"Non Vina, kok belum tidur? Ini udah hampir jam 10 malam lho?" tanya bi Minah.
"Belum ngantuk, bi. Lagian Tuan Zevan belum pulang, masa' aku tidur duluan."Jawab Livina sembari tersenyum.
"Ya udah, semoga tuan cepat pulang ya non. Yang sabar ya non. Bibi doakan semoga pintu hati tuan terketuk untuk menerima dan mencintai non Vina." Ucap bi Minah tulus.
"Aamiin ya rabbal alamiin. Makasih ya bi doanya. Bibi silahkan tidur gih. Pasti bibi juga udah capek seharian kerja."
"Baik, non." Lalu bi Minah pun berlalu menuju kamarnya.
Di saat seperti ini, hanya bi Minah sajalah satu-satunya orang yang begitu memperhatikan Livina. Ia menyayangi Livina layak anaknya sendiri. Bi Minah juga selalu menyemangati Livina agar selalu tabah dan kuat menghadapi hari-harinya yang berat. Di saat semua merendahkan Livina, termasuk suaminya sendiri, hanya bi Minah yang selalu ada untuknya.
Ya, Livina memang sudah menikah. Zevan Attarsyah adalah suaminya. Seorang pengusaha muda nan sukses tapi berhati batu. Tapi Livina tetap menghormatinya sebagai suaminya bagaimanapun cara laki-laki itu memperlakukannya.
Tinnn ... tinnn ...
Suara klakson mobil terdengar di luar sana. Akhirnya Tuan Zevan pulang ucap Livina dalam hati. Livina pun bergegas menyambutnya dengan membukakan pintu. Ia menyambutnya dengan wajah tertunduk seperti biasa.
"Selamat malam, Tuan Zevan." Ucap Livina lembut.
Brakkk ...
Zevan melemparkan tasnya ke arah Livina hingga ia hampir terjatuh.
Seperti biasa, sikapnya memang dingin cenderung kasar pada Livina.
"Saya sudah menyiapkan air hangat untuk tuan mandi. Apa tuan membutuhkan sesuatu?"
"Tutup mulut kotor mu itu. Pergi dari sini! Aku sudah muak melihatmu," bentak Zevan dengan sorot mata penuh kebencian.
Livina pun berlalu dari hadapan Zevan menuju kamarnya dengan mata berkaca-kaca. Lalu ia membaringkan tubuhnya di tempat tidur dan segera memejamkan mata. Mencoba melupakan duka laranya. Tak lupa ia berdoa, semoga Allah senantiasa melindunginya.
Adzan Subuh sudah berkumandang. Livina pun bergegas mandi dan bersiap sholat. Setelah itu, ia pergi ke dapur untuk membantu bi Minah menyiapkan sarapan. Ia ingin mencoba menyiapkan sarapan untuk Zevan. Semoga ia mau menyantapnya doanya dalam hati.
Kini Livina tengah berdiri tak jauh dari meja makan. Dilihatnya Zevan telah keluar dari kamar dan menuruni tangga.
"Sarapanku sudah siap, ,bi?" tanya Zevan.
"Sudah tuan," jawab Livina dengan bibir yang bergetar. Zevan pun meliriknya dengan tatapan tajam membuat tubuh perempuan itu semakin gemetar.
Ia pun duduk dan segera mengambil kopinya.
Prang ...
Cangkir kopi tiba-tiba mendarat ke dinding dekat tempat ku berdiri, membuat percikan air panasnya mengenai tangan ku.
"Awww ..." pekik Livina terkejut saat percikan air panas terasa membakar kulit putihnya.
"Bi Minah!!" teriak Zevan dengan raut wajah kesal.
"I-iya, tuan." Jawab Bi Minah tak kalah gugup.
"Siapa yang membuat kopi ini?"
"Non ... Non Vina tuan," jawab bi Minah terbata.
Zevan pun melangkah ke arah Livina kemudian mencengkram lengan kirinya.
