NovelToon NovelToon

Pengantin CEO Yang Tertukar

1. Pembuka

"Hahhh akhirnya selesai juga."

Helaan napas lega keluar dari mulut seorang gadis cantik. Pekerjaan yang ia kerjakan telah usai. Ia memberesi peralatan pel yang dia gunakan untuk mengepel lantai di perusahaan dimana ia bekerja. Mengepel adalah salah satu tugasnya sebagai seorang cleaning service.

Ia mengambil papan pengingat tanda bahaya, agar orang-orang tidak terpeleset karena menginjak lantai yang masih basah, meski ia sadar hanya ada beberapa orang saja yang masih tinggal.

"Astaga Gey, udah jam segini masih aja pasang papan tanda bahaya. Siapa yang mau lewat coba?" suara Runi, teman kerja Gea dari belakangnya.

Gea menoleh ke arah Runi, "Ya siapa tahu ada hantu lewat yang bisa terpeleset kalau nggak tahu," ucapnya kemudian tertawa.

"Mana ada hantu berjalan Gey? Yang ada mengambang kalau nggak ngesot sekalian." Runi ikut tertawa.

"Ada-ada aja kamu Gey," ucapnya lagi.

"Hei Gey, ayok pulang," ajak Runi.

"Bentar lagi deh Run, aku mau mengembalikan alat-alat ini ke gudang. Kamu duluan aja," ucap Gea sambil menunjukkan alat mengepel yang ia tenteng.

"Oke deh, sampai jumpa Gea. Awas nanti ketemu mereka loh!" ucap Runi yang berusaha menakuti Gea.

"Gak bakalan. Kayaknya nanti mereka minder kalau sampai ketemu aku. Udah sana pulang," usir Gea.

Runi hanya tertawa lalu berjalan meninggalkan Gea seorang diri disana. Sebagian besar karyawan sudah meninggalkan kantor kurang lebih dari setengah jam yang lalu, tinggal beberapa saja.

Gea melangkah menuju gudang yang berada di pojok gedung. Ia melewati lorong-lorong yang sepi, membuatnya merinding mengingat obrolannya yang terakhir.

"Haihhh kenapa tadi aku sama Runi malah ngomongin hantu sih. Kan jadi serem."

Gea menolehkan pandangannya ke kanan dan ke kiri meski hanya tembok yang ia temui. Bulu kuduknya berdiri, merinding kalau nanti ada makhluk tak kasat mata menghadang jalannya.

"Tenang Gea, jangan takut sama mereka, merekalah yang takut sama kamu." Gea mensugesti dirinya untuk tidak takut.

Sesampainya di gudang, Gea menempatkan alat pel seperti semula. Setelah memastikan gudang terkunci, Gea meninggalkan ruangan itu.

"Pak, ini kunci gudangnya," ucap Gea sambil menyerahkan kunci gudang kepada satpam yang bertugas.

"Siyap Neng. Kok baru pulang Neng?"

"Iya Pak. Lantainya di ruang rapat tadi kelihatan kotor banget Pak, makanya saya membersihkan lantai itu sebelum pulang. Mari Pak," ucap Gea sambil tersenyum.

Satpam itu mengangguk, "hati-hati di jalan Neng."

Gea mengangguk sambil tersenyum, memberikan suatu pernyataan yang meyakinkan bahwa ia akan baik-baik saja.

Gea menuju halte bus, untuk menunggu bus yang akan membawanya untuk pulang ke rumah kontrakannya. Rumah kontrakannya memang sempit namun cukup nyaman untuk ia tempati dibandingkan tinggal di rumah mewah orang tuanya sendiri.

Gea membuka pintu rumahnya. Ia langsung menuju kamarnya dan berbaring di ranjang, menghela napas untuk menghilangkan capek yang melanda.

Namun tak lama kemudian, bunyi notifikasi terdengar dari gawainya. Ia mengecek gawainya itu. Satu pesan masuk ia terima dari surelnya. Ada suatu dokumen kontrak perjanjian kerjasama yang harus ia cek sebelum ia tandatangani.

