NovelToon NovelToon

Ipar Yang Dirindukan

BAB 1

...Naura Azalea...

Kita memang tidak meminta untuk dilahirkan. Namun Allah, pasti menciptakan kita untuk suatu hal yang terbaik demi hidup di dunia ini. Semua manusia di ciptakan atas tujuan hidup masing-masing. Setiap waktu yang berjalan, ada pelajaran di dalamnya. Setiap tarikan nafas kita, ada rejeki dan rasa syukur disana karena Allah masih membiarkan kita hidup.

Ya Allah, tapi bolehkah jika Naura mengeluh lelah? Selama ini, hanya ayah tempat Naura bercerita setelah Engkau mengambil ibu. Dan sekarang, giliran ayah yang Engkau ambil, ya Allah. Naura takut, kemana Naura akan berlindung setelah ini?

* * *

"Naura Azalea binti Imran, puteri kandungku. Puteri tunggal, dari istri keduaku. Zizah, aku tahu ini jelas menyakiti hatimu sebagai seorang istri. Tapi kumohon padamu, Naura tidak bersalah sedikitpun. Anak itu juga terlahir dari wanita muslimah yang baik, sama sepertimu. Namun ya, aku minta maaf karena selama ini diam-diam menikahi wanita lain tanpa sepengetahuanmu. Zizah, kondisiku semakin parah. Kumohon padamu, Zizah. Kelak jika aku tidak ada, tolong rawat Naura puteriku."

Air mata wanita paruh baya ini mengalir, mendengar penuturan menyakitkan dari sang suami, Imran Yusri. Di sebuah ruangan rawat inap, Imran terbaring lemah di atas ranjang pasien karena penyakit keras yang ia derita.

Zizah merawat sang suami, sudah dua bulan ini. Dan hari ini, wanita itu terkejut atas fakta yang terungkap. Seorang gadis kecil berusia 10 tahun datang menemui mereka. Dengan pakaian muslimahnya, ia berdiri kaku menunduk takut dengan jemari-jemari yang saling bertaut gelisah. Untuk mengangkat kepalanya pun, terasa berat baginya karena melihat tatapan tidak suka dari Zizah.

Bibir Zizah bergetar, atas emosional menyakitkan yang bergejolak di hatinya, "Sejak kapan? Sejak kapan, kamu menipuku, Mas?"

Imran menggeleng lemah, dengan mata yang begitu sendu, "Aku tidak bermaksud menipumu, Zizah. Ada sesuatu hal yang memang dari hatiku untuk menikahinya saat itu. Kumohon padamu, Zizah. Aku sangat menyayangi Naura puteriku. Sama seperti aku menyayangi ketiga anak kita. Ini amanahku untukmu, istriku. Kasihan puteriku, karena ibunya pun sudah meninggal setahun yang lalu."

Air mata Naura mengalir, setiap ia mengingat tentang sang ibu yang sudah tiada. Gadis kecil itu hanya menunduk, dengan bibir yang bergetar. Menangis tanpa suara.

Zizah menarik nafas yang dalam dan terduduk lemah. Kedua tangannya menutupi wajahnya, suara isakan tangisnya pun terdengar begitu memilukan.

"Kamu mengecewakan aku, Mas. Kamu menyakiti hatiku, hiks."

Imran menatap sang istri dengan mata yang berkaca-kaca. Tidak ada rasa menyesal jika membahas soal pernikahan keduanya, karena mendiang ibu Naura juga adalah wanita muslimah yang begitu baik. Namun memang, Imran begitu paham akan perasaan Zizah saat ini. Pria itu, hanya bisa berkata.

"Maafkan aku, Zizah. Maafkanlah aku."

* * *

Satu Minggu Kemudian

"Ayah...Ayah...! Jangan tinggalkan Naura, Ayah. Ayah....!"

Gadis kecil ini menangis histeris memeluk jasad kaku sang ayah. Naura menjadi pusat perhatian semua insan di rumah duka saat ini atas kehadirannya. Zizah yang baru saja membawanya, setelah Naura memeluk kakinya meminta untuk ikut.

Awalnya Zizah lupa akan amanah sang suami. Apalagi saat kondisi Imran drop dua hari ini. Begitu mendengar kabar suaminya tersebut meninggal dunia, langit seketika runtuh tepat di atas kepala wanita tersebut. Tepat di saat itu, Naura yang memang selalu ke rumah sakit setiap harinya pun histeris meneriaki sang ayah.

Jasad di bawa dari rumah sakit, namun Zizah tak sedikitpun mengingat anak itu. Hingga, saat Zizah hendak menaiki ambulan untuk membawa suaminya, wanita itu tersentak saat Naura memeluknya. Gadis itu memohon pada Zizah, agar ia ikut sampai ayahnya dikebumikan. Dan Zizah pun, membawa Naura ke rumahnya.

