Aku sedang berdiri di dapur, mengaduk sayur lodeh yang kumasak dan lauk ikan segar kesukaanku. Tiba-tiba suara pintu depan terbuka. Suamiku datang.
Ia menatapku dengan wajah lelahnya. Mata yang sedikit sembab, kemeja yang kusut, dan keringat yang masih menempel di pelipisnya. Biasanya, aku akan buru-buru mengambil handuk kecil dan menyodorkannya. Tapi tidak hari ini. Tidak setelah semua yang ia lakukan.
Aku langsung membuang wajahku ke arah lain.
Aku tak sudi melihat wajah lelahnya saat ini.
"Bu, kamu masak apa?" tanyanya, tapi aku masih diam dan fokus mengaduk sayur kesukaanku. "Bu? Bapak lapar." keluhnya, sayangnya aku tidak peduli. Dulu, ucapan seperti itu akan membuatku panik—bergegas ke dapur, memanaskan lauk, menyeduhkan teh, bahkan mencarikan baju gantinya. Tapi sekarang, aku hanya diam.
Tanganku masih menggenggam sendok sayur, tapi tubuhku seperti membatu. Aku dengar jelas keluhannya, tapi aku tak peduli.
Kenapa aku harus peduli?
Setelah semua luka yang ia torehkan, setelah dengan entengnya ia membagi cintanya ke perempuan lain, kenapa aku harus terus menjadi pelayan yang setia?
Dia hanya berdiri di sana, diam, sambil menatap makanan yang aku buat, alu dengan suara pelan dan ragu ia berkata,
“Boleh aku makan?”
Nada suaranya seperti orang asing. Seperti seseorang yang tahu bahwa kehadirannya sudah tak diinginkan, tapi tetap mencoba mengetuk pintu yang sama.
Aku tak langsung menjawab. Hanya menatap panci yang masih hangat, lalu kembali menunduk. Hatiku penuh sesak, tapi wajahku tetap datar.
"Bu, aku--"
Tanpa mendekat, aku menjawab dengan suara pelan namun tajam,
“Bukankah kamu nggak suka sayur lodeh buatan aku?”
Ia diam. Seketika wajahnya menegang. Aku menahan senyum getir.
Lucu saja, dulu ia pernah bilang, "Sayur lodeh buatanmu itu hambar, beda sama yang itu."
"Itu." Perempuan yang ia sembunyikan di balik segala dalih kesibukan.
Sekarang dia datang ke rumah ini dengan perut lapar dan hati kosong, berharap aku menyuapi kembali sesuatu yang dulu ia anggap tak layak.
“Kalau nggak suka, nggak usah dimakan. Mungkin di sana, masakannya lebih enak,” kataku pelan, lalu berjalan pergi sebelum air mataku tumpah.
Kali ini aku tak bisa menahan lagi. Suara dari dalam dadaku akhirnya keluar juga, datar tapi menghujam.
“Kenapa nggak suruh istri mudamu saja yang masak aja?”
Aku menatapnya tajam. “Sudah nikah lagi, tapi masih aja pulang-pulang ke sini minta makan. Dibiarkan kelaparan begitu sama istri mudamu?”
Ia diam.
Sejenak ruangan ini hening. Ia membeku, dan aku bisa lihat matanya menghindari tatapanku.
“Harusnya kamu nggak usah capek-capek ke sini cuma buat nyari nasi. Aku ini istri tua, bukan warung cadangan waktu dia lagi nggak sempat masak.”
Tanganku gemetar, tapi suaraku tetap stabil.
Aku sudah terlalu sering menyimpan amarah dalam diam. Sudah terlalu sering jadi tempat pelarian, sementara kebahagiaannya ia nikmati di tempat lain.
“Kalau dia bisa kamu nikahi, harusnya dia juga bisa ngurus kamu. Jangan cuma pintar merebut, tapi nggak bisa ngasih makan.”
“Dia udah berbulan-bulan nggak mau masak…”
Suaranya pelan, seperti pengakuan. “Katanya… uang yang aku kasih nggak cukup buat belanja.”