Gea segera beranjak dari ranjangnya untuk mengecek dokumen yang dikirim oleh orang kepercayaannya, Hendri. Hendri dipercaya untuk mengurusi butik miliknya, GA Fashion & Style. Butik itu merupakan salah satu butik terkenal yang memiliki kualitas barang yang tinggi. Sasaran pasar butik itu adalah para kalangan atas, seperti pengusaha, artis, para pejabat dan masih banyak lagi.

Tidak ada seorang pun dari keluarganya yang mengetahui jika butik itu milik Gea. Hanya kakek sajalah yang mengetahuinya, namun sang kakek telah berpulang 2 tahun yang lalu sebelum dirinya hidup mandiri.

Saat ini, tidak ada yang tahu siapa Gea sebenarnya. Mukanya yang jarang terekspos di media, memberikan keuntungan tersendiri saat ini. Yang orang ketahui, Gea adalah seorang wanita berusia 21 tahun yang bekerja sebagai cleaning service di salah satu perusahaan yang bergerak dibidang real estate.

Gea meminta bantuan sepupunya, Bima Narendra untuk menutup semua akses informasi tentang dirinya. Nama keluarga yang tertera pada namanya, ia hilangkan untuk menghilangkan jejak siapa dirinya hingga namanya tersisa Gea Agatha. Bahkan keluarganya saja kesulitan untuk mengetahui keberadaannya.

"Bagaimana Bos?" tanya Hendri di sebrang telepon.

"Sudah beres, lakukan langkah selanjutnya. Saya tunggu hasilnya," titah Gea kepada orang yang 10 tahun lebih tua darinya itu.

"Baik Bos."

Gea mengakhiri panggilan teleponnya. Dia meletakkan gawainya di atas nakas, kemudian mengambil handuknya. Ia melangkah ke dalam kamar mandi yang sederhana namun bersih dan mewadahi. Gea melepas semua barang yang menempel pada tubuhnya lalu menghidupkan shower. Ia berdiri di bawah shower dan membiarkan tubuhnya basah terguyur air.

Tak disangka bayangan suatu awal yang membuatnya hidup mandiri muncul satu persatu.

Saat itu, banyak orang yang berdatangan di rumahnya. Gea yang telah usai menempuh ujian akhir pendidikan sekolah menengah atasnya bingung, kenapa banyak orang disana. Gea melihat banyak karangan bunga berjajar di sekitar rumahnya. Ada apa ini? Gea bertanya dalam hatinya. Perasaan was-was menyelimuti hatinya.

Gea melangkah masuk. Ia melihat mata semua keluarganya terlihat sembab, bahkan ada yang masih menangis. Hatinya seperti dihantam benda keras. Perasaannya hancur seketika. Kakek yang selalu menyayanginya terbujur kaku di dalam peti yang terbuka, tak bernyawa, diam tak bergerak. Air matanya luruh seketika.

Suara tangisan pilu terdengar, hingga siapapun yang mendengarnya merasakan betapa pilunya dia. Gea kehilangan orang yang selalu menyayanginya. Dunianya serasa hancur. Dia menangis sambil merangkul erat peti terbuka yang terdapat jenazah sang kakek di dalamnya, tak rela untuk melepasnya. Sampai ada tangan kokoh milik sang ayah yang merangkulnya, berusaha memberikan kekuatan untuknya.

Gea beralih merangkul sang ayah.

"Pa…. Kakek Pa, Kakek." Gea menangis di pelukan ayahnya dengan baju seragam yang masih menempel di tubuhnya. Sang ayah mengerti bagaimana perasaan anaknya itu. Ia membiarkan Gea menangis sepuasnya. Ia tahu bagaimana kedekatan hubungan antar keduanya yang melebihi hubungan Gea dengan ibu tiri dan adik sedarah ayah.

Sang ayah mengelus lembut kepala belakang Gea. "Ikhlaskan Gey, ikhlaskan kepergian kakekmu. Biarkan dia tenang disana," ucap ayahnya.

Tangis Gea tak kunjung reda hingga ia diam tak bergerak di pelukkan ayahnya. Kenyataan yang memaksa Gea untuk menerimanya membuat dirinya tak sadarkan diri.

Gea masih berdiri di bawah shower sambil menutup matanya. Rasa sesak kehilangan masih saja ia rasakan.