Teriakan kata ayah, dari anak lain tentu mengundang rasa penasaran semua pelayat di rumah mewah tersebut. Zizah hanya berekspresi datar dengan mata sembabnya menatap jasad sang suami. Hingga, semua insan disana berteriak terkejut saat putera sulung Zizah menarik paksa Naura.

"PERGI...! BERANI SEKALI MENGAKU-NGAKU ANAK AYAHKU?!"

Naura tersentak kaget dan tersungkur, seorang pemuda berusia 18 tahun mendekat dan membantunya berdiri. Anak itu menunduk menangis dengan begitu memilukan.

Zizah menatap tegas sang putera, "Nakha, Hentikan. Naura, adalah amanah ayahmu, nak."

Nakha terlihat menatap sang ibu dengan wajah penuh amarah, pria itu pun pergi menuju kamarnya dan membanting pintu disana. Zizah memejamkan mata menahan betapa berat yang harus ia pikul saat ini. Satu anaknya yang lain, juga tampak tidak suka dengan Naura. Berbeda dengan anak bungsunya, yang belum mengerti soal masalah ini.

Zizah menatap lekat Naura yang menangis terisak disana, 'Apa yang harus aku lakukan, Mas. Jika hatiku saja, begitu berat saat menatap wajah puterimu ini.'

* * *

Tiga Tahun Kemudian

"Tolong cucikan, ya."

Naura menatap sang kakak, yakni Salma. Gadis yang usianya terpaut lima tahun darinya itu menyerahkan piring kotor yang baru saja ia gunakan untuk makan barusan. Karena melihat Naura mencuci piring bekas makannya, ia pun meminta Naura mencuci piringnya juga.

Naura tersenyum mengangguk, "Baik, kak."

"Aku juga, sekalian." sahut Nakha mencampakkan begitu saja piringnya ke dalam wastafel. Naura sampai tersentak kaget.

"B-Baik, kak Nakha." lirih Naura.

"Kak Naura!" sapa seorang gadis kecil yang usianya lima tahun di bawah Naura, ia adalah puteri bungsu Zizah dan mendiang Imran.

Naura tersenyum ramah menatap Savina, "Ya, ada apa?"

Savina tersenyum ramah padanya, "Kak, nanti bantuin Savina kerjai PR ya?"

Naura mengangguk tersenyum, "Ok, nanti kakak bantuin kamu."

"Naura, jangan lupa janjimu. Katanya mau bantu membuatkan kaligrafi hasil karya tugas di kampusku." ujar Salma menatap Naura dengan ekspresi tidak suka.

Naura menatap Salma dengan tersenyum, "Iya, kak. Habis bantuin Savina, ya."

Salma menghela nafas malas dan pergi menuju kamarnya, "Awas saja jika lupa!"

"Iya kak..Naura tidak akan lupa."

* * *

Empat Tahun Kemudian

Naura, Naura dan Naura. Hingga kini Salma dan Savina, tidak pernah absen menyebut nama itu jika butuh sesuatu. Sejak Nakha menikah dan memiliki rumah sendiri, Naura sedikit bisa bernafas lega.

Hanya saja, Salma masih sering ketus padanya. Gadis itu tidak pernah menganggap Naura layaknya adik baginya. Berbeda dengan Savina, anak itu terbilang akrab dan ramah pada Naura. Bahkan sudah menganggap Naura kakak kandungnya sendiri.

Namun yang namanya kasih sayang dari seorang ibu, tidak pernah Naura dapatkan dari Zizah. Bagaimana pun perilaku Nakha dan Salma yang sering ketus pada Naura, Zizah tidak pernah menasehati anak-anaknya tersebut. Wanita itu sibuk dengan dunia bisnisnya, sejak suaminya meninggal dunia.

Seperti sekarang, Zizah disibukkan dengan acara pernikahan sang puteri Salma dengan seorang pria bernama Zayad. Ini adalah sebuah perjodohan, amanah dari mendiang Imran dan ayah Zayad. Sebab mereka bersahabat lama, dan ingin menjodohkan anak mereka kelak jika sudah siap menikah.

Naura tampak begitu sibuk di hari lamaran ini, kesana-kemari membantu setiap orang yang memanggilnya. Di keluarga Zizah, Naura juga layaknya suruhan yang bisa mereka atur-atur.

Salma sudah terlihat sangat cantik dengan gaun pernikahannya tanpa hijab, karena memang wanita itu tidak mengenakan hijab. Naura kini tersenyum menatap sang kakak di depan kamar Salma. Salma menatap Naura dan tersenyum.

