NovelToon NovelToon

Jadi Yang Ke-2

Bab.1

"Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?" tanya seorang resepsionis sebuah kantor firma hukum yang terkenal di kota itu.

"Iya, saya ingin bertemu dengan bapak Satria. Apakah beliau ada?" jawab Kia.

"Maaf, apakah sudah ada janji sebelumnya?karena beliau sedang keluar saat ini."

"Apakah akan lama? karena kalau hanya sebentar, saya akan menunggu saja disini."

"Saya tidak tahu, karena bapak Satria baru saja keluar sepuluh menit yang lalu untuk bertemu klien."

Kia sudah datang lebih awal dari waktu yang diinstruksikan kakaknya, namun nyatanya nasib baik belum berpihak padanya. Orang yang hendak ditemuinya pergi sepuluh menit sebelum kedatangannya. Satria, seorang pengacara yang ia harapkan akan bisa mengeluarkannya dari masalah.

"Baiklah, saya akan tunggu saja. Terima kasih untuk informasinya," ucap Kia sambil tersenyum ramah.

Sang resepsionis pun mempersilahkan Kia untuk menunggu di ruang tunggu. Kia berjalan menuju sofa tunggu yang disediakan kantor itu. Dengan wajah yang sedikit kecewa, Kia duduk di sofa tunggu itu. Kia mulai mengeluarkan ponselnya untuk mengisi waktu menunggunya. Dia menscroll berita yang tersaji di layar ponselnya. Tak disangkanya, berita tentang kakaknya dan kebangkrutan keluarganya tersebar begitu cepat.

Kia menarik nafasnya dalam-dalam, ia pejamkan matanya. Memikirkan hal yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Dirinya harus sampai pada situasi sekarang. Harta berlimpah, kehidupan glamor, berpesta, teman-teman sosialita, Shopping, semua seolah akan meninggalkan dirinya. Karena harta dan kuasa yang dimiliki ayahnya kini telah hilang, seiring dengan pemberitaan perusahaan yang telah dinyatakan pailit.

Tak sampai disitu, kakaknya, yang menjadi satu-satunya keluarganya, ditangkap polisi atas tuduhan kasus pembunuhan terhadap kekasihnya. Untuk semua alasan itulah, saat ini, Zakiya Alarice atau yang biasa dipanggil Kia, harus duduk di ruang tunggu ini.

Satria Anggar Buana, adalah seorang pengacara sekaligus teman dari kakaknya. Kia diminta oleh Keenan, kakaknya, agar menemui Satria untuk meminta bantuan. Agar kakaknya bisa terbebas dari tuduhan pembunuhan.

Lama juga Kia menunggu pria bernama Satria itu. Rasanya sungguh membosankan, dan membuat Kia kesal. Kalau bukan demi kakaknya dan masa depannya, Kia tak akan pernah mau repot-repot menunggu orang.

Kia bangkit dari sofa dan menuju meja resepsionis untuk bertanya, apakah orang yang ia cari sudah kembali. Jawaban resepsionis membuatnya bertambah kesal, karena sang empunya kantor ternyata belum juga kembali. Entah apa yang ia kerjakan di luar sana, hingga menghabiskan waktu hampir setengah hari.

Kia kembali ke sofa yang tadi ia duduki. Kali ini ia memilih untuk membuka-buka majalah yang ada di ruang tunggu itu. Membaca membuatnya bertambah bosan dan malah mengantuk. Kia menguap beberapa kali setelah melihat tulisan-tulisan yang ada di majalah yang ia pegang.

Tak peduli lagi sedang dimana dirinya sekarang, Kia mulai menutup matanya. Tadinya berniat mengistirahatkan matanya sejenak, agar tak lelah dipaksa untuk melihat tulisan-tulisan di majalah. Namun niat mengistirahatkan mata itu justru membuatnya benar-benar tertidur.

Lama Kia tertidur, hingga ia tergeragap saat posisi kepalanya yang miring serasa akan jatuh. Dia terbangun dari tidurnya, Kia menoleh ke sisi kiri dan kanannya. Seketika dia menutup mulutnya sendiri dengan kedua telapak tangannya.

