Rumah Van Til adalah sebuah bangunan tua peningalan Tuan Tanah asal Belanda, Mr. Stiller Van Til. Dibangun di atas tanah perkebunan terluas di pelosok Banten.
Bangunan ini dulunya rumah tinggal keluarga besar Van Til namun ukurannya jauh lebih besar daripada bangunan Sekolah Menengah.
Sekarang rumah itu tak berpenghuni.
Seperempat bagian rumah ini memang digunakan sebagai kantor administrasi perkebunan, klinik, Taman Kanak-Kanak serta gudang tempat penyimpanan pupuk. Semua itu disediakan untuk kepentingan penduduk perkebunan yang sebagian besar merupakan pekerja perkebunan itu sendiri.
Tapi pada malam hari, rumah Van Til tetap saja tak berpenghuni.
Di sudut kanan pekarangan rumah Van Til terdapat sebuah gardu lonceng yang juga dirancang khusus untuk tanda waktu pekerja.
Pada setiap pukul tujuh pagi, seorang penjaganya akan membunyikan lonceng itu sebanyak tujuh kali sebagai peringatan bagi seluruh pekerja perkebunan untuk segera memulai rutinitas pekerjaannya.
Kemudian pada pukul sepuluh menjelang siang hari lonceng akan didentangkan kembali sebanyak sepuluh kali sebagai tanda para pekerja sudah boleh beristirahat. Tapi sepuluh menit kemudian lonceng akan berdentang kembali sebanyak sepuluh kali sebagai tanda waktu istirahat telah habis.
Dan untuk memberitahukan waktu pulang satu kali, itu pun tak tentu pukul berapa, kadang pukul dua belas siang, kadang pukul satu siang, kadang tak berbunyi sama sekali.
Pada pukul dua belas malam, lonceng kembali didentangkan sebanyak dua belas kali sebagai peringatan aliran listrik ke rumah mereka akan segera dimatikan langsung dari pusatnya---Rumah Van Til.
Tapi apabila lonceng sudah didentangkan sebanyak tiga belas kali itu berarti saatnya menerima upah mereka, tak peduli siang atau tengah malam sekalipun begitu mendengar lonceng didentangkan tiga belas kali sebisa mungkin mereka harus berkumpul di Rumah Van Til. Atau mereka takkan pernah mendapatkan upahnya.
Itu adalah peraturan!
Celakanya, peraturan itu masih berlaku sampai sekarang. Meski perkebunan itu kini telah resmi menjadi milik negara, meski negeri ini puluhan tahun silam telah menyatakan kemerdekaannya, meski Kaum Kompeni telah diusir pulang ke negerinya, semuanya, hingga tak ada lagi yang tersisa.
Kecuali....
...***...
TEEEEEEEEEEEEEENG!!!
Suzy Yan mempercepat larinya, mencoba menyusul Agustin Adi yang juga tengah berlari di depannya. Sepatu keduanya berdebam ribut di jalan aspal, menebarkan udara panas batu jalanan yang terpanggang terik matahari.
Kulit muka Suzy yang berwarna sawo matang tampak terbakar. Sekujur tubuhnya bermandikan keringat yang mengucur deras. Napasnya tersengal, jantungnya berdegup kencang. Suara terakhir lonceng tanda masuk sekolah terdengar menyeramkan di telinga Suzy.
Hari penyiksaan terakhir, pikirnya pahit. Oh, ayolah! Hanya tinggal satu hari, batinnya menguatkan diri. Setelah ini aku sudah resmi menjadi siswi baru di SMU ini, dan aku siap membalas dendam. Awas kau, Din, katanya dalam hati.
Dini Apriyanti adalah teman baik Suzy Yan, mereka satu angkatan semasa SMP. Tapi karena Suzy Yan sempat menunda dua tahun sekolahnya setelah lulus SMP, begitu masuk SMU, Dini Apriyanti menjadi kakak kelasnya. Dan karena alasan itu Dini Apriyanti mendadak jadi sangat menjengkelkan belakangan ini.
