NovelToon NovelToon

Guru Muda Yang Dipindahkan Ke Kota

Jejak Langkah di Tanah Asing

NovelToon
Langit senja menyala lembut, membiaskan cahaya jingga ke sawah yang baru selesai dipanen. Angin desa menyusup pelan ke sela-sela dedaunan, membawa aroma tanah dan ketenangan yang begitu asing bagi Alva. Ia berdiri di tepi jalan kecil, memandangi rumah-rumah kayu sederhana yang berjajar rapi di kejauhan.
Tas besarnya baru saja diturunkan dari mobil bak terbuka milik kepala desa. Di sebelahnya, koper merah menyandar pasrah pada tiang bambu. Sesederhana itu permulaannya.
Pak Rowan
Pak Rowan
Selamat datang di Desa Rengganis, Bu Alva. Semoga betah, ya
Pak Rowan adalah kepala desa yang ramah.
Sebelum pamit meninggalkannya di depan rumah dinas guru, Alva hanya mengangguk sopan, tersenyum kecil. Dalam hatinya, ia tak yakin dengan keputusan ini. Kota telah menguras hatinya habis—pengkhianatan cinta, pekerjaan yang membuatnya lelah, dan keluarga yang tak lagi satu atap. Maka, saat tawaran mengajar di desa terpencil ini datang, Alva menerimanya tanpa banyak pikir.
Alva
Alva
Barangkali... sunyi bisa menyembuhkan
gumamnya Alva dengan pelan
NovelToon
Rumah dinas itu sederhana. Dinding kayu, lantai semen, atap seng yang berderit halus tertiup angin. Tapi bersih. Rapi. Ada ketulusan di setiap sudutnya, seolah menyambut siapa pun yang datang dengan niat baik.
Alva membuka jendela, membiarkan udara masuk dan menyingkirkan debu kota yang masih menempel di pikirannya. Matanya menyapu pemandangan luar: ada warung kecil di ujung jalan, pohon mangga besar di halaman sebelah, dan suara ayam dari kejauhan.
Ketika hari mulai gelap, Alva menyalakan lampu minyak dan duduk di kursi rotan tua yang menghadap jendela. Tangannya meraih buku catatan dan pena.
NovelToon
Alva
Alva
Hari pertama. Tidak ada yang istimewa, kecuali langit senja yang terlalu indah untuk tempat yang kutemui di masa terburuk dalam hidupku. Mungkin Tuhan memang masih menyisakan sedikit keajaiban.
Itu yang ditulis oleh Alva di bukunya
Belum sempat menutup bukunya, terdengar suara gaduh dari luar. Seperti sesuatu seseorang yang terjatuh~~~? Alva bangkit, berjalan pelan ke luar rumah.
Di depan halaman, seorang gadis kecil tergelincir di rerumputan basah. Di sampingnya, boneka kayu patah kakinya. Wajah si kecil memerah, menahan tangis. Ia menatap Alva seperti melihat makhluk asing.
Alva
Alva
Eh… kamu kenapa? Sakit ya?
Anak itu tak menjawab. Hanya menunduk dan memeluk bonekanya yang rusak. Langkah berat terdengar dari arah belakang. Seorang pria tinggi, berambut gelap, mengenakan kemeja kusut dengan celana kerja lusuh, muncul dari balik pohon mangga.
???
???
Dara!!!!!!!
Gadis kecil itu segera berdiri, menatap pria itu, lalu kembali melirik Alva.
???
???
Saya minta maaf
???
???
Dia sering main ke sini karena suka pohon mangga di halaman belakang
Alva
Alva
Tidak apa-apa. Namanya Darra, ya
Arhan
Arhan
Iya. Saya Arhan
Alva sempat tertegun. Pria ini... tampak berbeda. Ada sorot sendu yang dalam di matanya. Sorot orang yang menyimpan cerita.
Alva
Alva
Saya Alva. Guru baru di SD Rengganis.
Mereka saling menatap sejenak. Hening yang aneh namun tidak membuat canggung.
Arhan
Arhan
Kalau begitu... selamat datang
Arhan menggandeng Darra yang masih menoleh ke Alva.
Arhan
Arhan
Ayo, Nak. Sudah malam.
Mereka berjalan pergi. Alva berdiri di tempatnya, masih memandangi punggung mereka hingga menghilang di tikungan jalan. Udara kembali sunyi, namun kali ini tak sepi.
Senyumnya muncul samar.
Desa ini mungkin tak sepi seperti yang ia bayangkan.

