.........
Apa kau bisa melihat,
apa yang tidak pernah bisa dilihat orang lain? Apa kau bisa merasakan,
apa yang mungkin tak bisa dirasakan orang lain?
Aku bisa,
setiap sudut yang gelap,
setiap jalan yang kosong,
setiap angin yang bertiup di lorong yang hampa,
setiap makluk yang tidak kasat mata, yang bahkan tidak pernah berniat untuk menampakkan dirinya,
Mereka bukan makluk aneh,
bukan juga makluk terkutuk,
hanya sisa dari sari kehidupan yang mulai meredup cahayanya, hanya bagian kecil yang lepas dari raga dan terbang begitu ringan di angkasa, terkadang, tidak semudah itu...
Ada arwah terikat, mungkin itu namanya,
Makhluk yang sebenarnya adalah intisari dari manusia yang sudah rusak raganya, hingga akhirnya harus meninggalkannya dan pergi ke tempat selanjutnya, itu mungkin pendapat sebagian orang, bahkan semua orang, karena pada nyatanya, tidak ada yang tahu pasti apa yang terjadi pada kita setelah kematian itu datang, apa yang akan terjadi pada inti sari tubuh berupa roh ringan yang kehilangan arah karena apa yang kita miliki sudah bukan lagi milik kita, raga, yang kita kenal bukan lagi hak kita, bahkan semakin lama, ingatan yang kita ketahui selama ini juga akan ikut menghilang,
Arwah terikat,
yah, itu namanya, karena keterikatannya akan hal duniawi yang berhubungan dengan raganya masih dirasakannya, dendam, hawa nafsu, keduniawian yang masih melekat, yang entah hingga kapan akan menghilang, mungkin, tidak akan pernah, atau, mungkin seiring dengan waktu ia akan jenuh, mungkin juga akan pergi ke tempat seharusnya, di mana yang namanya surga atau neraka terbagi menurut tingkat perbuatan seseorang, mungkin,..
Entahlah, banyak hal yang masih menjadi misteri,
Yang pasti, pandangan mata gelap di balik cahaya akan terus mengikutimu, entah kau sadar atau tidak, entah kau bisa melihatnya, atau tidak...
*-*-**-*-*
"Byuuurrrr!"
Berat, jatuh ke dalam air yang dalam dan gelap, seluruhnya hitam, hampa tanpa suara ataupun cahaya tersisa, perlahan, semua panca indera pun mulai lumpuh.
Cody tidak bisa bergerak, hanya membiarkan tubuhnya yang tak bisa lagi dikendalikan olehnya turun kian dalam ke air yang belum tampak dasarnya, banyak mata gelap, dengan rambut panjang dan kulit wajah pucat menggapai kakinya, terus menariknya hingga ke dalam air tanpa ia bisa melawan.
Erangan itu, walau tidak bisa mendengarnya tapi dari ekspresi wajah-wajah gelap itu Cody bisa melihatnya, erangan penuh keputusasaan dengan tangan panjang terulur yang tak ingin sedikitpun melepaskan kaki Cody, bahkan, lama medekapnya, membenamkan seluruh tubuhnya hingga jatuh semakin dalam, semakin gelap, ini, mungkin akhirnya.
*-*-*-*-*-
"Ceklek, ceklek!"
Shutter dan nyala lampu flash kamera mendominasi ruangan.
Hampir semua ruangan di salah satu kamar di rumah besar milik pejabat daerah itu sudah menghitam dan masih mengeluarkan asap setelah sempat terbakar beberapa saat lalu.
Bukan tanpa sebab, kebakaran sengaja dilakukan untuk menyembunyikan bukti kejahatan yang tersimpan di balik dinding di belakang lemari kamar berukuran cukup luas itu, beberapa tubuh, tidak, beberapa sisa tubuh mungkin, yang tersembunyi di balik lemari dengan kondisi tidak manusia.
