NovelToon NovelToon

Love At Twilight

Chapter 1

"Tega sekali kamu Mas!" Sabrina meremat kuat kertas USG yang kini dia temukan dalam laci meja kerja suaminya.

Pagi ini, Sabrina mendapat sebuah hantaman kenyataan, bahwa suaminya-Rangga, dia tega bermain api selama 20 tahun dibelakang Sabrina.

Karena sikap Rangga yang begitu lembut, serta hangat ... Sabrina sama sekali tidak pernah menyangka, jika suami yang begitu dia percaya tega menghianatinya.

Sabrina, wanita berusia 42 tahun, kini mematung kaku dibalik meja kerja Rangga, kala dia menemukan sebuah kenyataan yang membuat hatinya hancur yak bersisa. Kertas USG itu ditemukan oleh Sabrina dalam sebuah lembaran novel.

Bodohnya Sabrina, selama 20 tahun itu dia sama sekali tidak pernah mendebat, atau berontak, saat Rangga tidak pernah memperbolehkan ia memasuki ruang kerjanya.

Akan tetapi, sepandai-pandainya Rangga menutupi serapat mungkin, kebusukannya pasti akan tercium oleh Sabrina. Dan seperti pagi ini, setelah Rangga keluar dari ruang kerjanya, pria berusia 45 tahun itu lupa mengunci, hingga membuat pintu itu tertutup tidak sempurna.

Biasanya Sabrina tidak pernah securiga seperti saat ini. Dia selalu mempercayai suaminya dengan sepenuh hati. Namun pagi ini, entah dorongan dari mana, Sabrina berhasil masuk dan menemukan hal mengejutkan tadi.

"Siapa Aruna Dewi? Dan tanggal persalinan ini ... Tanggal ini hanya selisih satu hari saja dari hari persalinan Haikal! Ya Allah ... Ujian apalagi ini ...." Sabrina membekap kuat mulutnya, sambil bergeleng lemah. Air matanya sudah membasahi pipi tirusnya.

Lututnya terasa kelu, seakan tiada tulang yang dapat menyangga tubuhnya. Kenyataan itu mampu membuat harapan Sabrina hancur seketika.

"20 tahun aku menemaninya, namun mengapa 20 tahun pula dia membohongiku?!" Suara Sabrina bergetar, tatapanya kosong kedepan.

Padahal selama 20 tahun itu, Rangga selalu meratukan hidup Sabrina. Semenjak dipersunting Rangga Ardanan, Sabrina tidak dibolehkan lagi bekerja sebagai pegawai kantor biasa. Dan selama 20 tahun itu, Rangga terus saja memperlakukan dirinya dengan penuh kelembutan. Rangga tidak hanya berhasil menjadi suami idaman, tetapi dapat dikatan sebagai sosok Ayah siaga.

Hingga dua predikat itu sekarang terpatahkan oleh keadaan.

Diusianya yang sudah berkepala 4, apa yang ingin dia harapkan lagi dari hidupnya, jika bukan untuk menunggu kematiannya saja.

Pagi ini dia bagai dihantam awan pekat, sekaan tidak tahu apa yang harus ia lakukan kembali.

Putranya Haikal, bahkan sebentar lagi ia berusia 18 tahun. Apa yang akan ia jelaskan pada sang putra, mengenai hal memilukan seperti ini. Sabrina hanya takut, jika putranya menjadi frustasi karena melihat rumah tangga orang tuanya hancur berantakan.

Sosok Rangga dianggap sebagai figur Pahlawan bagi Haikal. Haikal selalu membanggakan rumah tangga orang tuanya. Bahkan, Haikal sudah bertekad, jika kelak dia menikah, ia akan menjadi sosok Suami serta Ayah yang lembut untuk keluarganya.

Bagaimana jika Haikal tahu, jika orang yang selalu dia banggakan, tega mematahkan sebelah sayapnya. Sayap yang kini sudah berhasil merebah indah, terpaksa terurai satu persatu bulunya.

"Kenapa dikunci, Mas?" Kalimat itu selalu Sabrina lontarkan setiap Rangga keluar dari ruang kerjanya, sambil mengunci pintu.

