Bukk!
Sebuah bantal lusuh mendarat mulus di belakang kepala Anna.
“Duhh! sialan!” umpat gadis berkaca mata yang sedang berbaring telungkup di sebuah balai-balai belakang rumah itu. Ia berbalik mencari sumber masalah yang mengganggu ketenangan hidupnya siang hari ini.
Ekspresi Anna pun berubah dari wajah galak menjadi cengiran menyebalkan saat mengetahui pelaku yang menimpuk kepalanya adalah Sang nenek.
“Apa?!” tanya wanita tua yang berkacak pinggang itu kepada Anna. Mata tuanya dibuat membesar sambil mulutnya tampak menggeram.
Anna pun bangkit dari posisinya mendekat dan menghambur ke arah wanita tua itu. Kedua lengannya memeluk pinggang si wanita lalu berkata. "Ah... Nenek. Anna kira siapa," ucapnya sambil bergelayut manja.
Badriah-Sang nenek- berusaha melepaskan pelukan Anna. "Berani mengumpat nenek, ya?" serunya dengan marah yang dibuat-buat. Ia pura-pura risih akan pelukan sang cucu dan berupaya melepaskan pelukan itu. Setengah hati.
"Tidak, Nenek! Cucu tersayangmu ini cuma salah sangka. Anna pikir si Tony yang berani nimpuk Anna dengan bantal!" Anna melepaskan pelukan dan membuat wajah memelas meminta maaf, meskipun ia baru ingat Tony tidak ada di sini sekarang.
"Apa-apaan lo bawa-bawa gue?!!"
Anna dan Badriah tersentak, serempak mencari sumber suara.
Dari dahan pohon yang menjulur ke halaman belakang rumah mereka -yang dahan itu terlihat tidak kuat lagi menahan beban- tampak seorang pemuda dengan singlet dan celana selutut menghambur layaknya seorang ninja yang keluar dari persembunyian.
"Kamu juga! sama aja!" Badriah kembali berkacak pinggang, sementara Anna nyengir. Anna tidak menyangka kalau Tony juga berada di situ. Ia menggerakkan mulut tanpa suara ke arah Tony, 'apaan lo Ton?! Diam di situ aja, napa? Hush!Hush!'
Tony tidak menggubris reaksi Anna yang tidak senang akan kedatangan nya. Ia pun mendekat ke arah dua perempuan beda generasi itu, tangan nya mengambil tangan si wanita tua lalu membawanya ke kening. "Lama tak bertemu, Nek! makin cantik aja!" gombalnya. Cengengesan.
Badriah memberengut. "Lama apanya, baru juga minggu kemarin kalian membuat keributan sampai tengah malam. Eh, udah dapat kerja?!" tanya nya penasaran setelah ingat alasan menghilangnya bocah itu beberapa hari ini.
"Apaan sih Nenek?! Keributan apa? Cuma karaoke-an doang. Ya ga, Ton?" Anna menyela. Ia tidak nyaman saat lagi-lagi sang nenek membahas tentang pekerjaan. Anna pun yakin jika timpukan bantal tadi berhubungan dengan dirinya yang sudah sarjana ini terlihat masih bermalas-malasan di beranda belakang rumah.
Tony mengangguk meng-iya-kan pertanyaan Anna. Ia tidak menjawab pertanyaan Badriah, malah mengamit lengan kedua perempuan itu lalu menarik mereka masuk ke dalam rumah sementara ketika tatapan nya dan Anna bertemu ia mengedipkan sebelah mata.
Anna menyembunyikan senyumnya. Ingat saat minggu kemarin, ia dan Tony karaoke-an di kamarnya hingga larut malam. Mereka tidak berniat berhenti hingga subuh sampai sang nenek marah-marah di depan kamar Anna.
Malam itu Anna hendak melepas kepergian Tony yang esoknya akan ke ibukota untuk memenuhi panggilan kerja. Ia tak menyangka hari ini Tony sudah kembali ke desa mereka.
