NovelToon NovelToon

CINTA DI BALIK DENDAM SANG BODYGUARD

eps 1

╭───────────────╮

     Tinggalkan komentar & Dukungannya ya!

         Terima kasih!

╰───────────────╯

╭────❀────╮

  "Ketika dendam bertemu rahasia, dan cinta tumbuh di antara peluru dan pengkhianatan."

╰────❀────╯

Ratusan penonton memenuhi arena pertandingan tarung bebas

*Tiger Fighter*

Lampu sorot menyilaukan memantul di atas matras. Arena penuh sorakan. Dua petarung berdiri saling menatap dunia mereka yang mengecil, hanya menyisakan detakan jantung dan napas berat.

Alejandro mengenakan celana MMA hitam polos. Wajahnya tenang, rahangnya mengeras, dan kedua matanya menatap lurus penuh perhitungan.

Damian memasuki ring dengan tatapan membakar. Tubuhnya lebih besar, penuh luka masa lalu. Ada amarah yang hampir seperti binatang liar di matanya.

Damian menyeringai. "Sudah siap kehilangan semuanya, Alejandro?"

Alejandro tak menjawab. Ia hanya menunduk, menarik napas dalam, lalu mengangkat kepalanya, mata mereka bertemu. Sunyi sejenak, sebelum lonceng berbunyi. Ting!

Round 1

Damian langsung menyerang dengan pukulan beruntun, tanpa jeda. Alejandro menghindar, menangkis, tapi satu pukulan kanan masuk ke rusuknya.

"Ugh!" Alejandro mundur selangkah. Damian tertawa singkat.

"Masih secepat dulu? Aku bahkan lebih dari itu sekarang!" Damian menunjukkan seringai diwajahnya.

Alejandro tetap diam. Kakinya bergerak ringan, menunggu celah. Lalu...BOOM! Sebuah counter hook kanan menghantam rahang Damian. Ring bergetar.

Damian menyeringai dengan darah menetes dari bibir. "Bagus. Ayo kita buat ini berdarah."

Round 2

Damian berubah liar. Ia mengunci Alejandro dan menjatuhkannya ke matras. Ground and pound menghujani. Alejandro menutup kepala, matanya merah oleh amarah dan sakit.

Teriakan penonton menggema. Tapi di antara semua kebisingan itu, Damian berkata "Kau hanyalah seorang pecundang, kau lebih pantas bersujud di kaki ku dan bersihkan kotorannya dengan lidah mu, alejandro."

Ledakan amarah meledak dari dada Alejandro. Dengan satu gerakan cepat, ia balikkan posisi. Kini Damian di bawah.

"Kau lah pecundang nya, sialan,” bisik Alejandro.

Pukulan demi pukulan mendarat di wajah Damian. Elbow. Hook. Cross. Sampai wajah Damian berdarah.

Round 3  Final Round

Keduanya berdiri lagi. Wajah bonyok. Napas berat. Tapi mata tetap membara.

Mereka bertarung seperti dua ekor serigala tua yang tahu ini pertarungan terakhir. Pukulan demi pukulan, tendangan balasan, hingga tubuh mereka gemetar.

Flashback kilat menghantam Alejandro, waktu Damian hampir mematahkan lehernya lima tahun lalu. Luka itu masih ada.

Tapi kini... ia bukan pria yang sama.

Dengan teknik sempurna, Alejandro mengunci Damian dalam tehnik sub mission. Damian menggeliat, berteriak, mencoba kabur.

"Lepaskan... KAU... PENGECUT!"

Alejandro menggertakkan gigi. "Ini bukan tentang menang, Damian. Ini tentang siapa yang mampu menahan luka."

Damian mengerang. Napasnya melemah.

Tap. Tap. Tap. Damian menyerah.

TINGGG!

Alejandro duduk, darah menetes dari pelipis. Damian terbaring, mata terbuka, tapi penuh air mata marah dan kalah.

Wasit mengangkat tangan Alejandro. Sorakan membuncah. Tapi ia tak tersenyum. Hanya menatap Damian.