"Ya Tuhan, di mana aku sekarang?" tanyanya pada dirinya sendiri.Kia merasa belum pernah ke tempat ini sebelumnya.

"Ok ... rileks," ucapnya kemudian, sambil mengatur nafasnya dengan gerakan tangan diangkat ke atas saat menarik nafas dan menurunkannya saat membuang nafas.

Kia teringat, kalau dirinya berada di kantor firma hukum milik teman kakaknya. Kia melirik jam tangannya, sudah jam lima sore.

"OH MY GOD!!!" teriak Kia.

Kia langsung berdiri dan menghampiri meja resepsionis lagi. Dilihatnya resepsionis yang ber-name tag Lina itu sedang berkemas-kemas.

"Maaf mbak, apakah bapak Satria sudah kembali?" tanya Kia.

"Iya, Mbak. Baru saja bapak masuk ke ruangannya, saya juga baru mau memanggil Mbak. Ternyata Mbak sudah kesini dulu. Mari Mbak, saya antar," ucap resepsionis.

Kia pun mengikuti Lina untuk naik ke lantai atas, dimana ruangan sang pengacara berada.

"Permisi, Pak. Ini tamu yang sudah dari tadi siang menunggu Bapak," ucap Lina saat memasuki ruangan bosnya.

"Suruh masuk! dan kamu boleh pulang," titah Satria.

Lina pun mengangguk dengan tersenyum, dan mempersilahkan Kia masuk. Setelahnya dia pergi meninggalkan Kia bersama pengacara itu.

"Ada yang bisa saya bantu?" tanya Satria yang tetap fokus pada laptop di depannya.

"Iya, saya butuh bantuan anda. Tapi sebelumnya bolehkan saya duduk," ucap Kia menahan kesal karena merasa tidak dihormati.

Dimana sopan santun pengacara terkenal ini, ada tamu di depannya, tapi ia justru sibuk sendiri. Bahkan tak menatap lawan bicara saat tadi ia bertanya.

"Silahkan, dan mohon tunggu sebentar karena saya sedang sibuk," ucap Satria.

Kia langsung duduk di depan Satria, memandang wajah serius pria yang tengah fokus pada layar laptopnya.

"Perkenalkan, saya Kia. Saya adalah adik dari Keenan Surya Atmadja," ucap Kia yang sudah tidak sabar menyampaikan pesan dari kakaknya.

Kia sudah terlalu lama menunggu, dan ia tak ingin lebih lama lagi menunggu. Karenanya, tanpa diminta, Kia memulai untuk memperkenalkan diri. Biarlah ia dianggap tidak sopan, karena pria di depannya berlaku sama tidak sopannya terhadapnya.

Mendengar ucapan Kia, seketika Satria mengalihkan pandangannya pada gadis yang tengah duduk di depannya.

"Kamu, adiknya Keenan?" tanya Satria menatap serius pada Kia.

"Ya, saya adik dari Keenan Surya Atmadja. Dan saya kesini karena perintah kakak saya," jawab Kia.

"Ada pesan apa dari Keenan?" tanyanya kemudian.

Kia merogoh ke dalam tasnya, mencari sebuah amplop yang tadi ia terima dari kakaknya, untuk diberikan kepada teman pengacara kakaknya. Kia mengulurkan amplop putih itu kepada Satria. Setelah membaca pesan yang tertulis di dalam amplop itu, Satria paham akan masalah yang di hadapi temannya.

Satria menatap wajah Kia dengan intens, memperhatikan dengan seksama adik dari temannya itu.

Sementara Kia jadi merasa tidak nyaman dengan tatapan pria yang ada di depannya ini. Ada sedikit rasa takut, saat pria di depannya ini tidak juga mengalihkan pandangannya.

"Bagaimana, apakah anda bersedia membantu kami?" ucap Kia agar pria didepannya sadar akan perbuatan tidak sopan nya.

Satria tersenyum tipis. "Imbalan apa yang akan aku dapat jika aku membantu kalian," tanya Satria yang langsung membuat Kia tak percaya.