Anna dan Tony duduk di ruang makan sempit rumah nenek. Sementara nenek yang sudah dialihkan perhatian, lupa topik yang memancing kemarahan nya siang itu. Kehadiran Tony di rumah mereka membuat sang nenek beralih kegiatan untuk menyiapkan makan siang buat kedua anak yang tidak lagi bocah itu.
Anna dan Tony lagi-lagi saling lirik menyaksikan wanita tua yang sedang asik mengeluarkan piring serta makanan dari lemari dapur.
Anna mengangkat sebelah kakinya ke atas kursi layaknya duduk seorang bos. Ia memang sengaja tidak ikut membantu pekerjaan sang nenek. Neneknya selalu marah jika Anna ikut membantu upayanya membahagiakan sang cucu. Badriah sudah terbiasa melayani Anna. Bagi neneknya, Anna adalah keluarga satu-satunya, begitu pun bagi Anna. Karena itu, ia selalu berusaha mencurahkan kasih sayang dengan bentuk pelayanan dengan menyediakan segala kebutuhan cucunya itu.
"Gimana kerjaan nya?" Anna melirik Tony dengan sudut matanya lalu menggigit kerupuk yang baru ia keluarkan dari toples di atas meja makan.
Tony menghela napas dan menghembuskan dengan berat. Lelaki itu pun ikut mengambil sebuah kerupuk dari toples dengan pelan seperti tak ada tenaga. "Yah... berat emang!" ucapnya sebelum menggigit kerupuk itu.
Anna mengangguk-angguk paham. Ditepuknya punggung Tony yang tidak berbaju itu. "Sabar ya, Ton. Mencari pekerjaan emang berat buat kita yang fresh graduate ini."
"Berat emang nolak panggilan dari perusahaan besar," sambung Tony.
"BANGSAT!!"
Anna meninju lengan Tony yang terasa liat.
Tony pun tertawa, tak mempedulikan tinju Anna di lengan nya.
"Gue udah siap-siap mau menguatkan hati lo biar usaha terus. Tapi elonya malah ga butuh. Bangsat emang lo!" Anna menegak air putih yang baru saja diletakkan Badriah di depan kedua anak itu.
"Haha! Emang lo aja yang bi-!"
Mulut Tony ditutup Anna dengan tangannya. Ia melirik sang nenek yang untung saja sedang mengeluarkan nasi dari magic com.
Keheningan melanda kedua muda-mudi itu. Anna merasakan hangatnya nafas Tony serta kenyalnya bibir pemuda itu di telapak tangannya lalu saat tersadar segera menarik tangan nya kembali.
Tony yang merasakan lembutnya telapak tangan Anna pun berusaha mengabaikan dadanya yang berdegup kencang. Yah... meskipun ia dan Anna sudah berteman dari kecil, selama ini ia tidak mampu menahan rasa yang tumbuh. Dan sebisa mungkin menyembunyikan nya dari Anna dan orang lain.
Tony menyadari, perasaan nya kepada Anna bukan pertemanan apalagi persaudaraan yang selama ini mereka tampilkan, namun perasaan yang biasa tumbuh antara lelaki dan wanita. Yang tentu saja, Tony yakin Anna tidak merasakan sebagaimana yang ia rasakan..
Tony tahu, Anna telah menganggap dirinya layaknya saudara sendiri. Dan Tony tidak ingin merusak rasa persaudaraan dengan menyembunyikan perasaan nya bertahun-tahun.
"Kenapa kalian berdua terdiam?" tanya Badriah saat dirinya ikut duduk di meja berbentuk bundar itu. Semua masakan telah terhidang. "Ayo, makan!" ajaknya.
Anna melirik Tony sambil mengisi piring nya dengan nasi. Ia terdiam karena tidak menyangka Tony hampir saja membocorkan rahasia nya. Sebenarnya sejak sebulan yang lalu ia telah lulus dan diterima menjadi karyawan sebuah perusahaan di ibukota, namun karena memikirkan neneknya akan yang tinggal sendiri lagi, ia meminta waktu untuk bersiap. Dan waktu yang diberikan perusahaan untuknya tinggal dua minggu lagi.