"Kau tidak kalah dariku, Damian," katanya pelan. " Tapi Kau kalah dari dendammu sendiri."

setelah pertandingan selesai

Alejandro menyeka pelipisnya yang berdarah, sedangkan hatinya puas dengan performanya malam ini.

Alejandro tersenyum cerah melihat amplop tebal berisi uang bayaran atas kemenangannya. Pria berparas rupawan, tinggi 190 cm, dengan bentuk wajah yang mendekati sempurna itu menghentikan kuda besinya tepat di depan sebuah toko perhiasan.

Alejandro memantapkan hati memilih sebuah cincin berbatu ruby untuk melamar Kirana, kekasih yang sangat dia cintai.

Pria itu membuka kembali kotak cincin tersebut dan melihatnya sesaat sebelum menyimpan benda berbentuk kotak itu ke dalam saku jaketnya. Alejandro memakai helm *full-face*-nya dan mulai melajukan kuda besinya demi menemui sang pujaan hati.

Saat pria itu melewati jalan yang biasa dilewatinya menuju ke arah tempat kerja Kirana, jalanan itu tiba-tiba mengalami kemacetan karena ada kecelakaan, dan orang-orang mulai berkerumun.

Alejandro turun dari motor sport-nya dan melepaskan helm berwarna hitam itu. Langkah kakinya seakan tertahan saat netra cokelat itu melihat gantungan kunci yang sangat familier di matanya. Sontak, pria yang memakai jaket kulit berwarna hitam pekat itu mengurai kerumunan orang-orang di sana dan mendapati apa yang dia takutkan benar-benar menjadi kenyataan.

“Rana... Ra... naa!...” Suaranya tercekat. Kedua tangannya bergetar hebat menopang tubuh kekasihnya yang sudah tidak bernyawa lagi.

Alejandro mengangkat tangan kanannya yang berlumuran darah yang berasal dari belakang kepala gadis itu.

Malangnya, dia sudah tidak bisa lagi diselamatkan karena peristiwa tabrak lari itu. Alejandro merasakan sebuah batu besar menghantam tepat di relung hatinya, dan detik itu juga, semestanya telah hancur berkeping-keping!

Sudah hampir dua jam berlalu, namun pria itu masih betah berdiri menatap batu nisan yang belum lama dipasang menandai gundukan tanah milik gadis yang sudah terbujur kaku di dalamnya.

Rintik hujan perlahan turun membasahi bumi seakan turut berdukacita atas kepergian gadis cantik bernama lengkap Kirana Larasati itu.

Intensitas hujan yang turun semakin deras, tak membuat kedua kaki yang sedari tadi masih tegak memperhatikan nisan itu beralih dari tempatnya, meskipun hanya sekadar untuk berteduh.

Wajah pucat itu tersapu oleh air hujan, bibirnya bergetar ingin melampiaskan kemarahannya pada takdir yang dengan kejam telah merebut semestanya.

Alejandro mengepalkan tangannya erat. Dia bersumpah akan membalas orang yang telah membuatnya berpisah dengan cara yang menyakitkan seperti ini.

Alejandro bersumpah atas nama langit dan bumi. “Aku akan mencari tahu siapa yang telah melakukan hal ini kepadamu, Rana. Aku bersumpah akan membunuhnya dengan tanganku sendiri, dan dengan cara yang paling kejam!”

Alejandro meletakkan kotak berisi cincin yang tidak sempat dia berikan kepada gadis itu di atas makam yang telah dibasahi oleh air hujan.

Alejandro berbalik dan mendongakkan kepalanya, membiarkan tetesan air hujan menghapus jejak kesedihannya. Pria itu melangkahkan kakinya menjauh dengan perasaan hampa.

~WIGANTARA’S Corporation~

“Selamat atas kemenangan Anda, Tuan Wigantara,” sapa Sean yang menghampiri pria yang baru selesai dilantik menjadi presiden itu.

“Terima kasih. Semua ini juga berkat bantuan Anda, Tuan Rajendra. Saya berutang budi kepada Anda atas dukungan penuh, dan akhirnya saya bisa menjadi pemimpin di negeri ini,” Wigantara membalas jabatan tangan Sean dengan ramah.

