyah. Tapi ibunya tidak peduli. Tak ada niat bertanya kenapa putrinya tampak lesu, tak ada perhatian pada mata Ulan yang berkaca-kaca.
“Kalau badanmu terlalu berat untuk kerja, bilang saja. Biar Ibu cari tambang dan seret kau ke belakang rumah. Malas, pemalas, bikin malu!”
Teriakan itu menembus dinding bambu, menggema sampai ke jalan tanah yang membelah dusun. Beberapa suara warga desa yang lewat mulai terdengar.
“Tch… Ulan itu lagi-lagi dimaki.”
“Memang tak pernah berhenti. Kasihan juga Ulan tapi anak perempuan mana yang tidak berkerja sekarang…”
“Tapi siapa suruh lahir jadi anak perempuan. Kalau laki-laki pasti dia disayang.”
Desir angin membawa bisik-bisik lirih itu ke telinga Ulan, bagai sembilu yang menggores tipis-tipis, tak berdarah, tapi perih.
Tiba-tiba terdengar suara berat dari dalam rumah, diseret oleh nada tinggi dan ketus.
“Woy! Suara siapa yang seperti bebek disembelih itu dari tadi pagi?! Kau kira orang tua ini tidak butuh tidur?! Kalau memang punya tangan, pakai untuk kerja, bukan teriak!”
Itu suara neneknya.
Ulan tersentak kecil. Ia mengenali suara itu. Keras, menusuk, dan tak pernah ramah.
“ menantu perempuan Kau itu menantu atau lalat pengganggu, hah?! Mulutmu saja yang bergerak! Kenapa tak gerakkan kakimu lebih pagi kalau memang pekerjaan menumpuk?! Dasar wanita pemalas, makan saja bisa, kerja nol! ibu mertua mana yang sial punya menantu seperti kau?!”
nenek gu sebenarnya memarahi menantu perempuannya hanya untuk menutup mulut tetangga yang mendengar kebisingan itu dari luar rumah. Meskipun mereka adalah keluarga miskin tapi mereka masih harus menjaga reputasi.
Ulan tertawa sinis pada dirinya sendiri.
Jika dia ingat sebenarnya, nenek sudah pun bernegosiasi dengan pria itu. pada akhirnya harga sudah ditetapkan dan dia harus dijual dengan alasan menikah.
Nenek dan ibu sebenarnya adalah hewan buas dari jenis yang sama.
Ibunya membalikkan badan seketika, wajahnya merah padam. Tapi ia tidak membalas. Matanya menajam, dan Ulan tahu—amarah yang tertahan itu akan mencari pelampiasan.
Dan memang benar.
Saat perempuan itu kembali menghadap ke arah Ulan, wajahnya berubah seperti bayangan setan.
“Bagus, sekarang kau dengar sendiri! Lihat apa yang kau buat! Karena kau tidak becus, Ibu malah kena semprot! Dasar anak pembawa sial!”
Tangannya terangkat dan sebelum Ulan sempat menghindar, ia meraih lengan gadis itu dan mencubit keras-keras bagian atasnya. Rasa perih menyambar secepat kilat, membuat Ulan terlonjak kecil.
“Aduh…”
Tangis tak keluar, tapi nyeri itu menyusup langsung ke otak. Hangat, pedih, nyata.
Dan justru dalam rasa sakit itu,Ulan benar-benar tersadar.
Ini bukan mimpi.
Rasa perih itu terlalu tajam untuk ilusi.
Suaranya terlalu bising.
Nafas ibu yang bau tembakau dan daun kering.
Bibir pecah-pecahnya yang bergerak cepat saat mengomel.
Nenek yang tetap saja mencela dari dalam, menyumpahi nasib buruk yang datang dari garis menantunya.
Semua terlalu nyata.
Pagi di desa itu perlahan bergerak seperti biasa,anak-anak kecil berlarian dengan celana pendek robek, ayam-ayam mencari sisa cacing di tanah, dan keluarga lain mulai menjemur pakaian sambil sesekali melirik ke arah rumah keluarga Gu.
"Xiulan dimaki lagi. Keluarga Gu memang tak pernah damai…”
“Tapi si ibu juga, entah kenapa jahat sekali sama anaknya sendiri…”
"apa yang kau tahu, begitulah cara perempuan dibesarkan mereka harus diajari bagaimana cara bertindak sejak awal. nanti di rumah mertua dia tidak akan canggung lagi"
Ulan menarik napas dalam-dalam. Dadanya sesak.