"Kemarilah."

Naura masuk ke dalam kamar, Salma pun berputar dua kali, "Aku cantik, kan?"

Naura mengangguk cepat, "Cantik sekali, kak."

Salma lalu menatap penampilan Naura yang mengenakan gamis berwarna cream yang cantik, "Itu baju siapa?"

Naura menatap dirinya sendiri, "Naura jahit sendiri, kak. Spesial di acara pernikahan kak Salma."

"Ternyata kamu pintar jahit, ya?"

Naura mengangguk tersenyum, "Masih harus banyak belajar lagi, kak."

"Tahu gitu aku minta dijahitkan olehmu saja, lumayan gratis!"

Naura sedikit tersentak, ia pun tersenyum saja. Hingga, mereka kini tersentak saat Savina masuk bersama seseorang.

"Salma, sudah bisa keluar. Ijab kabul akan dimulai."

"Kak Salma, ayo. Savina juga antar kakak, ya?"

Salma mengangguk tersenyum, Naura kini juga menuntun Salma keluar dari dalam kamarnya. Tiga wanita ini pun berjalan melewati setiap tamu yang ada disana. Savina terlihat memegangi gaun belakang Salma yang menjuntai, sementara Naura memegangi sebelah lengan Salma.

Di saat itu, di sebuah venue untuk ijab kabul, sosok pria menatap seorang wanita dengan fokus. Namun, tatapannya justru bukan ke calon istrinya. Zayad Ali Khoir, seketika menundukkan pandangannya saat menatap Naura. Dan kini, beberapa suara terdengar saling berbisik.

"Yang berhijab cantik, ya. Itu siapa?"

"Naura sudah gadis ternyata, cantik sekali. MasyaAllah."

"Itu Naura? MasyaAllah, cantiknya."

"Iya, anaknya juga baik dan ramah. Rajin juga."

"Saya kira tadi Naura pengantin perempuannya."

"Hush, jangan bicara sembarangan."

Begitulah bisikan para tamu saat ini. Salma dan Naura kian mendekat, Naura membantu Salma duduk di kursi yang di sediakan, tepat di belakang walinya sebab belum sah menikah. Zayad kembali menatap Naura, dan juga kembali menunduk. Kedua tangan pria itu terlihat mengepal gelisah.

Naura pun menjauh bersama Savina, berbaur dengan saudara mereka yang lain. Pengucapan ijab kabul pun dilakukan dengan lancar. Dan kini, Salma resmi menyandang status sebagai istri Zayad.

Satu tangan pria itu memegang kepala Salma, dengan menunduk dan berdoa. Namun di dalam hatinya, ia justru terus mengucapkan istigfar. Atas jantungnya yang berdebar sedari tadi, namun bukan karena wanita yang berada di hadapannya saat ini.

* * *

...Zayad Ali Khoir...

...Salma...

BAB 2

Pria ini bangkit, kemudian menatap Salma yang kemarin sudah sah menjadi istrinya tersebut. Zayad mengusap pelan kepala Salma, "Sayang, bersihkan dirimu."

Salma hanya tertidur saja dan bergerak kecil, "Besok pagi saja, aku lelah."

"Tidak baik tidur dalam keadaan kotor, sayang." tuturnya lembut.

Salma membuka matanya sedikit, semakin mengeratkan selimutnya, "Mandilah lebih dulu, Mas. Nanti aku menyusul, aku lelah dan ini kali pertama melakukannya. Semua terasa sakit." keluhnya dengan manja.

Zayad sedikit tersentak, pria itu pun menghela nafas pelan. "Baiklah, aku mandi lebih dulu."

Salma kembali tidur, dan Zayad hanya menatapnya saja lalu pergi menuju kamar mandi untuk membersihkan diri setelah keduanya menunaikan kebutuhan biologis layaknya suami istri.

* * *

Zayad termenung di ruangan makan rumah mewahnya. Di pagi hari setelah shalat Tahajud, seorang diri ia duduk disana menunggu waktunya shalat Subuh tiba. Pria itu terus berzikir, memikirkan banyak hal di dalam kepalanya saat ini.

Pernikahan paksa? Mungkin itulah yang bisa dikatakan untuk situasi Zayad saat ini. Sebagai seorang pria, ia juga sejujurnya punya standarisasi wanita impiannya seperti apa. Namun perjodohan ini, tidak bisa pria itu elakkan. Di dalam keluarganya, memang Zayad anak lelaki sulung dan bisa dikatakan lebih alim di rumah itu.