“Saya tidak melihat istri Anda, Tuan Wigantara. Saya pikir juga harus mengucapkan selamat kepadanya atas kemenangan Anda ini,” ucap Sean sembari tersenyum melihat ke arah Alana yang berada di sebelahnya.

“Oh, dia sedang menemui beberapa tamu yang lain di dalam,” jawab Tuan Wigantara sembari melirik ke arah Alana.

“Ternyata berita yang selama ini beredar di media tentang kecantikan istri Anda adalah fakta. Istri Anda cantik sekali, seperti bidadari,” puji Wigantara yang tidak melepas pandangannya pada Alana.

Sean berdehem singkat, tangannya tak lepas menggenggam erat jemari istrinya yang mulai menundukkan kepala, merasa tidak nyaman dengan tatapan Tuan Wigantara.

“Tentu saja. Saya bahkan berkali-kali berhasil menyingkirkan orang-orang yang berani meliriknya dengan tatapan mata kurang ajar, dan bahkan mencongkel bola matanya untuk saya berikan pada ikan di kolam belakang taman. Hahaha, maaf, saya memang suka bercanda seperti itu,” ucap Sean sambil tertawa kecil setelah melihat wajah pias lawan bicaranya.

Wigantara merasa tertohok dengan ucapan Sean barusan. Dia akhirnya memutuskan untuk ikut tertawa karena merasa Sean sedang menyindirnya.

✦✦✦

Tak lama, seorang bodyguard datang menghampiri pria yang baru menjabat sebagai Presiden itu dan menyampaikan sesuatu dengan berbisik.

Sean menahan senyumnya saat melihat bagaimana ekspresi wajah Tuan Wigantara yang berubah masam. Pria itu berbalik dan pamit pergi untuk mengurusi suatu hal.

"Sayang, apa kau ingin kita pulang sekarang?" Sean mengusap tangan istrinya dengan lembut.

"Apa tidak apa-apa kita kembali sekarang? Bukankah kau harus menemui orang-orang penting lainnya?"

"Orang penting? Tidak ada yang lebih penting darimu. Kau tahu itu, kan? Jadi ayo kita pulang sekarang. Aku tidak suka cara mereka menatapmu. Jika lebih lama lagi berada di sini, aku takut akan lepas kendali."

Sean memberikan tangannya dan langsung membawa pergi Alana keluar dari tempat itu.

✦✦✦

Wigantara melempar gelas berisi wine ke dinding bernuansa emas hingga pecah berserakan di lantai mewah.

"Berapa kali sudah kukatakan padamu, hah? Kenapa kau terus berulah, hah!"

Wigantara mencengkeram erat kerah kemeja putra tirinya itu.

Arthur membuang pandangannya malas, menatap wajah sang ayah yang sebentar lagi sudah bisa dipastikan akan melayangkan tinjunya.

"Anak sialan! Kau terus saja bertingkah. Minggu lalu kau berkelahi di bar, kemarin kau menghabiskan banyak uang untuk bermain-main dengan para wanita rendahan di diskotik, dan sekarang kau malah menabrak orang!"

BUGH! Sudut bibir Arthur pecah karena pukulan keras yang dilayangkan oleh ayahnya.

"Berhentilah ikut campur urusanku! Sebaiknya kau urus saja putri rahasiamu itu, sebelum aku benar-benar memberi tahu kepada Ibu tentang pengkhianatan yang telah kau lakukan selama ini!"

jawab Arthur dingin sembari menyeka sudut bibirnya yang berdarah. Pria itu menatap penuh kebencian pada lelaki yang menjadi ayah sambungnya itu.

"Jangan lancang! Aku bisa saja melenyapkan mu kapan pun. Aku tidak akan mentolerir lagi jika kau bertindak gegabah dan membawa masalah untukku. Ingat! Jika aku, ayahmu, hancur, maka ibumu juga hancur!"

Wigantara pergi setelah melampiaskan kemarahannya.

"Argh! Tua bangka sialan! Kuharap kau mati membusuk di neraka!"

Arthur menendang meja kaca itu hingga terbalik dan pecah. Kedua netra hitam itu mengobarkan api kebencian yang mendalam terhadap Wigantara, yang selama ini hanya menganggapnya sebagai benalu. Padahal Wigantara lah yang telah menjadi parasit di keluarga ini. Laki-laki itu memanfaatkan segala kekayaan dan kekuasaan ibunya demi mendapatkan apa yang dia inginkan.