Alasan Rangga cukup masuk akal. "Haikal masih kecil, nanti kalau nggak dikunci bahaya. Dia bisa masuk dan mengacak-acak data-data penting!" Itulah jawaban yang selalu Sabrina dapat.

Mungkin, jika dulu kalimat itu cukup membuat Sabrina mengerti. Tapi, kenyataanya hingga Haikal sudah tumbuh besar pun, Rangga masih beralasan yang sama.

Dan pagi itu, 2 jam sebelum kejadian memilukan, semua anggota keluarga masih bercengkrama ringan, seperti biasa sebelum dua pria tampan sabrina keluar dari rumah.

"Kopi buatanmu memang yang terbaik, Dek!" Rangga menatap istrinya penuh cinta, sambil menghidup asap yang menyembul dari kopi tadi.

"Mas, jangan terlalu memuji, malu dilihatin Haikal!" Sabrina tersenyum tipis, sambil melirik putranya.

"Haikal malah senang, lihat rumah tangga Mamah dan Papah selalu harmonis! Nanti kalau Haikal memiliki istri, Haikal akan bersikap seperti Papah, yang selalu memuji Mamah setiap saat." Kalimat yang Haikal lontarkan penuh dengan dambaan besar.

"Bagus Haikal! Apa yang Papah lakukan kepada Mamahmu saat ini, agar kelak kamu dapat mencontoh sikap Papah! Kamu kelak juga akan menjadi sosok suami dan juga Ayah untuk anak-anakmu! Jangan pernah mengecewakan mereka dengan sikap acuhmu!" Rangga mengusap bahu putranya.

"Sekolah dulu, Sayang!" Sabrina terkekeh.

"Sebelum aku sukses, aku tidak akan menikah dulu, Mah! Aku tidak ingin melihat istriku nanti hidup menderita. Dan kelak, aku ingin istriku dirumah seperti Mamah," timpal Haikal.

Sayangnya, obrolan yang terselimut oleh kehangatan pagi itu, menjadi akhir kisah rumah tangga Sabrina. Dan mungkin, nantinya tidak akan ada sambutan dipagi hari, kopi hangat yang tersaji penuh cinta, ataupun sekedar senyum manis yang menyapa.

Sabrina sungguh kecewa. Kecewa yang tak pernah ia rasa sebelumnya.

*****

BRUG!

"Aku minta maaf, maaf aku tidak sengaja!" ucap seorang gadis cantik, yang kini baru saja bertubrukan dengan jalan Haikal.

Melihat beberapa buku milik wanita tadi terjatuh, Haikal ikut bersimpuh untuk membantu mengambil sebagian buku tadi.

"Tidak masalah! Kamu anak baru? Aku merasa asing denganmu?" tegur Haikal sambil menyerahkan buku tadi.

Gadis cantik yang memakai seragam putih abu, dengan rambut dikepang dua, dan tak lupa kacamata tebal yang bertengker dihidung mancungnya itu, kini hanya menunduk segan, sambil mengangguk pelan.

"Aku anak kelas 12 B. Aku baru saja pindah 3 hari yang lalu!" ucap gadis tadi.

"Siapa namamu?" Haikal mengulurkan tangannya.

"Mika!" jawab Mika menerima uluran tangan Haikal. "Kamu anak 12 A?"

Haikal hanya mengangguk saja, sambil tersenyum tipis.

Sikapnya yang tenang, namun terkesan dingin, membuat karisma Haikal semakin terpancar dalam dirinya. Putra tunggal Brina itu, kini menjadi salah satu murid berprestasi, yang digadang-gadang para garu dan juga teman lainnya.

Gadis cantik tadi menoleh, saat Haikal melanjutkan jalannya menuju ruang kelasnya yang berada dilantai 2. Senyum manis mengembang, dengan tangan menaikan sedikit kacamata. Senyum itu dia sembunyikan, hingga tanpa sadar, sejak tadi dia sudah dihadang oleh dua orang wanita didepannya.

