NovelToon NovelToon

Terpaksa Menjadi Madu

bab 1

Langit sore itu mendung, seolah memahami kegundahan hati Alya. Ia duduk di sudut kamar kontrakannya yang sempit, memandangi amplop coklat tebal di pangkuannya. Isinya adalah surat perjanjian—kontrak pernikahan antara dirinya dan Dimas Ardiansyah. Tangannya bergetar saat mencoba membukanya kembali, seakan berharap bahwa semua ini hanya mimpi buruk yang bisa ia tepiskan dengan membuka mata.

Namun kenyataan jauh lebih kejam.

Dimas bukan pria sembarangan. Ia dikenal sebagai salah satu pengusaha properti tersukses di Jakarta. Wajahnya sering muncul di majalah bisnis, senyumnya yang dingin menjadi simbol kekuasaan. Dan kini, pria itu menjadi calon suaminya—bukan karena cinta, bukan karena takdir, tetapi karena utang ayahnya.

"Alya, Ayah nggak punya pilihan lain..." Suara ayahnya beberapa hari lalu terus terngiang di kepalanya. Pria tua yang kini tubuhnya melemah karena stroke itu tak sanggup menatap matanya. "Kalau kita nggak bayar, kita bisa kehilangan rumah. Ayah bisa dipenjara."

Alya tahu betul bagaimana kondisi keluarganya. Ibunya telah meninggal dua tahun lalu karena kanker. Adiknya masih sekolah, dan penghasilan sebagai perawat nyaris tak cukup untuk menutupi kebutuhan harian, apalagi utang sebesar 700 juta rupiah.

Satu-satunya orang yang datang menawarkan jalan keluar adalah Dimas. Tapi jalan itu dibayar dengan harga yang sangat mahal—martabat, perasaan, dan kebebasan hidupnya.

“Kau akan menjadi istri kedua.” Kalimat yang keluar dari bibir Dimas saat pertemuan pertama mereka masih begitu segar di benaknya. Datar, tanpa ragu. Seolah yang ia tawarkan adalah kontrak bisnis biasa.

"Dan istri pertamamu tahu soal ini?" tanya Alya waktu itu, matanya menantang, meski jantungnya berdegup tak karuan.

"Dia akan tahu," jawab Dimas dengan senyuman kecil yang tak bisa ditafsirkan. "Tapi itu urusanku."

Hari itu Alya pulang dengan perasaan campur aduk. Marah, bingung, malu—tapi juga takut. Ia membenci kenyataan bahwa dirinya bahkan mempertimbangkan tawaran itu. Namun seminggu berlalu, dan ayahnya mulai batuk darah. Rumah mulai digadai. Adiknya mulai bicara soal berhenti sekolah.

Alya menyerah.

 

Pernikahan itu digelar diam-diam di sebuah vila pribadi milik Dimas di Puncak. Hanya ada penghulu, dua saksi, dan seorang pengacara yang membacakan ketentuan hukum perjanjian pranikah. Tak ada gaun indah, tak ada senyum bahagia. Alya mengenakan kebaya sederhana, wajahnya ditutupi cadar tipis, bukan karena tradisi, melainkan karena rasa malu.

Sementara itu, Dimas mengenakan jas abu-abu, wajahnya tenang seperti biasa. Seolah ini hanyalah rutinitas yang sudah ia jalani berkali-kali.

Suara penghulu menggetarkan ruang tamu yang dingin. Dimas mengangguk pelan, menjawab, “Saya terima...”

Dan saat itu pula, hidupnya Alya berubah selamanya.

Setelah akad, Dimas tidak menunjukkan tanda-tanda ingin berbicara atau menyentuhnya. Ia langsung masuk ke dalam ruang kerjanya, meninggalkan Alya yang kini menjadi istri sahnya, namun tetap merasa seperti orang asing.

Malamnya, saat Alya mencoba memberanikan diri untuk berbicara, ia mendengar pintu depan dibuka. Suara sepatu hak tinggi berdetak keras di lantai marmer.