Kata Keenan temannya ini sangatlah baik, dan pasti akan bersedia membantunya dan kakaknya.bTapi yang Kia lihat sekarang justru berbeda, pengacara ini terang-terangan meminta imbalan.

"Bagaimana kalian akan membayar ku jika kalian saja sudah tidak memiliki apapun?" ucap Satria.

"Aku bukan pekerja sosial yang akan memberikan jasaku secara gratis," sambungnya.

"Anda sudah tahu kami tak memiliki apapun, lalu untuk apa anda bertanya tentang imbalan apa yang bisa kami berikan," jawab Kia.

Satria justru tertawa mendengar jawaban Kia.Dia berdiri dari kursi kebesarannya, dan berjalan mendekati Kia. Pria itu menghentikan langkahnya saat berdiri tepat di belakang Kia.

❤️❤️❤️❤️❤️

Bab.2

Satria justru tertawa mendengar jawaban Kia. Dia berdiri dari kursi kebesarannya, dan berjalan mendekati Kia. Pria itu menghentikan langkahnya saat berdiri tepat di belakang Kia.

Satria membungkukkan badannya, dan memposisikan kepalanya sejajar dengan kepala Kia. "Kalian mungkin sudah tidak punya harta, tapi kamu masih mempunyai tubuh untuk bisa dijadikan imbalan," bisiknya tepat di telinga Kia.

Sontak Kia kaget mendengar ucapan pria kurang ajar ini. Kia langsung berdiri bersamaan dengan Satria yang kembali menegakkan tubuhnya.

Kia membalikan tubuhnya, menatap marah akan ucapan Satria. Kia tidak hanya tersinggung, tapi dia sakit hati karena merasa dihina.

"Saya tidak menyangka, seorang pengacara terkenal seperti anda ternyata suka dengan permainan kotor," ucap Kia yang masih berusaha sopan meski harus menahan kemarahannya.

Kia hendak melangkah pergi meninggalkan pria berengsek ini. Persetan dengan masalah kakaknya, ia akan memikirkannya nanti. Pengacara bukan hanya pria ini saja.

"Kita belum mencapai kesepakatan, kenapa terburu-buru pergi?" ucap Satria yang mencekal pergelangan tangan Kia untuk menghentikan langkah Kia.

Kia menghempaskan cekalan tangan Satria, menatap pria itu dengan tajam. Membuka matanya selebar mungkin untuk menunjukkan kemarahannya.

"Saya tidak suka bersepakat dengan pria yang tidak bisa menghargai wanita!" ucap Kia tegas.

Bukannya marah karena ucapan Kia yang menyinggung, Satria justru tersenyum dengan gadis di depannya ini.

"Kamu tidak mengenal saya, bagaimana bisa kamu menilai saya tidak bisa menghargai wanita," jawab Satria santai.

"Pria yang meminta tubuh wanita sebagai imbalan, apakah itu tidak cukup untuk membuktikan bahwa dia pria yang tidak bisa menghargai wanita?"

"Kamu terlalu cepat mengambil kesimpulan mu sendiri."

Kia masih berdiri menatap tidak suka pada pria bernama Satria ini.

"Duduklah kembali, kita akan berbicara tentang kesepakatan."

Kia tak mengindahkan perintah Satria untuk kembali duduk. Dia tetap berdiri diposisi nya.

Satria pun menarik kursi yang berada tepat di samping Kia. "Duduklah!" titahnya.

Yang langsung berjalan ke arah sofa yang terletak di ruang kerjanya. Satria mendudukkan dirinya di sana, dan menyilangkan kakinya dengan elegan.

Melihat Satria yang sudah duduk dan terus menatapnya seolah memberi perintah agar Kia juga duduk seperti perintahnya tadi. Kia pun akhirnya duduk di kursi yang tadi ditarik Satria. Mereka kini berhadap-hadapan, meski berjauhan.

"Sebelumnya Aku ingin bilang tidak usah terlalu formal dalam pembicaraan ini. Aku adalah teman kakakmu," ujar Satria.