Cody, dengan mantap mengarahkan moncong kamera yang baru dibelinya bulan lalu setelah kamera lamanya juga sudah rusak terbakar, butuh biaya yang besar untuk membeli seperangkat kamera yang seharusnya tidak bisa ia miliki, kalau bukan karena seorang yang sangat baik hati memberikan untuknya, opa kandungnya, yah, opa kandung, Cody tidak sendiri, ia punya keluarga yang walau belum sempat ditemuinya karena satu dan lain hal, entah apa yang sangat penting.
Berawal dari dua bulan lalu saat seorang wanita asing tiba-tiba mendekatinya di kampus dan mengatakan kalau ia diutus opanya untuk mencarinya, setelah sekian tahun, beliau menemukannya, Cody tidak mengenalnya sama sekali, juga tidak terbayang bagaimana sifat satu-satunya keluarga yang ia miliki, tapi menurut Nina, beliau adalah salah satu pria paling lembut di dunia yang ia kenal, pria yang sangat mencintai segala hal dari besar hingga yang paling kecil, dan tentunya, beliau sangat mencintai keluarganya, yang kini hanya tersisa Cody seorang.
Beberapa anggota team dari forensik baru akan memeriksa kondisi jenazah saat beberapa asap hitam melayang keluar dari dalam lemari.
Mata Cody berkilat, beberapa bayangan hitam itu melesat di antara beberapa orang di sana tanpa ada yang menyadari, bahkan beberapa asap hitam yang seakan membentuk sosok manusia menyerupai wanita muda beberapa mendekati anggota forensik dan berbisik di telinga mereka.
"Tolong!"
"Bebaskan kami!"
"Keluarkan kami!!"
Suara yang memilukan.
Cody baru hendak mengangkat kameranya mengambil photo ruangan sebagai bukti terakhir, sampai tiba-tiba sebuah tangan hitam kecil menahan pergelangan tangannya.
"Ekch" sakit, Cody bisa merasakannya, pegangan erat sesosok wanita muda dengan wajah setengah terbakar dan sisa tubuhnya menghitam karena terbakar hidup-hidup, ia menatap Cody dengan mata besar seolah hendak menelannya.
Cody berusaha melepaskan pegangan arwah itu, tenaganya sangat kuat, arwah, yang tak lebih dari sisa kehidupan yang harusnya hanya berupa esensi tak berwujud yang ternyata bisa memegang tangannya dengan kuat, bahkan meninggalkan bekas yang seketika menghitam saat arwah itu melesat dengan cepat pergi ke arah lain.
"Tolong kami!"
Suara rintihan yang memekakkan telinga, Cody sampai harus menutup telinganya karena suara itu begitu menyakitkan.
"Akch!"
^^^“Semua kehidupan ada akhirnya, walau demikian semua proses saat hiduplah yang menjadi penentunya. Waktu setelah kematian mungkin akan berhenti, seperti tidak ada lagi hukum ruang dan waktu yang berlaku, lalu, apa yang tertinggal setelahnya? Karena banyak hal misterius yang kerap mengikuti setelahnya, bahkan jauh sesudah cahaya kehidupan terenggut darinya, semua, tetap berjalan walau ruang dan waktu sudah berhenti.."^^^
You In The Rain Vol.1
+-+-+-+-+-
Pagi yang cerah di salah satu gedung apartemen mewah yang menjulang tinggi di pusat kota.
Cody baru selesai dari kamar mandi saat mendengar ponselnya bergetar di atas meja.
"Drrzzzzt drzzztttt!"
Pukul tujuh pagi, harusnya ia tidak ada kelas hari itu tapi kesibukan barunya sebagai photographer magang di kepolisian pusat membuat ia rajin bangun pagi.
"Hallo"
Hervant di balik telepon, ia yang lebih rajin bangun pagi karena sudah bekerja sebagai kolumnis di salah satu media online terkenal. Sambil mengapit ponsel antara telinga dan pundaknya Cody mengenakan jam tangan baru pemberian terkasih dari Riana di ulangtahunnya yang kedua puluh bulan lalu.