Begitu memasuki pintu gerbang sekolah, Suzy menghentikan larinya sebentar, untuk sekedar menghela napas dalam. Selebihnya, gadis itu berlari pelan sambil terbungkuk menahan perutnya yang serasa ditusuk-tusuk.
Agustin menepuk bahunya sebelum membelok dan berpencar menuju kelas masing-masing.
Di SMP, Agustin Adi adalah adik kelas Suzy Yan. Tapi sekarang menjadi sebaliknya.
"Kamu terlambat tiga menit!"
Suzy Yan sudah punya firasat untuk hal yang satu ini.
Ichi, si Wanita Raksasa---menurut Suzy, berdiri menghadang di pintu kelas sambil berkacak pinggang. "Kamu di-skors dari sesi ini!"
Bagus, pikir Suzy kesal. Ia menyingkir menjauhi kelas dan menyisih ke halaman belakang sekolah dengan perasaan terluka. Ia menghela napas berat. Minimal aku akhirnya bisa beristirahat, batinnya menghibur diri. Kemudian duduk dan menyandarkan diri di bangku taman, di bawah sebatang pohon akasia yang tumbuh berjejer di sekitar sekolah.
Pukul satu siang, Suzy sudah harus masuk sekolah. Sementara itu, ia harus bekerja di perkebunan sampai pukul dua belas, atau kadang sampai setengah satu. Jarak antara rumah dan sekolah sekitar tiga kilo meter, itupun harus ditempuhnya dengan berjalan kaki. Kadang-kadang berlari seperti tadi.
Bersama Agustin, berdua mereka harus melewati semua itu setiap hari. Kecuali hari libur pastinya!
Mereka nyaris tak pernah punya waktu untuk beristirahat.
Bagi Agustin Adi, rutinitas semacam itu bukan hal yang sulit. Selain fisiknya lebih kuat karena alasan gender, Agustin Adi juga memiliki semangat hidup yang tinggi, tidak mudah bosan dan selalu punya seribu satu cara untuk bersenang-senang dalam menikmati hidup.
Tapi Suzy Yan, justru rutinitas itu menurutnya bukan hal yang mudah. Selain tubuh cekingnya yang kecil dan rapuh, Suzy Yan mudah sekali dibuat bosan dan merasa lelah. Gadis itu tidak pernah punya cadangan energi karena cadangan energinya ia habiskan untuk memarah-marahi segala sesuatu.
"Kamu, maju ke depan. Dan push-up!"
Samar-samar, Suzy Yan mendengarkan Agustin Adi berteriak-teriak memarahi salah satu calon siswa baru. Kenapa semua orang mendadak menjengkelkan akhir-akhir ini? Suzy bertanya-tanya dalam hati, agak kurang suka. Kenapa selalu harus begitu setiap minggu pertama bagi calon siswa baru di semua sekolah?
TEEEEEEEEEEENG!
Gema lonceng mendengking di pekarangan Rumah Van Til, merambat ke langit malam dan sampai ditelinga Suzy.
Gadis itu menyelipkan rambutnya ke belakang telinga, tapi karena terlalu pendek rambut yang ia selipkan tadi kembali memburai menutupi telinganya.
Rambut Suzy memang sangat pendek sekali, bahkan terlalu pendek untuk potongan rambut anak perempuan. Tapi menurutnya itu saja sudah terlalu panjang. dan ia mulai merasa kesal setiap kali rambutnya mulai memanjang menutupi telinga.
Kalau kebetulan Dini Apriyanti sedang bersamanya, Dini pasti memelototinya, kurang suka pada tingkah laku Suzy yang senang sekali meniru-niru gaya anak laki-laki.
Suzy sangat ingin sekali menjadi anak laki-laki. Itu sebabnya ia berteman baik dengan anak laki-laki, terutama Agustin Adi dan Ais G.R.