Jika dikatakan apakah Salma sesuai kriterianya, maka jawabannya tidak sama sekali. Namun orang tuanya sangat menyukai Salma dengan segala kesuksesan wanita muda tersebut. Salma bekerja di perusahaan mendiang ayahnya, sebagai CEO disana. Aura independen woman wanita itu sungguh sangat kental. Memang bisa dikatakan, Salma juga impian para pria di luar sana. Ya, semua wanita sejujurnya sama baiknya.

Zayad menggeleng, "Aku tidak boleh begini. Dia istriku, dan aku akan membimbingnya dengan baik. Aku akan membimbingnya, dengan baik." lirihnya meyakinkan dirinya sendiri.

Tepat di saat itu, adzan subuh terdengar. Zayad segera bangkit menuju kamar, mengira jika sang istri sudah bangun. Sebab pria itu harus menuju mesjid di kawasan rumah mereka. Zayad harus bersiap terlebih dulu. Namun begitu masuk ke dalam kamar, pria itu tersentak melihat Salma yang masih tertidur pulas.

Zayad pun mendekat ke Salma, membangunkan istrinya tersebut dengan lembut, "Salma, bangun dan bersihkan diri, sayang. Sudah akan subuh."

Salma terbangun dan tersenyum, "Baiklah."

Wanita itu berjalan malas menuju kamar mandi, Zayad pun menuntunnya sebab ia mengerti mungkin sang istri kesakitan.

* * *

Dua Bulan Kemudian

"Mas, aku hamil...!"

Salma berteriak senang memeluk Zayad, pria itu pun tersenyum menatap testpack yang diberikan Salma padanya. "Alhamdulillah." tuturnya dengan haru. Zayad mencium kening sang istri, keduanya tampak menyambut kehamilan ini dengan penuh kebahagiaan.

Sejak saat itu, proses kehamilan cukup berat bagi Salma. Wanita tersebut mengidam parah, dan Zayad selalu menemaninya. Namun, ada hal yang membuat Zayad bingung. Saat di pagi hari ini, pria itu membukakan pintu karena kedatangan tamu. Dan mata Zayad membulat menatap Naura sang adik ipar berada di depan pintu rumahnya.

"Assalamu'alaikum, Kak."

Mata Zayad mengerjap, pria itu sedikit menunduk. "Ya, Naura. Ada apa?"

Naura menyerahkan dua bingkis berisi makanan pada Zayad, "Kak Salma telepon tadi, katanya ingin dibelikan rujak kesukaannya dan juga mie goreng. Ini sudah Naura belikan."

Zayad menerimanya, "Salma menyuruh kamu?"

"Iya, Kak. Tidak apa, karena memang Naura tahu kesukaan kak Salma. Semoga kehamilannya lancar, dan semua sehat-sehat."

Zayad mengangguk, "Masuklah dulu, temui kakakmu."

Naura tersenyum getir, sebab ia tahu Salma tadi hanya minta dibelikan makanan itu saja dan berikan pada pembantunya yang membukakan pintu. Namun ternyata yang membuka pintu adalah Zayad.

"Tidak, Kak. Naura ada tugas yang harus dikerjakan. Salam sama kak Salma, permisi."

Naura pergi meninggalkan rumah tersebut. Zayad terus menatap punggung wanita itu. Pria itu kemudian menutup pintu dan menuju kamar sang istri. Terlihat Salma sedang berbaring lemah di atas ranjang efek hamil mudanya. Wanita itu menonton televisi dengan santai.

"Sayang, Naura barusan datang membawakan pesananmu."

Salma sedikit tersentak, "Kamu yang buka pintu, Mas?"

Zayad mengangguk, "Aku duduk di ruang tamu tadi." jawabnya sembari membukakan bingkisan itu, menarik sebuah meja kecil melayani sang istri.

"Kenapa malah suruh Naura? Kan bisa suruh Mas belikan apapun yang Salma mau. Apalagi Mas suami kamu, Mas justru senang jika di suruh membelikan apa yang Salma pengen."

Salma tersenyum tipis dan langsung melahap rujaknya, Zayad tersentak dan menahan tangan sang istri, "Baca doa dulu."

"Sudah dalam hati, Mas."

"Benar?"

"Benar, Mas."

Zayad duduk di sisi ranjang, menatap sang istri, "Ya sudah, jadi lain kali suruh Mas saja."

"Ini belinya di dekat sekolah Naura, Mas. Itu sebabnya aku suruh Naura saja. Daripada Mas yang kesana kan jauh."

Alis Zayad bertaut, "Tapi Naura kemari juga pasti jauh, sayang."

Salma tertawa kecil dan tampak cuek saja menikmati rujaknya, "Sudah biasa itu, Naura juga tidak akan mengeluh. Memang dari dulu begitu."