"Tenang disana ya Kek, doakan aku Kek. Sampaikan kepada Sang Pencipta untuk menyertaiku selalu Kek," ucapnya dalam hati.

Hingga suara dering dari gawainya terdengar, mengharuskan Gea untuk segera meninggalkan bayang-bayang masa lalu yang melekat di benaknya. Gea menyambar handuknya dan keluar dari dalam kamar mandi.

"Halo Vin," sapa Gea.

"Hai sayang, gimana aktivitasmu hari ini?" tanya seseorang yang Gea sebut sebagai kekasih di sebrang sana.

"Lancar semua Vin. Sebentar Vin, aku mau menyelesaikan mandiku dulu,"

"Okay sayang, jangan lupa selesai mandi hubungi aku lagi,"

"Iya sayang iya," ucap Gea sambil tersenyum. Hatinya menghangat ketika mendengar suara sang kekasih yang begitu perhatian.

Setelah panggilannya berakhir, dengan cepat Gea segera menyelesaikan mandinya. Hanya butuh 5 menit lagi untuk menyelesaikan mandinya yang terjeda dan 5 menit lagi untuknya membalut dirinya dengan kain yang pantas ia kenakan.

2. Kencan

Saat ini Gea tengah berdiri di depan cermin di kamarnya. Ia mematut tubuhnya, memutar ke kiri kemudian ke kanan untuk melihat, apakah pakaian yang ia kenakan cocok atau tidak. Gea mendengus kesal. Belum ada satupun dari beberapa baju yang ia coba terlihat menarik menurutnya. Banyak pakaian berserakan di atas ranjangnya akibat ulahnya sendiri.

"Haihhh kenapa gak ada yang cocok sih? Mana sebentar lagi Davin sampai lagi," keluhnya sambil berkacak pinggang.

Gea masih berusaha mencari pakaian yang cocok saat ia kenakan untuk kencannya malam ini. Davin mengajaknya berkencan saat mereka bertukar suara.

Pada akhirnya ia menjatuhkan pilihannya di kaos putih yang bisa dibilang oversize, yang dipadukan dengan celana jeans warna hitam. Ujung kaos ia masukan ke dalam celananya. Ia memakai sepatu kets berwarna putih.

Gea mematut tubuhnya lagi. Ia tersenyum puas dengan style yang ia gunakan saat ini.

"Ckckck kenapa tidak terpikirkan dari tadi ya? Gini kan lebih nyaman," ucapnya sambil menghadap ke cermin.

Gea termasuk wanita yang fleksibel. Dia bisa berpakaian dengan style feminin namun bisa juga berpakaian seperti cewek tomboy pada umumnya.

Gea mendengar suara orang mengetuk pintu. Ia menolehkan kepalanya ke arah dari mana sumber suara itu berasal.

"Itu pasti dia."

Gea bergegas berlari keluar. Wajah sumringah ia tunjukkan. Ia membuka pintu rumahnya dengan semangat yang membara.

Seorang laki-laki berpostur tubuh tinggi berdiri di depannya ketika pintu terbuka sempurna. Senyum manis terlukis di wajah yang tampan sang kekasih. Gea menyambut sang kekasih dengan senyuman.

"Sudah siap?"

Gea tersenyum sambil mengangguk, "Sudah."

"Sebentar Vin, aku mau mengambil sling bag ku dulu," ucap Gea kemudia berlari ke menuju kamarnya.

Sesampainya di kamar, Gea menyambar sling bag yang ia gantung lalu mengambil gawai dan dompet untuk ia masukkan ke dalam sling bag nya. Ia memastikan kembali apa saja yang akan ia bawa. Setelah dirasa cukup, Gea menghampiri Davin yang tengah menunggunya di ruang tamu.

"Ayo," ajak Gea.

Mereka berdua beranjak meninggalkan rumah kontrakan Gea. Tak lupa Gea mengunci pintu rumahnya. Mereka pergi menaiki mobil mewah milik Davin. Di mata umum, bukan hal yang aneh jika seorang Gea yang hanya berprofesi sebagai cleaning service bisa mendapatkan laki-laki tampan, tajir pula. Parasnya yang cantik serta kepribadiannya yang baik dan menarik, bisa memikat siapa saja yang kenal dengannya atau bahkan baru kenal meski baru pertama kali bertemu dengannya.