"Apa kau ingin membuat lidahku mati rasa, hah? Kau tahu, akibat kopi buatanmu yang sangat panas itu membuat lidahku hampir terbakar dan mati rasa," sentak Zevan.
"Maaf tuan, sa-saya tidak sengaja. Saya memang baru membuatnya sebab saya pikir tuan akan turun pukul 7 seperti biasanya, sedangkan sekarang baru pukul 6.40."
"Tak usah banyak alasan. Dasar wanita sialan. Bi Minah, mulai sekarang jangan biarkan wanita kotor ini menyentuh makananku lagi. Aku tak sudi untuk memakannya. Apapun alasannya." Titah Zevan dengan rahang mengeras.
"Ba ... Baik tuan." Bi Minah terpaksa mengiyakan.
Lalu Zevan menghlhempaskan tangan Livina hingga ia terjatuh dan tangannya mengenai pecahan gelas yang tengah berserakan.
"Awww ..."ringis Livina.
Zevan pun pergi, tanpa melihat tangan perempuan itu yang telah bercucuran darah.
"Non ... non Vina, kamu nggak papa?" teriak bi Minah sembari cepat-cepat mendekat kepadaku. "Astagfirullahal adzim. Sini non ikut bibi, kita obati dulu lukanya."
"Non, lukanya cukup besar. Sebaiknya kita pergi ke klinik dekat sini non supaya bisa benar-benar diobati?"
"Gak usah bi, Vina nggak papa kok. Kita perban aja, nanti juga sembuh sendiri." Tolak Livina.
"Tapi lukanya cukup besar lho non, nanti bisa infeksi. Belum lagi ini, lengan yang terkena air panas. Harus cepat ditangani."
"Sudah bi, jangan terlalu panik. Aku sudah biasa kok."Jawab Livina sembari tersenyum.
"Ya udah, kalau begitu non istirahat aja yah. Biar cepat sembuh."
"Makasih, bi."
Pintu telah tertutup. Air mata Livina tak kuasa tuk ia tahan lagi. Bulir bening nan asin itu telah membanjiri seluruh pipinya. Ia meringkuk, menutup wajahnya dengan bantal agar tangisnya yang pecah tak terdengar bi Minah yang mana akan menambah kekhawatirannya. Perih, memang luka ini perih. Tapi tak seperih hatinya. Sampai kapan sikap Zevan akan terus begitu? Pernikahan mereka sudah memasuki bulan ke 5, tapi tak ada tanda-tanda akan perubahan sikapnya yang lebih baik kepada Livina. Justru sebaliknya, sikapnya makin dingin, kasar, dan frontal.
"Ya Allah, sampai kapan aku sanggup bertahan. Seandainya peristiwa itu tidak terjadi. Mungkin semua takkan berakhir seperti ini." gumam Livina di sela isak tangisnya.
<
<
Hari ini adalah hari yang sangat Livina nantikan. Kenapa tidak, setelah berkali-kali mencoba memasukkan lamaran pekerjaan dan selalu berakhir zonk dan membuatnya nyaris putus asa, akhirnya Livina mendapatkan panggilan untuk bekerja.
Yah, walaupun hanya sebatas juru ketik dan bantu-bantu seperti foto kopi berkas, itu tak masalah. Apalagi menilik ijazah Livina yang hanya sebatas lulusan SMA. Livina memang sempat kuliah jurusan administrasi, tapi hanya sampai 4 semester karena keterbatasan biaya. Walaupun begitu, Livina sangat bersyukur dapat menyelesaikan sekolahnya dengan uang beasiswa sebab orang tuanya tak pernah peduli padanya. Sebab bagi mereka Livina hanya anak pungut pembawa sial.