Zayad tidak paham maksud sang istri, pria itu tidak mau terlalu membahasnya lagi. "Ya sudah, lain kali pokoknya suruh Mas saja. Jangan menyusahkan orang lain, bisa jadi orang lain punya kesibukannya masing-masing. Apalagi Naura akan segera kuliah, kan? Pasti dia sibuk ujian untuk kelulusan."

"Dia itu cerdas, Mas. Wajib juara sekolah. Pasti lulus lah!"

Zayad mengangguk-angguk kecil, pria itu menatap sang istri dan tersenyum menepikan poni Salma. "Sayang, kapan mulai pakai hijab?"

Mata Salma mengerjap, menatap sang suami dengan ekspresi datarnya. Ini memang bukan kali pertama Zayad memintanya, "Belum siap, Mas. Nanti kalau sudah siap kan pasti aku pakai. Beneran belum siap, Mas. Jangan nanti aku pakai terus buka lagi, rasanya nggak pantas saja."

Zayad tersenyum lembut, "Coba dulu saja, jika sudah digunakan pasti terasa lebih nyaman."

Salma menghela nafas malas, "Dikantor saja Ac sampai suhu terendah di ruanganku, Mas. Itu pun aku masih kegerahan, apalagi jika pakai hijab! Nggak tahu panasnya bagaimana. Apalagi aku sedang hamil, dan nanti jika hamil besar pasti lebih gampang kegerahan."

Zayad menghela nafas pelan, "Tapi tetap ingat ya, kelak harus digunakan."

"Iya, Mas."

* * *

Tujuh Bulan Kemudian

Kembali lagi, Naura, Naura dan Naura. Gadis itu kerap datang membawakan apapun permintaan Salma padanya. Kondisi kehamilan Salma sudah memasuki usia kandungan sembilan bulan. Dan sebentar lagi wanita itu akan melahirkan bayinya melalui operasi caesar. Hanya tinggal menunggu informasi dari dokter pribadi wanita tersebut.

Kali ini Salma mempersilahkan Naura masuk ke rumahnya, tentu bukan kali pertama juga. Namun jika Zayad tidak ada di rumah.

"Nanti, kamu yang temani aku di rumah sakit ya, Naura. Ibu sibuk gantikan pekerjaanku di perusahaan selama dua bulan nanti."

Alis Naura bertaut, "Hanya dua bulan cutinya, kak? Biasanya Naura pernah dengar tiga bulan."

"Nggak, aku maunya dua bulan saja. Bosan aku jika dirumah terus."

Naura mengangguk mengerti dan tersenyum, "Sudah dapat yang jagakan anak kak Salma nanti? Atau, kak Salma mau berhenti kerja saja. Kan enak, kak. Suami kak Salma pekerjaannya juga bagus. Pasti cukup."

"Enggak, ya! Aku nggak mau berhenti kerja."

Salma kemudian tersenyum menatap Naura, "Naura, kamu saja ya yang jagakan anakku nanti."

Mata Naura mengerjap, "Ya, Naura mau saja. Tapi, Naura kuliah kak."

"Iya juga ya, tapi jika aku butuh sesuatu, kamu saja ya? Daripada orang lain, lagipula aku takut juga anakku dijagakan orang lain. Nanti mau aku titip ke bibi di rumah kita, kan udah lama kerja sama kita sejak ayah masih ada dulu. Jadi bisa kamu lihat-lihat juga."

Naura mengangguk setuju, "Baiklah, kak. Yang penting suami kak Salma sudah setuju juga."

"Harus setuju lah!"

Naura hanya tersenyum saja, keduanya kembali berbincang ringan namun tidak lama. Salma menyuruh Naura pulang sebelum suaminya pulang bekerja. Naura pun akan berjalan seorang diri di kawasan mewah perumahan tersebut. Zayad sering bertepatan baru pulang bekerja, dan sering melihat Naura berjalan seorang diri yang ia tahu jika gadis itu baru saja dari rumahnya.

* * *

Dua Minggu Kemudian

Suara tangis bayi kini memenuhi ruangan operasi. Zayad dan Salma begitu haru menatap kelahiran puteri pertama mereka. Bayi dibersihkan terlebih dulu, kemudian diberikan pada Zayad. Pria itu pun menggendongnya, dan langsung mengadzani bayi perempuannya tersebut dengan penuh hikmat.

Air mata Zayad mengalir tanpa ia sadari, akhirnya ia di amanahi untuk memiliki seorang puteri. Zayad menatapnya lekat, "Maryam Salwa Khoir, nama untukmu puteriku."

Salma tersenyum mengangguk dan setuju dengan nama tersebut.