"Aku tidak suka berbasa-basi, jadi aku akan langsung mengatakan maksud dari ucapanku tadi," ucap Satria mengakhiri kebisuan diantara dirinya dan Kia.

"Aku bisa saja membantumu dan juga kakakmu, dan sebagai imbalannya aku juga ingin kamu membantuku."

Kia diam, belum ingin memberikan respon apapun.

"Aku ingin kamu menjadi istri sirri ku."

Mendengarnya, Kia langsung berdiri dan tak ingin lagi membicarakan tentang kesepakatan.

"Jangan marah dulu, duduklah kembali," ucap Satria yang menyadari kemarahan Kia.

"Aku akan membantu kakakmu dan juga perusahaan milik almarhum ayahmu jika kamu bersedia menjadi istri sirri ku. Namun jika kamu tidak mau, tidak masalah untuk ku. Kamu bisa mencari pengacara lain, yang aku jamin, tidak akan ada pengacara yang mau bekerja cuma-cuma," jelasnya.

Kali ini Kia langsung berdiri dan meninggalkan ruangan pengacara itu.

"Pikirkanlah baik-baik, dan kapanpun kamu boleh datang padaku," ucap Satria sebelum Kia menghilang di balik pintu.

🍁🍁🍁🍁

Kia menghempaskan tubuhnya di atas ranjang begitu sampai di rumahnya. Rumah yang kini sepi, hanya dirinya sendiri yang tinggal di rumah sebesar ini. Para asisten rumah tangga sudah ia pulangkan semua, sejak ia mengetahui kondisi keuangan perusahaan. Kia pun juga harus segera meninggalkan rumah penuh kenangan ini, rumah yang menjadi saksi bertumbuhnya Kia.

Rumah ini termasuk aset yang akan disita untuk memenuhi kewajiban perusahaan. Dan waktu yang diberikan untuknya akan segera habis, Kia harus segera mengosongkan rumah ini.

Kia menatap langit-langit di kamarnya, memikirkan tentang bagaimana ia akan membebaskan kakaknya. Dan dimana ia akan tinggal setelah terusir dari rumahnya.

Di kontrakan atau menumpang di rumah temannya. Kia yakin teman-temannya akan dengan senang hati menampungnya.

Tiba-tiba Kia teringat juga tentang ucapan pengacara yang tadi sore ia temui. Haruskah ia memenuhi tawaran itu. Kalau dipikir-pikir, benar juga kata pengacara itu. Tidak akan ada pengacara yang mau bekerja cuma-cuma. Tapi jika dia penuhi tawaran menjadi istri sirri pengacara itu, bukankah sama saja dengan menjual diri.

Dering ponsel Kia menyadarkan Kia dari lamunannya. Kia merogoh tas yang tadi ikut ia lempar ke atas ranjang. Saat hendak mengangkat panggilan itu, ponsel Kia sudah berhenti berdering. Kia membuka layar ponselnya, dan tertulis nama shila yang panggilannya tidak sempat terjawab.

Kemudian Kia membuka pesan dari Shila, yang merupakan satu-satunya sahabatnya sekarang. Teman-temannya yang lain seolah menghilang, dan tidak bisa dihubungi sejak keluarga Kia bermasalah. Tinggal Shila saja yang masih mau berteman dengan Kia. Shila menanyakan kabar Kia, yang memang sejak berita dan kasus kakaknya mencuat ke publik, Kia tak lagi muncul di kampus. Kia juga menonaktifkan ponselnya, itu semua untuk menghindari wartawan yang akan mengorek informasi darinya.

Baru tadi pagi Kia mengaktifkan lagi ponselnya. Ternyata banyak pesan dari sahabatnya yang mengkhawatirkan keadaannya. Kia mulai membalas pesan dari Shila dan mengatakan bahwa ia baik-baik saja.

Kia merasakan perutnya lapar, karena sejak tadi siang dia belum mengisinya sama sekali. Kia turun kedapur dan mencoba mencari makanan disana, lemari pendingin yang biasanya penuh dengan makanan ataupun bahan masakan, kini sudah nampak kosong. Sejak ia merumahkan asisten rumah tangganya, tidak ada yang mengurusi dapur.