Livina memang sangat sedih, tapi ia tetap menyayangi kedua orang tuanya. Karena tanpa mereka, mungkin Livina sudah jadi gelandangan di jalanan sebab orang tuanya yang telah membuangnya di pinggir jalan dekat rumah orang tuanya saat usianya baru 2 tahun. Oleh sebab itu, walaupun sikap kedua orang tua angkatnya sangat tak acuh, tapi Livina tetap menyayangi mereka. Livina akan berusaha membahagiakan mereka dan membalas segala budi baik mereka.
Livina juga ingin mengumpulkan uang untuk biaya pengobatan adiknya, Gio. Bagaimana pun, Gio sakit sedari kecil akibat kelalaiannya sebagai kakak lah yang membuat orang tuanya yang awalnya sayang berubah menjadi benci.
"Ayah, ibu, aku berangkat kerja dulu," pamit Livina pada ayah dan ibu sembari mencium tangan mereka.
Mereka tetap tak acuh seperti biasanya. Tak apa. Kuatlah Livina, suatu saat nanti pasti mereka akan kembali menyayangimu ucap Livina dalam hati.
"Dek ,kakak pergi kerja dulu ya. Doain kakak ya biar lancar kerjanya." Sambil mencium kening Gio yang tengah duduk di kursi rodanya.
"Pasti donk kak. Kakak hati-hati di jalan ya." Lambai Gio sambil tersenyum.
Livina segera melangkahkan kakinya menuju tempat pemberhentian angkot. Jarak antara rumahnya ke tempat kerja lumayan jauh. Harus 2x naik angkot. Jam kerja dimulai pukul 08.00 dan jarak antara rumah ke kantor memakan waktu sekitar 40 menit jadi pukul 07.00 Livina harus sudah bergegas berangkat.
Livina pov
Alhamdulillah, akhirnya aku telah berdiri di depan kantor baruku. Aku kini akan mulai bekerja di perusahaan yang cukup terkenal memproduksi alat-alat rumah tangga berkelas dan berkualitas, Z$M KITCHENWARE.
Setiba di kantor baruku, aku segera ke resepsionis.
"Permisi, perkenalkan nama saya Livina. Saya telah mendapat surat panggilan kerja dan akan memulai kerja hari ini. Tapi saya masih bingung harus kemana?" tanyaku pada resepsionis.
"Oh nona Livina, selamat datang. Untuk pegawai baru, diminta untuk menemui bagian HRD di lantai 2. Apa masih ada yang bisa saya bantu?"
"Oh, tidak terima kasih." Ucapku sambil mengulas senyum tipis.
Aku segera masuk ke dalam lift yang tak jauh dari tempatku berada dan menekan lantai 2 dimana bagian HRD berada.
ting ...
Pintu lift terbuka, segera aku keluar mencari ruang HRD.
"Selamat pagi, saya Livina, pegawai baru disini. Ini berkas saya." Sembari menyodorkan berkas dan bukti tanda terima bekerja pada salah seorang pegawai di bagian HRD.
"Oh, selamat pagi. Perkenalkan, nama saya Divo. Anda akan mulai bekerja sebagai juru ketik. Meja kerja Anda ada di lantai 5. Silahkan naik lift, nanti ada pegawai disana yang akan menunjukkan dimana meja kerja Anda." Jawab Divo dengan tersenyum manis.
"Terima kasih, pak!"
"Tolong jangan panggil pak, aku belum setua itu kok. Kayaknya juga umur kita nggak berbeda jauh." Jawab Divo sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal karena canggung.
"Jadi saya harus panggil apa, pak?" tanyaku polos sembari menunduk.
"Divo, panggil aku Divo saja. Salam kenal." Divo mengulurkan tangannya.
"Ba ... Baik Divo." Sembari menyambut uluran tangan Divo.
"Kalau begitu, aku segera naik ke atas ya. Terima kasih pak, eh ... Divo." Aku pun berlari menuju lift yang tak jauh dari sana.
"Sampai jumpa, Livina." teriak Divo tapi aku sudah keburu memasuki lift.