Beberapa saat terlewati, Salma pun sudah di bawa ke ruangan rawat inapnya. Wanita itu berada disana untuk beberapa hari tentunya. Dan seluruh anggota keluarga dekat tampak berdatangan, terutama ibu dan adik Salma, juga mertua wanita tersebut.

Salma saat ini sedang belajar memberikan Asi untuk puterinya, wanita itu terlihat stres dan meringis sakit. Zayad terus mengusap punggung dan kepala Salma, "Sabar ya, katanya memang tidak mudah."

Salma menghela nafas berat, wanita itu hanya mengangguk saja. Dan kini sudah dua hari terlewati, Salma kerap menyuruh Naura datang. Seperti saat ini, Naura menggendong Maryam yang sedang menangis. Zayad sedang keluar ada urusan sebentar.

"Kak, Maryam pasti haus."

"Buatkan susunya ya, itu disana." tunjuk Salma pada kotak susu di atas sebuah nakas.

Naura pun sedikit tersentak, "Kasih Asi lah, kak."

"Nggak, susu itu saja. Cepat, mumpung Zayad nggak disini."

"Tapi kak—"

"Lama banget sih, Naura. Sini aku saja yang buatkan!"

Salma berdiri sendiri dengan susah payah dan membuatkannya, lalu langsung memberikannya pada Naura. "Kamu kira memberi Asi itu nggak capek apa? Belum tahu aja kamu rasanya melahirkan sama punya anak bagaimana!" tuturnya menatap Naura dengan kesal.

Naura hanya diam, ia memberikan susu tersebut pada Maryam. Naura menatap lekat bayi di gendongannya tersebut dengan mata yang berkaca-kaca, '*Sabar ya, nak. Maryam harus jadi anak yang kuat dan sehat*. *Sama sepertiku*.' batin Naura.

\* \* \*

BAB 3

Tiga Tahun Kemudian

"Maryam....!"

"Aunty Naura.....!"

Suara tawa renyah Naura terdengar mengisi ruangan tamu. Sosok batita mungil perempuan menggemaskan, terlihat berlari ke arah dirinya. Naura tadi baru saja pulang kuliah. Begitu membuka pintu, hal pertama yang ia cari adalah Maryam, keponakannya.

Maryam pun demikian, setiap auntynya kuliah, anak itu akan sering bertanya pada bibi pengasuh kapan Naura pulang kuliah. Maryam sangat dekat dengan Naura, teramat dekat. Jika Naura di rumah, Maryam akan full bersama Naura.

Naura pun begitu sangat menyayangi keponakan lucunya tersebut. Setiap pulang dari kampus, ia juga langsung mencari sang keponakan. Naura sangat senang jika mata kuliah hanya sedikit di kampus, sebab ia bisa pulang cepat. Tengah hari sudah pulang, ia pun bisa menghabiskan waktu bersama Maryam. Dua wanita beda usia dan generasi tersebut, begitu sangat akrab satu sama lain.

Naura meraih tubuh mungil gempal Maryam dan menggendongnya, gadis itu tersenyum senang menatap sang keponakan, "Halo sayangnya aunty. Maryam udah makan?"

Maryam menggeleng dengan wajah menggemaskannya, "Maryam mau makan tunggu aunty Naura saja."

Naura tersenyum mengangguk, "Ayo, kita makan bersama kalau gitu."

"Ayo..ayo...!" tutur Maryam dengan ceria.

Dua insan itu menuju dapur dan makan siang bersama. Naura mendudukkan Maryam di kursi makan dan membiarkan Maryam makan sendirian. Anak itu tidak manja sama sekali, justru Naura lah yang berperan mengajarkannya banyak hal. Seperti makan sendiri, membereskan mainan, bahkan sedikit-sedikit Maryam ikut mengaji karena sering melihat Naura mengaji.

Keduanya terlihat begitu hangat interaksinya, layaknya seorang ibu dan anak kandungnya. Walaupun, kenyataannya tidak demikian.

Usai makan siang, Naura bercerita dengan Maryam di dalam kamarnya. Hal yang membuat Maryam juga jadi terbilang cepat lancar berbicara, anak itu sering di ajak komunikasi oleh Naura. Maryam juga suka cerita tentang apapun yang ada di pikiran anak kecil tersebut. Hingga keasyikan cerita, membuat Maryam akhirnya tertidur di siang itu.

Naura tersenyum lembut membelai pipi sang keponakan, wanita itu memeluk Maryam dan bersenandung hingga ikut tidur siang bersama.

Beberapa waktu terlewati, biasanya mereka akan bermain di taman komplek perumahan tersebut pada sore hari. Keduanya sudah mandi dan terlihat segar. Naura dan Maryam pun saling berpegangan tangan berlari kecil menuju taman bermain. Sudah banyak anak-anak disana, semua adalah teman Maryam. Batita lucu tersebut begitu antusias.