Suara di Balik Pintu Sekolah

Pagi pertama Alva sebagai guru di SD Rengganis dimulai dengan suara kokok ayam dan aroma teh jahe yang diseduh Bu Lestari—tetangganya yang ramah. Jalan menuju sekolah hanya sejauh dua tikungan dari rumah dinas, melewati jembatan bambu kecil dan barisan pohon pisang yang daunnya menari-nari diterpa angin.
Alva berdiri di depan kelas 2B. Napasnya tertahan sebentar, seperti saat panggung baru dibuka dan semua lampu menyorot padanya.
Alva
Alva
Selamat pagi anak-anak
ucap Alva sambil membuka pintu
anak-anak
anak-anak
Selamat pagiii, Bu Guru
Serempak anak-anak menjawab dengan suara lantang. Beberapa dari mereka tertawa kecil melihat Alva yang cantik dan asing, ada pula yang malu-malu menunduk.
Dan di bangku tengah, duduk Darra. Ia menatap Alva lekat-lekat—tidak seperti anak-anak lain yang sibuk dengan buku dan suara teman. Tatapan itu membuat Ayla tersenyum, meskipun ada sesuatu dalam tatapan Dara yang lebih dewasa dari usianya.
Alva
Alva
Nama Ibu Alva. Mulai hari ini, Ibu akan jadi wali kelas kalian, ya?
anak-anak
anak-anak
ya bu guru
Waktu berjalan cepat. Ayla mulai mengenal satu per satu muridnya: Nia yang cerewet, Fadil si pengkhayal, Wawan yang gemar menggambar pohon di semua tugas menulis, dan tentu saja Darra—anak yang pendiam tapi selalu mengerjakan tugas paling cepat.
Di sela-sela mengajar, Alva memperhatikan Darra. Anak itu tak pernah bermain dengan teman-temannya saat istirahat. Ia lebih sering duduk di dekat jendela, membaca buku dongeng bekas yang lusuh. Namun, di akhir pelajaran, Darra selalu menunggu Alva membereskan buku di meja.
Darra
Darra
Bu Guru
Darra
Darra
Kalau orang tua udah nggak ada, tapi teman juga nggak ada... itu artinya kita sendiri, ya?
Alva menoleh pelan. Pertanyaan itu tak seperti datang dari anak enam tahun. Ia merunduk, lalu duduk di samping Darra.
Alva
Alva
Kalau kamu merasa sendiri… berarti kamu butuh teman.
Alva
Alva
Tapi teman itu bisa datang kalau kamu membuka hati dulu. Pelan-pelan.
Darra mengangguk kecil, lalu menatap langit di luar jendela.
Darra
Darra
Aku suka Bu Guru. Kayak Mama, tapi lebih suka ketawa.
Kalimat itu menghantam dada Alva dengan hangat yang ganjil. Ia tak tahu harus menjawab apa. Ia hanya mengelus rambut Darra dengan pelan.
Alva
Alva
Terima kasih. Aku juga suka kamu, Darra.
Sore itu, Alva memutuskan berjalan kaki pulang. Di tikungan dekat warung Pak Sanip, ia melihat sosok yang familiar: Arhan sedang memperbaiki sepeda Darra yang rantainya terlepas. Kemeja lengan panjangnya digulung, tangan penuh oli.
Ia tak menyadari kehadiran Alva hingga suara langkah perempuan itu mendekat.
Alva
Alva
Boleh bantu, Pak Montir
Arhan mendongak. Tatapannya sekilas seperti hendak menolak basa-basi, tapi detik berikutnya, ia menyerah dan tersenyum kecil.
Arhan
Arhan
Kalau tahu cara pasang rantai sepeda, silakan.
Alva
Alva
Tidak. Tapi saya bisa ambilkan teh.
Arhan berdiri dan mengelap tangannya.
Arhan
Arhan
Darra cerita soal Bu Alva. Katanya, Bu Guru baru itu suka cerita dan pintar bikin anak kecil ketawa.
Arhan
Arhan
Kamu dengar langsung?
Arhan
Arhan
Dara cerita sambil makan. Dan dia jarang banyak bicara kalau bukan soal mainan atau mamanya.
Sunyi sebentar. Lalu Arhan menatap Alva agak lama.
Arhan
Arhan
Saya belum sempat bilang terima kasih… waktu itu
Alva
Alva
Tak perlu. Saya hanya duduk dan mendengar.
Alva
Alva
Itu cukup besar bagi Darra.
Alva
Alva
Kadang anak-anak hanya butuh satu orang dewasa yang tak terburu-buru menyuruh mereka diam.
Arhan tampak hendak berkata sesuatu lagi, tapi suara Darra terdengar dari kejauhan, memanggil ayahnya. Arhan menoleh, lalu berujar pelan.
Arhan
Arhan
Kalau begitu, sampai jumpa, Bu Guru.
Alva hanya mengangguk. Tapi saat Arhan berjalan pergi, ia sempat menoleh sebentar
Arhan
Arhan
Selamat datang di desa kami. Kadang keras, tapi juga kadang lembut. Kayak cuaca yang tak bisa ditebak.
Hari itu berakhir dengan langit jingga lagi—dan Alva menyadari, hari-harinya mulai terasa tidak sesepi yang ia kira.