Alasannya, “Aku kan tak punya ayah, dan satu-satunya saudara yang aku punya cuma adik perempuan. Tapi aku juga ingin seperti orang lain. Mereka punya laki-laki di rumahnya. Aku juga ingin di rumahku ada laki-lakinya. Tapi karena aku tak punya ayah dan saudara laki-laki, jadi kupikir lebih baik aku jadi laki-laki saja.” tuturnya polos, tapi menjengkelkan.
“Tapi kau tak harus mengingkari takdirmu sebagai perempuan. Perempuan tetap saja akan menjadi perempuan, kau takkan pernah sanggup untuk mengubahnya, percayalah!” Begitulah cara Dini menceramahinya.
Suzy biasanya akan diam. Mengalah, menurutnya. Tidak baik menentang anak perempuan. Begitulah cara Suzy menceramahi dirinya sendiri. Anak laki-laki bukan tandingan anak perempuan, katanya dalam hati. Tetap bertahan pada pendiriannya---seperti laki-laki!
Gadis itu masih duduk memeluk dengkulnya di teras rumah---menunggu. Menyimak dan menghitung baik-baik suara lonceng yang mulai memasuki hitungan kesembilan.
Suzy tahu saat itu sudah waktunya pemadaman lampu. Tapi ia tetap berharap lonceng itu berdentang tiga belas kali. Jadi ia tetap menunggu. Menunggu dan menghitung. Menunggu sampai lampu-lampu di semua rumah mulai meredup dan akhirnya padam, kemudian kegelapan total menyelubungi penglihatannya.
Setiap pukul dua belas malam, lampu-lampu di rumah penduduk sekitar perkebunan akan dipadamkan. Dan akan dinyalakan kembali pada pukul enam sore. Dari jaman penjajahan masih tetap begitu sampai sekarang. Semuanya menjadi semacam tradisi yang wajib dilestarikan. Sama seperti tradisi penggencetan di sekolah-sekolah menengah pada tiap musim ajaran baru.
Suzy mulai muak dengan semua tradisi itu. Muak pada semua kakak kelasnya yang kini sedang gemar menggencetnya, muak pada semua lonceng yang ada di seluruh penjuru bumi.
Lonceng-lonceng yang tak bersahabat!
Lonceng sekolah yang seolah tak pernah memberinya kesempatan, lonceng istirahat yang terlalu singkat, lonceng pulang yang tak pernah pasti, lonceng di rumah Van Til yang tak kunjung berdentang tiga belas kali. Pokoknya Suzy benar-benar muak. Muak dan lelah.
Tiba-tiba Suzy mulai merasa jenuh ketika bunyi lonceng memasuki hitungan ke sepuluh. Entah kenapa rasanya begitu lama. Waktu seakan terhenti pada hitungan ke sepuluh. Ia pun membeku memegangi tengkuknya dalam kegelapan total.
Pasti berbeda jadinya kalau Agustin dan Ais ada bersamanya.
Meskipun menjengkelkan, kalau mereka tidak ada rasanya kehilangan juga, pikir Suzy dalam kesepiannya.
Padahal sebenarnya justru Suzy yang paling menjengkelkan dibanding kedua temannya.
“Jo!”
Tiba-tiba Suzy mendengar suara kedua sahabatnya memanggil serentak, bersamaan dengan kilatan cahaya yang sangat menyilaukan. Suzy mengatupkan kelopak matanya seraya menudunginya dengan telapak tangan.
Jo, adalah panggilan praktis Agustin dan Ais kepada dirinya. Begitu juga sebaliknya, masing-masing mereka saling memanggil dengan sebutan itu satu sama lain.
Panggilan itu semacam panggilan gaul yang dipopulerkan oleh anak-anak muda di daerahnya, seperti panggilan Bro di tempat lain.
Bayangkan betapa kompaknya mereka, jika salah satunya berteriak, “Jo!” yang lainnya akan menjawab bersamaan secara otomatis.
Dan hal itu dimanfaatkan juga oleh orang lain untuk memanggil ketiganya secara praktis, bahkan mandor mereka di perkebunan, namanya Mandor Asyur.
Pria yang sangat terkenal pendiam itu sekarang sudah mulai menautkan panggilan gaul untuk memanggil anak buahnya.