Davin melajukan mobil menuju mall yang ada di kota itu. Ia ingin mengajak kekasihnya ini nonton. Percakapan ringan yang diselingi candaan rayuan gombal menjadi pengusir keaunyian di sepanjang perjalanan mereka. Suara gelak tawa terdengar di antara mereka, mengungkapkan betapa bahagianya mereka saat ini.

Selang beberapa waktu, Davin menghentikan mobilnya di depan restoran yang cukup besar. Gea menatap Davin bingung. Sedangkan yang ditatap malah sibuk melepas sabuk pengamannya.

"Loh kok ke sini? Katamu tadi kita mau nonton?" tanya Gea. Yang ia tahu, Davin ingin mengajaknya nonton.

"Memang kamu nggak lapar?" tanya Davin balik.

Gea menyengir malu karena dia ketahuan belum makan, "Hehehe lapar," ucapnya manja.

"Kok kamu tahu kalau aku lapar?" Gea mencondongkan badannya ke arah Davin.

"Emm….. Aku nggak tahu kok, aku sendiri yang lapar," ucap Davin santai.

Davin berniat menggoda kekasihnya. Dan benar saja, usahanya berhasil. Seketika muka Gea mengkerut, kesal sekaligus malu karena dugaannya salah.

"Ciyeee yang kepedean," goda Davin.

"Iiihh" Gea memalingkan mukanya.

Davin terkekeh melihat muka Gea yang menurutnya sangat menggemaskan. Bahkan suara tawanya terdengar keras. Gea semakin sebal. Ia memposisikan duduknya menghadap ke arah jalan. Punggungnya ia sandarkan di sandaran jok mobil.

"Haihhh haihhh. Iya sayang. Aku memang sengaja bawa kamu ke restoran ini karena aku tahu, sepulang kerja tadi pasti kamu belum makan. Betul kan?" tanya Davin dengan penuh perhatian.

Gea menoleh ke arah Davin.

"Astaga, manis sekali kekasihku ini. Bagaimana nggak semakin cinta kalau sikapnya saja seperti ini." batin Gea.

Ia memandang Davin dengan tatapan nanar. Ia terharu karena Davin sangat perhatian dan mengerti tentangnya.

"Astaga, pacarku yang cantik ini, gitu aja ngambeg," ledek Davin.

Davin mendekat ke arah duduk Gea. Ia mengulurkan tangannya, mencubit gemas pipi Gea. Hingga pandangan mereka bertemu. Tatapan mata mereka saling bertautan satu sama lain, cukup lama. Davin semakin mencondongkan wajahnya. Semakin detik bertambah, jarak semakin terpangkas.

Gea memejamkan matanya. "Astaga, astaga sadar Gey." Gea berusaha untuk menyadarkan dirinya kalau ini bukan prinsipnya.

Gea memalingkan mukanya ke arah jendela samping. Tangannya memegang tuas untuk membuka pintu mobil. Gea berusaha mengalihkan perhatian. Seketika pergerakan Davin terhenti. Wajah kecewa cukup terlihat jelas walau hanya untuk sesaat.

"Ayok turun, aku sudah lapar banget nih," ucap Gea gugup sambil membuka pintu mobil. Rasa canggung menyelimutinya. Ia melangkahkan kakinya keluar dari mobil.

Davin tersenyum, merutuki langkah gegabahnya.

"Sabar Vin. Jangan gegabah."

Davin segera turun dari mobil menyusul sang kekasih. Mereka masuk ke dalam restoran. Menu berat, minuman dan juga dessert mereka pilih sebagai hidangan makan mereka malam ini.

Selesai makan malam. Davin melajukan mobilnya ke mall dengan kecepatan sedang. Mereka mengambil waktu nonton di jam 9 malam. Tiketnya sudah mereka beli saat di restoran dengan menggunakan aplikasi online.

Setelah mobil terparkir, Davin turun dari mobil. Ia berlari kecil agar ia bisa membukakan pintu untuk Gea. Gea tersenyum melihat sikap manis kekasihnya itu.