"Hari ini tidak ada kuliah tapi tadi subuh Rio memberitahu kalau ada jenazah baru ditemukan di lapangan rumput, aku mau ke sana sekarang, emm belum begitu lama, sepertinya baru beberapa jam yang lalu, karena team forensik ganti shift jadi harus menunggu sebentar, yah nanti sore aku mampir yah, okay bye Her"
Cody mengenakan kemeja putihnya lengkap dengan celana bahan berwarna khaki yang cocok untuk tugasnya hari itu, saat menuju ke pintu keluar kamar tiba-tiba dengung di telinganya sangat keras.
"Ach" tidak hanya sekali, ia sudah sering mengalaminya namun kali itu membuatnya hampir terhuyung jatuh, Cody berpegangan pada handle kursi dan duduk perlahan, entah karena belum sarapan pagi atau karena akhir-akhir ini kemampuannya melihat penampakan dan berkomunikasi dengan kematian semakin kuat, ia bahkan bisa mendengar suara yang ditinggalkan oleh jenazah walau arwahnya tidak muncul di depannya.
Dikumpulkan energinya dan berdiri kembali, tepat saat ponsel di saku celananya kembali bergetar.
"Yah Rio" kepalanya sakit luar biasa, dikeluarkan botol suplemen penambah darah dari dalam tasnya, yang seperti biasa tentunya disediakan oleh Riana, mungkin anemianya kambuh.
"Yah aku ke sana sebentar lagi, ini sudah siap, iyah maaf begitu saja marah-marah sich, belum sarapan yah? Tidak ada McD di arah ke sana" masih dengan ponsel di telinganya Cody keluar dari apartemennya dan menuju ke Lift, tas yang dibawanya cukup besar hingga harus menggesernya saat masuk.
"Burger? Bubur? Apa donk? Kau ini sedang melihat mayat masih saja pikirkan soal makanan, nanti lihat di jalan ketemu apa yah, donut mau?"
*-*-*-**-*-*-*-*
Tak lama Di TKP yang letaknya agak jauh di luar kota.
Hujan baru berhenti dan masih meninggalkan genangan cukup banyak di lapangan rumput di area yang cukup jauh dari pemukiman warga.
Air sisa hujan masih sesekali menetes turun dari atap yang mulai berkarat, menetes ke permukaan seng dan benda usang lainnya di bawah hingga menimbulkan suara yang cukup keras, angin dingin bahkan masih berkumpul dan belum mau beranjak dari posisinya, suaranya samar terdeengar di sela-sela gedung dan pepohonan serta tanaman liar di sekitarnya.
Seperti biasa sudah ada beberapa kendaraan polisi dari team forensik pusat merapat dan menutup perimeter untuk melakukan penyelidikan atas kasus terbaru mereka, garis kuning bertuliskan polisi membentang menutup akses umum agar bukti di lokasi tidak tercemar.
Mereka bergerak cepat, baru saja subuh tadi ada yang melaporkan soal penemuan sosok menyerupai manekin telungkup di tengah lapangan, yang setelah didekati ternyata adalah sosok jenazah pria dewasa.
Shutter dan pendar lampu kamera memenuhi set.
Cody baru berdiri dari jongkoknya selesai mengambil photo jarak dekat, wajah pria itu putih pucat karena terendam air hujan dingin, hampir tidak dikenali lagi bentuknya, tapi dari pakaiannya sepertinya ia adalah salah seorang karyawan di bengkel automotif.
Bukan pemandangan yang menyenangkan bagi siapapun juga, wajah pria itu terlihat sangat dingin dengan mata membelalak lebar seolah menyaksikan sendiri bagaimana nyawanya melayang dengan cara mengerikan, sekujur pakaiannya terkoyak di beberapa tempat namun karena air hujan yang menggenang membuat luka menganga itu kehabisan darah dan hanya terlihat seperti potongan daging lainnya, hal yang bagi Cody adalah pemandangan umum lainnya, yang sering datang dan pergi tanpa bisa ia kendalikan, para arwah terikat yang masih berada di sekitarnya, beberapa mungkin jauh lebih parah daripada yang bisa dibayangkan orang lain sebelumnya.