Ibunya masih mengomel di depan matanya, kini tentang dedak yang belum ditumbuk dan panci yang belum dibersihkan. Tapi suara itu tak lagi bergema seperti tadi.
Karena Ulan tidak lagi hanya mendengar.
Ia menerima ini sebagai kenyataan.
Dia benar-benar kembali.
Dan tubuhnya yang kecil ini, luka di lengannya, serta suara kasar itu… adalah harga dari sebuah awal baru.
Namun kali ini, tidak akan ada yang sama seperti dulu.
Dulu dia adalah seorang gadis bodoh yang harus menerima segalanya dengan pemikiran jika semua itu adalah wajar. tapi sekarang dia adalah jiwa dari 10 tahun setelahnya.
Hah, menikah?
Mimpi.
Tangan ibunya mencengkeram erat lengan Ulan yang kurus. Tanpa banyak kata lagi, ia menyeret gadis itu menuruni anak tangga tanah yang mengarah ke sisi dapur. Langkahnya cepat dan kasar, seolah menarik karung beras yang dianggap mengganggu, bukan darah daging sendiri.
“Cepat kau ke belakang! Jangan sampai matahari naik duluan sebelum pekerjaan selesai!”
Ulan tidak melawan. Ia hanya mengikuti langkah kaki ibunya dengan linglung, walau langkahnya sedikit limbung. Pandangannya menelusuri sekeliling rumah reyot itu yang perlahan-lahan terasa begitu familiar dan menyakitkan.
Di sudut pintu dapur, sebuah baskom besar dari besi berkarat tampak penuh dengan pakaian kotor. Kain-kain dekil bertumpuk, beberapa bahkan mulai menimbulkan bau apek yang memualkan. Itu pakaian seluruh anggota keluarga dari kakek, nenek, ayah, ibu, adik laki-lakinya, sampai dirinya sendiri.
Warga desa, hanya memiliki beberapa potong pakaian.Merka jarang mengganti pakaian jika tidak diperlukan.Jika pun mungkin itu dalam durasi satu Minggu atau dua Minggu sekali setelah daki nya menumpuk menjadi hitam dan sebau toilet.
Tapi semua itu, hanya Ulan yang mencuci.
Dulu pun begitu.
“Setelah makan nanti, cepat ke sungai. Jangan pikir kau bisa duduk santai! Pakaian itu harus bersih sebelum siang. Kalau tidak bersih, awas saja!”
Ulan hanya menunduk. Tapi pikirannya sudah jauh melayang.
Ulan ingat. Ia selalu menjadi orang yang paling terakhir makan, dan yang pertama menyelesaikan pekerjaan.Bangun tidur lebih awal dari ayam dan dia tidur lebih lambat dari anjing, yang lebih menyedihkan dia makan lebih buruk daripada.
Setiap pagi setelah mengisi perut dengan bubur encer dan asinan sayur yang hanya cukup mengisi celah-celah kosong di lambung, ia harus memikul pakaian kotor itu di pundaknya, menuju ke sungai di ujung desa.
Sungai itu sekarang adalah satu-satunya tempat bagi penduduk desa untuk mencuci pakaian dan mandi.
Di tahun-tahun itu, tidak ada satu pun rumah di Desa yang memiliki toilet pribadi, apalagi kamar mandi. Semua orang menggunakan toilet umum desa, yang dibangun dari papan kayu dan bambu. Bentuknya hanya bilik tanpa pintu yang digali ke dalam tanah, berjajar di dekat ladang,jauh dari rumah penduduk agar baunya tidak mengganggu. Tapi tetap saja, baunya selalu tercium, terutama saat angin barat bertiup.
Toilet itu digunakan bersama-sama oleh seluruh desa, dari anak-anak hingga orang tua. Tak ada privasi. Tak ada kenyamanan. Dan tentu saja,tak ada kebersihan.
Nanti semua kotoran ini digali kembali jika sudah penuh. Dan itu digunakan sebagai pupuk kandang. Ngomong-ngomong saat ini semua pekerjaan adalah kolektif. Semuanya untuk rakyat dan segalanya harus kembali kepada rakyat.
Pekerjaan yang anda lakukan akan dihitung dengan poin. poin ini akan digantikan dengan uang pada akhir periode.
Untuk mandi? Pergilah ke sungai.