Padahal aku tahu, suamiku bukan kekurangan uang. Bukan juga sedang bangkrut.
Dia hanya… sedang dibodohi oleh cinta buta. Karena uang yang ia hasilkan dari kerja kerasnya ada padaku.
“Itu sudah resiko, mau cukup atau tidak itu urusan kamu."
Aku menggeleng pelan.
“Kamu nggak sedang lapar, Pak. Kamu sedang dipermalukan… oleh pilihanmu sendiri.”
Dia menunduk. Mungkin malu, mungkin marah. Tapi aku tak peduli.
Aku berjalan ke arah meja, mengambil mangkuk berisi sayur lodeh yang tadi kubuat. Uapnya sudah tak hangat lagi. Seperti hatiku. Sudah terlalu lama didinginkan oleh pengkhianatan.
Sebelum aku melangkah ke kamar, aku berhenti di ambang pintu dan menatapnya sekali lagi.
“Kamu bilang dia nggak mau masak karena uang belanja kurang?”
Aku menghela napas pendek, lalu berkata dengan suara pelan tapi tajam,
“Kalau pulang nanti… tolong bilang sama dia.”
Ia mendongak, menatapku. Aku melanjutkan tanpa berkedip.
“Ingatkan istrimu itu… suamimu bukan cuma untuk digandeng waktu senang, dipamerin waktu punya uang. Tapi diterima juga waktu susah, waktu capek, waktu pulang tanpa sepeser pun di dompet.”
Aku menarik napas dalam-dalam, lalu menahan air mataku sendiri.
“Aku pernah nerima kamu di masa paling sulit. Tanpa emas, tanpa rumah, tanpa tanah. Aku yang masak pakai kayu bakar, aku yang numpang hidup di rumah orang tuaku demi kamu. Tapi aku nggak pernah sekali pun bilang lapar.”
Dia terdiam. Muka lelaki itu menegang. Tak ada jawaban.
Aku angkat mangkukku, lalu berkata pelan,
“Bilang sama dia… jangan cuma minta gelar istri. Tapi belajarlah jadi istri. Seperti aku dulu.”
Dan tanpa menunggu respon darinya, aku masuk ke kamar. Menutup pintu.
Bersama luka yang masih belum sembuh, tapi kini tak lagi ingin kupendam diam-diam.
Kubiarkan dia sendirian di ruang makan.
Dengan piring yang tak lagi mengepul, dan rumah yang tak lagi hangat seperti dulu.
Aku tak peduli. Biarlah dia seperti itu. Duduk diam, mengunyah perlahan, menelan rasa pahit yang dia tanam sendiri.
Karena semua ini… bukan salahku.
Semua ini adalah ulahnya—yang dulu memilih bermain api di belakangku, saat aku sibuk menjaga rumah dan marwahnya sebagai suami. Saat aku tak pernah menuntut lebih, tapi dia justru memberi yang tak pernah kuminta: pengkhianatan.
Biarkan dia di luar sana.
Biarkan dia belajar…
Bahwa tak semua istri akan terus menunggu. Tak semua luka bisa ditambal dengan pulang dan keluhan lapar.
Aku masih ingat.
Siang itu aku menyusulnya karena ada warga bilang dia sering terlihat masuk ke sebuah gang sempit dekat pasar, masuk ke kontrakan kecil.
Dan entah apa yang mendorongku hari itu. Mungkin firasat, mungkin luka yang belum sempat terbuka.
Langkahku gemetar waktu itu. Tapi aku teruskan.
Dan saat kusibakkan tirai kusam di pintu kontrakan itu—aku melihatnya.
Dia.
Lelaki yang bersumpah setia di hadapanku puluhan tahun lalu.
Duduk bersisian dengan seorang perempuan.
Janda beranak dua.
Perempuan yang bahkan menatapku dengan pandangan tak tahu malu, seakan-akan akulah yang tak tahu tempat.