Sempat terpikir oleh Anna untuk membawa neneknya ikut tinggal di ibukota, namun ia tahu itu mustahil. Neneknya tidak akan mau meninggalkan desa dimana lelaki yang dicintainya serta putri satu-satu nya-ibu Anna- disemayamkan. Sedangkan untuk mengunjungi Anna sewaktu kuliah saja, sang nenek hanya mau menghabiskan waktu satu malam di kos nya. Apalagi untuk pindah. Tidak mungkin!
Suara dentingan sendok dengan piring mengiringi acara makan siang kali itu.
"Jadi kamu udah keterima kerja, Ton?!"
Tony yang sedang mengunyah makanan tersedak. Ia buru-buru mengambil gelas untuk mendorong makanan yang tersangkut di tenggorokannya dengan air. Nenek pasti mendengar obrolannya dengan Anna tadi, pikirnya. Tony pun mengangguk. "I-iya, Nek," ucapnya kemudian.
Badriah melirik Anna. "Liat itu Tony!" serunya kepada Anna yang tampak cuek dan menikmati lauk yang sedang disuapnya. "Kapan sih kamu bisa kayak Tony? Berusaha cari kerja, ga malas-malasan kayak gini!"
Nenek ga tau aja! Orang aku lebih dulu keterima kerja dibanding Tony. Dasar Nenek! Lebih suka ditinggal sendiri, apa? Batin Anna. Ia pun melirik Tony, minta diselamatkan.
Tin!Tin!
Suara klakson mobil menyela Tony yang akan mencoba mengalihkan pembicaraan untuk Anna.
Ketiga orang yang berada di meja makan itu pun saling pandang.
"Siapa itu yang datang?"
"Nenek duduk aja!" Anna mencegah neneknya yang akan berdiri dari kursi. "Biar Anna yang lihat."
Sebuah Range Rover bergerak masuk ke halaman rumah tanpa pagar yang terletak di ujung desa.
Sopir berkaca mata hitam melirik kakek tua yang duduk di belakang melalui spion, menunggu arahan sang boss.
Adi Wijaya duduk bergeming. Meski tahu sang sopir menunggu arahan nya, ia tidak bergerak sedikitpun dari tempat duduknya. Pandangannya lurus ke depan ke sebuah rumah tua yang hanya se-ukuran sebuah gazebo di halaman rumahnya.
Wajah tua yang masih menyisakan jejak-jejak ketampanan itu berkerut, menahan rasa sedih yang menusuk dadanya. Bagaimana tidak. Putra satu-satunya, pewaris kerajaan bisnisnya, telah membuat dirinya sangat kecewa. Menikah dan menjadi petani di desa antah berantah ini.
Adi wijaya mengepal kedua tangannya di atas lutut. Andai saja sang putra tidak tewas karena kecelakaan lima belas tahun silam, tentu lelaki itu akan memaafkan pengkhianatan sang putra. Dapat dipastikan Harya Kusuma Wijaya- sang putra akan duduk di tampuk kepemimpinan Wijaya Grup (WG), bukan Wirautama sang keponakan ataupun Agung-suami dari putri angkatnya.
Hhhh!
Adi Wijaya melepas napas berat, kemudian mengangguk, memberi kode kepada sang sopir. Ia tak boleh ragu lagi. Karena saat ini adalah satu-satunya kesempatan untuk menghapus kesalahannya di masa lalu.
Sang sopir pun mengerti. Tangannya menekan klakson.
Tin! Tin!
Adi Wijaya menahan napas saat sebuah wajah muncul dari balik pintu masuk rumah itu. Gadis berkaca mata yang rambut hitam panjangnya dikuncir di belakang tampak menatap lurus ke arah mobil mereka. Raut wajah gadis itu mirip sekali dengan sang putra. Lelaki tua itu berusaha menahan haru, tidak membiarkan dua matanya yang memanas mengeluarkan cairan bening. Ia pun berdeham.
Anna membuka pintu lebih lebar. Menatap tajam ke arah mobil mewah yang sepertinya tersasar ke halaman rumahnya. Menunggu sejenak, tapi tidak ada pergerakan.