Dan kemudian, suara wanita.

"Apa maksudmu menikah lagi, Dimas?" suara itu tajam, dingin, namun penuh luka.

Alya berdiri kaku di balik dinding. Wanita itu pasti Karin, istri pertama Dimas. Ia tak tahu bahwa pertemuan pertama mereka akan secepat ini. Dan ia tak menyangka bahwa sakitnya akan sedalam ini—bukan karena dicaci, tapi karena menyadari bahwa hidupnya kini dimulai dengan menyakiti orang lain.

*

"Apa maksudmu menikah lagi, Dimas?"

Suara itu menggema di seluruh ruangan, mencabik ketenangan palsu yang masih coba dijaga. Alya berdiri di balik pilar ruang tengah, tangannya mengepal, jantungnya berdegup cepat. Ia tidak ingin mencuri dengar, tapi tak bisa memaksa dirinya melangkah keluar. Terlalu banyak yang dipertaruhkan malam ini.

"Aku sudah bilang padamu sejak awal, pernikahan kita bukan tentang cinta," jawab Dimas dengan nada datar.

Karin tertawa pelan—pahit, menyakitkan. "Oh, jadi kamu pikir itu alasan yang cukup untuk mengkhianati aku? Aku ini istrimu, Dimas. Istri yang mendampingi-mu sejak kamu masih jadi pengusaha kecil. Dan sekarang, kau bawa perempuan lain ke dalam rumah kita?"

"Dia tidak akan tinggal di rumah ini," kata Dimas pelan, tapi tegas. "Dia akan tinggal di apartemen. Aku sudah atur semuanya. Kamu tidak akan bersinggungan dengannya."

"Tapi aku sudah bersinggungan!" seru Karin. "Dengan rasa malu. Dengan pengkhianatan. Dengan kehancuran yang kamu sebabkan malam ini!"

Alya menggigit bibirnya, menahan air mata. Ia ingin sekali pergi, melarikan diri dari semua ini. Tapi ia tahu, tak ada tempat yang bisa dituju lagi. Ia sudah terikat dalam pernikahan yang tak ia inginkan, dan sekarang harus menghadapi kenyataan bahwa ia telah menjadi sosok yang paling dibenci oleh wanita lain.

Langkah kaki Karin mendekat. Dan sebelum sempat Alya mundur, wanita itu sudah berdiri di hadapannya.

Karin cantik. Usianya mungkin awal 30-an, dengan wajah elegan dan gaya yang memancarkan kepercayaan diri. Tapi malam itu, matanya penuh luka—dan amarah.

"Jadi ini kamu," katanya dingin. "Perempuan yang rela menjual dirinya untuk uang."

Alya menunduk. “Saya tidak... saya tidak berniat merebut apa pun dari Ibu.”

Karin mendengus. “Kalau kamu punya harga diri, kamu akan pergi dari sini sekarang juga. Hanya perempuan yang tak punya martabat yang mau dijadikan istri kedua. Bahkan oleh pria sekaya apa pun.”

Dimas mendekat, tapi Karin mengangkat tangan. “Biar aku bicara dengan dia. Dia harus tahu bahwa menjadi madu bukan hanya soal hidup enak dan uang. Tapi tentang rasa malu. Tentang diludahi orang. Tentang jadi bahan tertawaan di belakang.”

Alya menggigit bibir. Ia tahu kata-kata itu bukan hanya serangan—itu kebenaran yang sudah ia pahami sejak awal. Tapi mendengarnya dari istri pertama membuat segalanya terasa jauh lebih nyata.

“Saya minta maaf,” ucap Alya lirih.

“Maaf tidak akan mengembalikan kepercayaan yang dihancurkan. Tidak akan menghapus luka,” jawab Karin. Ia melangkah pergi, meninggalkan wangi parfum mahal dan jejak kebencian yang menggantung di udara.