Seorang pria muda mendekat.
Rio Sanders pria muda keren dari team forensik kepolisian yang usianya beberapa tahun di atas Cody, ia mendekat.
"Bagaimana? Sudah dapat yang kita butuhkan?" Tanyanya.
Cody mengangguk,
"emm, kurang lebih, tapi dalam kondisi hujan seperti ini semua bukti sepertinya akan semakin sulit dicari yah, jadi aku cuma bisa photo seadanya saja" ujar Cody masih fokus dengan kameranya.
Rio tersenyum, ia mengelus dagunya sambil melihat Cody lama, ia baru mengenal Cody dua bulan tapi entah kenapa pemuda itu memang sangat menarik perhatiannya, selain sangat jeli sepertinya ia juga tidak ada perasaan takut atau apapun saat melihat tubuh-tubuh tak bernyawa yang sering diphotonya, tidak seperti beberapa photographer magang lainnya yang tidak tahan dan cepat sekali berlalu.
"Kau ini, yang detektif di sini itu siapa, jangan coba mengambil pekerjaanku yah?"
Cody menyangkutkan kembali kamera ke pundaknya, namun gerakannya berhenti saat melihat sesuatu agak jauh di salah satu bangunan di antara bangunan lainnya, satu komplek pergudangan yang dulunya adalah perusahaan penggilingan tepung. Ia yakin sosok itu melihat ke arahnya lurus dan menghilang di balik salah satu gudang.
Asap hitam baru melayang pergi seiring bayangan yang sudah menghilang dari pandangannya.
"Ayo Cod, kita sarapan, kau tidak membelikanku apapun, aku sudah lapar nich" ajak Rio menepuk tangan Cody.
Namun Cody belum mau beranjak, ia menunjuk ke arah gudang tak jauh di depan mereka.
"Apa, kalian sudah coba periksa gudang itu?"
Rio mengerutkan matanya.
"Emm, belum, memangnya di sana ada apa? Kita bahkan belum selesai memeriksa daerah yang di sini"
Cody masih berdiri di tempatnya, ia tak mau beranjak walau Rio menarik tangannya, seperti biasa ia merasa sesuatu memanggilnya ke sana, suara gumaman yang seolah menjadi hal biasa baginya.
Rio menarik nafas, mata Cody sangat serius seperti biasanya.
"Heh, ayo kita lihat! kau ini selalu aneh-aneh, tapi kalau aku tidak mendengarkanmu aku pasti akan menyesal"
Tak lama Rio dan beberapa petugas forensik sudah berdiri di depan pintu gudang yang dimaksud Cody.
Suara beberapa benda usang yang dihempas angin bertemu satu sama lain, tak ada suara lain di sana, gerakan kaki di permukaan lantai yang tertutup debu bercampur sisa tepung kontan berhenti, meninggalkan jejak-jejak nyata yang tampak sangat jelas.
Cody dan lainnya terdiam di depan pintu, terlebih Rio, gudang kecil yang menjadi sub gudang di antara gudang besar lainnya, di dalamnya tersisa beberapa barang tak terpakai, pemilik gudang bahkan tak ingin lagi repot meliriknya karena terlalu usangnya.
Rio menelan ludahnya bulat, sebuah kursi besi yang sudah berkarat diletakkan di tengah ruangan, masih ada sisa tali tambang dipegangannya, tetesan darah di kursi dan lantai yang juga sedikit terciprat ke dinding, seperti tempat pembantaian korban karena kondisinya yang mengerikan.
"Heh, aku benci saat kau selalu benar Cod"
Rio menoleh pada Cody yang ada di sampingnya, minim ekspresi seperti biasanya, pemuda itu memang ajaib, ia bahkan tidak bergeming sekalipun.
Cody melihat, bayangan tadi sudah menghilang saat masuk ke gudang itu, hanya ada kalimat terakhir yang didengarnya sebelum sosok itu benar-benar menghilang.