Di Antara Kayu dan Kenangan

Pagi hari di Desa Rengganis membawa semilir angin dan aroma kayu bakar. Alva mulai terbiasa dengan ritme hidup yang pelan tapi penuh makna. Pagi tak lagi hanya soal tergesa, dan sore tak lagi hanya menunggu malam.
Hari ini adalah hari Sabtu—tidak ada sekolah. Alva memutuskan untuk berjalan-jalan ke pasar desa yang hanya buka dua kali seminggu. Ia membawa tas kain dan senyum kecil, menikmati hiruk pikuk sederhana yang hanya bisa ditemukan di tempat seperti ini.
Namun langkahnya berhenti ketika melihat satu lapak kecil yang mencuri perhatian.
Ada banyak mainan kayu terpajang di situ: kuda-kudaan, boneka orang-orangan, mobil-mobilan, bahkan puzzle sederhana. Di belakang lapak, Arhan sedang memahat kayu dengan serius, tanpa memperhatikan siapa pun yang lewat.
Alva menatap kagum.
Alva
Alva
Jadi... selain bisa memperbaiki sepeda, kamu juga seniman
Arhan menoleh sebentar, lalu kembali fokus ke pekerjaannya.
Arhan
Arhan
Seniman tidak makan dari hasil ini. Saya hanya tukang kayu. Pesanan kadang ada, kadang tidak.
Alva
Alva
Tapi kamu tidak terlihat seperti orang yang kehabisan semangat.
Arhan
Arhan
Semangat dan diam bukan hal yang bertentangan, Bu Guru.
Alva
Alva
Alva
Alva
Alva
Di luar sekolah, panggil saja Alva.
Alva tak menjawab, tapi senyumnya samar muncul, seperti kayu yang disentuh sinar matahari pagi.
Alva mengambil salah satu mainan dari meja: boneka kuda kecil, diukir halus. Ia memperhatikannya.
Alva
Alva
Darra pernah cerita tentang mainan ini. Katanya... Mamanya dulu suka mengayunkannya di tangan Darta sambil menyanyi.
Arhan
Arhan
Iya. Waktu istriku masih hidup, kami buat mainan ini bersama. Dia suka menyanyi, aku yang ukir. Sekarang aku hanya mengukir. Tapi kadang... aku dengar suara nyanyiannya di kepala.
Ada keheningan yang tidak janggal. Justru nyaman. Alva duduk di bangku kayu di samping meja kerjanya, memperhatikan gerak tangan Arhan memahat.
Alva
Alva
Aku pernah kehilangan juga.
Alva
Alva
Tapi bukan karena mati. Karena pergi dengan perempuan lain.
Arhan
Arhan
Dulu aku pikir... kalau aku lebih sabar, mungkin dia tak pergi. Tapi sekarang aku tahu, orang yang mencintaimu tak akan butuh alasan untuk tinggal.
Arhan menatapnya lama, seolah sedang membaca huruf-huruf sunyi di balik matanya.
Arhan
Arhan
Kamu kuat
Alva
Alva
Tidak
Alva
Alva
Aku rapuh. Tapi aku belajar membenahi diri sendiri setiap pagi.
Arhan
Arhan
Mungkin... kita berdua sedang belajar hal yang sama.
Sore itu, Alva membawa pulang satu boneka kayu kuda kecil. Arhan menolak dibayar.
Arhan
Arhan
Anggap saja ucapan terima kasih
Arhan
Arhan
Untuk Darra dan untukmu.
Di rumah, Alva meletakkan boneka itu di atas meja kerjanya. Ia duduk, lalu mulai menulis lagi di buku catatannya.
Alva
Alva
Hari ini, aku belajar: tidak semua orang diam karena tak peduli. Kadang, diam justru adalah bentuk rasa yang paling tulus. Seperti ukiran kayu—ia tak bersuara, tapi menyimpan cerita di setiap guratannya.
Saat ia menutup buku itu, suara ketukan pelan terdengar dari luar.
Ketika dibuka, ternyata Darra berdiri di sana. Di tangannya ada sekotak kecil kue talam buatan neneknya.
Darra
Darra
Bu Ayla... ini buat Ibu.
Alva
Alva
Terima kasih, Sayang.
Darra
Darra
Boleh aku duduk di sini sebentar?
Alva
Alva
Tentu. Kamu boleh datang kapan saja.
Darra tersenyum tipis, lalu duduk di anak tangga teras. Dan untuk pertama kalinya, Alva merasa... rumah itu benar-benar terasa seperti rumah.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!