Malam itu, Alya tidur di kamar tamu. Dimas tidak menemuinya. Ia merasa seperti tawanan di rumah megah yang bukan miliknya. Selimut satin tak menghangatkan hatinya yang membeku. Ia hanya bisa menangis dalam diam, menatap langit-langit yang terlalu asing.

Jam tiga pagi, ia terbangun. Dimas duduk di kursi dekat jendela, hanya diterangi cahaya lampu baca. Pandangannya kosong menatap keluar jendela.

“Kau tidak tidur?” tanya Alya, pelan.

Dimas menoleh perlahan. Wajahnya pucat. “Sudah terbiasa begini.”

Alya ingin bertanya, ingin tahu mengapa lelaki itu begitu dingin dan tertutup. Tapi mulutnya tak sanggup berkata lebih.

“Karin akan membencimu,” katanya tiba-tiba. “Dia mungkin akan membalas.”

Alya menunduk. “Saya siap menanggung risikonya. Asal Ayah saya selamat, dan adik saya bisa tetap sekolah.”

Dimas menatapnya lebih lama. “Kamu tidak tahu apa yang kamu masuki.”

“Saya tahu. Tapi saya tidak punya pilihan.”

Diam sejenak. Lalu Dimas berkata pelan, “Aku juga tidak punya pilihan waktu menikahi Karin.”

Alya menatapnya—ada luka di sana, yang belum sempat sembuh. Tapi ia tahu belum waktunya bertanya.

Pagi harinya, Dimas mengantar Alya ke apartemen barunya. Sebuah unit mewah di kawasan elite, dengan perlengkapan lengkap dan pemandangan kota. Tapi Alya merasa seperti burung dalam sangkar emas.

Di atas meja, tergeletak ponsel baru, buku rekening, dan jadwal aktivitas. Semuanya telah diatur Dimas. Hidupnya sekarang seperti milik orang lain.

Namun yang paling mengejutkan adalah satu amplop putih kecil. Saat dibuka, hanya ada secarik kertas bertuliskan:

"Kau pikir kamu bisa tinggal diam dan semuanya selesai? Kita akan lihat berapa lama kamu bertahan sebagai madu. –K."

Alya menggenggam kertas itu erat. Ancaman pertama dari Karin telah tiba. Dan ini baru permulaan.

bab 2 sangkar emas dan luka yang dalam

Tiga hari setelah pernikahannya, Alya merasa seperti hidup di antara dua dunia: satu sisi adalah kemewahan yang mengekangnya, sisi lain adalah luka yang pelan-pelan menggerogoti hatinya.

Apartemen itu terlalu besar, terlalu sunyi, dan terlalu asing. Setiap sudutnya mencerminkan gaya hidup kelas atas—marmer mengilap, furnitur berkelas, aroma bunga segar dari vas kristal di meja makan. Tapi bagi Alya, semua itu hanya penjara diam yang membungkam hatinya.

Pagi itu, Alya duduk di balkon, menatap keramaian Jakarta dari lantai 26. Tangannya menggenggam secangkir teh yang mulai mendingin. Di meja samping, amplop ancaman dari Karin masih tergeletak. Belum ia singkirkan, seolah keberadaannya menjadi pengingat konstan bahwa hidup barunya penuh duri.

Ponsel barunya berbunyi. Nama Dimas tertera di layar. Alya menelan ludah sebelum menjawab.

“Halo?”

“Alya,” suara Dimas terdengar berat, “besok malam kita ada acara keluarga. Ulang tahun ayahku. Kamu harus datang.”

Alya terdiam beberapa detik. “Apa Karin akan ada di sana?”

“Pasti.”

"Kalau begitu... apa saya tidak sebaiknya—"

“Ini bukan pilihan, Alya,” potong Dimas. “Kamu istriku. Semua akan tahu cepat atau lambat.”

Alya menghela napas. Ia tahu, tak ada gunanya menolak. Tapi bayangan bertemu keluarga besar Dimas, apalagi di hadapan Karin, membuat perutnya terasa mual.