"Tinggalkan aku"
Semua semakin membingungkan, kenapa bayangan itu tidak muncul di hadapannya seperti yang lainnya, kenapa hanya meninggalkan sebuah kalimat yang tidak diketahui apa artinya.
"Heh" kepalanya semakin pening rasanya.
+-+-+-+-+-+-
Body In The Rain
Tidak ada bayangan..
Cody tertegun diam di depan cermin besar kamar mandinya, ia tidak melihat bayangannya di sana, apa mungkin kini ia sedang bermimpi? Ditundukkan kepalanya, suara dengung itu terdengar jelas kembali di telinganya.
"Ngguungg!"
Sangat menyakitkan hingga kepalanya seakan mau pecah karenanya, perlahan diangkat kepalanya kembali, dan itu dia, bayangannya muncul kembali di cermin, ia kembali.
"Heh" dibasuh wajahnya dengan air hangat yang mengucur keluar, mungkin ia harus memeriksakan dirinya kembali, akhir-akhir ini karena terlalu banyak melihat penampakan hingga kenyataan dan ilusi semua seperti menyatu dalam kehidupannya sehari-hari, sebelumnya tidak pernah seperti ini, walau sebanyak apapun arwah yang datang padanya ia akan selalu fokus, tapi entah kenapa sekarang perlahan ia mulai kehilangan dirinya, ia mulai mendengar suara aneh yang tidak seharusnya ada, dan itu semakin menjadi.
^^^Ada jiwa yang terikat.^^^
^^^Jiwa yang baru saja keluar dari tubuhnya sesaat setelah kematian itu datang.^^^
^^^Biasanya akan ada malaikat penjemput yang kerap berkeliling menuntun jiwa yang tersesat kembali meneruskan perjalanannya, ada yang ikut, dan ada yang tidak.^^^
^^^Beberapa yang memutuskan tidak ikut akan tertinggal dan menjadi arwah gentayangan, jiwa penasaran yang masih terikat duniawi hingga ia akan terus berkeliling hingga semua urusannya selesai, dan akhirnya pergi mengikuti malaikat penjemput yang masih menunggunya.^^^
*-*-*-*-*-*
Charlie melirik Cody duduk dengan wajah tidak bersemangat di depannya, mengamati pemuda yang sudah seperti adiknya itu seksama, bahkan suara pasien dan pengunjung yang berlalu lalang di lantai umum rumah sakit pusat tidak membuatnya terganggu, pikirannya melayang entah ke mana.
"Apa yang kau pikirkan Cod? tidak ada masalah pada dirimu kau hanya kurang istirahat, lihat bawah matamu hitam begitu, kau kurang tidur karena kebanyakan urusan, kuliah, kerja, pekerjaanmu juga bukan yang bisa libur sabtu minggu, wajar kalau kau jadi kurang fokus"
Cody menurunkan lengan kemejanya, melihat Charlie, dokter muda yang dulu adalah tetangganya waktu kecil, seperti sudah ratusan tahun mengenalnya.
"Apa, aku mungkin sudah menganggu mereka yah Char? Tapi aku juga tidak mungkin tidak menghiraukan mereka saat ada yang minta bantuan khan?"
"Yah kurangin pekerjaanmu kalau begitu"
Cody menegakkan duduknya.
"Mana bisa begitu Char, aku sudah menandatangani kontraknya, lagipula pekerjaannya sebenarnya menyenangkan"
"Yah menyenangkan, sampai aku dengar dari Hervant bahkan hari sabtu minggu kau masih harus tiba-tiba pergi saat dipanggil tugas, kau ini warga sipil Cod, tidak usah terlalu ikut campur urusan polisi, kalau opamu tahu beliau bisa marah besar"
Charlie berdiri dari duduknya "Aku masih ada pasien lain, tolong duduk di kursi tunggu yah, dan ambil suplemenmu di apotek, jangan lupa"
Cody melirik Charlie tajam, walau dokter muda itu sudah seperti kakaknya tapi dia memang sedikit kejam padanya, ia bahkan baru duduk sebentar, dokter magang yang sok menjadi dokter, gerutu Cody.