✦✦✦

Tak lama, seorang pria masuk dan menunduk hormat pada Arthur.

"Maaf, Tuan. Semua sudah beres, dan sudah saya pastikan tidak ada yang melihat bahwa Anda pelaku tabrak lari malam itu."

"Baiklah, kembalilah bekerja," titahnya pada pria bernama Darius yang menjadi asisten pribadinya itu.

Darius menunduk hormat pada Arthur yang mengibaskan tangannya, menyuruhnya agar segera pergi.

Setelah asisten pribadinya itu pergi, Arthur berjalan mendekati meja kerjanya dan mengeluarkan sebuah foto. Arthur memeluk foto itu dan memejamkan kedua matanya.

Arthur membuka matanya lalu menatap foto itu. Kedua netranya mulai berkaca-kaca.

"Rana... Jika saja kau mendengarkan ku dan setuju untuk menikah denganku, maka hidupmu tidak akan berakhir tragis seperti itu, Kirana. Aku terlalu mencintaimu sehingga tidak rela jika kau bersama laki-laki lain selain aku. Maaf... aku harus membunuhmu."

Pria itu menyeka air matanya, lalu tertawa kencang.

✦✦✦

Seorang gadis berambut panjang sedang termenung menatap siluet kembarannya yang ada dalam bingkai foto di dinding.

Gadis itu berkali-kali menyeka air matanya, yang entah sudah berapa lama mengalirkan bulir bening kesedihan itu.

Kinara berdiri dan menyentuh foto Kirana—kembarannya yang telah pergi meninggalkannya sendirian, setelah sang ibunda yang lebih dulu pergi meninggalkan mereka untuk selama-lamanya. Kini Kinara benar-benar hidup sebatang kara di rumah sederhana itu.

Gadis berusia 22 tahun itu menoleh ke arah pintu saat atensi seorang pria datang menyudahi lamunannya.

"Kak Alejandro?"

Kinara menyeka air matanya dengan cepat saat Alejandro berjalan mendekatinya.

Pria itu meletakkan sebuah bungkusan di atas meja.

"Kau pasti belum makan. Aku membawakan mu makanan. Makanlah agar kau tidak sakit."

Alejandro duduk dan membuka bungkusan itu.

"Kenapa kau terus datang ke sini, Kak? Kepergian Kak Kirana sudah hampir dua minggu berlalu. Jadi berhentilah menemui aku, meskipun niatmu baik. Kau membuatku tidak nyaman."

Kinara mengalihkan pandangannya ke arah lain ketika Alejandro menatapnya lekat.

"Lalu kau sendiri bagaimana? Sampai kapan kau berharap pria yang bernama Ryuga itu kembali setelah bertahun-tahun lamanya menghilang tanpa kabar?"

"Dia tidak menghilang. Dia pasti sedang sibuk dengan studinya di luar negeri," bela Kinara.

"Lihatlah... siapa yang sedang kau bodohi? Kalau kau mau melampiaskan kemarahan mu pada Ryuga, katakan saja padaku. Aku akan segera menghabisinya."

Alejandro menajamkan matanya, menatap wajah yang sangat mirip dengan mendiang kekasihnya itu.

Kinara spontan berdiri dan menggebrak meja dengan kuat.

"Jangan macam-macam padanya! Dia sama sekali tidak bersalah, dan kau lebih baik pergi dari sini sekarang!"

Kinara menatap marah, dan dia hampir kesulitan mengatur napasnya yang tersengal-sengal.

"Rana!" Alejandro panik dan refleks menarik tangan gadis itu, membawanya ke dalam pelukannya.

Kinara mendorong tubuh pria tampan itu dengan kasar.

"Berhentilah memanggilku seperti itu! Aku Kinara, bukan Kirana!"

Alejandro tersentak dan baru menyadari kesalahan yang telah dia lakukan pada adik kembaran mendiang kekasihnya itu.

Pria itu tertunduk lesu sambil menggenggam erat ujung jaket kulitnya dan bergumam,

"Maafkan aku."