"Cantik dan pemalu tapi menggemaskan." gumam Divo sambil tersenyum saat aku sudah tak terlihat lagi
<
Tring ...
Pintu lift telah terbuka tepat di lantai 5. Lalu Livina segera mendekati salah seorang karyawan untuk menanyakan di mana meja kerjanya.
"Permisi mbak, perkenalkan nama saya Livina. Saya baru mulai bekerja hari ini. Bila berkenan, boleh saya tahu di mana meja kerja saya?"
"Oh kamu karyawan baru itu toh. Perkenalkan nama saya Rini. Meja kerjamu ada tepat di sampingku. Yuk ...!" ajak Rini.
"Nah, ini meja kerjamu! Untuk tugas apa saja yang harus kamu kerjakan nanti akan saya beritahukan. Silahkan duduk!" Rini mempersilahkan Livina untuk duduk di kursinya.
Livina mengangguk lalu segera duduk .
"Oh ya Livina kalau butuh bantuan apa-apa kamu bisa langsung tanyakan padaku. Untuk tugas pertamamu, kamu hanya harus mengetik proposal ini. Ingat, harus rapi dan teliti. Jangan sampai ada kesalahan walau 1 huruf pun sebab bos kita itu orangnya sangat teliti dan tidak suka ada kesalahan sekecil apapun." Papar Rini yang diangguki Livina.
"Baik mbak."
"Nggak usah panggil mbak, panggil aku Rini aja. Mulai sekarang kita rekan kerja,oke ..."
"Baik Rin. Makasih ya!" jawab Livina sambil tersenyum.
Lalu Livina mulai bekerja, menyalakan komputernya dan mengetik kata tiap kata dengan teliti. Ia berharap tak melakukan kesalahan sedikitpun sebab besar harapannya dapat terus bekerja di perusahaan sebesar itu. Tujuannya kini cuma satu, yaitu ingin membahagiakan kedua orang tuanya dan mengumpulkan uang untuk biaya operasi gagal ginjal sang adik, Gio.
Ya, Gio memang memiliki penyakit gagal ginjal. Livina menganggap itu kesalahannya karena itu ia harus menebusnya dengan mencari uang sebanyak-banyaknya untuk biaya pengobatan sang adik tersayang. Semua itu bermula 11 tahun yang lalu, saat Livina masih berusia 10 tahun. Ia mengajak adiknya yang baru berusia 4 tahun bermain bola di depan rumahnya. Karena haus, Livina masuk ke dalam rumah untuk minum dan meninggalkan Gio bermain bola sendirian . Tapi tiba-tiba terdengar suara tabrakan yang begitu kencang, Livina pun segera berlari ke luar untuk melihat suara apa itu dan betapa terkejutnya Livina saat melihat adiknya sudah terbaring bersimbah darah di tengah jalan. Ia pun berteriak memanggil kedua orang tuanya. Orang tuanya pun segera berlari mendekati Livina yang berteriak histeris. Betapa terkejutnya mereka melihat kondisi Gio yang sudah terbaring lemah bersimbah darah. Dengan dibantu warga sekitar, kedua orang tuanya membawa Gio segera ke rumah sakit. Karena lukanya yang parah, Gio harus segera menjalani prosedur operasi.
Setelah Gio masuk ke ruang operasi, Bu Ira dan Pak Ramlan mendekati Livina dan menanyakan mengapa Gio bisa mengalami kecelakaan itu. Lalu Livina menceritakan semuanya yang membuat Bu Ira dan Pak Ramlan murka.
"Dasar anak pembawa sial. Puas kau sekarang sudah membuat anakku satu-satunya celaka. Awas saja bila sampai terjadi sesuatu pada anakku, aku takkan memaafkanmu," kecam bu Ira dengan emosi yang meluap-luap. Livina hanya bisa tertunduk pilu. Ia pun tak menginginkan hal itu terjadi. Bagaimana pun, ia sangat menyayangi adiknya dan tak pernah berharap terjadi suatu hal buruk padanya.