"Kau ini"
Charlie melambaikan tangannya pada perawat jaga.
"Pasien berikutnya!"
*-*-*-**-*-*
Di salah satu cafe tak jauh dari rumah sakit.
Hervant meneguk kopinya sedikit, suasana cafe siang itu terbilang cukup sepi, udara panas di luar sana mempengaruhi hingga ke dalam walau nyala pendingin ruangan sudah maksimal.
Pemuda itu melirik pada Cody yang hanya duduk diam menatap cangkir kopinya.
"Woi, melamun saja, pikirin apa?"
Cody mengangkat wajahnya.
"Tidak, siapa yang melamun"
Hervant sudah kenal baik dengan Cody, bahkan tahu kalau sahabatnya itu ada masalah walau ia tidak pernah membicarakannya.
"Okay, besok Riana kembali, kau sudah kangen khan?"
Cody menyeringai.
"He, siapa, berapa hari ini tenang tidak ada Riana, bebas merdeka, kalau dia balik malah maunya nempel terus, ini tidak boleh itu tidak boleh, ini tidak bagus itu bagus"
"Yah tapi kau suka khan diperhatikan begitu, sudah biasa khan?"
Cody mengangkat cangkir kopinya, diletakkan kembali saat merasa migrainnya kembali menyerang tiba-tiba.
"Duuh"
Tak lama dari arah pintu masuk beberapa orang dengan jubah dokter, suara mereka yang keras membuat cafe yang tadinya tenang ramai seketika.
"Hahaha dokter Yunita memang hebat, beliau ini bahkan bisa membuat seorang pejabat seperti itu diam, kalau tidak masalah bisa lebih besar" seorang dokter bertubuh agak gempal duduk duluan, diikuti oleh seorang wanita sebaya yang dipanggil dokter Yunita dan dua dokter sebaya lainnya.
"Hahaha kebetulan saja saya bisa tahu sedikit rahasianya pak, bukan masalah besar"
Hervant meraih tas kecilnya, ia dan Cody harus kembali ke kampus karena ada kuliah setelah jam makan siang.
"Ayo, nanti kalau telat pak Hadi bisa pidato lama lagi, beliau tidak suka melihat orang telat"
Cody ikut berdiri.
Keduanya berjalan ke arah pintu keluar, tepat saat wanita yang disebut sebagai dokter Yunita berdiri dari duduknya. Sejenak ia dan Cody bertemu di tengah jalan.
"Eh maaf" dokter Yunita hendak memberi jalan pada Cody, namun Cody justru mematung di posisinya, pandangan matanya kosong,
"Cod" Hervant berusaha menarik Cody, namun pemuda itu hanya diam saja di tempatnya, justru perlahan menoleh pada dokter wanita yang menatapnya bingung.
"Eh silahkan"
Tanpa bisa ia hindari Cody menahan tangan dokter itu erat, pandangan matanya kosong,
"Cody apa yang kau lakukan, ayo kita keluar?"
Tak ingin memicu keributan tapi sikap Cody memang aneh, ia menahan pergelangan tangan dokter Yunita erat hingga menyakitinya, rekan-rekan dokternya sampai berdiri mendekat.
Cody tidak bergeming, tatapan matanya yang kosong membuat dokter itu gentar, seakan pemuda itu sangat mengenalnya.
"Cody!" seru Hervant.
Cody menatap dokter Yunita, mendekatkan kepalanya dan membisikkan sesuatu di telinganya, dokter itu hanya berdiri di tempatnya mematung, setelahnya Cody pun jatuh lunglai.