Aku membeku.
Sementara dia—lelaki yang dulu menggenggam tanganku setiap malam—hanya berdiri di sana dengan wajah panik, tak bisa menjelaskan apa pun.
“Rukayah, ini… bukan kayak yang kamu kira,” katanya waktu itu.
Kalimat klasik. Murahan.
Yang lebih menyakitkan dari pengkhianatan itu sendiri.
Perempuan janda itu, dengan pakaian yang sudah terbuka sebagian, tanpa rasa malu sedikit pun.
Dia tersenyum sinis, seolah dunia ini miliknya.
Aku terdiam. Napasku tertahan.
Tubuhku gemetar bukan karena dingin, tapi karena rasa sakit yang menusuk lebih dalam dari yang pernah kubayangkan.
Suamiku mencoba berkata sesuatu, tapi kata-katanya tercekat.
Aku hanya bisa memandang mereka berdua, seolah seluruh duniamu runtuh dalam sekejap.
Jantungku berdegup begitu kencang, napasku terengah-engah, tapi aku tahu aku tak boleh diam.
Tak ingin hancur sendiri dalam kesunyian yang menyiksa, aku memilih berlari keluar dari kontrakan itu.
Suaraku meledak—keras dan tajam—menggema di gang sempit yang basah oleh hujan.
“Dia berzina! Suamiku berzina dengan Wulan, janda itu!” teriakku dengan suara yang nyaris pecah.
Suara teriakku seperti petir yang menyambar malam.
Suamiku dan Wulan terpaku, wajah mereka berubah panik.
Suamiku berusaha menggapai tanganku, tapi aku sudah terlambat.
Air mata membanjir di pipiku, aku terus berlari menjauh, meninggalkan dua sosok yang kini menjadi penyebab luka dalam hidupku.
Karena suaraku begitu keras dan nyaring, satu per satu pintu kontrakan mulai terbuka.
Warga keluar, mengintip dari balik tirai dan pagar.
Beberapa ibu-ibu langsung berdiri di depan rumah mereka, menatapku dengan kaget dan bingung.
“Astaghfirullah... itu Bu Rukayah, ya?”
“Ya Allah, itu suaminya Bu Rukayah sama Wulan?”
“Ya ampun, beneran selingkuh?”
Aku terus berteriak, meski suaraku mulai bergetar karena emosi dan tangis.
“Lihat sendiri! Suamiku ada di dalam kontrakan ini dengan Wulan! Pakaiannya sudah terbuka! Mereka berzina!”
Seorang ibu setengah baya maju ke arahku, mencoba menenangkanku.
“Bu Rukayah… tenang dulu, Bu, jangan emosi—”
Aku menggeleng keras. “Kenapa harus tenang?! Aku istri sahnya! Aku yang hidup susah dari nol sama dia! Dan sekarang aku disisihkan demi janda itu?!”
Wulan yang tadi masih di dalam kontrakan, kini muncul sambil membetulkan pakaiannya yang kusut. Matanya melirik ke sekitar, mulai merasa takut.
“Jangan bikin malu orang!” bentak Wulan dengan suara tinggi menatapku tajam, benar-benar perempuan hina!
“Memangnya kamu nggak malu tidur sama suami orang?!” bentakku balas, suaraku tajam menusuk.
Suamiku menyusul, wajahnya penuh keringat dan kepanikan.
“Rukayah… cukup! Jangan bikin ribut!” katanya sambil mendekatiku.
Seorang bapak-bapak bersuara dari samping.
“Lho, Pak, yang bikin ribut siapa? Bapak yang selingkuh kok malah istri sahnya yang disalahin?” ucap sesorang. Yang lain ikut menimpali.
“Dasar laki-laki nggak tahu diri.”
“Sama Bu Rukayah aja masih kurang?”
“Udah tua juga, masih aja main belakang.”
Wajah suamiku menegang. Ia menunduk, seperti ingin menghilang dari pandangan.
Tapi sudah terlambat.