Setelah mengucapkan kalimat itu, Alejandro pergi.

✦✦✦

...Mampir juga ke akun TikTok author ya: @rii_rrzea...

eps 2

"Ketika kau merasa se menderita itu dan sangat ingin menyerah, itu bukan karena kau lemah dan depresi, melainkan karena harapan dan ekspektasi mu terhadap dunia sangatlah banyak."

Di sudut ruangan yang dipenuhi dengan rak-rak buku bacaan yang tersusun rapi, dan sebagian besar sudah tamat dibaca oleh pemiliknya.

Seorang gadis cantik berambut panjang duduk memeluk kedua lututnya, membelakangi perapian yang menyala demi menghangatkan tubuhnya dari dinginnya udara malam yang masuk karena gadis itu membiarkan jendelanya terbuka.

Gadis itu memejamkan matanya yang terasa lelah karena terus menghabiskan waktunya bersama buku-buku di sana demi menepis rasa kesepian. Tidak ada siapa pun yang bisa dia ajak bicara, dan dia juga tidak ingin mengatakan apa pun selain terus pada pendiriannya mencurahkan isi hati dan seluruh harapannya di dalam lembaran-lembaran kertas.

Tapi itu semua hanya alasan. Elena tidak benar-benar merasakan ketenangan tanpa siapa pun yang menemaninya di sana. Gadis itu selalu menunggu kedatangan ayahnya, yang telah memberikan jejak kasih sayang yang luar biasa sejak dia kecil.

Sepeninggal ibunya, Elena hanya memiliki satu-satunya harapan, yaitu sang ayah, Adalrich Wigantara. Setiap kali gadis itu menghidupkan televisi dan melihat ayahnya tersenyum di dalam sana, Elena meremas kertas-kertas di tangannya demi menepis semua harapannya untuk diakui. Elena hanya ingin diakui sebagai seorang putri oleh sang ayah, yang terus mengurungnya di tempat itu.

Gadis itu tidak diperbolehkan pergi ke mana pun, ruang geraknya terbatas dan hanya sebatas berada di sekitar rumah mewah yang dikelilingi banyak bunga-bunga yang bermekaran.

Elena terpaksa harus membuka matanya saat mendengar suara pintu terbuka. Awalnya, dia mengira bahwa itu adalah ayahnya. Namun detik itu juga, senyuman indah di wajahnya langsung padam saat Arthur berdiri di pintu, menatapnya dengan tatapan seringai.

"Hello, Elena. What are you doing?" Arthur berjalan mendekati Elena yang mulai bergetar menahan rasa takut.

"JANGAN MENDEKAT!" pekik gadis itu dan mundur ke belakang.

"Hey, what's wrong with you, baby?" Arthur selalu senang melihat bagaimana wajah ketakutan gadis cantik itu setiap kali dia datang untuk mengganggunya.

"KU BILANG JANGAN MENDEKAT!" Sialnya, Elena sudah tersudut dan tidak bisa bergerak ke mana pun.

Arthur mempercepat langkahnya dan berhenti tepat di depan gadis itu, mencengkeram kedua pipi mulus itu dan menatapnya dengan penuh kebencian.

"Jangan salahkan aku jika aku terus mengganggumu. Salahkan saja pria tua bangka itu yang terus ikut campur urusanku!" bentak Arthur dengan suaranya yang naik empat oktaf, membuat Elena tersentak seketika dan langsung menutup kedua telinganya. Matanya sudah mengembun menahan tangisnya.

"Kapan kau akan mengakhiri hidupmu, Elena?" Pertanyaan menohok itu berulang kali diucapkan oleh pria bernama lengkap Arthur Adhitama itu setiap kali singgah hanya untuk sekadar bermain-main sesuka hatinya.

"KAPAN KAU MATI, ELENA!" Arthur beralih mencekik leher gadis itu. Arthur bisa melihat bagaimana wajah cantik itu jadi begitu mirip dengan Adalrich Wigantara saat gadis itu ketakutan, dan pria itu membabi buta ingin melenyapkannya.