Chapter 2

Gadis bernama Mika itu tersentak kaget, hingga dia mengeratkan pelukanya pada buku-buku yang dia bawa tadi.

"Siapa, kamu? Anak baru?" jawab gadis berambut lurus, dengan bando bewarna merah. Wajah gadis itu terlihat sinis, menatap remeh, sambil mengunyah permen karet.

"M I K A ...." gadis bernama Eca itu memajukan setengah badanya, mengeja nama yang tertera diseragam Mika. "Oh, jadi namamu Mika?" tanya Eca kembali.

Mika menangguk pelan, menampakan raut wajah ketakutan.

Irene~gadis berbando tadi, sedikit memundurkan satu langkah, mengisyarat pada Eca, agar temannya itu mengerti.

Setelah berbisik beberapa detik, Iren mendekat lagi kearah Mika. Ujung bibirnya terangkat tipis, hingga dia berjalan mengitari gadis culun itu.

"Mika, bagaimana kalau kamu masuk kedalam gengku saja? Aku kasian sama kamu, karena kamu murid baru, pasti tidak memiliki teman disini," gumam Irene, yang kini sudah berhenti kembali didepan Mika. Jemari lentiknya terulur sedikit menarik rambut kepang sebelah Mika, hingga dihempaskan kembali dengan cepat.

Mika sedikit ragu dengan tawaran teman barunya kini. Namun, tidak ada salahnya dia mencoba berteman kembali. Sejak dulu, Mika selalu mendapat bullian disekolahnya, hingga orang tuanya memutuskan memindah Mika disekolah barunya kini.

"Sudahlah, Mika ... Jangan banyak berpikir! Ayo!" Eca langsung merengkuh pundak Mika, diajaknya berjalan masuk menuju kelas, tanpa peduli wajah Mika yang terlihat sangat keberatan.

Irene yang berjalan dibelakang mereka berdua, kini tampak bersedekap dada, menyungging senyum puas, karena sebentar lagi ambisinya akan terlaksana.

Tak terasa, waktu sudah menunjukan pukul 11.00 yang dimana anak-anak sudah saatnya beristirahat.

Entah mengapa, sejak tadi Haikal tampak risau, dan tidak begitu tenang saat pelajarannya berlangsung. Tubuh Haikal benar ada didalam kelas, namun pikirannya mendadak tertuju kepada sang Ibu yang berada dirumah.

Tidak biasanya Haikal berpikir seperti saat ini. Begitu keluar kelas, dia langsung duduk dibangku taman, mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi sang Ibu~Sabrina.

*****

Sementara dirumah, Mbak Nur sang pelayan, kini tampak berjalan kesana kemari, karena sejak tadi ponsel majikannya itu berdering tanpa jeda, yang saat ini tertinggal diatas meja makan.

"Duh ... Bu Brina dimana sih? Ini Mas Haikal telfon terus, tapi dimana orangnya," gumam Mbak Nur, sambil berjalan bingung menuju lantai dua.

Brina~dia sejak tadi masih duduk termenung didalam ruangan kerja suaminya. Air matanya terasa kering, hingga menjerit saja dia sudah tidak berselera. Tatapannya berubah dingin, hingga senyum indah yang selalu terpancar, kini hilang bak tertelan bumi.

'Aku tidak boleh kalah dengan rasa sakit ini! Putraku masih membutuhkan aku. Aku harus kuat, dan mencari tahu semua kebusukan mas Rangga selama ini!' Brina sudah bertekad untuk mencari tahu semuanya. Dan mulai hari ini, dia bukan lagi dirinya.

Begitu pintu terbuka,

Ceklek!!!

Mbak Nur sedikit melonjak kaget, saat melihat majikannya baru saja keluar dari ruangan kerja tersebut.

"Bu Brina, Anda baik-baik saja?" tegur sang pelayan, memfokuskan pandanganya pada wajah sembab sang majikan.

"Tadi habis nonton drama didalam, Mbak! Ceritanya agak sedih, jadi nangis deh tadi," dalih Brina tersenyum tipis.