Aibnya sudah tersebar, dan hari itu, tak hanya aku yang menyaksikan pengkhianatannya.
Karena suamiku dan Wulan sudah terpergok dalam keadaan tak senonoh, warga tak tinggal diam.
Beberapa bapak segera menggiring mereka keluar dari kontrakan itu, meski Wulan berusaha menutupi wajahnya dengan kerudung seadanya.
“Ini nggak bisa dibiarkan,” kata Pak RT tegas. “Sudah mencemarkan nama baik lingkungan. Keduanya harus dibawa ke balai desa!”
Warga mengangguk.
Aku masih berdiri di pinggir gang, tubuhku gemetar, tapi ada kepuasan kecil di hatiku melihat mereka tak bisa lagi sembunyi.
Suamiku menunduk dalam-dalam, seperti anak kecil yang ketahuan mencuri.
Wulan hanya bisa mengikut sambil membungkam.
Tak ada lagi senyum sinis seperti tadi. Yang ada hanya ketakutan—karena mereka tahu, aib sudah terlanjur jadi tontonan.
Di sepanjang jalan menuju balai desa, warga mulai berbisik-bisik.
“Padahal Bu Rukayah yang menemani suaminya hidup susah…”
“Dan sekarang dibalas begini?”
“Kok bisa tega, ya…”
Aku berjalan pelan di belakang mereka, menahan air mata yang terus mengalir tanpa suara.
Bukan karena aku menyesal telah memergoki.
Tapi karena aku sadar, hari itu aku kehilangan bukan hanya suami—tapi juga harga kepercayaanku selama ini.
Di balai desa, para perangkat sudah berkumpul.
Pak Lurah memandang tajam ke arah suamiku dan Wulan.
“Bapak dan Ibu… kami sudah dengar semuanya. Saksi pun banyak. Kalau ini benar, maka ini masuk kategori perzinaan. Dan kami akan laporkan ke pihak berwajib kalau tidak ada penyelesaian.”
Wulan buru-buru menjawab, “Kami saling mencintai, Pak Lurah. Kami akan menikah…”
Aku tertawa kecil, getir.
“Mencintai? Setelah puluhan tahun aku dampingi dia dari nol, dan sekarang kau rebut begitu saja dengan dalih cinta?”
Pak Lurah menengahi.
“Bu Rukayah, kalau Ibu ingin menempuh jalur hukum atau membawa ini ke pengadilan agama, kami siap bantu.”
Mendengar Pak Lurah menyebut kemungkinan dibawa ke jalur hukum, suamiku yang usianya hampir 50 tahun itu langsung pucat.
Wajahnya, yang tadi masih berusaha tenang, kini terlihat panik. Tangannya gemetar saat mencoba meraihku.
“Rukayah… maafkan aku… Aku khilaf. Aku janji, aku nggak akan ngulangin ini lagi…”
Aku memalingkan wajah. Ucapan maaf itu terasa begitu murahan.
Ia menunduk lebih dalam, seperti anak sekolah yang tertangkap berbuat curang.
“Aku cuma main-main, Yah… Sama Wulan itu nggak ada rasa, cuma… cuma sesaat aja. Aku bodoh. Tapi aku nggak mau kehilangan kamu. Nggak mau kehilangan keluarga kita…”
Wulan mendesis pelan, tapi tak berani bicara. Ia sadar posisinya sedang diguncang.
Aku hanya menatap suamiku dalam diam.
Ingin rasanya menampar wajahnya, bukan dengan tangan, tapi dengan semua luka yang selama ini kupendam dalam dada.
“Main-main?” tanyaku dengan suara lirih namun tajam. “Kau sebut tidur dengan perempuan lain itu cuma main-main? Kau hancurkan pernikahan kita… demi permainan?”
Suasana di balai desa mendadak hening.
Semua mata tertuju padaku.
“Waktu aku mendampingimu saat kamu belum punya apa-apa, Pak. Saat kamu hanya laki-laki miskin kecil yang berteduh di gubuk reyot—apakah itu juga cuma main-main bagiku?”