Sombong amat tu pemilik mobil! Udah tahu kesasar nyari alamat sampai ke halaman rumah orang, malah ga mau turun. Masa iya mau tanya alamat aja harus yang punya rumah yang nyamperin!
Dengan dongkol, Anna melangkah menghampiri mobil yang cat nya sangat mengkilap itu. Saat Anna sudah hampir tiba di dekat mobil, pintu penumpang mobil pun terbuka.
Anna terpaku saat seorang pria tua yang rambut rapinya sudah memutih sebagian, turun dari mobil itu. Sementara sang sopir yang tidak menyangka bossnya akan langsung turun tergopoh melangkah dan membantu sang juragan menuruni mobil.
Anna mundur, memberi jalan kepada pria tua yang tanpa kata dan hanya lirikan sekilas melangkah lurus ke arah pintu rumah dimana neneknya yang tampak terkejut dan terlihat pucat seiring kedatangan tiba-tiba pria itu.
Anna yang tidak tahu situasi, lupa dengan niat awal menanyakan kedatangan pria tua yang dikiranya salah alamat itu.
"Bolehkan saya masuk?" tanya Adi Wijaya saat dirinya sudah berada di teras depan pintu masuk rumah.
Badriah yang memucat dan terpaku merasakan jiwanya yang sempat melayang kembali ke tubuhnya. "I-iya. Silakan!" gugup, Badriah mundur dan memberikan jalan bagi pria tua yang tentu saja dikenalnya itu. "Pergilah ke belakang, Anna!" Perintah Badriah kepada cucunya yang terlihat masih menampakkan raut tanda-tanya.
Anna pun mengangguk. Ia mengerti bahwa kedatangan pria itu sangat tidak diharapkan oleh neneknya. Dan ada pembicaraan yang tidak boleh ia dengar. "Perlu Anna siapkan minum, Nek?"
"Tidak perlu!" tolak tamu tak diundang itu. Meski pertanyaan gadis itu bukan untuknya.
Anna menangkap raut wajah pria tua dengan setelan casual tapi tampak mahal itu terlihat tidak nyaman memasuki rumah mereka. Terlihat juga bahwa tamu itu tampak ragu hendak duduk di sofa tua yang busa di beberapa sudutnya sudah mencuat keluar minta dijahit kembali. Jika saja Anna tidak disuruh sang nenek untuk kembali ke belakang, tentu ia akan dengan leluasa mengamati tamu tak diundang itu.
"Siapa, Na?" tanya Tony saat tubuh Anna muncul dari balik tirai pintu yang menghubungkan dapur dengan ruang keluarga.
Anna mengangkat bahunya lalu melanjutkan makan, menghabiskan nasi nya yang masih tinggal separuh.
Anna menarik lengan Tony yang berdiri hendak melihat tamu yang datang "Jangan!" Ia menggeleng. "Tampaknya nenek tidak ingin kita ikut campur atau mendengar pembicaraan itu."
Tony pun kembali duduk. "Lo kenal?"
Anna menggeleng, menghabiskan makanan yang sedang dikunyahnya lalu meneguk air untuk mendorong makanan itu melewati tenggorokannya. "Kayaknya sih rentenir!" simpul Anna setelah praduga sebelumnya bahwa tamu itu adalah orang salah alamat tersingkirkan.
"Rentenir?" Tony membelalak sambil menarik kursi nya agar lebih dekat ke Anna. Agar mereka lebih leluasa berbisik.
Anna mengangguk. "Mobilnya Range Rover, sopirnya kayak mafia. Wajah nenek aja sampai pucat pasi. Siapa lagi yang punya urusan sama nenek kalau bukan rentenir?"
Ctak!
Tony menjitak kening Anna dengan telunjuknya. "Elo gimana sih! Kalau rentenir, masa lo biarin nenek menghadapi orang itu sendirian? malah ngelanjutin makan di sini," ia tidak percaya Anna tidak punya empati membantu neneknya yang pasti kesulitan menghadapi orang itu.
Anna mengusap bekas jitakan Tony dengan punggung tangannya sambil mengacung tinju ke arah pria itu. "Sialan lo! Lo ngeremehin nenek? Jangankan rentenir, boss mafia aja kalah sama nenek!" ujar Anna melanjutkan suapannya. "Lagian, setau gue, nenek ga punya hutang ama rentenir."