Tiba-tiba, Elena menendang aset milik pria itu dengan kuat sehingga membuatnya langsung mengaduh kesakitan dan memegangi asetnya yang terasa nyeri.

"Gadis sialan!"

Elena mengambil buku-buku di rak dan melempar semuanya ke arah Arthur. Gadis itu melihat sebuah benda tajam dan langsung mengambilnya, mengarahkan benda itu pada Arthur yang ingin mendekatinya lagi.

Arthur berdecih, lalu tertawa singkat. "Jangan main-main dengan benda tajam, Elena. Apa kau ingin menyusul ibumu, atau kau ingin aku yang bantu menunjukkan caranya menggunakan benda itu? Sebagaimana aku mengajari ibumu... wanita jalang itu pergi ke neraka, hah!"

Elena tak gentar! Gadis itu memegang erat benda runcing itu, tetap di depannya.

Arthur menghentikan langkahnya dan menatap Elena dari ujung rambut hingga ujung kaki. Tiba-tiba, pikiran kotor melintas di otaknya.

"Aku baru sadar, ternyata kau cantik juga dan tubuhmu sangat indah, Elena. Kemarilah, aku tidak akan menyakitimu lagi," ucap Arthur. Senyum seringai di wajahnya telah menjelaskan hal apa yang ingin dilakukan olehnya kepada gadis polos itu.

"Kau tidak bisa kabur dariku, Elena! Tidak akan ada yang menolong mu di tempat ini, bahkan pria tua bangka yang selalu kau harapkan kedatangannya itu."

"Seharusnya kau tahu bahwa kau tidak berharga sama sekali, Elena. Bahkan pria yang kau sebut sebagai ayahmu itu hanya peduli dengan jabatannya!" hardik Arthur, yang membuat hati Elena teriris dengan kenyataan tersebut.

Elena melihat ada peluang untuknya melarikan diri dari pria itu. Gadis itu meraih sebuah vas bunga dan melemparkannya tepat sasaran mengenai kepala Arthur.

Pria itu memekik kesakitan karena kepalanya berdarah dan mencoba mengejar Elena yang lebih dulu pergi.

Arthur menggeram saat Elena berhasil kabur membawa mobil miliknya. Seketika, Arthur menyesal karena telah membuat semua penjaga di rumah itu tertidur setelah memberikan minuman yang sengaja dia bubuhi obat tidur dosis tinggi.

"Argh! Gadis sialan!" makinya saat melihat noda darah di tangannya.

Elena gegabah dan panik, sehingga membuatnya tidak fokus menyetir mobil berwarna merah itu. Elena membanting setirnya hingga menabrak pohon saat terkejut melihat seorang pengendara motor yang tiba-tiba muncul dan tergelincir karena juga berusaha menghindar.

Alejandro bangkit dan memegangi lengannya yang terasa nyeri, lalu membuka helm full face-nya, melihat mobil berwarna merah itu sudah berasap karena menabrak pohon.

Alejandro memeriksa keadaan pengemudi mobil itu dan menemukan seorang gadis yang sudah pingsan, dengan kening yang terluka akibat benturan.

"Dia tidak apa-apa, hanya sedikit syok dan sebentar lagi dia akan sadar," ucap dokter tersebut setelah memeriksa Elena.

Dua orang perawat mulai berbisik ketika melihat sosok Elena. Mereka sangat kagum dengan wajah cantik alami itu, kulitnya putih bersih seputih susu. Semua yang terpahat di wajah gadis itu tampak sempurna, membuat mereka berdua sangat iri.

Mereka melihat ke arah Alejandro. Mereka mengira pria tampan itu pasti kekasihnya. Kedua perawat tersebut langsung menghentikan bisik-bisik mereka setelah Alejandro memberikan tatapan dinginnya.

Setelah kedua perawat tersebut pergi, Alejandro duduk di kursi sebelah bangkar putih itu dan menatap Elena yang masih belum sadarkan diri.

"Cantik apanya? Dia bahkan seperti mayat hidup, kurus sekali," cibirnya pelan.

eps 3

Alejandro melangkah ringan menuju ke ruangan rawat setelah menyelesaikan administrasi di resepsionis.

Alejandro menyibak tirai dan terkejut karena tidak menemukan keberadaan gadis tadi.