Hingga ketika tidak ada persediaan makanan di dapurnya pun ia tak tahu. Beruntung masih ada telur didalam lemari pendingin yang satunya. Kia mengambil dua telur dari sana, dan menaruhnya di meja. Kia memandangi dua butir telur yang baru saja ia ambil, menatapnya penuh tanya. Akan jadi makanan apa telur ini, dan juga bagaimana cara mengolahnya menjadi makanan.

Kia tidak pernah terlibat dengan urusan dapur sebelumnya, karena ayah dan kakaknya terlalu memanjakannya. Kia mengambil kedua telur itu, satu di tangan kanannya dan yang lain di tangan kiri. Ditatapnya sungguh-sungguh kedua telur di tangannya.

"Bisakah kalian berubah menjadi makanan yang lezat untuk ku?" ucapnya pada telur-telur itu, lalu menggenggamnya. Kia menutup matanya, kemudian berkomat-kamit seperti merapal mantra. "Boooom," teriaknya, lalu meniup dua telur dalam genggamannya.

Perlahan Kia membuka matanya, beriringan dengan genggaman tangannya yang juga membuka. Kia menatap kecewa pada dua telur ditangannya, kenapa telur-telur itu tidak berubah seperti biasanya. Dulu kakaknya selalu mengajarinya, jika ia ingin sesuatu tinggal merapal mantra yang diajarkan kakaknya, dan semua yang ia inginkan akan terwujud.

Semua itu memang ia lakukan ketika ia masih kecil, dan Kia mencobanya lagi kali ini. Berharap keinginanya merubah telur itu jadi makanan yang lezat terwujud seperti saat ia masih kecil.

Ah ... mungkin dia salah merapal mantra, Kia kembali memulai ritualnya. Menggenggamnya dan merapal mantra dengan hati-hati agar tak salah ucap. Namun setelah ritual yang ia lakukan, telur itu tetap tak berubah menjadi apapun. Tetap menjadi telur. Kia mulai menangis, diletakkannya kedua telur itu di atas meja.

"Dasar bodoh." Kia merutuki dirinya sendiri, Kia sadar semua yang diajarkan kakaknya hanyalah tipuan untuk membujuknya saat masih kecil. Mungkin karena sudah terlalu frustasi, Kia ingin mencobanya kembali.

"Ayolah Kia, kamu bukan orang bodoh yang hidup di alam mimpi," hatinya menyuarakan logika agar Kia bangkit dari khayalannya.

"Tapi aku ingin, kalau ini semua hanya mimpi. Aku mau semuanya kembali!" teriaknya sambil menangis terisak.

"Aku mau kakakku, aku mau semua kesenanganku kembali. Bukan seperti ini!" teriaknya lagi.

Kia semakin menangisi nasibnya, sekarang ia tak memiliki apapun. Bahkan kemampuan memasakpun ia tak punya. Menyedihkan.

❤️❤️❤️❤️❤️

Bab.3

Kini Kia sudah bersiap dengan koper-kopernya. Waktu yang ditetapkan untuk ia mengosongkan rumahnya sudah tiba. Kia menatap sedih kearah rumah yang ia tinggali selama dua puluh tahun hidupnya. Banyak suka dan duka ia jalani di rumah ini bersama kakak dan ayahnya, karena memang, ibu Kia sudah meninggal ketika ia berumur sepuluh tahun. Ibu angkatnya.

"Ayo, kita harus pergi," ajak Shila yang merangkul bahu Kia.

Kia menurut pasrah pada ajakan Shila untuk masuk ke mobil. Sementara koper-kopernya sudah lebih dulu dimasukkan kedalam bagasi oleh supir keluarga Shila. Kia tak bisa menahan air matanya, ketika mobil yang ia tumpangi mulai melaju dan menjauh dari rumahnya.

"Tenanglah, semua pasti akan membaik," ucap Shila menenangkan.