Tiba-tiba Suzy merasa seperti mendengar suara pria itu sedang memanggil, "Jo!" Terdengar sangat dekat dan begitu nyata.
Suzy serentak membuka matanya seraya menurunkan tangan dan terkesiap.
Suasana di sekitarnya mendadak berubah dan terang benderang.
Dua sosok yang sangat dikenalnya tahu-tahu sudah berdiri di hadapannya dengan pakaian berkebun, lengkap dengan perkakas di tangannya masing-masing.
Suzy mengerjapkan matanya dan melengak menatap kedua sahabatnya.
Ais dan Agustin juga memelotinya, tak kalah melengak.
“Dari mana kalian muncul?” Suzy terperangah.
“Ya ampun!” Ais memutar-mutar bola matanya dengan sikap konyol.
Agustin menarik paksa Suzy sampai berdiri. Mendesak gadis itu supaya ia bergerak lebih cepat.
Seketika gadis itu menyadari dirinya juga berpakaian lengkap berkebun dengan sebilah parang di tangannya. Gadis itu memekik dan menelan ludah. Lalu tergagap.
"Dih, buruan!" Agustin menyeretnya.
"Tapi..." Suzy tergagap. Tapi barusan aku ada di teras rumahku, katanya dalam hati. Ia tak mampu mengeluarkan kalimat itu melalui mulutnya. Kalimat itu mendadak seperti tercekat di tenggorokannya.
Suzy memandang berkeliling memperhatikan seluruh sisi tempat ia berdiri sekarang. Ia berada di tengah perkebunan bersama pekerja lain. Ini betul-betul aneh, pikirnya.
Ais dan Agustin mengalihkan perhatiannya sesaat ke arah mandor mereka yang tengah berjalan semakin dekat. Lalu keduanya menyeret Suzy untuk segera bergerak.
Lonceng sepuluh yang kedua baru saja didentangkan, itu artinya mereka sudah harus memulai kembali pekerjaan mereka.
Tapi Suzy masih tergagap-gagap kebingungan. Apa sih yang terjadi? Apa benar ini terjadi? Apa aku sedang bermimpi? Itu-itu saja yang ada di kepalanya.
“Jo!” Mandor Asyur memanggil sekali lagi, tangannya bergerak-gerak mengisyaratkan mereka untuk menunggunya. “Ada yang punya korek api?”
Ais dan Agustin pun menghela napas lega secara bersamaan. Tapi Suzy masih tercengang.
Agustin menyodorkan pemantik plastik yang dilengkapi senter yang selalu dibawanya pada Mandor mereka sambil memperhatikan Suzy.
“Kau ini kenapa sih?” Ais bertanya dengan sikap seperti anak-anak.
Mandor Asyur hanya tersenyum sedikit saat meraih korek api dari tangan Agustin. Lalu kembali diam setelah mengembalikannya.
Mandor bertubuh tinggi itu memang terkenal sangat pendiam. Jarang tertawa, jarang bicara, jarang marah. Tapi semua pekerja sepertinya takut sekali padanya, padahal tidak satu pun dari mereka pernah dimarahinya.
Terkadang ia sendiri bertanya-tanya dalam hatinya, apa muka saya kayak Tuan Van Til? Meskipun ia sendiri tidak tahu seperti apa sebenarnya Tuan Tanah yang bernama Mr. Stiller Van Til itu.
Mr. Stiller Van Til berkuasa di perkebunan Banten pada tahun seribu sembilan ratus empat puluhan, sementara Mandor Asyur belum dilahirkan pada masa itu.
“Seperti apa sih, kira-kira wajah Tuan Van Til itu sekarang?” Sependiam apapun, Mandor Asyur juga manusia, sudah pasti punya sisi kekanakan dan pikiran konyol seperti itu.
Tapi yang pasti Tuan Van Til kemungkinan besar sudah lama meninggal dunia.