Pandangan Mbak Nur kembali jatuh pada ponsel Brina yang sejak tadi dia bawa mondar mandir. "Bu ... Ini tadi Mas Haikal telfon terus! Ini, siapa tahu penting."

Brina sedikit mengernyit, karena tidak biasanya sang putra menelfon dirinya, pada saat sekolah berlangsung. Setelah dia menerima ponselnya, dia berjalan agak menjauh menuju teras balkon samping, mencoba menghubungi kembali putranya.

Drtt.. Drtt..

Baru saja Haikal akan beranjak dari duduknya, ponsel yang berada dalam genggaman tanganya bergetar. Dia urungkan, dan langsung duduk kembali, sambil menerima panggilan sang Ibu.

"Mah, Mamah dirumah baik-baik saja 'kan? Mamah nggak lagi kemana-kemana 'kan?" Sederet pertanyaan langsung Haikal lontarkan, berharap sang Ibu dalam keadaan tenang dirumah.

Senyum hangat kembali terbit, dan itu hanya akan ditunjukan pada putranya seorang.

📞 "Mamah baik-baik saja, Haikal! Ini aja Mamah dirumah kok. Memangnya kenapa, tiba-tiba banget telfon Mamah?" dalih Brina kembali, menyembunyikan rasa sesak yang kini kembali menjeruat.

"Syukurlah kalau Mamah nggak kenapa-kenapa! Perasaan Haikal tadi nggak enak banget, tiba-tiba kepikiran sama Mamah. Ya udah, Haikal mau makan siang dikantin dulu. Nanti Haikal pulang agak telat, karena ada latihan basket!" terangnya sambil menatap arloji di tangannya.

📞 "Hati-hati, Sayang! Byeee ...." Brina memutus panggilan telfonnya, dengan air mata yang kembali menetes, terjun bebas menerjang rahang lemahnya.

Dadanya kembali terasa nyeri, kala apa yang dia rasakan, rupanya berpengaruh besar pada pikiran sang putra.

Diusiannya yang tak lagi muda, Brina hanya dapat bersabar, memposisikan dirinya sebaik mungkin untuk mengatur strategi. Jika saja, kebusukan itu tercium sejak dulu, yang dimana pada saat itu usianya masih muda. Niscaya, Brina akan mencari tahu kemana-mana, mengekspresikan rasa sakitnya dengan menumpahkan emosinya sekuat mungkin pada sang suami.

Tetapi, usianya kini sudah kepala 4. Dia tidak mungkin bertengkar hebat, sementara putranya sudah semakin besar. Brina tidak ingin, apa yang terjadi dalam rumah tangganya, akan berpengaruh besar terhadap tumbuh putranya~Haikal.

Siang ini, Brina memutuskan menuju kekantor suaminya, ingin mencari tahu, dengan dalih mengajak Rangga makan siang.

*****

"Iya ... Nanti Papah pasti akan pulang! Tapi tidak dapat sore ini, Sayang! Nanti Papah transfer saja ya, buat uang jajannya! Iya ... Byeee!"

Tok!! Tok!!!

Rangga terpaksa memutus sambungan telfonnya dengan seseorang disebrang, karena dari luar terdengar suara ketukan pintu.

"Masuk!" jawabnya.

Wanita cantik dengan setelan batik modisnya, kini masuk kedalam dengan sopan.

"Permisi Pak, Anda sudah ditunggu Ibu di Lobi!" ucap sang sekertaris yang bernama Vira.

Rangga mengernyitkan dahi. Dia merasa aneh, mengapa istrinya tidak langsung masuk kedalam. Dan malah memposisikan diri sebagai tamu, yang sedang menunggu kedatangannya.

"Loh, suruh Ibu masuk, Vira!" perintahnya seraya bangkit.

"Maaf, Pak ... Tapi Ibu menolak! Dia hanya ingin mengajak Anda untuk makan siang," perjelas Vira, sesuai perintah Sabrina. "Saya permisi dulu," lanjutnya.

Rangga segera bangkit, sambil menarik kerah jasnya. Pikirannya menerka, merasa bingung dengan sikap aneh yang ditunjukan istrinya barusan.