"Cody!" Hervant sigap menahan tubuh Cody yang tiba-tiba tak sadarkan diri, seisi cafe memperhatikan mereka. Dokter Yunita masih berdiri diam, pegangan pemuda itu tadi begitu erat hingga menyakitinya dan meninggalkan bekas merah di pergelangan tangannya, walau bukan itu yang membuat dirinya membeku di tempatnya, sebuah kalimat yang dibisikkan pemuda asing itu membuat kakinya lemas, ia hampir jatuh.
"Cody"
Hervant menepuk-nepuk pipi Cody berusaha menyadarkannya.
"Cody, Cody!"
*-*-*-*-*-*-*-
Ruang dokter konsultan sepi, tidak ada suara lain dalam ruangan selain detak jarum jam dinding yang terpasang di atas lemari, dokter Yunita duduk di kursinya tak bergerak, dua tangannya sedikit gemetar, berkeringat walau angin dari pendingin ruangan terus menderu.
Sejenak tangannya ragu di atas telepon, menariknya kembali dan meremasnya, menggigit kukunya, mendekati gagang telepon kembali, beberapa kali ia mengulangi hal yang sama.
Ia gelisah, terlihat dari matanya yang membelalak lebar, bisikan pemuda yang baru pertama kali bertemu dengannya bisa membuat ia gentar demikian,
"Aku tahu, apa yang kau lakukan dua tahun lalu, aku kembali untukmu, Sharon"
Ucapan Cody, pemuda yang bahkan tidak ia kenal bisa membuatnya takut.
Tangannya bergerak kembali ke arah gagang telepon, hingga dengan cepat menekan nomor dengan jarinya yang sedikit gemetar.
"Selamat malam pak, ma maaf, tapi, eh apa anda ada waktu bertemu? Heh ini, sudah lama, tapi, aku merasa, ada yang tahu, soal kejadian waktu itu, heh, aku tidak bercanda"
*-*-*-**-*-*-*
Riana menatap Cody lama, ia sudah seminggu tidak melihat Cody dan rasa rindunya mungkin sudah memuncak, tapi melihat kondisi Cody saat itu malah membuatnya tidak senang.
"Apa Ri?" Tanya Cody risih, Riana meraih tangan Cody, Cody sudah terbiasa dengan sentuhan Riana bahkan ia tidak aneh lagi kalau gadis manis itu memang senang menempel padanya, ia capek mencegahnya.
"Kau ini, baru ditinggal seminggu sudah kurus begini, bagaimana kalau sebulan, setahun"
Hervant yang berdiri di depan pintu kamar menghentikan langkahnya, ia agak panik saat Cody pingsan tadi siang hingga mereka harus ijin kuliah siang itu. Untungnya hanya masalah kecil, Ia mendekat masuk.
"Tidak apa-apa Ri, kata Charlie Cody ini hanya kurang gizi, istirahat semalam juga sudah balik sempurna lagi"
Cody menarik tangannya dari Riana yang melihatnya seperti ia akan mati saja, pikirnya.
"Makanya jangan pergi-pergi, salah siapa aku kurus begini?" gerutu Cody, sejenak Riana yang masih memasang wajah kesal lalu merubah ekspresinya, ia terharu mendengar ucapan Cody tadi padanya, itu artinya secara tidak langsung Cody tidak ingin ia pergi jauh-jauh, ditarik kembali tangan Cody.
"Yah sudah, aku akan nempel sama Cody seperti permen karet, pokoknya tidak akan biarkan Cody kekurangan gizi lagi"
Cody mulai risih lagi karena Riana terus menempel padanya kembali.
"Ichh Ri jangan berlebihan begitu ach, Charlie itu juga sok tahu, apanya yang kekurangan gizi, memangnya aku anak kecil, dia itu cuma dokter magang hasil diagnosisnya tidak ada yang benar, ngapain lagi mencarinya, Her lain kali cari dokter beneran donk"
Hervant tertawa kecil,
"Hahahaha, dia khan yang paling mencemaskanmu Cod, tidak mungkin asal khan"
"Siapa yang bilang? dia itu yang paling jahil Her"
"Hahaha" tawa Hervant puas.
+-+-+-+-+-+-+-+-
Shadow.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!