Suamiku menggigit bibirnya. Ia tahu, tak ada lagi kata yang bisa menyelamatkan harga dirinya di hadapanku.
“Kamu ingat waktu dulu kita masih tinggal di rumah bambu, Pak?” suaraku serak, tapi tajam. “Waktu kamu hanya kerja serabutan makan saja kadang cuma nasi garam. Kamu lupa? Bahkan keluarga besarmu saja tidak peduli dengan keadaan kita saat masih miskin dulu!"
Ia tertunduk makin dalam, tak sanggup membalas tatapanku.
“Waktu itu, mana keluargamu?” aku lanjut. “Satu pun nggak ada yang datang bantu. Saudaramu yang sekarang sering datang minta uang, dulu bahkan pura-pura nggak kenal sama kita.”
Beberapa warga mengangguk pelan, ada yang mulai berbisik.
Aku menggeleng pelan, menatap suamiku dengan getir.
“Tapi aku tetap ada. Aku yang setia mendampingi. Aku juga bantu kamu jualan gorengan sambil gendong anak. Aku yang cuci kaki tanganmu waktu kau jatuh sakit. Tapi sekarang... kamu balas aku dengan pengkhianatan ini?”
Ia mencoba berbicara, suaranya parau.
“Yah… aku salah… Aku khilaf… Wulan cuma pelarian, aku—”
“Jangan sebut nama dia di depanku!” potongku tegas.
“Kalau memang pelarian, kenapa sampai berbulan-bulan? Kenapa sampai diam-diam kamu tidur di kontrakan yang kotor dan sempit ini?”
Wulan mulai terisak, tapi tak ada simpati untuknya di ruangan itu.
“Waktu susah, aku istrimu. Tapi begitu ka?u punya uang, tanah 10 hektar, toko material… aku cuma istri tua yang dilupakan. Aku bukan istrimu lagi di matamu. Hanya beban.”
Wajah suamiku memucat. Tangannya mengepal.
Pak Lurah bersuara, pelan namun berwibawa.
“Kalau memang Bu Rukayah yang setia dari awal, harusnya dia yang paling dihormati. Bukan dikhinati.”
Aku menoleh ke Pak Lurah, lalu kembali pada suamiku.
“Ka?u mau aku maafkan? Pulang? Lalu aku berpura-pura semua ini tak pernah terjadi, hanya karena ka?u takut dipermalukan?”
Air mataku mengalir, tapi kali ini bukan karena lemah.
Tapi karena kecewa yang terlalu dalam.
“Kamu pikir aku tidak bisa pergi? Aku bisa. Tapi aku tetap di rumah... hanya karena satu hal: anak kita. Dia belum lulus kuliah. Aku tak mau dia tumbuh melihat ayahnya dipenjara atau dicaci. Itu saja alasan aku bertahan.”
Akhirnya, setelah semuanya meledak seperti bara yang tak bisa lagi dipadamkan, aku membuat keputusan.
Keputusan yang tidak mudah. Tapi aku sadar, hidup kadang memang tidak memberi pilihan yang menyenangkan.
Aku menatap suamiku—lelaki yang dulu begitu aku cintai, kini duduk lesu di hadapan Pak Lurah. Di sebelahnya, Wulan menunduk diam, wajahnya pucat pasi.
"Aku izinkan kalian menikah," ucapku pelan namun tegas.
Ruangan mendadak hening.
Bahkan angin yang masuk lewat jendela balai desa pun seolah ikut berhenti.
"Tapi," lanjutku, menatap lurus ke arah suamiku, "harus ada perjanjian. Tertulis. Di atas kertas. Di depan saksi. Supaya suatu hari nanti, kalau kamu lupa lagi siapa yang dulu bersamamu dari nol, kamu bisa baca sendiri."
Suamiku menatapku, matanya berkaca-kaca.
“Yah… aku—”
“Diam dulu,” potongku cepat.
Aku menoleh ke Pak Lurah.