Bahkan di musim dingin sekalipun, sungai tetap dipakai bersama. Airnya dingin menusuk tulang. Tapi tak ada pilihan. Jika ingin bersih, maka tahanlah gigilmu.
Itulah kenapa para penduduk desa lebih sering terlihat jorok dan dekil dibanding warga kota yang punya sumur pribadi atau bahkan pemandian umum. Di sini, mandi bukan kebutuhan harian—tapi hanya dilakukan jika benar-benar perlu, atau saat tubuh sudah sangat bau hingga tak tertahankan.
Ulan ingat dulu ia bahkan mencuci sambil berdiri di air setinggi lutut, dengan sabun yang bukan sabun tapi abu dari tungku dapur yang dicampur air. Tangan kecilnya memukul-mukul kain dengan batu sungai, sementara kulitnya pecah-pecah karena detergen murahan dan gigitan dingin.
Terkadang, para wanita desa berkumpul di tepi sungai sambil bergosip, menyindir satu sama lain. Tapi Ulan? Ia hanya bekerja diam-diam, menunduk dalam hinaan dan cibiran. Karena siapa yang akan peduli pada anak perempuan dari keluarga yang dikenal miskin, dengan ibu yang suka memaki dan nenek yang suka mengomel?
“Kau dengar tidak, hah?! Jangan melamun! setelah memasak Kau harus mencuci Kalau cucian itu tidak selesai, nanti kau tidak usah makan malam!” bentak ibunya lagi, kali ini diiringi lemparan kain basah ke pelataran.
Ulan tersentak dari lamunannya.
Tangannya terangkat pelan, menyentuh bekas cubitan yang masih terasa di lengannya.
Dan tidak peduli seberapa berat ingatan itu menghantam, Ulan tidak ingin menanggungnya lagi seperti dulu.
Ulan segera mengangkat baskom kecil berisi beras jagung kering dan beberapa lembar daun kubis yang mulai layu. Tangannya masih gemetar, tetapi ia tetap melangkah ke dapur kecil di sisi rumah, yang hanya dibatasi dinding bambu dan atap yang bocor di beberapa titik. Dapurnya tak punya jendela, hanya celah-celah sempit di bilik kayu yang membiarkan cahaya pagi masuk samar-samar.
Di sudut dapur, tungku tanah liat setinggi lutut berdiri bersama tumpukan kayu bakar yang masih basah. Ia menyusun potongan kayu kecil, meniup perlahan dengan sedotan bambu agar bara api bisa menyala. Asap putih tebal segera mengepul, menusuk mata dan hidungnya. Ulan terbatuk, tapi ia tidak berhenti.
Sudah biasa.
Sudah terlalu sering.
Ia menuangkan air ke dalam panci besar berwarna hitam keabu-abuan, lalu menambahkan segenggam beras jagung. Tidak ada daging. Tidak ada minyak. Hanya sedikit garam yang dia tuang ke dalam panci, cukup untuk menghindari rasa hambar yang terlalu menyiksa.
Ini adalah bubur jagung khas orang miskin lebih banyak airnya daripada jagungnya.
Ulan ingat betul, di masa lalunya, setiap pagi ia akan memasak bubur seperti ini. Kadang bubur bahkan terlalu encer untuk disebut makanan. Tapi itu yang ada. Dan itu harus cukup.
“Kau akhirnya bangun juga, ya? Kukira tadi kau benar-benar sudah mati.”
Suara tajam datang dari belakangnya. Gu Yueqin, sepupu perempuan dari jalur paman kedua, berdiri sambil menyisir rambutnya dengan jari. Usianya sebaya, tapi tubuhnya sedikit lebih sehat.
Ayahnya adalah anak laki-laki kedua keluarga, tapi dia sangat licik dan pandai mengambil hati nenek dan kakek. tidak seperti ayahnya yang selalu ingin berbakti kepada orang tuanya sampai melakukan segala cara untuk menyenangkan hati dua lansia itu.
Akibatnya segala jatah, perhatian, dan makanan sedikit lebih condong kepada keluarga Paman kedua.
Ulan tidak menjawab. Ia hanya tetap mengaduk perlahan, memastikan bubur tidak menggumpal di dasar panci.
“Sakit, katanya?” Yueqing tertawa sinis. “Sakit apa? Sakit malas? Dasar perempuan malas. Kalau aku yang jadi Ibumu, sudah kucambuk kau sejak subuh.”