Menurut cerita nenek Suzy, ketika nenek Suzy berusia tujuh belasan, Tuan Van Til sudah berusia setengah abad. Nenek Suzy saja usianya sudah tujuh puluh tahun ketika menceritakannya dan ia sudah meninggal setahun yang lalu.
Memangnya siapa yang peduli dengan usia Tuan Van Til?
Yang menjadi masalah di sini sekarang, kenapa aku bisa berada di sini---di depan Mandor Asyur, padahal sedetik yang lalu aku sedang berada di teras rumahku---pada malam hari, Suzy membatin---tak habis pikir.
Apa aku ketiduran di teras dan bermimpi sedang berada di perkebunan?
"Kau ketiduran tadi," tegur Agustin setengah memarahinya.
Jadi begitu rupanya, kata Suzy Yan dalam hati. Aku ketiduran saat jam istirahat dan bermimpi sedang berada di teras rumahku pada pukul 12 tengah malam---menunggu lonceng ketiga belas.
Kenapa sih aku harus bermimpi soal lonceng siang-siang begini?
TEEEEEEEEEEEEENG...!!!
“Sepuluh,”
TEEEEEEEEEEEEEENG....!!!
“Sebelas,”
TEEEEEEEEEEEEEEEEEEENG.....!!!
“Tiga belas!” Begitulah kebiasaan Agustin menghitung lonceng kedua belas pada malam hari, setiap kali mereka berkumpul di rumah Suzy.
“Berangkaaaaaaaaat....!!!” Ais menimpali.
Suzy, Agustin dan Ais kemudian tertawa sejadi-jadinya, bersamaan dengan meredupnya lampu-lampu di semua rumah.
Teeeeng...!!!
Diluar dugaan mereka, lonceng itu berdentang sekali lagi---begitu kecil. Kecil dan singkat di antara riuhnya tawa mereka.
Mendadak tawa mereka pun lenyap.
Agustin tercengang. Ais terperangah. Dan Suzy membekap mulutnya, khawatir ada suara yang mungkin saja keluar dari mulutnya. Hal itu dilakukannya karena ia sadar betul suaranyalah yang paling berisik diantara teman-temannya.
Untuk beberapa saat suasana hening dan gelap. Setelah mereka yakin bahwa mereka benar-benar mendengar lonceng tiga belas kali, ketiganya pun bersorak serentak dan berjingkrak-jingkrak seperti orang gila.
Satu per satu, masing-masing pemilik rumah menyalakan lampu minyak mereka, sebagian ada yang menggantungnya di teras rumah, lalu kembali hening.
Tidak ada tanda-tanda bahwa mereka akan pergi ke Rumah Van Til malam itu. Padahal hampir seluruh penduduk di sekitar situ bekerja di perkebunan.
Ketiga remaja tadi sempat merasa heran.
Jangan-jangan Cuma lonceng jadi-jadian, pikir Suzy konyol.
Pasti karena waktunya bertepatan dengan pemadaman listrik, Agustin berkata dalam hati, tetap waras dan realistis.
Sementara Ais tidak berpikir apa-apa. Tetap polos seperti biasa---seperti bayi kalau menurut Suzy.
Mereka berjalan beriringan menuju Rumah Van Til dengan berbekal penerangan seadanya---Senter kecil dari pemantik plastik milik Agustin yang selalu dibawanya ke mana-mana---bahkan ke sekolah.
Mereka melewati rumah Ais dan akhirnya sampai di pekarangan rumah pak Saman---salah satu Centeng---penjaga keamanan dan gardu lonceng di Rumah Van Til, bergiliran dengan Papa Tibi.
Papa Tibi adalah paman kandung Suzy Yan. Dan hari itu giliran Papa Tibi yang berjaga malam. Jadi, pasti Pak Saman sedang berada di rumah malam itu.
“Mang,” teriak Ais di pekarangan rumah Pak Saman.
Mang, adalah panggilan pendek untuk paman dalam bahasa Sunda.
“Maaaaang!” Suzy ikut-lkutan.
Tidak ada jawaban atau tanda-tanda ada orang di dalam rumah. Padahal malam ini Pak Saman seharusnya sedang berada di rumah.