"Hai semuanya...Maryam datang. Ayo main..!"

Naura tersenyum, membiarkan saja Maryam bermain. Gadis itu terus memantau sang keponakan. Ini juga salah satu ajaran Naura untuk Maryam, hingga anak itu menjadi anak yang berani berinteraksi dan mudah berteman namun juga tetap waspada. Maryam wajib menoleh ke arah Naura, jika ada yang ingin ia tanyakan.

"Aunty Naura, Maryam mau naik ayunan yang besar ini, boleh?"

Naura tersenyum dan mendekat, "Jika yang ini, boleh asalkan aunty ikut menjaga Maryam. Aunty yang akan dorong ayunannya, karena sebenarnya ini ayunan untuk yang lebih besar dari Maryam."

Maryam mengangguk tersenyum, Naura pun mendudukkannya di ayunan tersebut dan mendorong pelan-pelan ayunannya. Maryam terlihat tertawa riang, tawa yang selalu terbit dari pagi hingga sore. Namun jika malam hari tepat di rumah orang tuanya, tidak demikian.

Beberapa saat bermain, kini sebuah mobil pun berhenti di dekat taman bermain tersebut. Zayad terlihat turun dari dalam mobilnya, dan pria itu menatap dua wanita tersebut yang saling tertawa bersama. Selalu begini, Zayad akan tertegun sejenak menatap keduanya yang begitu dekat. Naura iparnya, dan Maryam puterinya.

Maryam kemudian menatap ke arah Zayad, "Papa...!" teriaknya melambaikan satu tangannya.

Naura menghentikan dorongan ayunan tersebut, dan membantu Maryam turun. Anak itu langsung berlari ke arah Zayad, pria itu pun langsung menggendong sang puteri.

"Senang bermainnya, hm?"

Maryam mengangguk tersenyum, "Senang, Papa. Maryam senang sekali."

Naura kini mendekat, "Maryam sudah di jemput ya."

Maryam mengangguk dengan wajah sendu, "Maryam pulang dulu ya aunty, besok kita ketemu lagi."

"Besok hari minggu, besoknya lagi kita ketemu ya. Besok Maryam bisa di rumah seharian sama Mama dan Papa."

Maryam tertegun sejenak, anak itu pun mengangguk saja lalu memeluk Zayad. "Baiklah. Papa, ayo pulang. Cepat pulangnya, biar cepat besoknya, lalu besoknya lagi. Biar Maryam bisa main sama aunty Naura lagi."

Zayad tersenyum tipis, ia tahu anak ini hatinya berat jika tidak bertemu Naura sehari saja, "Iya, nak. Salam dulu aunty Naura, dan ucapkan yang biasa Papa ajarkan."

Maryam menyalami Naura, ia lalu mencium sebelah pipi sang aunty, "Terima kasih untuk hari ini, aunty Naura."

Naura tersenyum mengangguk, "Sama-sama, sayang. Da...!"

Zayad menatap Naura dengan tersenyum tipis, "Kami pulang dulu, terima kasih sudah menjaga puteriku dengan baik."

Naura mengangguk kecil, "Sama-sama, kak."

Maryam pun melambaikan tangannya pada Naura. Naura juga demikian, hingga mereka masuk ke dalam mobil dan melaju pergi. Naura kemudian menghela nafas berat, "Rumah jadi sepi lagi." lirihnya terlihat kecewa.

* * *

Anak lucu ini terlihat menguap lebar, sambil kedua tangannya menutup mulutnya. Zayad menahan senyum menatap lucunya sang puteri. Mereka sedang di ruangan keluarga malam ini, dengan banyaknya mainan disana. Maryam kemudian tertawa, "Kata aunty Naura, kalau menguap tutup mulutnya."

Zayad mengangguk tersenyum, "Aunty benar, nak. Harus seperti itu."

Maryam kemudian menghela nafas berat, "Pa, Mama lama sekali pulangnya? Maryam sudah mengantuk."

Zayad menatap sang puteri dengan sendu, ia lalu melihat jam dinding sudah menunjukkan pukul 09 malam, "Mungkin sebentar lagi, nak. Mama sepertinya sedang sibuk. Maryam jika mengantuk, bisa tidur dulu. Besokkan bisa ketemu Mama."

Maryam berdiri dan mengucek matanya, sebab ia memang sudah ngantuk berat. Zayad pun menggendong sang puteri, membawanya menuju kamar anak tersebut. Zayad menemani Maryam hingga puterinya itu tertidur. Dan beginilah setiap malam pria itu lakukan. Walau Salma pulang cepat pun, wanita itu tidak pernah menemani puterinya tidur.