Kia hanya bisa mengangguk sebagai jawaban, karena Kia sendiri tidak tahu kapan semuanya akan membaik. Kakaknya masih ada di tahanan, jika kakaknya saja masih ditahan, bagaimana perusahaan ayahnya akan bangkit. Kia sudah berusaha mencari pengacara untuk kakaknya, dan ternyata benar, tidak ada yang gratis di dunia ini. Sementara dirinya sudah tak memiliki apapun untuk membayar jasa pengacara.

Perjalanan dari rumah Kia ke rumah Shila tidaklah terlalu jauh.

"Ayo turun," ucap Shila menyadarkan Kia dari lamunannya.

Kia tersenyum, lalu mengikuti Shila yang melangkah masuk kedalam rumahnya. Dengan wajah ceria, Shila kembali memperlihatkan kamarnya untuk Kia. Ini bukan kali pertama Kia menginap di rumah Shila. Karena mereka bersahabat baik, otomatis sudah sering kali Kia menginap di rumah ini. Tapi, mungkin ini akan jadi waktu terlamanya menginap di rumah sahabatnya itu.

"Shila, bener nih aku boleh numpang disini dulu?soalnya aku nggak enak sama keluarga kamu," ucap Kia saat memasuki kamar Shila.

"Kamu kenapa sih, jelas nggak apa-apa lah. Keluarga aku kan udah kenal kamu," jawab Shila menyeret koper Kia masuk ke kamarnya.

Kia memang sudah mengenal baik orang tua Shila. Shila sendiri tinggal berdua dengan kakaknya yang bernama Erik, sementara orang tuanya jarang sekali pulang ke rumah ini, karena mereka menetap di kota lain, di mana bisnis mereka berdiri.

"Kamu beneran mau sekamar sama aku, masih banyak lho kamar di sini buat kamu pilih."

"Iya, aku pengen sekamar saja sama kamu. Seperti biasa kalau aku menginap di sini, kita bisa ngobrol sebelum tidur."

Kia dan Shila sama-sama duduk di tepi ranjang.

"Jadi, kamu kapan mulai kuliah lagi?" tanya Shila.

"Aku belum tahu, sejujurnya aku belum siap dengan pemberitaan yang ada."

"Kamu sudah menemukan pengacara untuk kakakmu?"

"Sebenarnya sudah, dia pengacara yang dipilih kakakku untuk membantu masalahnya. Dia juga teman kakakku, tapi aku tidak punya cukup uang untuk membayarnya."

"Kamu bilang dia teman kakakmu, kenapa harus bayar?"

"Tidak ada yang gratis di dunia ini," ucap Kia.

Shila tertawa dengan ucapan sahabatnya itu.Tapi benar juga, mana ada pengacara gratis untuk suatu kasus. Biarpun teman, tetap harus bayar.

Kia menceritakan semua tentang pertemuannya dengan pengacara bernama Satria itu, termasuk tawaran satria untuk menjadikan Kia istri sirrinya.

"Kamu serius, pengacara itu bicara seperti itu sama kamu?" tanya Shila kaget dengan cerita Kia.

"Ya serius lah. Makanya, ini aku sedang memikirkan apakah ku terima saja tawarannya. Karena kalau aku tidak menerimanya, tidak ada yang mau membantu kakakku."

"Kenapa kamu tidak mencoba cara lain, bukan menjadi istrinya, tapi jadi pegawainya mungkin. Dengan begitu kamu bisa membayar jasanya untuk menangani kasus kakakmu."

"Biaya untuk membayar seorang pengacara tidaklah sedikit, apalagi untuk kasus berat seperti kakakku."

"Iya juga ya. Bisa-bisa seumur hidup kamu kerja sama dia buat melunasi hutang," jawab Shila terkekeh.

"Tapi kenapa harus nikah sirri?apa kamu mau dipoligami?" tanya Shila penasaran.

"Mana aku tahu, sebelum aku meminta penjelasannya, aku sudah pergi terlebih dulu. Aku tidak akan mau dipoligami untuk alasan apapun. Lagi pula, aku tidak ingin jadi orang ketiga dalam rumah tangga orang."