Tak terasa, sudah hampir 2 jam berlalu. Mereka melihat dokter sudah keluar dari ruang operasi.
"Dok, bagaimana keadaan anak saya?" tanya pak Ramlan.
"Sebaiknya kita bicara di ruangan saya saja pak, bu. Ada yang harus saya jelaskan," ujar dokter tersebut.
Lalu Bu Ira dan Pak Ramlan mengikuti dokter itu yang diketahui bernama Alan menuju ruangannya.
"Silahkan duduk pak, bu. Begini pak, bu, sebenarnya operasinya berjalan lancar. Saya juga sudah berhasil menghentikan pendarahannya. Tapi ... "
"Tapi apa dok? Anak saya tidak apa-apa kan dok? Gio masih bisa disembuhkan kan dok? "Tanya bu Ira panik.
"Begini bu, dengan sangat menyesal, akibat kecelakaan itu tulang kaki kanan Gio remuk sehingga mengharuskan saya mengambil tindakan amputasi."
"Apa??? Apa dok? Amputasi???" Seru Bu Ira. Dadanya telah naik turun karena shock.
"Iya bu. Bila tidak diambil tindakan amputasi maka dikhawatirkan kaki anak ibu akan mengalami pembusukkan. Dan kabar terburuknya sekarang adalah, Gio dalam keadaan koma."
"Ko-koma? Itu tidak mungkin. Gio ... Gio anakku." teriak bu Ira histeris. Air matanya bercucuran tak henti-henti. Menunjukkan kepiluan di hati bu Ira mengetahui kondisi anaknya yang bukan hanya harus kehilangan satu kaki, tapi juga mengalami koma, tak sadarkan diri. Bu Ira memukul-mukul dadanya karena terlalu sesak. Karena tak sanggup lagi menopang rasa sesak di dadanya, bu Ira pun pingsan. Pak Ramlan segera menangkap tubuh bu Ira dan memeluknya erat.
"Bu, sabar bu, yang kuat bu, anak kita pasti selamat. Anak kita pasti bangun. Aku mohon bu, sadarlah," ucap Pak Ramlan yang ikut menangis mengetahui fakta kondisi anak laki-laki kesayangannya itu.
"Semua itu karena anak sialan itu," batin pak Ramlan.
Setelah keluar dari ruang dokter Alan, pak Ramlan segera menemui Livina yang masih terisak di lantai di depan ruang operasi.
"Semua ini kesalahanmu. Menyesal aku memungut mu dulu. Harusnya aku biarkan saja kau di pinggir jalan. Inikah balasanmu pada kami hei anak sialan. Setelah aku memungut mu, membesarkanmu, memberimu makan, bahkan menyekolahkanmu, seperti inikah balasanmu? Lihat kini istriku pingsan dan Gio, anakku satu-satunya yang kutunggu-tunggu kehadirannya bertahun-tahun harus kehilangan kaki kanannya dan lebih buruknya ia sekarang koma di ruangan itu. Aargghhhhhh ...." teriak pak Ramlan.
"Andai saja membunuh tak dipenjara, sudah ku bunuh dirimu untuk menebus kesalahanmu. Sekarang pergi kau dari sini. Aku tak sudi melihatmu." Usir Ramlan murka.
Livina pun berlalu dari hadapan ayahnya sambil menangis tersedu. Ia pun tak menginginkan hal ini terjadi. Bila bisa, biar dirinya saja yang mengalami kecelakaan itu, jangan adiknya.
"Ya Allah tolong Gio ya Allah. Tolong sembuhkan Gio Ya Allah," batin Livina menjerit pilu.
Tak terasa, sudah hampir 2 bulan Gio koma. Semua harta benda Pak Ramlan termasuk toko kecil-kecilan nya terpaksa ia jual untuk biaya pengobatan Gio.