Malamnya, ia menerima kiriman gaun dari butik mewah. Gaun panjang berwarna biru tua dengan potongan elegan, namun tertutup sopan. Tak ada catatan dari Dimas, tapi Alya tahu siapa yang memilihkan.

Ia mencoba gaun itu dengan perasaan campur aduk. Di depan cermin, ia terlihat seperti wanita kalangan atas—cantik, anggun, tak tersentuh. Tapi di balik kulit wajah yang dipulas ringan dan senyum yang dipaksakan, ada Alya yang tetap merasa kotor. Tak pantas.

Acara ulang tahun itu berlangsung di ballroom hotel bintang lima. Cahaya kristal menggantung dari langit-langit tinggi, musik jazz lembut mengalun di latar. Tamu-tamu berdatangan dengan pakaian terbaik mereka. Alya melangkah perlahan di samping Dimas, lengan mereka bersentuhan ringan, tapi dunia mereka terasa berjauhan.

Begitu mereka memasuki ruangan, semua mata langsung tertuju padanya. Beberapa berbisik, beberapa menatap tajam, beberapa lainnya berpura-pura tersenyum.

Alya bisa menebak, siapa yang tahu dan siapa yang hanya mendengar rumor.

Tapi sorotan paling menusuk datang dari ujung ruangan. Karin berdiri dengan gaun merah menyala, senyumnya tipis, tapi matanya menyala seperti api. Di sebelahnya berdiri seorang pria muda, tampan, dengan dagu terangkat. Alya belum pernah melihatnya sebelumnya.

Karin melangkah ke arah mereka.

“Selamat malam, suamiku tersayang,” ucapnya sambil mengecup pipi Dimas dengan manisnya. “Dan ini... istri barumu?” Tatapannya beralih pada Alya, penuh racun.

“Selamat malam, Bu,” jawab Alya pelan.

“Oh, kau tidak perlu memanggilku ‘Bu’. Kita kan sekarang... saudara istri.” Ia tertawa kecil, lalu memutar tubuhnya ke pria di sampingnya. “Kenalkan, ini sepupuku, Arvin. Dia baru pulang dari London.”

Arvin mengulurkan tangan pada Alya. “Senang bertemu denganmu. Kamu... tidak seperti yang kubayangkan.”

Alya mengerutkan dahi. “Maaf?”

Karin menyela cepat. “Arvin tahu cerita tentangmu dari... sumber tertentu.” Ia tersenyum, lalu membisikkan pelan, “Jangan khawatir, hanya sebagian kecil dari kebenaran. Sisanya biar waktu yang bongkar.”

Alya merasa seperti berdiri di atas bara. Ia ingin pergi, bersembunyi di pojok ruangan, menjauh dari tatapan dan bisikan. Tapi tangan Dimas tiba-tiba menggenggamnya, menahan ia tetap berdiri.

“Jangan pedulikan mereka,” bisiknya. “Berdiri tegak. Kamu bukan pelayan di sini. Kamu istriku.”

Kata-kata itu seharusnya menenangkan. Tapi bagi Alya, itu seperti benang tipis yang menahan badai. Ia tidak ingin dikasihani. Ia ingin dihargai—tapi bukan karena nama Dimas, melainkan dirinya sendiri.

Acara berjalan, tapi Alya merasa seperti orang luar. Ia duduk di meja utama bersama Dimas dan keluarganya, tapi obrolan selalu mengalir ke arah Karin. Semua pujian, semua perhatian, semua senyuman—mengalir ke wanita itu.

Saat semua orang sibuk menyanyikan lagu ulang tahun untuk ayah Dimas, Karin membisikkan sesuatu pada pembantu pribadi yang berdiri di belakangnya. Tak lama kemudian, pelayan menghampiri meja dan menyodorkan sepotong kue ke Alya.

“Ini dari Bu Karin,” ucap pelayan itu. “Khusus untuk Ny. Alya.”

Alya tersenyum kikuk dan menerimanya. Tapi saat ia mencicipi kue itu—ada rasa aneh di lidahnya. Pahit. Sangat pahit.