Drrt.. Drrt..

Masih duduk disofa tunggu, Brina merogoh gawai yang saat ini berada dalam tas jinjingnya.

Senyum simpul mengembang, disaat melihat nama sang adik tertera jelas dalam layar ponselnya.

"Hallo, ada apa Revan?"

📞 "Mbak, apa Mbak sibuk? Ada yang ingin aku bicarakan dengan Mbak!" tanya Revan dengan nada cemasnya.

"Nggak juga sih, mungkin setelah selesai makan siang. Karena ini Mbak lagi ada dikantornya Mas Rangga," jawab Brina seraya bangkit dari duduknya berjalan kesamping.

Dari arah pintu masuk, datang seorang wanita dewasa, bekisar umur 40 tahun. Jika dari penampilan, wanita itu mengenakan setelan casual yang senada dengan sepatunya, rambut dibiarkan tergerai lurus, dengan pita yang menjepit sebagian rambut belakangnya.

Wanita itu berjalan menuju tempat resepsionis, terlihat berhenti, dengan beberapa pertanyaan.

Sementara Brina, setelah tadi bercengkrama dengan sang adik, dia kembali lagi duduk ditempatnya semula. Brina sempat menoleh sekilas pada wanita yang berdiri tadi. Namun dia enyahkan, mungkin saja rekan kerja atau kepentingan lainnya.

Rangga yang baru tiba dari belokan, sempat menghentikan langkahnya sejenak. Wajahnya terlihat menahan keterkejutan yang mendalam, disaat tatapannya jatuh pada kedua wanita didepannya. Namun Rangga langsung mencoba tenang, dan memutus pandangannya dari wanita asing tadi, sambil melanjutkan jalannya kedepan.

"Sayang ...." seru Rangga mendekat kearah Brina.

Tetapi, anehnya ... Wanita asing tadi juga menoleh, bersamaan dengan Brina. Namun karena resepsionis tadi berbicara lagi, sehingga wanita asing tadi terpaksa memutus pandangannya.

Brina segera bangkit. Begitu Rangga sudah ada disebelahnya, "Dek ... Kok nggak langsung masuk saja!" ucap Rangga, sedikit menahan cemas.

"Sama saja disini! Jika belum makan siang, aku ingin mengajakmu makan siang sekalian," ujar Brina dengan wajah tenang. Jujur saja, rasanya saat ini air mata Brina ingin sekali keluar. Melihat bagaimana suaminya memperlakukan dirinya selembut itu, semakin membuat sesak dada Brina, seolah Rangga melilitnya dengan belati tajam.

Deghhh!!!

Chapter 3

Hati Rangga berdesir, seakan merasa asing dengan istrinya sendiri. Senyuman, sikap manja, wajah ceria ... Dimana semua itu? Rangga semakin mendekatkan tubuhnya, mencoba menggapai tangan Brina. Wajah yang semula cemas, kini berubah menjadi ketakutan.

"Dek ... Kamu nggak kenapa-kenapa, kan? Apa ada masalah yang aku lakukan dibelakangmu-"

Eghemmm!!

"Permisi ...." ucap wanita asing tadi, setelah berdehem, sehingga membuat fokus Rangga dan juga Brina teralihkan.

Begitu Rangga menoleh, dia mendadak kalut, seakan sedang dihadapkan pilihan berat, hingga membuat jantungnya berdegup dua kali lebih cepat.

Brina sedikit memicing, namun wajahnya terlihat tenang, serta pikiran positif masih membersamai dirinya.

"Pak Rangga, bisa kita bicara sebentar? Ada sesuatu yang ingin saya katakan!" pungkas wanita asing tadi, menampakan senyum paksa, mencoba bersikap elegant.

Rangga spontan terlihat bingung. Dia menatap istrinya sekilas, lalu menatap kembali wanita didepannya. Pikirannya mendadak down, hingga menjawab saja dia sampai kehabisan kata-kata.