Mereka melangkah ke dalam. Banyak pasang mata yang memusatkan perhatian mereka ke arah sepasang kekasih itu. Paras mereka yang menawan dipadukan dengan pakaian yang serasi satu sama lain, membuat semua iri dengan Gea dan Davin. Namun Gea dan Davin tidak memperdulikan pandangan publik. Ibarat kata, menjadi pusat perhatian sudah menjadi makanan mereka sehari-hari.

Tidak bisa dipungkiri, kpercayaan diri mereka sudah terbentuk dari kecil. Gea dan Davin merupakan anak dari keluarga terpandang. Yahh walaupun hanya sedikit orang yang mengetahui latar belakang Gea. Bahkan Davin pun tidak mengetahui siapa Gea sebenarnya.

Mereka memilih film bergenre horror komedi romantis. Sebenarnya Gea kurang suka film bergenre horror, karena ia takut hal-hal yang berbau hantu. Gea menelan ludah, ketika mengingat kejadian yang pernah terjadi sewaktu ia kecil. Ia pernah melihat mbak-mbak berbaju putih yang ternyata adalah makhluk tak kasat mata. Membayangkannya saja sudah membuatnya bergidik.

"Kalau kamu gak bisa nonton, kita bisa ganti acara kita. Kita bisa nonton yang lain, atau jalan-jalan mungkin?" tawar Davin.

Davin menangkap jelas ketakutan di wajah Gea. Ia tidak mau Gea mengalami hal yang tidak diinginkan. Bukan soal repot dan direpotkan, namun ia memikirkan tentang keselamatan Gea.

Gea menggeleng, "Nggak usah Vin, aku bisa kok. Kalau nggak kucoba lawan, kapan lagi aku bisa berani?" Gea kekeuh ingin menonton.

"Sayang juga uangnya kalau terbuang sia-sia Vin. Cari uang susah," ucapnya lagi.

Davin tidak tahu lagi dengan pola pikir Gea yang masih mempermasalahkan uang jika bersamanya. Davin memutar badan Gea agar menghadap ke arahnya. Ia menangkup kedua pipi Gea.

"Sayang, soal uang nggak usah dipermasalahin. Kan aku yang bayar. Jadi nggak masalah. Ayo kita cari ganti yang lain saja." Davin menggandeng tangan Gea untuk membeli tiket baru.

"Jangan Vin! Udah ini aja. Ayo masuk." Gea manarik Davin untuk masuk ke dalam, karena film akan segera diputar.

Walaupun ada genre horror nya, ternyata film itu sangat mengaduk-aduk perasaan penontonnya, terutama bagi Gea. Ia bisa merasakan ketakutan, keleucuan dan keromantisan disaat yang bersamaan. Disaat ketakutan, ia akan bersembunyi di balik lengan kokoh sang kekasih. Menangis dan hati yang serasa meleleh, ia rasakan ketika adegan romantis sepasang kekasih dimunculkan. Bahkan ia akan tertawa terpingkal-pingkal ketika bumbu-bumbu komedi ditambahkan, hingga menambah cita rasa tersendiri di film itu.

Namun bagi Davin, ekspresi Gea lah yang menarik perhatiannya. Sepanjang film diputar, wajah Gea tak luput dari pandanganya.

"Menggemaskan," batin Davin.

Pikiran liar sering kali muncul ketika ia bersama dengan Gea, apalagi melihat wajah cantik Gea yang begitu menggemaskan.

3. Bisakah Kita Melakukannya

Dua jam lamanya film itu diputar. Selama itu perasaan Gea diaduk-aduk dan selama itu juga Davin menahan gejolak-gejolak yang berbeda di dalam tubuhnya.

"Tahan Vin, tahan. Pelan-pelan, jangan gegabah," ucap Davin dalam hatinya.

Lampu ruangan dihidupkan kembali. Mereka semua berhamburan meninggalkan tempat itu. Malam semakin larut. Jam sudah menunjukkan pukul 23:00.

"Mau kemana lagi Sayang?" tanya Davin lembut.

"Udah Vin, cukup untuk hari ini. Aku udah ngantuk Vin. Lagian besok aku juga harus bangun pagi, kerja," jelas Gea. Wajahnya terlihat lelah, namun bibirnya membentuk garis lengkung yang indah.