Beberapa saat, Maryam sudah terlihat nyenyak. Tepat di saat itu, terdengar deruan suara mobil masuk ke garasi rumah mewahnya. Zayad tahu jika itu adalah mobil sang istri. Zayad pun keluar dari kamar sang puteri dan menemui Salma.

Begitu tiba, terlihat Salma pulang dengan wajah lelahnya dan berjalan begitu saja menuju kamarnya. Zayad terus menatap sang istri, sebab Salma menatap suaminya pun tidak. Zayad kini mengikuti istrinya tersebut.

"Kenapa lama sekali pulangnya? Sabtu lembur juga?" tanya Zayad.

"Ada acara perpisahan tadi dengan rekan kerjaku, Mas."

Zayad menautkan alis ketika mendekat ke sang istri, mereka sudah di kamar saat ini, "Kenapa kamu bau asap rokok?"

Salma mencium jas kerjanya sendiri, dan sedikit mengernyit, "Namanya juga banyak pegawai laki-laki, Mas. Mereka semua banyak yang merokok."

"Perpisahannya dimana?"

"Karaokean, Mas."

Mata Zayad pun membulat, "Astagfirullah."

Salma menatap Zayad dengan helaan nafas yang malas, "Mas, sudah ya. Aku lagi capek, lagi nggak mau dengerin ocehan Mas dulu. Aku juga tadinya nggak mau ikut, tapi dia itu jabatannya cukup penting dan kami terbilang akrab. Lagipula banyak perempuan juga, dan hal yang wajar. Aku mau mandi dulu, Mas. Terus tidur."

Zayad menghela nafas lemah, melihat Salma pergi begitu saja menuju kamar mandi. Wanita itu, bahkan tidak ada menanyakan Maryam sedikit pun.

Zayad melirik sang istri, yang sudah berbaring di sampingnya. Salma terlihat bermain ponsel dan sesekali tersenyum atau tertawa saat melihat konten-konten lucu. Zayad kini berbaring miring menatap istrinya tersebut.

"Besok, kita ajak Maryam ke playground dan jalan-jalan ke Mall ya?"

Salma menoleh menatap sang suami, wanita itu pun menggeleng. "Besok aku mau pergi, Mas. Sama ibu-ibu komplek perumahan kita ini. Kan ada ibu pejabat di blok D baru saja pulang Haji, jadi dia ngundang kami kumpul-kumpul."

Kedua bahu Zayad merosot lemas, terlihat kecewa, "Batalin saja, kita pergi dengan Maryam. Kasihan dia, jarang pergi berdua dengan kita."

"Nggak bisa dong, Mas. Aku udah janji, masa mau di batalin? Malulah, Mas." jawabnya ketus.

Zayad kini duduk, berumah tangga dengan Salma membuat pria itu sekarang tidak mudah sabar seperti dulu lagi, "Salma, berhenti saja bekerja ya. Toh pekerjaanku bagus, kita tidak akan kekurangan apapun. Kamu kan tahu sendiri aku juga CEO di perusahaan besar kota Jakarta ini. Fokus ke Maryam, dan sepertinya kita bisa program anak kedua. Mas maunya begitu."

Salma ikut duduk dengan ekspresi berani menatap Zayad, "Itu maunya Mas Zayad, bukan maunya aku. Ya hargai juga mau istrinya itu seperti apa. Nyamannya aku itu bagaimana. Aku udah terbiasa kerja, Mas. Dan aku nggak mau tambah anak lagi. Aku trauma, kembalikan berat badan dan ternyata selelah itu loh, Mas. Jadi ibu itu nggak mudah!"

Zayad tersentak atas penuturan sang istri, walau ini bukan kali pertama juga Salma berkata demikian. Tentu ini bukan kali pertama mereka ribut masalah rumah tangga. Sudah sering, bahkan sangat sering. Namun, banyak yang Zayad pertimbangkan. Tidak mungkin juga menyudahi hubungan ini disaat ada sosok anak di antara mereka. Zayad tidak mau mengorbankan puterinya, Maryam.

Salma beranjak dari ranjangnya dan keluar kamar dengan ekspresi yang kesal, "Begini nih, malas aku. Mau tidur aja ngajak ribut dulu. Aku tidur di kamar tamu, nggak mau disini!"

Zayad memejamkan mata dengan helaan nafas yang berat, pria itu mengusap wajahnya dengan kasar, "Ya Allah, ini sudah tidak sehat. Apa yang harus aku lakukan?" lirihnya.

\* \* \*

![](contribute/fiction/10996115/markdown/48682424/1749786931260.jpeg)

...**Maryam**...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!