"Kemana perginya dia dengan kondisi seperti itu? Bukankah seharusnya berterima kasih terlebih dulu padaku? Cih, dasar!"

Tak lama, ponselnya berdering. Pria dengan style 'comma hair' itu gegas memasukkan tangan kanannya ke dalam jaket kulit berwarna hitam pekat itu, meraih benda pipih tersebut.

"Sudah menemukan titik terangnya?" tanyanya pada seberang telepon dengan raut wajah yang serius.

(Al, kurasa pemilik mobil berwarna merah itu bukan sembarang orang dan aku sudah mencari tahu, ternyata pemiliknya adalah anggota keluarga presiden baru kita.)

(Aku akan mengirimkan file rekaman dari dashboard mobil salah seorang warga yang melintas bersamaan dengan kecelakaan Kirana waktu itu.)

Setelah panggilan tersebut ditutup, tak lama ada sebuah pesan video masuk. Alejandro tak langsung membuka video itu. Pria itu menghirup oksigen sebanyak mungkin agar setidaknya dia bisa kuat ketika melihat rekaman video itu.

Alejandro keluar dari rumah sakit tersebut dan duduk di kursi taman area rumah sakit itu.

Kedua netra cokelat pria itu memanas melihat bagaimana tragedi tabrak lari itu terjadi. Jemarinya bergerak menekan tombol jeda demi memastikan kebenaran dengan apa yang sedang dia pikirkan.

"Mobil itu?" Alejandro memperbesar layar ponselnya dan melihat dengan teliti plat kendaraan roda empat tersebut. Dia tak ingin membuang waktunya berdiam diri di sana. Alejandro bergegas pergi menuju ke tempat di mana mobil gadis tadi berada.

Sekitar 10 menit kemudian, Alejandro berhenti dan melepaskan helm full face nya, berjalan mendekati mobil yang kondisinya ringsek karena tertabrak pohon.

Pria itu spontan membeku saat melihat plat nomor mobil itu ternyata sama dengan yang ada di dalam video kiriman dari Juan, temannya yang membantunya mencari tahu siapa pelaku tabrak lari itu.

"Jadi, perempuan itu yang telah menabrak Kirana?" lirihnya dengan suara tertahan. Kedua tangannya terkepal erat menggenggam ponselnya hingga terdengar suara retak.

"Aku akan mencari mu dan membuatmu menyesali semua perbuatanmu!" Kedua netra pria itu terlihat berapi-api.

Elena berjalan perlahan sambil memegangi kepalanya yang masih memakai perban.

Gadis cantik itu menyandarkan punggungnya di dekat pohon. Angin malam kian menusuk hingga membuat tubuh mungil itu menggigil.

Elena mencoba menghangatkan dirinya dengan cara meniup kedua telapak tangannya. Wajahnya tampak pucat karena kedinginan.

Tak lama, Elena dikejutkan dengan kedatangan beberapa orang pria berpakaian serba hitam yang berjalan menuju ke arahnya. Elena refleks berdiri dan mengambil ancang-ancang untuk kabur, namun percuma, karena keenam orang berpakaian serba hitam itu berhasil mengepungnya sehingga membuatnya tidak menemukan celah untuk kabur.

Alejandro menghentikan motor sport-nya dan membuka kaca helm yang dipakainya ketika melihat orang-orang berpakaian serba hitam tersebut tengah mengelilingi seorang gadis. Alejandro memicingkan matanya melihat siapa gadis itu yang tampak tidak asing.

"PEREMPUAN ITU!" Alejandro langsung menyalakan mesin motor sport-nya kembali saat melihat orang-orang berpakaian serba hitam itu pergi membawa Elena.

Alejandro mengikuti mobil van berwarna hitam itu dengan hati-hati agar tidak ketahuan.

Alejandro menghentikan motor sport-nya di pinggir jalan dekat pepohonan rindang, tepat saat van hitam itu memasuki pekarangan rumah besar yang dikelilingi oleh tembok tinggi.

Pria tampan dengan tinggi 190 cm itu mencari celah untuk masuk ke sana dan melompati tembok tinggi tersebut dengan sekali lompatan.