Apakah Pak Saman dan Papa Tibi malam ini berjaga bersama?
Meskipun demikian, bukankah seharusnya istri Pak Saman berada di rumah?
Kenapa rumah ini terasa seperti tak berpenghuni?
Seketika Suzy mendadak berpikir seram. Jangan-jangan kami tersesat di alam lain. Tapi kemudian ditepisnya. Mana mungkin di Alam lain ada yang begini, katanya dalam hati seraya melirik kedua sahabatnya.
“Apa?” Agustin bertanya curiga.
Suzy hanya mengangkat bahu dan menggeleng.
Ais memandangi keduanya bergantian dengan tampang polosnya yang seperti bayi.
"Kok sepi, ya?” Agustin bertanya, lebih kepada dirinya sendiri. Hal itu ia lakukan karena ia sadar betul kedua sahabatnya takkan membantunya mendapatkan jawaban.
Saat itu mereka baru saja sampai di pekarangan Rumah Van Til yang mereka kira bakal dipenuhi antrean panjang.
Setiap habis lonceng ketiga belas, biasanya tempat itu dipenuhi pekerja perkebunan yang mengantre haknya dibagikan.
Tak peduli siang atau tengah malam, petang atau dini hari. Begitu lonceng ketiga belas didentangkan, para penduduk yang bekerja di perkebunan akan memaksa dirinya sampai lebih cepat---apapun keadaannya.
“Kurasa kita salah dengar, tadi!!” Suzy menyimpulkan.
“Kurasa hubungan kita yang bermasalah,” balas Agustin sekenanya.
Kedua sahabatnya melotot.
“Kekompakan kita sudah melewati batas,” sergah Agustin.
Ais dan Suzy semakin melotot.
“Kita boleh-boleh saja kompak, tapi kan gak harus tuli sama-sama," kata Agustin.
Ais mendengus, “ini semua salahmu!” Ais menudingkan telunjuk di hidung Agustin. "Kau suka pura-pura salah hitung, akibatnya sekarang kau benar-benar salah hitung kan?”
“Yang benar saja,” Agustin menggerutu, “Kau sendiri tadi ikut menghitung, ingat?"
Suzy berjalan cepat melewati kedua temannya menuju gardu lonceng, tempat Papa Tibi atau Pak Saman biasa berjaga.
Kedua sahabatnya berhenti berdebat kemudian mengikutinya. Tapi ketiganya mengerang kecewa.
“Tidak ada siapa-siapa di sini!” Ais mulai lemas.
Suzy diam saja, tertegun dengan kedua alis bertautan.
Kedua sahabatnya memperhatikan Suzy dengan tampang ngeri. Mereka tahu persis kalau Suzy sudah begitu biasanya bakal terjadi sesuatu yang benar-benar salah.
Suzy terkenal memiliki keistimewaan yang entah bisa disebut kelebihan atau justru malah kelainan. Tapi menurut Suzy sendiri jelas sekali hal itu merupakan suatu kelebihan. Di mana ia bisa merasakan sesuatu yang salah tiga menit sebelum terjadi.
Dan selalu hanya tiga menit!
Jadi sebelum habis tiga menit itu, Agustin segera menyambar tangan Ais dan menyeretnya pergi. Melesat meninggalkan Suzy yang masih membeku mengira-ngira apa yang bakal terjadi pada tiga menit mendatang.
“Kita tidak bisa pulang,” pekik Suzy sedikit tercekik.
Baik Ais maupun Agustin serentak membeku mendengar perkataan Suzy. Tidak cukup keras, tapi sudah lebih dari cukup membuat keduanya terguncang.
“Tapi...” Ais tergagap, baru mau pulih dari shock-nya. Ia pun menelan ludah dengan susah payah, “Ta-tapi.... ke-na-pa?” tanyanya gemetar. Tapi kemudian ia mulai mengerti dan memekik ketakutan. “Ini bukan Rumah Van Til,” jeritnya tak percaya pada apa yang disaksikannya. “Kita ada di mana, Jo?” Ais mulai merengek.