"Lalu ngapain orang itu ke sini? Lo bilang wajah nenek pucat pasi!"
"Au ah, gelap!" Anna mengangkat bahu, lalu melanjutkan aktivitasnya menghabiskan isi piring nya dalam keheningan. "Sini deh, lo!" Anna menarik lengan Tony saat ia selesai makan ke arah halaman belakang.
Kedua anak muda itu pun duduk di balai-balai tempat Anna tadi menghabiskan waktu. Anna melepaskan pandangan ke arah sawah milik neneknya yang terhampar hingga ke kaki bukit. Semilir angin meniup anak rambutnya, membuat pemuda yang berada disampingnya berusaha keras menyembunyikan hatinya yang bergetar.
Tony mengepal tangan, berusaha menahan agar tangan nya tidak membantu Anna menyelipkan anak-anak rambut nakal yang lepas dari ikatan itu ke belakang telinganya.
"Coba liat itu!" tunjuk Anna ke arah hamparan padi yang mulai mencuat dari sela-sela daunnya. "Gue ralat ucapan gue tadi. Nenek ga akan pernah punya hubungan sama rentenir."
Tony mengikuti arah pandangan Anna. Ia juga duduk seperti Anna dengan kedua lutut ditekuk ke atas. "Lo ga penasaran, kenapa rentenir itu datang?"
"Kali aja itu bukan rentenir, tapi kakek-kakek tua yang mau ngelamar gue!"
Tuk!
Sekali lagi Tony menjitak kening Anna. "Congor lo ya! Asal bacot aja." Ada perasaan tak rela, meski ia tahu kalau Anna hanya asal bicara.
Anna menyengir. Ia memang asal bicara, namun memiliki feeling yang tidak enak sejak ia membuka pintu melihat kedatangan tamu itu. Aura neneknya seperti menghadapi tekanan berat.
Andai Anna tidak tahu bagaimana sifat neneknya, pasti ia tidak akan begitu saja membiarkan dan meninggalkan sang nenek berbicara dengan pria tua menyebalkan itu.
"Jadi lo udah keterima kerja juga?" tanya Anna mengalihkan topik pembicaraan
Tony menarik napas dalam lalu tersenyum. "Iya dong! Masa kalah sama elo!" Tony menepuk dada. Bangga.
Anna ikut bahagia mendengar kabar itu. "Di mana?"
Tatapan bahagia kedua insan itu bertemu.
Hening sejenak.
"WG juga dooong! Haha...," Tony tertawa lalu berlari ke arah pematang sawah, menunjukkan kebahagiaan yang sejak ia sampai di rumah tadi pagi ia tahan untuk diperlihatkan langsung kepada Anna.
"Serius, Lo?!" Anna ikut tertawa mengejar Tony. Kedua insan itu seperti anak kecil kegirangan berlarian di pematang sawah.
Keheningan menyelimuti ruang tamu sekaligus ruang keluarga di rumah sederhana yang ditinggali oleh Badriah dan cucunya. Hanya suara jam dinding yang menemani kedua lanjut usia itu.
Selang beberapa saat, Badriah menghela nafas lalu melepaskan dengan berat.
"Sudah lama sekali ya, Tuan!"
Adi Wijaya tersentak. Sejak memasuki ruangan itu, pandangan nya telah menyapu seluruh ruangan dan berhenti tepat di belakang tuan rumah. Jarak beberapa meter dari posisi duduknya terdapat sebuah potret keluarga di dinding.
Senyuman dan tatapan mata jernih milik Harry seakan menusuk jantungnya. Harry duduk bersanding di sebuah kursi bersama istrinya yang berwajah ayu. Seorang anak perempuan tampak memperlihatkan deretan gigi yang tidak penuh karena telah lepas, di pangkuan Harry.
"Iya. Sudah lama sekali," jawab Adi bergetar.