“Bisa bantu siapkan surat perjanjian, Pak? Saya ingin semuanya jelas. Hak dan kewajiban. Pembagian harta. Nafkah anak-anak. Termasuk batas-batas keuangan yang boleh kamu berikan ke istri mudamu.”
Pak Lurah mengangguk. “Bisa, Bu. Nanti saya minta bantuan dari pihak kelurahan untuk menyusun surat pernyataan bermeterai.”
Wulan tampak tersentak.
Mungkin ia baru sadar, menikahi suamiku bukan sekadar menang dari istri tua.
Tapi juga ikut memikul beban perhitungan dan tanggung jawab.
...****************...
Sore itu, di balai desa, surat perjanjian yang kususun dengan penuh pertimbangan akhirnya selesai diketik oleh staf kelurahan.
Aku duduk dengan punggung tegak, menyimak satu per satu isi kalimat yang dibacakan oleh Pak Lurah dengan suara lantang.
"…bahwa istri kedua, atas nama Wulan, tidak berhak atas kepemilikan atau pemanfaatan harta yang dihasilkan dari usaha milik Bapak Ramli sebelum maupun sesudah pernikahan dengan Wulan.
Dan bahwa anak-anak dari hasil pernikahan tersebut pun tidak memiliki hak waris atas tanah, toko, dan aset yang dimiliki Pak Ramli saat ini."
Mataku menatap lurus ke arah Wulan, yang mulai gelisah.
Ia mencubit jari-jarinya sendiri, wajahnya merah padam.
“Apa maksudnya ini?” tanyanya dengan suara meninggi, tak sanggup lagi menyembunyikan kekesalannya. “Jadi aku ini istri cuma di atas kertas? Anakku nanti dianggap apa?”
Aku tetap diam, membiarkannya meledak.
Suamiku mencoba menenangkannya, tapi Wulan menepis tangannya.
“Kamu bilang mencintaiku! Kamu janji akan bahagiakan aku! Sekarang malah suruh tanda tangan surat yang bikin aku kayak numpang hidup? Bahkan aku tidak bisa menikmati harta yang kamu punya? Lalu gunanya aku menikah sama kamu apa, Mas?"
Aku mengangkat tangan, menyela.
“Itulah resiko yang harus kamu hadapi, jangan pernah bermimpi untuk menjadi nyonya di rumahku, Wulan. Kamu datang di tengah pernikahan orang lain. Kamu terima suamiku ketika dia sudah punya semuanya. Lalu sekarang kamu marah karena tak tak bisa menikmati hartanya? Kamu pikir aku dapat semua ini dengan duduk manis?”
Wulan terdiam. Wajahnya memerah karena malu dan marah bercampur jadi satu. Aku lanjut bicara, kali ini menatap suamiku.
“Kamu boleh tetap menafkahi Wulan. Tapi hanya sebatas kebutuhan harian. Tidak lebih. Semua harta yang selama ini kita bangun, toko material, tanah 10 hektar, rumah-rumah itu—itu semua bukan untuk dibagi. Dan kalau kamu melanggar perjanjian ini, kamu akan kehilangan semuanya.”
Sebenarnya, dari awal Wulan sudah menunjukkan keberatan saat mendengar isi perjanjian itu. Raut wajahnya berubah drastis—pucat, tegang, dan penuh kebimbangan.
Tangannya yang menggenggam kertas perjanjian tampak gemetar, sementara matanya menatap suamiku, Ramli, dengan pandangan yang tak lagi yakin.
"Aku nggak yakin mau lanjut menikah, Mas," ucapnya pelan pada saat itu.
"Kalau perjanjian ini ditandatangani, apa yang bisa aku dapat selain status? Semua dibatasi... semuanya seperti jebakan."
"Kalau merasa dirugikan, silakan mundur. Tapi sebelum itu, saya ingatkan, semua warga sudah tahu kejadian di kontrakan. Perzinahan dengan suami orang, disaksikan banyak orang. Itu sudah cukup untuk dilaporkan secara hukum."