Baru saja dia akan membuka suara, wanita tadi langsung menyela, "Mari, Pak Rangga-"

"Sepertinya Anda dapat membicarakannya disini. Saya istrinya Pak Rangga! Jadi saya tidak masalah, jika itu menyangkut masalah pekerjaan!" tekan Brina, hingga membuat langkah keduannya menggantung.

Wanita asing tadi yang sudah terlanjur menoleh, terpaksa kembali mengurungkan niatnya untuk pergi dari hadapan Brina, mengingat dia tau siapa lawan bicaranya kini.

"Anda dapat duduk disini, karena kantor suami saya cukup mewah menyediakan fasilitasnya terhadap TAMU! Jadi, silahkan duduk saja!" tekan Brina kembali, agar wanita asing tadi dapat menghargai dirinya.

Rangga sedikit gugup, hingga dia hanya dapat mengiyakan ucapan istrinya saja, "Benar kata istri saya! Duduk saja disini, dan silahkan utarakan maksud kedatangan Anda kesini!"

Wanita asing tadi terpaksa mengikuti ucapan Brina, dan lansung menyetujui, untuk duduk ditempat Brina duduk. Karena di Lobi juga disediakan sofa lebar, yang digunakan untuk menyambut rekan bisnis datang.

"Perusahaan tempat saya bekerja, ingin mengirim proposal, agar dapat bekerja sama dengan perusahaan Anda, Pak Rangga!" seru wanita dewasa tadi, setelah mereka semua duduk.

Dan lagi, wanita asing itu terlihat merogoh sesuatu dari tasnya. Dan ternyata, dia mengambil sebuah kartu nama miliknya.

Aruna Dewi?

Degh!!!!

Spontan Jantung Brina berasa berhenti berdetak, begitu dia membaca kartu nama yang wanita asing tadi sodorkan diatas meja. Pandangan Brina semakin memanas, disaat wanita asing itu mengakui jika kartu nama itu miliknya. Dan sialnya, nama itu persis sekali dengan nama pemilik USG yang disimpan begitu lama oleh suaminya.

'Nggak, nggak mungkin! Takdir apa ini, Ya ALLAH ... nama itu, nama itu persis sekali dengan nama pemilik USG yang disimpan mas Rangga!'

Batin Brina menjerit kesakitan, karena dadanya kembali terasa sesak menerima kenyataan pahit didepan matanya langsung. Brina bukan orang yang kegabah begitu saja. Dia sudah menyiapkan strategi, merakitnya berlahan, hingga kapan waktunya, bom pasti akan meledak dengan sendirinya.

Brina sedikit mendongak, bagaimana pun dia harus menahan air matanya agar tidak jatuh saat ini juga.

Rasanya sakit sekali. Perih, seakan wanita asing tadi melemparkan belati tajam, dengan sikapnya saat ini.

"Anda bisa mempertimbangkan terlebih dahulu, pak Rangga. Jika memang berkenan ... Anda dapat menghubungi saya, sebagai sekertaris perusahaan Pigeon Group!" ujar wanita yang bernama Aruna tadi.

Setelah Rangga menyimpan kartu nama itu, dia baru menjawab, "Baik! Nanti saya akan hubungi Anda langsung."

Setelah itu Aruna bangkit, dan diikuti oleh Rangga dan juga Brina. "Saya permisi dulu, mari pak Rangga, bu Brina!"

Pandangan Brina melekat, disaat Rangga menjabat tangan wanita asing tadi. Sekilas, Aruna melempar tatap kepada Rangga, sekaan ada sesuatu yang ingin sekali ia ucapkan, namun terhalang oleh keberadaan Brina.

Merasa istrinya tidak nyaman, Rangga segera mengambil tanganya dengan cepat, dan langsung memutus pandangan wanita tadi.

Begitu wanita asing tadi ingin bersalaman dengan Brina, entah disengaja atau tidak, Brina malah menundukan setengah badan, sambil mengusap sepatu flatnya yang saat ini dia yakini terasa berdebu.

Tangan Aruna menggantung ditempat, hingga membuat dia menarik kembali tangannya. Wajahnya terlihat sedikit geram, merasa tidak berharga sama sekali dihadapan istri Rangga.