Alejandro melihat ke sekitar dan langsung bersembunyi di balik tanaman yang cukup besar untuk melihat apa yang sebenarnya dilakukan oleh orang-orang tadi pada gadis itu.

Alejandro tersentak ketika melihat sosok yang dia kenali keluar dari sebuah mobil mewah yang belum lama tiba. Dia Adalrich Wigantara! Orang nomor satu di negeri ini yang baru dua minggu menduduki jabatannya.

PLAK! PLAK! PLAK! Pria yang masih memegangi cerutu di tangan kirinya itu menampar wajah para penjaga di rumah itu dengan penuh amarah.

"Apa saja yang kalian lakukan sehingga Elena bisa kabur, hah?!" bentaknya, hingga bisa terdengar jelas oleh Alejandro yang masih bersembunyi.

Semua para penjaga yang berjumlah 15 orang tersebut hanya bisa menundukkan kepala mereka, tak berani menatap ke arah Tuan Besar Adalrich Wigantara itu.

"Kalau sampai putriku kabur seperti ini lagi dan publik sampai tahu tentangnya, maka bersiaplah, kalian akan dikubur hidup-hidup!" bentaknya arogan.

Adalrich Wigantara melangkah masuk ke dalam rumah itu dan menemukan semua terlihat berantakan, semua buku bacaan Elena berserakan di lantai dan ada tetesan noda darah yang sudah mulai mengering di lantai.

Pria berusia 48 tahun itu membuka pintu kamar sang putri dengan perlahan dan menemukan Elena belum sadarkan diri. Dia hanya menatapnya sebentar dan bahkan sama sekali tidak berniat untuk mendekati gadis yang sangat merindukan sosoknya sebagai seorang ayah. Adalrich bahkan enggan mengusap kepala putri kandungnya itu seperti yang dulu selalu dia lakukan.

Adalrich tidak ingin publik mengetahui bahwa dia memiliki seorang putri dari istri simpanannya, meskipun istrinya sudah meninggal dunia. Terlebih lagi, dia tidak ingin istri sahnya tahu yang sebenarnya.

Alejandro pergi dari tempat itu dan kembali ke apartemennya. Pria itu melempar jaketnya ke sembarang arah dan langsung menjatuhkan tubuhnya di atas sofa, berbaring dengan tangan yang berada di atas kening.

Tak lama berada di posisi itu, Alejandro kembali duduk dan meraih kotak rokok di atas meja, lalu mengambil sebatang rokok, membakar ujungnya dan menyesap nikotin favorit itu.

Pria itu menghembuskan asap rokok ke atas dan menatap langit-langit apartemennya.

"Jadi wanita itu adalah putrinya yang sengaja disembunyikan?"

"Menarik sekali," ucapnya singkat sembari tersenyum miring.

"Aku akan segera masuk ke dalam lingkungan keluarga presiden licik itu dan menjalankan misi ku untuk membalas kematian Kirana yang telah disebabkan oleh wanita sialan itu!"

Elena tersadar dari pingsannya dan mendapati bahwa dirinya tengah berada di dalam kamarnya sendiri.

Hatinya mencelos saat melihat dari jendela, mobil mewah milik ayahnya baru saja pergi.

Gadis cantik itu meremas dress-nya, sedangkan hatinya terasa sangat sakit karena ketidakpedulian sang ayah kepadanya, putri kandungnya sendiri.

Elena berkali-kali mencoba menyadarkan dirinya sendiri dengan apa yang telah berlaku selama ini tentang kenyataan bahwa sang ayah lebih mementingkan kepentingannya sendiri dan tentang dirinya yang sudah tidak lagi berharga sebagai seorang anak di mata ayahnya.

Elena menjerit, melepaskan semua emosinya yang sudah terlalu lama dia pendam. Gadis itu mencari benda tajam dan mencoba untuk melukai pergelangan tangannya.

Namun sedetik kemudian, dia berhenti. Sorot mata yang tadi penuh keputusasaan kini berubah menjadi tajam.

"Tak, aku tidak boleh mati semudah itu. Aku akan keluar dari sangkar emas ini dan membuatmu mengakui pada dunia bahwa aku ada, ayah!"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!