Wulan tersentak.
Ia menoleh ke arah Pak Lurah, lalu ke Ramli yang tampak serba salah.
"Tapi… saya nggak sanggup kalau harus berurusan sama hukum…" bisiknya, nyaris menangis.
"Kalau tidak ingin berurusan dengan hukum, maka selesaikan ini secara baik-baik. Tandatangani perjanjian. Status izin untuk menikah dari istri pertama sudah didapat, tapi hak atas harta tidak akan dibagi. Itu saja. Semua kembali ke pilihan masing-masing."
Wulan tertunduk. Ia tahu dirinya terpojok. Menolak berarti berhadapan dengan proses hukum dan aib yang makin tersebar luas.
Menerima berarti menjalani pernikahan tanpa memiliki kendali apa pun atas masa depan dan keuangan.
Akhirnya, dengan napas berat dan air mata yang mulai menggenang, Wulan menandatangani perjanjian itu. Sedangkan suamiku sendiri… hanya bisa tertunduk diam di sudut ruangan balai desa.
Sudah lebih dari lima puluh tahun usianya, rambutnya pun mulai memutih, punggungnya tak lagi tegak seperti dulu. Tapi alih-alih memperbanyak amal dan mempersiapkan diri untuk hari tua, justru memilih jalan yang memalukan—berzina dengan janda yang bahkan punya dua anak dari lelaki sebelumnya.
Aku memandangnya, dan entah mengapa tak ada lagi rasa iba.
Yang ada hanya lelah dan kecewa yang tak bisa disembunyikan.
Suamiku, yang dulu bersamaku saat hidup masih digenggam dengan kesederhanaan, kini justru menampar semua kenangan itu demi kesenangan sesaat.
Apa tak cukup sudah aku mendampingi sejak masa-masa paling sulit?
Apa harus dibayar dengan pengkhianatan seperti ini?
"Sudah tua, tapi kelakuan seperti anak remaja yang baru belajar cinta," gumamku pelan sambil memalingkan wajah.
Ia masih diam. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya.
Mungkin malu.
Setelah keduanya beres mendatangani surat tersebut, suamiku terlihat tenang dan santai. Pasti dia mengira semuanya sudah selesai.
Pasti dia merasa masalah ini sudah ditutup rapat dengan perjanjian yang aku buat bersama Wulan.
Hoh, tentu saja tidak semudah itu.
Aku belum selesai. Luka ini belum reda, dan hatiku belum benar-benar tenang.
Dia lupa, yang dia khianati bukan hanya aku sebagai istri…tapi juga kepercayaan puluhan tahun yang kami bangun bersama. Dia pikir perjanjian dengan Wulan cukup untuk mengakhiri semua masalah?
Tidak.
Aku sudah menyiapkan satu lagi perjanjian.
Kali ini bukan untuk Wulan.
Tapi untuk dia—suamiku sendiri, dan keluarga besarnya yang selama ini hidup seperti benalu.
Ya, benalu.
Datang hanya saat butuh.
Mendekat hanya saat dia mulai punya harta.
Dulu, waktu kami masih numpang di rumah orang, satu pun tak ada yang peduli.
Tak ada yang sudi bantu. Bahkan sekadar tanya kabar pun tidak.
Tapi sekarang? Mereka datang satu per satu. Menumpang, meminta, meminjam, lalu hilang begitu saja tanpa rasa malu.
Sudah cukup.
Akan aku buat hitam di atas putih.
Tidak satu pun dari mereka berhak atas tanah, rumah, toko, atau sawah milik kami. Tidak ada warisan, tidak ada hibah, tidak ada belas kasihan.
Aku akan pastikan semuanya hanya untuk anak-anakku. Untuk darah dagingku yang pernah tidur beralaskan tikar tipis bersamaku.
Bukan untuk mereka yang datang hanya saat semuanya sudah tersedia. Kalau mereka tersinggung, silakan. Kalau mereka marah, itu urusan mereka.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!