Kalimat itu diucapkan dengan nada bangga, seolah menyanjung dirinya adalah bentuk bakti kepada keluarga. Ulan meliriknya sekilas.
Ulan ingat,. Ia seharusnya memang sedang sakit.Sekarang saja kepalanya masih terasa berat, tubuhnya lemah. Di kehidupan sebelumnya, dia tahu saat ini tubuhnya sedang menderita demam akibat kerja berlebihan dan kekurangan gizi. Tapi siapa yang peduli? Tidak ada yang menyebutnya ‘sakit’ jika yang sakit adalah dia.
Apalagi dia terlahir sebagai seorang perempuan dengan kedua orang tua yang tidak peduli sama sekali.
Di desa ini, anak lelaki adalah warisan sedangkan anak perempuan adalah beban. Itulah mengapa setiap kali makanan dibagi, bagian lelaki selalu lebih banyak. Ayah, adik-adik lelaki, sepupu laki-laki,mereka duduk di depan mangkuk lebih dulu. Sisa dari mereka, barulah diberikan pada anak perempuan dan para istri.
Seringkali, Ulan hanya mendapat setengah mangkuk bubur encer dan satu sendok acar lobak asin.
Sepupu ini sebenarnya memiliki usia yang sama dengan Ulan. tapi karena nasibnya yang bagus dia terlihat lebih cantik dan lebih terurus dibandingkan dengan Ulan sendiri.
Singkatnya semua orang menganggap dia terberkati. Dan berharap jika suatu hari dia bisa menikah dengan orang kaya dan mengajak mereka pergi ke kota.
Dalam artian menerima berkah.
Tapi Ulan, bisa menikah saja adalah sebuah berkat.
“Jangan sampai kau gosongkan buburnya. Kalau sampai gosong, aku akan lapor ke Nenek. Biar dia cabut rambutmu lagi seperti waktu itu!” ujar Yueqing sambil tertawa kecil, lalu pergi meninggalkannya.
Ulan menunduk. Wajahnya tidak berubah, tapi hatinya bergemuruh.
"ini bukan waktunya tunggu saja waktu yang tepat sepupu...
Ulan ingat, pria itu membayar rp100 dengan tambahan sepotong kain .uang sekecil itu diambil oleh keluarganya dan menghabiskannya dengan membeli beberapa kg jagung. sedangkan sepotong kain di pakai oleh sepupunya ini.
Ulan tidak tahu hal itu sampai dia bertemu suatu hari dan sepupunya itu memamerkan pakaian bagusnya seraya berterima kasih karena dia yang menikah dengan imbalan sepotong kain.
Ulan memiliki sedikit rencana di benaknya, saat ini dia menyendokkan bubur jagung ke dalam baskom besar dan meletakkannya di atas meja kayu reyot. Uap panas naik perlahan, menembus udara pagi yang masih lembap.
"Dulu aku hanya diam. Tapi sekarang..."
Tangannya mengepal pelan.
“...aku sudah tahu apa yang akan kulakukan.”
Dan meskipun hanya bubur air yang ia sajikan hari ini, satu hal sudah pasti,pagi-pagi seperti ini, ejekan seperti tadi, akan selalu dia dengar.
Tapi Gu Xiulan yang sekarang, bukan lagi gadis yang hanya tahu menangis dalam diam.
Ulan menyendokkan sendok terakhir bubur jagung ke dalam baskom besar yang penyok di ujungnya. Bubur itu terlalu encer, lebih banyak air daripada jagungnya. Tapi memang begitulah masakan mereka setiap pagi untuk mengisi perut dengan air panas dan sedikit rasa asin.
Uap hangat perlahan naik, menyelimuti udara dapur yang sempit, namun justru saat ia hendak meletakkan sendok kayu ke dalam baskom lainnya,sesuatu yang asing muncul.
Cahaya tipis mengambang di udara, persis di depan wajahnya. Bukan api, bukan asap, tapi seperti lembaran kaca bening yang mengambang tanpa tali, tak bersuara, memancarkan cahaya kebiruan redup. Ulan tersentak mundur, tubuhnya menegang.
Sebuah layar transparan. terlihat tidak nyata tapi ada.
Teks-teks muncul di atasnya dalam karakter huruf yang dikenal oleh Ulan.Ulan tidak sekolah tapi entah bagaimana dia bisa membaca Baris demi baris yang menampilkan nama-nama barang. Seperti katalog pasar. Tapi bukan di kertas. Bukan poster.