"Jangan bicara seperti itu, bagaimana jika memang takdirmu harus jadi istri kedua? Kamu tidak akan bisa melawan takdir," ucap Shila menakut-nakuti Kia.

Kia menepuk paha Shila dengan keras, hingga Shila mengaduh. "Jadi menurutmu, apa tidak ada jalan lain selain menjalani nikah sirri?"

"Ehm ...." Shila terdiam memikirkan pertanyaan temannya. Kia juga melakukan hal yang sama untuk mencari solusinya.

Shila dan Kia nampak berfikir, langkah apa yang akan diambil untuk menyelesaikan masalahnya. Di saat keduanya sedang memikirkan bagaimana caranya agar mendapatkan seorang pengacara untuk membantu kasus kak Keenan, asisten rumah tangga Shila memanggil mereka untuk makan siang. Katanya, kakak Shila yang bernama Erik itu sudah pulang dan menunggu mereka di meja makan.

Merekapun turun seperti permintaan kakak Shila.Ternyata memang Kak Erik pulang untuk makan siang.

"Kok tumben jam segini pulang Kak?" sapa Shila pada kakaknya.

"Tadi ada meeting di luar, terus ingat ada dokumen tertinggal di rumah, jadi mampir sekalian," jelas Erik.

Shila mengajak Kia untuk duduk bersama kakaknya. "Kak, Kia mau tinggal di sini sementara. Kakak tahu kan berita tentang kakaknya Kia dan perusahaan ayahnya?" ucap Shila yang mulai mengambil piringnya.

"Iya kak, kalau boleh saya mau minta ijin untuk tinggal di sini sementara," ucap Kia.

"Tentu saja boleh, Shila pasti akan senang kalau kamu tinggal di sini."

Nampak raut bahagia di wajah Kia dan Shila. Mereka pun makan dengan tenang tanpa bersuara.

🍁🍁🍁🍁

Di malam hari, Kia terbangun karena perutnya terasa mulas. Setelah dari kamar mandi, Kia turun untuk mengambil air hangat. Pikirnya air hangat akan bagus untuk perutnya yang baru saja menguras isinya.

Setelah meminum air hangat itu, Kia dikagetkan dengan sosok yang berdiri di belakangnya.

"Kak Erik," panggil Kia. "Sedang apa malam- malam begini?" tanyanya.

"Sama seperti mu, aku juga ingin mengambil minum."

"Oh ... kalau begitu Kia keatas dulu, kak," pamit Kia.

"Tunggu," sergah Erik untuk menghentikan langkah Kia.

Kia pun berhenti dan menoleh, di mana Erik berdiri. Erik terdiam memperhatikan Kia dari atas hingga bawah, entah apa yang ia pikirkan. Dan tatapan Erik membuat Kia menjadi risih.

"Ada apa Kak?" tanya Kia pada Erik yang tak kunjung berbicara.

"Ehm ... apa kamu butuh bantuan?" ucapnya melangkah mendekati Kia.

"Maksud Kak Erik apa?" tanya Kia yang benar-benar tak mengerti maksud pembicaraan Erik.

"Maksud ku, apa kamu butuh bantuan finansial?"

Kia bingung harus menjawab apa. Dia memang butuh bantuan finansial, tapi dia juga bukan orang yang tidak tahu diri. Sudah diterima untuk menumpang saja dia sudah senang, jadi tidak ada niatan dalam hatinya untuk meminta bantuan secara finansial.

"Tidak kak, terima kasih. Sudah diberi tempat tinggal saja saya sudah sangat bersyukur.

"Tidak apa-apa, aku akan sangat senang bisa membantumu." katanya pada Kia.

"Tidak, terima kasih kak. Maaf saya mau kembali ke kamar," pamit Kia yang langsung meninggalkan Erik. Sebenarnya Kia merasa tidak nyaman dengan pandangan Erik tadi. Erik menatapnya seolah ada niatan tidak baik yang tergambar dari tatapannya.

❤️❤️❤️❤️❤️

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!