Tidak ada apa-apa di sana. Tidak ada Rumah Van Til. Tidak ada Gardu Lonceng. Tidak ada siapa-siapa. Hanya ada mereka bertiga. Hanya ada hamparan ilalang setinggi dada di lapangan terbuka.
Agustin masih membeku tanpa kata-kata. Kulit mukanya yang putih-kemerahan telah berubah menjadi putih-pucat.
Ini pasti cuma mimpi, pikirnya. Berusaha tetap realistis. Tak mungkin tiba-tiba kami berada di tengah-tengah kebun ilalang seluas itu dalam sekejap. Matanya membelalak mengamati lapangan ilalang itu tanpa berkedip. Lebih dari satu hektar, pikirnya.
Terlalu luas untuk dapat ditempuh dalam hitungan detik.
Tidak ada penjelasan realistis yang lain selain mimpi.
Tapi Ais kemudian mencengkeram lengan jaketnya, terasa sekali kuku Ais menembus kulitnya. Baiklah, yang satu ini memang terlalu nyata untuk sebuah mimpi, kata Agustin dalam hati.
“Dari mana kita muncul?” Suzy tergagap. Ia selalu melontarkan pertanyaan semacam itu setiap kali ia merasa bingung.
Agustin menyentakkan tangannya, melepaskan diri dari cengkeraman Ais.
Ais terperanjat ketakutan dan menyambar tangan Suzy sebagai gantinya.
Suzy diam saja, sepertinya tidak terusik sedikitpun. Menyadarinya saja tidak. Karena jika ia menyadarinya, ia pasti akan marah-marah seperti biasa. Gadis itu mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Dahinya berkerut-kerut, pandangannya seperti menerawang. Jelas sekali kalau ia sedang berpikir keras. Jadi begitu rupanya, katanya dalam hati.
Firasat sebenarnya justru ia rasakan ketika mereka masih berada di pekarangan rumah Pak Saman, tapi ia tidak menyadarinya.
Sekarang kami benar-benar tersesat ke alam lain, pikir Suzy. Tapi kemudian ditepisnya.
Mana mungkin di alam lain ada yang begini?
Gadis itu mengamati selembar ilalang yang mencuat di depan perutnya, persis seperti sebilah pedang yang ditodongkan pada dirinya.
Ini bukan alam lain---lebih tepatnya, kami tidak lagi berada di alam lain. Kami baru saja keluar dari alam lain itu.
Jarak dari rumah Pak Saman ke Rumah Van Til ditempuh dalam tiga menit. Dan selama itu, mereka samasekali tidak memperhatikan langkah mereka karena sudah merasa yakin sudah mengenal jalan ke Rumah van Til dengan cukup baik. Tapi rupanya mereka salah perhitungan. Mereka sebenarnya tidak pernah tahu jalan ke Rumah Van Til memiliki banyak persimpangan yang tak kasat mata.
Salah satunya adalah Horizon---Jejak Putera Legenda, istilah Suzy untuk lintasan gaib menurut rumor masyarakat setempat. Suzy selalu punya istilah untuk setiap hal.
Terutama untuk hal-hal yang berkaitan dengan Rumah Van Til.
Ada Pohon Peri, sebutan untuk empat batang pohon ambon raksasa yang tumbuh di keempat sudut pekarangan Rumah Van Til.
Atau Lorong Waktu, yaitu terowongan bawah tanah yang terselubung di bawah angkernya Rumah Van Til.
Ada juga Ladang Van Til, hutan terlarang di pekarangan belakang Rumah Van Til. Ladang itu dulunya kebun pribadi Keluarga Besar Tuan Van Til, tapi sekarang ladang itu sudah menjadi hutan ilalang yang membentang luas.
Itu dia, pikir Suzy. Ladang Van Til, ia menyadari. “Kita ada di Ladang Van Til!“ Suzy memberitahu kedua sahabatnya.
“Aku tak ingin tahu,” tukas Ais, “aku cuma mau pulang,” rengeknya, kembali seperti bayi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!