"Oke Sayang." Davin mengacak pelan rambut Gea.

"Yaaa, rambutku berantakan Vin," keluh Gea.

Davin terkekeh. "Uluh-uluh sayang, sini aku rapiin lagi."

Kemesraan mereka tertangkap banyak pasang mata di sana. Banyak yang iri dengan mereka berdua. Namun lagi-lagi mereka hanya menganggap tempat itu milik mereka berdua, yang lain mereka anggap hantu tak kasat mata.

Mereka berdua meninggalkan mall tempat mereka nonton. Davin melajukan mobilnya ke rumah kontrakan Gea dengan kecepatan sedang. Kali ini tidak ada canda tawa di perjalanan mereka. Hanya suara radio yang menemani perjalanan mereka atau sesekali Gea ikut menyenandungkan lagu yang tengah diputar. Lama kelamaan hanya suara radio saja yang terdengar. Gea telah tertidur pulas di samping kemudi.

"Cantik." Lagi-lagi kata itu keluar dari mulut Davin.

Davin mencari kunci rumah kontrakan Gea di tas Gea lalu turun dari mobilnya. Ia membuka pintu rumah itu kemudian membuka pintu kamar Gea. Setelah selesai ia kembali ke mobil untuk membangunkan Gea.

Davin mengamati wajah Gea. Tidurnya begitu pulas. Ia tidak sampai hati membangunkan Gea. Davin melepas sabuk pengaman lalu dengan hati-hati Davin menggendong Gea dengan gaya bridal style. Gea masih terlelap tanpa terganggu sedikitpun.

Davin membawa Gea ke kamarnya. Badan Gea yang langsing memudahkannya untuk menggendong Gea.

Davin membaringkan tubuh Gea di ranjang. Ia mengamati kamar Gea. Rapi adalah kesan pertama bagi Davin. Sebenarnya Davin penasaran dengan latar belakang keluarga Gea. Namun ia kesulitan untuk mengorek informasi tentang Gea walau ia sudah menyewa seorang private detective. Mereka hanya mengetahui kalau Gea tinggal seorang diri saja.

Davin ikut membaringkan diri di samping Gea. Tangannya bergerak menyibakkan rambut yang sedikit menutupi wajah Gea. Ia mengamati wajah Gea yang tertidur pulas di ranjang. Wajah damai terlihat jelas di penglihatannya.

Lama-kelamaan ia tidak tahan melihat wajah cantik Gea. Ia mendekatkan wajahnya ke wajah Gea. Tiba-tiba Gea membuka matanya lalu ia terbangun lalu berdiri. Ia kaget melihat wajah seseorang yang sangat dekat dengan wajahnya.

Gea menghela napasnya, menepuk pelan dadanya yang cukup sesak karena kekagetan yang ia alami.

"Haahhh hahhhh.... Ku kira kamu siapa Vin."

Raut muka kaget Gea sangat lucu hingga membuat Davin tertawa.

"Jangan ketawa! Orang kaget kok diketawain. Gak lucu tahu," ucap Gea kesal.

"Habis muka kamu lucu sih, Yang. Jadi pengin makan kamu," celetuk Davin tiba-tiba.

Gea tertegun mendengar penuturan Davin. Apakah ia tidak salah dengar? Kata-katanya terdengar ambigu.

"Sayangku yang tampan, kalau lapar ya makan nasi. Makan aku nggak bisa. Nggak bakal kenyang. Dagingku alot."

"Mau bukti?" tanya Davin dengan senyuman penuh arti.

"Wahh ternyata pacarku ini saudaranya Sumanto."

Gea pun tertawa. Ia tidak sadar kalau yang dihadapi ini bukanlah Davin yang tenang dan pengertian. Davin saat ini adalah Davin yang sudah dipenuhi gejolak- gejolak, naluri yang hanya bisa dikenyangkan oleh Gea.

Davin bangun dari tidurannya. Seringai tipis terulas di wajahnya. Perlahan namun pasti Davin berjalan mendekati Gea mengikis jarak yang ada. Gea berjalan mundur seiring waktu Davin berjalan mendekat. Tawa Gea yang semula renyah menjadi melempem tersiram ketakutan yang mulai menelusup dalam benaknya.