"Jadi, apa yang membuat Tuan datang ke gubuk kami ini?" tanya Badriah dengan suara yang juga bergetar. Ia berusaha menatap lawan bicaranya, mencoba untuk tidak memperlihatkan rasa takut maupun gentar.
Terlintas di ingatan Badriah bagaimana dulu Adi Wijaya berusaha memisahkan putrinya-Shofia- dengan Harry yang merupakan putra dari pria itu.
Apalagi terjadinya peristiwa nahas yang menimpa Harry dan Shofia juga kemungkinan karena campur tangan dan orang-orang kiriman Adi Wijaya. Tapi sekali lagi, ini hanya prasangka. Toh tidak mungkin seorang ayah kandung menyakiti darah dagingnya sendiri, pikir Badriah lagi.
Adi Wijaya menengadah, mengambil napas.
"Mari kita lupakan masa lalu!" ucapnya kemudian.
Badriah meremas tangannya di pangkuannya. "Ya. Saya setuju. Mari kita lupakan masa lalu." Ia mengangguk. "Jadi apa hanya itu tujuan anda ke sini?"
Adi wijaya berusaha tersenyum membalas tatapan tajam wanita baya di depannya. Andai tadi ia tidak menolak air minum yang akan dibuatkan Anna, tentu ia bisa membasahi tenggorokannya yang kering saat ini. Adi menggeleng. "Tidak. Tentu saja bukan hanya itu." Pandangan Adi beralih ke foto wisuda seorang perempuan cantik di dinding samping mereka.
DEG!
Badriah pun mengikuti arah pandangan Adi. Ia merasakan dada sebelah kirinya berdenyut nyeri. Nafasnya pun mulai terasa keras tak teratur.
Tidak tahan akan rasa nyeri yang semakin meremas jantungnya, Badriah pun berdiri. Dengan langkah sempoyongan berlalu menuju kamarnya.
Tangan tua Badriah yang bergetar menarik laci nakas di samping tempat tidur, mengeluarkan kantong kresek bungkusan obat. Memilih beberapa jenis pil lalu ia menegak obat-obatan itu bersama air putih yang tersedia di atas nakas.
Badriah duduk di tepi tempat tidur sambil menatap langit-langit kamar, membiarkan obat yang baru saja masuk ke tubuhnya untuk bereaksi.
**
Satu setengah bulan lalu...
"Ibu harus dipasang cincin di sini!" dokter jantung yang sepertinya seusia dengan putranya yang telah tiada menunjuk hasil echocardiogram yang memperlihatkan gambar hitam putih organ jantung Badriah. "Ibu lihat, aliran darah yang membantu jantung untuk bekerja sudah hampir tersumbat penuh. Kalau tidak segera ditindak, akan ada kemungkinan serangan berikutnya!"
Dua jam yang lalu, Badriah tiba-tiba pingsan di halaman rumah. Beruntung Nimas- ibu Tony- menyaksikan itu dan segera melarikan Badriah ke Rumah Sakit bersama bantuan tetangga. Setelah mendapatkan pertolongan pertama dan beberapa pemeriksaan, Badriah dinyatakan menderita jantung koroner.
"A-apa tidak bisa sembuh dengan minum obat saja, Dok?" tanya Badriah lemah. Di sampingnya, Nimas menggenggam jemari tua Badriah, memberi kekuatan kepada tetangganya itu.
Dokter menghela napas. "Sejauh ini, obat-obatan tidak banyak membantu untuk kasus seperti ini."
Badriah dan Nimas saling pandang. "Berapa persen kemungkinan sembuh jika dipasang cincin, Dok?" tanya Nimas.
"Kemungkinan pulih cukup besar, tapi..."
"Tapi apa, Dok?"
"Tapi perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan dan persiapan untuk tindakan tersebut. Karena saat dilakukan tindakan bisa saja terjadi henti jantung."
Badriah memejamkan mata. Ia mengerti maksud sang dokter bahwa prosedur tindakan itu bisa saja membuat dirinya meninggal dunia. Sudut matanya menghangat. Bayangan suami dan putri nya yang telah tiada berputar-putar bersama bayangan Anna.
Badriah tidak takut kehilangan nyawa, namun mengingat Anna akan tinggal seorang diri...