"Gio, bangun, nak. Bangunlah sayang. Ibu dan bapak merindukanmu. Bangun ya sayang," ucap bu Ira sambil mengecupi tangan Gio.
Tit ... tit ... tit ...
Tiba-tiba tubuh Gio kejang-kejang.
"Dokter, dokter, tolong anak saya dok, tolong ..." teriak Bu Ira panik.
Dokter dan perawat pun segera berlarian untuk segera memeriksa kondisi Gio.
"Maaf bu, sepertinya Gio harus masuk UGD lagi untuk memeriksa kondisi lebih lanjut."
Lalu Gio segera dibawa dokter dan para perawat ke UGD.
1 jam kemudian
"Maaf bu, pak, ada yang harus saya beritahukan bahwa Gio sudah sadar." Ujar dokter tersebut memberitahukan.
"Benar dok, Gio sudah sadar?" tanya bu Ira dan pak Ramlan sambil mengembangkan senyum mereka karena bahagia.
"Tapi dok, kenapa Anda minta maaf? Apa ada hal buruk terjadi pada anak saya?" tanya pak Ramlan penasaran.
"Benar pak, sepertinya telah terjadi komplikasi yang mengakibatkan Gio mengalami gagal ginjal karena efek obat-obatan."
Brrukkk ...
Bu Ira terkulai di lantai. Air matanya mengalir deras membasahi wajahnya. Bagai tersambar petir di siang bolong, bu Ira begitu shock atas apa yang menimpa anak satu-satunya itu. Tak cukupkah ia sudah kehilangan satu kakinya, kenapa harus menderita penyakit gagal ginjal juga. Uang mereka sudah sangat menipis. Suaminya juga sudah tak memiliki pekerjaan karena sumber penghasil satu-satunya telah dijual untuk biaya pengobatan Gio dan kebutuhan sehari-hari. Bagaimana mereka bisa mengobati Gio? Apa yang harus mereka lakukan?
"Aarghhhh ... semua karena anak sialan itu, anak pungut pembawa sial." Batin bu Ira.
Kini rasa benci bu Ira makin menjadi-jadi, "aku takkan pernah memaafkanmu anak sialan."
Sepulang dari rumah sakit, sikap bu Ira dan Pak Ramlan jadi dingin pada Livina. Mereka tak pernah lagi memedulikan Livina. Bahkan mereka memaksa Livina agar bekerja di usianya yang dini untuk membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mereka juga memaksa Livina untuk berhenti sekolah, tapi Livina tak mau. Ia berjanji akan bekerja, tapi ia tetap ingin sekolah. Untunglah Livina anak yang cukup cerdas di sekolah jadi ia bisa mendapatkan beasiswa untuk membayar uang sekolahnya.
Setiap hari sepulang sekolah Livina mulai bekerja. Ia mengerjakan apa saja yang dapat menghasilkan uang, tapi ia tak mau mengemis. Ia melakukan apapun demi mendapatkan uang seperti menjadi tukang koran, ojek payung, bahkan pemulung.
Semua uang hasil ia bekerja ia serahkan pada ibunya. Ia lakukan semua dengan harapan orang tuanya dapat memaafkannya. Namun, ternyata orang tuanya tetap saja bersikap dingin. Mereka tak pernah mempedulikan Livina walau saat Livina sakit sekalipun. Hanya Gio yang benar-benar menyayangi Livina. Gio tak pernah marah apalagi membenci Livina. Bagi Gio, Livina tetaplah kakaknya. Kakak tersayangnya.
Tak terasa 11 tahun telah berlalu sejak kejadian itu. Walau waktu telah berputar cukup lama, tapi sepertinya rasa benci bu Ira dan Pak Ramlan tak pernah sirna. Namun, Livina tetap menghormati mereka. Livina tak pernah benci apalagi sakit hati. Livina selalu berusaha menjadi anak yang baik demi membahagiakan kedua orang tuanya.
...<
...<
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!