Jantung Gea bergetar hebat. Bukan debaran cinta, namun debaran ketakutan yang melanda.

"Jangan Vin. Berhentilah! Jangan mendekat!" pinta Gea. Namun Davin tidak mendengarkan ucapan Gea. Hingga ruang gerak Gea terhambat oleh dinding kokoh yang berdiri di belakangnya. Ketakutan dan kecemasan semakin dahsyat ia rasakan.

"Vin…" ucap Gea lirih.

Davin menggerakkan tangannya menyentuh dinding di belakang Gea untuk mengurung Gea agar tidak bisa kabur darinya.

"Apa Sayang?" Davin berbisik di dekat telinga Gea.

Tubuh Gea menegang. Kesadarannya menginginkannya untuk mendorong sang kekasih di depannya. Namun tubuhnya serasa kaku.

"Gey, ayo Gey gerakkan badanmu," ucap Gea dalam hati.

Dengan sisa tenaga yang telah digerogoti ketakutan ia mendorong Davin. Davin mundur beberapa langkah saja. Tenaga Gea tidak cukup kuat untuk mendorongnya walau Davin cukup lengah.

Seketika tawa Davin pecah. Ia tertawa terbahak-bahak melihat reaksi Gea, sampai ia terduduk kembali di ranjang. Lagi-lagi Gea di prank. Gea berdecak kesal.

"Ck. Tauk ahh," Gea bersedekap sambil memalingkan wajahnya.

"Habis kamu lucu, Yang," ucapnya di tengah tertawa.

"Sini deh." Davin menyuruh Gea untuk duduk di sampingnya. Gea mendekat dengan muka kesalnya tanpa curiga sedikit pun.

Davin memegang tangan Gea. "Yang kamu cinta sama aku nggak?" sorot matanya menuntut sebuah jawaban.

Gea mengangguk. Hubungan Gea dan Davin sudah terjalin selama setengah tahun. Sudah bisa dikatakan cukup lama untuk saling mengenal. Masa pendekatan mereka dulu berjalan selama setengah tahun juga. Davin yang baik dan pengertian telah membantunya melawan preman yang menghadang Gea di tengah malam. Saat itu menjadi titik awal pertemuan mereka.

"Bolehkah aku melakukannya?"

Sektika otak Gea ngeblank. Butuh proses untuk mencerna ucapan Davin. Sedangkan Davin masih berusaha menahan hasratnya.

"Jangan Vin, jangan sekarang. Aku tidak mau melepas kehormatanku sebelum aku menikah dengan orang yang kelak menjadi suamiku. Prinsipku akan ku pegang, walaupun teramat besar rasa cintaku untukmu Vin." Gea mengucapkan kalimat itu dengan tegas.

Davin mendesah frustasi. Ia mengacak kasar rambutnya.

"Kenapa? Kenapa Gey?" Panggilan kata "sayang" telah menghilang dari sebutan cintanya untuk Gea.

"Karena bagiku, kehormatan sangat penting untuk suamiku kelak. Dan menjaga kehormatan adalah suatu ibadah yang menjauhkan kita dari zina Vin."

"Jika kamu benar-benar sayang, benar-benar cinta sama aku, nikahi aku Vin. Maka aku akan memberikan semua yang kupunya dan kujaga, untukmu," ucapnya lagi dengan tegas.

Tidak bisa dipungkiri kalau Gea menahan dengan sekuat tenaga agar air matanya tidak keluar.

"Aku pulang dulu," ucap Davin datar.

Davin meninggalkan Gea dengan rasa kecewa. Gea pun demikian. Ia kecewa dengan sikap Davin yang Davin tunjukkan saat ini. Ia kecewa kenapa Davin berpikir demikian? Apa karena dia terlihat lemah dan tidak punya uang hingga Davin berpikir kalau Gea akan mudah diperdaya?

Suara deru mobil terdengar semakin samar. Mobil Davin telah meninggalkan rumah kontrakan Gea. Gea membaringkan tubuhnya. Tangisnya pecah begitu saja. Sesak dan kecewa ia rasakan. Ia menangis cukup lama hingga tanpa sadar ia tertidur dengan posisi badan yang meringkuk.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!