Nimas memijat bahu Badriah. Ia pun ikut terisak.
"Kalau begitu saya permisi dulu, karena harus melayani pasien di poliklinik. Semua keputusan kami serahkan ke pasien. Nanti akan ada suster yang memberi penjelasan lebih lanjut."
Badriah hanya bisa mengangguk, memperhatikan punggung dokter itu berlalu dari ruang periksa.
"Tolong jangan bilang ke Anna. Ibu ga mau menyusahkan anak itu!" ucap Badriah kepada Nimas yang masih setia di sampingnya.
Nimas pun mengangguk, meski sebelumnya ia berniat memberitakan keadaan Sang Nenek kepada Anna yang sedang berada di kota lain mengurus pengambilan ijazah nya.
**
Badriah kembali muncul ke ruang tamu setelah nyeri di dadanya tak lagi dirasakan.
"Apa Tuan akan menjamin kebahagiaan Anna, jika saya melepasnya pergi?"
Adi Wijaya menatap wanita baya di depannya. Ia takjub, wanita itu mengerti dan tahu maksud serta tujuan nya. Bahkan ia belum bicara sepatah kata pun tentang tujuan nya itu. Sekali lagi ia menyesali perbuatan nya dahulu.
Andai saja ia tidak arogan, menganggap wanita pilihan putranya beserta keluarga hanyalah orang-orang desa yang materialistis sehingga ia tidak merestui pernikahan itu, mungkin saja sekarang putranya masih hidup dan melanjutkan kerajaan bisnis mereka.
Tentu saja kali ini Adi tidak bertindak tanpa menyelidiki keadaan keluarga ini terlebih dahulu. Adi tahu kalau besan yang tidak diakuinya ini sedang menderita penyakit jantung. Cucunya, tidak lagi punya keluarga dekat lain. Inilah saat nya bagi Adi untuk menebus kesalahannya di masa lalu.
"Tentu saja Anna akan mendapatkan haknya sebagai putri dari anak kandungku." Adi berkata tegas. "Tapi soal kebahagiaan..." mata Adi berkaca-kaca. Jika harta dan kedudukan menjamin kebahagiaan, maka putranya tidak akan berakhir seperti itu. Usia telah menunjukkan kepada pria itu bahwa kebahagiaan tidak bisa dibeli.
Badriah tersenyum. "Akhirnya anda mengerti," ucapnya. Sekarang, Badriah tidak lagi perlu mengkhawatirkan masa depan cucunya. Anna akan berada di tangan orang yang tepat. Ia akan mendapat kasih sayang kakek yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
**
Matahari sudah condong ke ufuk Barat saat dua anak muda berlainan jenis masih tertawa-tawa keluar dari sebuah sungai di kaki bukit.
"Ga kerasa udah sore aja!" seru Anna yang memegangi bagian bawah bajunya, agar pakaian itu tidak mencetak lekuk tubuh bagian depannya.
Tony mengangguk, berusaha mengalihkan perhatian dari tubuh basah Anna yang membuat tenggorokan nya tiba-tiba terasa kering.
"Bang Tony! Kak Anna! Besok mandi di sini lagi ya!" seruan dari arah sungai membuat kedua orang itu serentak mengalihkan pandangan ke arah sumber suara. Beberapa bocah laki-laki dan perempuan tampak masih asik mandi-mandi.
"Ya!" jawab Anna dan Tony serempak. Lalu mereka saling pandang kemudian tertawa. Seru!
Setelah berlarian di pematang sawah tadi, mereka duduk-duduk di tepi sungai, lalu ikut berbasah-basahan dan mandi-mandi bersama bocah-bocah tetangga mereka. Berbagai permainan mereka mainkan hingga waktu tak terasa berlalu.
"Ayuk, kejar gue kalau lo mampu!" Tony menepuk pundak Anna lalu mendahului gadis itu berlari melewati jalanan kecil di tepi sawah menuju rumah mereka.
Anna menggigit bibirnya sebal. "Jangan tinggalin gue, Ton! Tunggu!" ia pun ikut berlari menyusul Tony yang menertawakannya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!