Brina menegakkan kembali badanya. "Tanganku kotor, banyak sekali debu jalanan yang menempel pada sepatuku! Dia seperti benalu, yang tanpa rasa malu singgah pada hidup orang lain. Pantas sekali mendapat julukan PARASIT!" tekan Brina, sambil mengibaskan kedua tangannya.

'Kurang ajar! Apa maksud ucapan istri Mas Rangga itu? Apa dia sudah tahu siapa diriku?' batin Aruna menggeram. Namun setelah itu dia mencoba memaksakan senyumnya.

"Memang, bu Brina. Hal itu memang kerap kali membuat kita tidak nyaman! Kalau begitu saya permisi," pamit Aruna bergegas pergi dari hadapan Rangga dan Sabrina.

'Aku tidak akan diam saja, Aruna! Aku akan mengungkap kebusukan kalian berdua, begitu tujuanku tercapai!' jerit batin Brina, dengan tatapan berkobar, saat mengikuti arah wanita asing tadi keluar.

"Dek ... Ayo, katanya mau makan siang bareng! Yuk," seru Rangga, mencoba menggapai tangan Brina. Namun sebelum itu, Brina lebih dulu mengambil tanganya.

Rangga sedikit mengernyit. Wajahnya meminta penjelasan, mengapa sikap istrinya mendadak aneh seperti saat ini. Apa yang terjadi dengan Sabrina nya?

"Aku harap, pendengaranmu cukup berfungsi, setelah tadi aku juga mengatakan pada rekan bisnismu!" kata Brina terdengar dingin, sambil mengangkat sebelah tangannya. "Tangaku sudah terlanjur kotor, berusang, bahkan kulit bersihku ternoda karena kesalahan sepatuku yang terkena DEBU JALANAN tadi! Dan hal ini tidak akan aku tularkan pada orang lain, karena dia pasti akan merasakan penyesalan, walaupun mulutnya terkunci rapat!" ucap Brina dengan suara yang sudah agak bergetar.

Entah mengerti atau tidak, Rangga hanya dapat diam, mencoba mencerna setiap kata yang terlontar dari mulut istrinya saat ini. Dia masih menatap bingung, namun hatinya tedengar berisik sekali.

"Sayang ... Apa ada yang salah dengan sikapku tadi-"

Brina malah menatap arloji ditangannya, "Jangan mengurangi waktu makan siangku! Karena aku tidak akan berselera makan, jika telat satu menit saja!" setelah mengatakan itu, Brina langsung melenggang keluar lebih dulu.

Antara menahan geram, dan menatap cemas, Rangga benar-benar dibuat terkejut dengan kejadian yang tak terduga siang ini. Merasa pusing, dia langsung bergegas menyusul istri tercintanya.

*

*

*

Haikal yang biasanya pukul 3 sudah pulang, kini mendapat extra tambahan, karena sebentar lagi sekolahannya akan mengadakan pertandingan Basket antar sekolah.

Haris, pria tampan yang memiliki postur tubuh hampir sama dengan sahabatnya~Haikal, kini juga baru saja keluar dari ruang ganti khusus anak basket. Namun, Haris memiliki sifat lebih dingin, dan tidak pernah peduli dengan sekitarnya. Sangat berbanding balik dengan sikap Haikal. Karena nama mereka yang memiliki inisial huruf depan sama, Haikal dan juga Haris membuat geng dengan sebutan ~H2 One~

Namun, keduanya tidak satu kelas. Haikal berada dikelas 12 A, sementara Haris berada diruang 12 B.

Dan kebetulan, Irene dan juga gengnya baru saja keluar dari kelas, berjalan keluar melewati ruang ganti anak basket. Dimana ada Irene, dan Eca ... Pasti dibelakangnya ada Mika, berjalan bersama sambil membawakan dua tas sahabat palsunya kini. Karena kepolosan Mika, hal itu dimanfaatkan oleh Irene, untuk mengerjai teman barunya itu.

Tapi sialnya, wajah Mika malah terlihat bahagia, tidak keberatan sama sekali.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!