Ia memalingkan wajah, menahan air mata. Tidak, bukan karena kue itu. Tapi karena hatinya. Karin tidak sedang bermain-main. Ia tahu wanita itu bisa membuat hidupnya menjadi neraka.

Di perjalanan pulang, mobil terasa amat sunyi. Dimas menyetir dengan wajah tegang. Alya tak ingin membuka pembicaraan, tapi akhirnya ia bersuara.

“Kenapa kamu bawa aku ke sana?”

“Karena kamu perlu tahu seperti apa dunia ini,” jawab Dimas tanpa menoleh. “Kamu sudah masuk, tidak bisa keluar lagi. Kamu harus belajar berdiri di tengah badai.”

“Dan kalau aku tidak sanggup?”

Dimas berhenti di lampu merah. Menatap lurus ke depan. “Maka kamu akan dihancurkan.”

Sesampainya di apartemen, Alya berdiri lama di depan cermin. Ia melepas anting, gaun, makeup—semuanya. Dan yang tersisa hanyalah dirinya, perempuan muda yang terpaksa menjadi madu demi menyelamatkan keluarga.

Tapi malam itu, untuk pertama kalinya, ia berkata pada bayangan di cermin:

"Kalau aku harus dihancurkan, biar aku memilih caranya sendiri. Aku tidak akan membiarkan mereka menuliskan kisahku tanpa perlawanan.”

bab 3

Beberapa hari setelah pesta ulang tahun ayah Dimas, suasana kembali hening. Tapi bagi Alya, ketenangan itu hanya seperti air yang tampak tenang di permukaan, sementara badai bergolak di bawahnya. Ia tahu, perlakuan dingin dari Karin bukan yang terakhir. Bahkan mungkin belum benar-benar dimulai.

Dan Dimas… pria itu semakin sulit ditebak.

Setiap malam, Alya tidur sendiri. Dimas tak pernah kembali ke apartemen itu. Ia hanya mengirim kabar lewat pesan singkat. Bahkan saat Alya mengalami mimpi buruk dan meneleponnya dengan panik, yang ia terima hanyalah balasan dingin:

“Tidurlah. Kau akan terbiasa.”

Alya menatap pesan itu lama, seolah berharap huruf-huruf di layar bisa berubah menjadi pelukan hangat. Tapi tidak. Hanya dingin dan jarak.

Hari itu, ia memutuskan untuk pergi keluar, mengunjungi ayahnya yang kini dirawat di rumah sakit pasca pendarahan ringan. Di bangsal kelas dua yang sederhana itu, Alya merasa lebih hidup.

“Alya...” suara ayahnya bergetar. “Kamu terlihat capek, Nak. Apa suamimu memperlakukanmu dengan baik?”

Alya tersenyum, mengusap tangan ayahnya pelan. “Kami baik-baik saja, Yah. Dia sibuk kerja, jadi aku sering sendiri.”

Ayahnya menarik napas dalam. “Ayah tahu kamu terpaksa, Alya. Tapi kamu anak Ayah yang paling kuat. Jangan pernah merasa rendah karena jalan yang kamu pilih.”

Alya menahan air mata. Kata-kata itu menembus jiwanya lebih dalam dari apa pun yang pernah dikatakan Dimas.

Saat pulang, ia melewati taman kecil dekat rumah sakit. Di sana, seorang wanita duduk sendiri di bangku taman. Saat Alya melintas, wanita itu menoleh.

Alya menahan napas.

Karin.

“Kita ketemu lagi, rupanya,” ucap Karin sambil mengenakan kacamata hitam. “Apa kamu suka apartemen barumu?”

Alya ingin berlalu, tapi Karin menepuk bangku di sebelahnya. “Duduklah. Kita bicara sebentar. Tidak akan ku bunuh, tenang saja.”

Dengan hati-hati, Alya duduk. Hatinya berdebar kencang.

“Dimas pernah bilang, pernikahan kami dulu juga diawali karena kewajiban,” Karin memulai. “Ayahnya mengatur semuanya. Aku anak pengusaha besar, Dimas hanya pengusaha kecil waktu itu. Tapi aku jatuh cinta padanya.”