Ini menggantung di udara seperti sihir dalam dongeng rakyat yang sering diceritakan nenek-nenek di sore hari.
> 「Toko Serba Ada – Versi Awal」
> Barang tersedia:
>
> * Sabun batang (4 sen)
> * Bubuk sabun cuci (7 sen)
> * Permen malt (2 sen)
> * Celana dalam kapas (5sen)
> * Gula merah batangan (3 sen)
> Dan lainnya…
Ulan menatap layar itu tanpa bergerak. Tangan kanannya masih memegang gagang sendok, namun jari-jarinya sudah tak lagi menggenggam kuat.
“Apa ini…?” bisiknya pelan.
Ia ingin berpikir ini mimpi. Tapi punggungnya masih terasa sakit akibat cubitan ibunya tadi pagi. Paha kirinya masih pegal karena harus membungkuk terlalu lama menyapu abu dapur. Semua ini terlalu nyata.
Di tahun 1960-an, di desa belum punya listrik , tapi dari mana datangnya gambar ini?
Pada hari ulan meninggal itu masih di tahun 77 . Sehari sebelum hari kematiannya dia mendengar kabar jika universitas dibuka kembali setelah 10 tahun ditutup. Dia tidak pernah mempelajari apapun karena dia sibuk untuk menjaga keluarga suaminya dan terakhir dia sibuk mencari kemana anak-anaknya dibawa pergi.
Sebagai informasi pada tahun 77, teknologi di Cina masih belum terlalu berkembang. Jadi tidak ada yang namanya layar sentuh jika pun ada layar itu sebenarnya adalah sebuah televisi versi awal.Ulan pernah melihat itu dan dia sangat yakin televisi yang dia lihat jauh berbeda dari apa yang dia lihat di layar saat ini.
Di seberang layar, ia membaca lagi dengan cermat. Ada sabun. Gula. Bubuk pencuci. Bahkan pakaian dalam. Harga-harga itu… bisa ia pahami. Tapi…
"Kok tidak ada kupon."bahkan seketika dia mati kupon masih diberlakukan. membeli sesuatu tanpa kupon sebenarnya adalah hal yang ajaib menurutnya.
Ia mengerutkan kening.
Sesuatu tidak benar.
Setelah negara resmi dibangun,uang saja tidak bisa membeli apapun. segala sesuatu yang ingin anda beli ,butuh kupon resmi. atau yang akrab dipanggil dengan stempel . bahkan untuk membeli sabun sebatang, Orang-orang harus menunggu jatah kuartalan. kupon beras, kupon kain, kupon sabun, bahkan ada kupon daging yang hanya didapatkan saat tahun baru.
Di desa seperti ini, hanya kepala brigade dan orang-orang kota yang bekerja di pabrik yang bisa memiliki lebih banyak kupon. Di keluarga Ulan, kupon mereka terbatas. mereka adalah keluarga Miskin. Yang selalu kekurangan.
Tapi jangan khawatir hampir semua keluarga di desa mengalami hal itu.Jadi keluarga gu bukan keluarga termiskin di desa, ok.
Tapi di layar ini… semuanya ada harga hanya menyebutkan harga doang
Tanpa kupon. Tanpa stempel. Tanpa tanda apapun.
“Ini tidak masuk akal…” gumam Ulan, matanya menyapu daftar itu sekali lagi.
Sebagai orang desa yang sejak kecil dilatih untuk mengantre demi jatah sabun adan sebatang jarum,hal seperti ini adalah kemewahan yang tidak pernah ia bayangkan.
Bahkan dalam mimpi sekalipun.
Layar itu tetap menggantung di tempatnya,tak mendekat, tak menjauh juga .
Ulan ragu. Ia mengulurkan tangan pelan, ingin menyentuh permukaannya. Namun segera menariknya kembali. Takut. Namun rasa takut itu kini berganti dengan rasa penasaran yang menggelitik dadanya.
Bagaimana jika hal ini adalah hadiah dari dewa berikut dengan kembalinya dia di tahun ini. Mungkin ini adalah sebuah senjata untuk membalikkan keadaan.
Jika ini benar jika benar layar ini nyata dan jika ia bisa membeli sesuatu dari sana hanya dengan uang, maka…
…apa sebenarnya yang sedang terjadi?
Ulan berdiri terpaku di antara uap dapur dan bau kayu bakar.
Sesuatu telah berubah.
Dan semuanya… dimulai dari layar ini.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!