Alya mendengarkan dalam diam.

“Kamu tahu kapan cinta berubah jadi racun, Alya?” tanya Karin sambil menoleh. “Saat dia mulai berhenti memandang kita sebagai manusia, dan melihat kita sebagai tanggung jawab. Kamu mungkin istri barunya, tapi itu tidak berarti kamu mengenal siapa dia sebenarnya.”

Alya menelan ludah. “Saya tidak berniat merebut siapa pun dari Ibu.”

“Oh, kamu memang tidak berniat. Tapi kamu tetap melakukannya.” Karin tersenyum sinis. “Dan kamu akan tahu, suatu hari, bahwa jadi madu bukan hanya soal status. Tapi tentang dihancurkan perlahan, tanpa kamu sadari.”

Sebelum pergi, Karin menyodorkan sebuah amplop. “Kalau kamu cukup pintar, kamu akan baca ini. Kalau cukup bodoh, buang saja.”

Alya memegang amplop itu sepanjang perjalanan pulang. Sesampainya di apartemen, ia membukanya.

Di dalamnya hanya ada satu hal—foto.

Foto Dimas. Bersama seorang wanita muda. Sedang menggendong bayi.

Dan di balik foto itu, tertulis,

“Dia juga pernah berjanji pada yang lain sebelum kamu.”

Malam itu, Alya menunggu. Untuk pertama kalinya, ia menelepon Dimas dan berkata tegas:

“Datanglah malam ini. Kita harus bicara. Kalau tidak, aku akan pergi.”

Dimas datang satu jam kemudian. Mengenakan jas abu-abu dan wajah letih. Tapi saat melihat mata Alya, ia tahu tak bisa menghindar.

“Siapa dia?” tanya Alya tanpa basa-basi, menunjukkan foto itu.

Dimas menghela napas. Ia duduk di sofa, menyandarkan kepala ke belakang.

“Namanya Vanya,” katanya pelan. “Kami dulu dekat. Saat aku kuliah. Tapi keluargaku memaksaku menikah dengan Karin. Aku… tinggalkan dia. Dan anak itu—ya, anakku.”

Alya menatapnya tajam. “Kamu tinggalkan mereka?”

“Waktu itu aku tak punya kekuatan menolak ayahku. Tapi aku tetap kirim uang, tetap perhatikan mereka dari jauh.”

“Kamu tahu kamu sedang mengulang pola yang sama, Dimas?”

Dimas membuka mata. Menatap Alya. “Aku tahu. Dan itu yang paling ku takuti.”

Alya berdiri. “Kalau kamu terus begini, kamu akan kehilangan semuanya. Aku tidak akan jadi boneka yang kamu tempatkan di apartemen hanya untuk kamu pamerkan sesekali.”

“Lalu kamu mau apa?”

Alya menatapnya penuh keberanian. “Kalau kamu ingin aku bertahan, kamu harus berhenti memperlakukan aku seperti beban. Bukan sebagai tanggung jawab. Tapi sebagai manusia. Istri. Atau aku akan pergi dan tidak menoleh ke belakang.”

Dimas berdiri perlahan. Ia menatap Alya lama, lalu berkata, “Kamu berbeda dari yang lain.”

“Sayangnya, itu tidak cukup,” jawab Alya, lalu masuk ke kamar dan menutup pintu.

Malam itu, Dimas duduk sendirian di ruang tamu, memandangi foto anaknya bersama Vanya. Ia tahu, luka-luka dari masa lalu tak bisa dihapus. Tapi ia tak mau kehilangan Alya—satu-satunya wanita yang berani menantangnya, bahkan saat dunia membencinya.

Dan di balik pintu, Alya duduk di lantai, menggenggam lututnya sendiri. Ia tahu, badai belum selesai. Tapi untuk pertama kalinya, ia merasa tidak lagi hanya korban—melainkan seseorang yang akan melawan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!