Rifanza Artalea, kuliah di salah satu universitas yang ada di California, baru saja selesai berbelanja di minimarket yang dekat dengan apartemennya.
"Iya, ma. Aku baik baik saja. Jangan khawatir," ucapnya via telpon. Mamanya yang berada di seberang lautan selalu saja mencemaskan keadaan dirinya yang seorang diri berada di negeri orang.
Padahal Rifanza baik baik saja. Dia membuka kunci mobilnya dan membuka bagasinya.
Ada dua plastik besar berisi makanan yang diletakkan di sana, selain tisu, sabun mandi, sabun cuci dab pembersih lantai.
Tapi dia terkejut melihat seseorang melewatinya dan memasuki mobilnya.
Mobilnya!
Dia memang ngga menguncinya karena sedang memasukkan barang barang di bagasi.
BRAK!
Jantung Rifanza seakan melompat dari tempatnya.
Pintu mobilnya tertutup bersama seseorang yang sudah ada di dalam sana. Kejadian ini baru pertama kalinya setelah hampir dua tahun dia mengambil program kuliah magister.
Bergegas dia membuka pintu mobil, bermaksud mengusir orang asing itu.
Tapi tangannya ditarik, hingga dia membentur tubuh laki laki asing itu.
Laki laki itu pun secepat kilat menutup pintu mobil. Kemudian menurunkan jok kursi hingga cukup rata sambil menguraikan posisi Rifanza yang tadi dipeluknya.
Mereka saling bersitatap. Rifanza terpana melihat betapa tampannya laki laki itu.
Tapi hanya sesaat, kemudian dirinya kembali dihinggapi rasa panik karena ada rombongan orang yang mendekat.
Laki laki asing itu memberi isyarat agar dia diam saat rombongan itu memeriksa tiap mobil yang terparkir. Untung saja minimarket itu tidak terlalu sepi.
Beberapa orang yang baru keluar dari minimarket juga tampak kaget dan panik.
Tapi rombongan laki laki itu terus saja memerika kaca gelap mobil mobil yang terparkir di sana dan ngga lama kemudian mereka pun berlalu pergi.
Rifanza menghembuskan nafas lega, untung saja kaca mobilnya sudah sangat gelap.
Tapi dia belum bergerak, hingga beberapa menit kemudian, baru dia benerkan posisi jok kursinya.
Suasana di dalam mobil masih hening.
"Kamu terluka?" Dari yang sudah tenang, kini Rifanza panik lagi karena melihat tangan laki laki itu yang memegang perutnya sudah berlumuran darah.
"Tolong antarkan aku ke apartemen xxx," ucapnya pelan.
Rifanza tau letak apartemen mewah itu. Ngga begitu jauh juga dari sini.
Tapi laki laki ini terluka.
"Ke klinik aja, ya. Aku tau ada klinik dua puluh empat jam di sini." Awalnya dirinya marah tapi kini sudah berubah jadi kasian.
Tapi sebetulnya dia lebih khawatir dan mengkasiankan dirinya kalo laki laki asing itu sampai meninggal di dalam mobilnya. Dia pasti akan berhubungan dengan pihak polisi di sini.
"Ngga usah."
Rifanza terdiam sejenak.
"Oke, tapi kalo ada apa apa jangan salahkan aku, ya," tegasnya sambil menjalankan mobilnya. Dia fokus menatap depan.
Semoga orang orang itu tidak.ada lagi, do'anya dalam hati.
Mama, kalo kamu tau apa yang anakmu alami sekarang, pasti bisa jantungan.
Matanya terus mengawasi sekitarnya sambil terus menjalankan mobilnya.
Sesekali dia melirik laki laki asing itu yang sedang mengetikkan pesan di ponselnya.
Mungkin dia menghubungi pacarnya, batin Rifanza agak iri.
Laki laki setampan ini ngga mungkin belum punya pacar.
Tanpa sadar dia menghela nafas.
Laki laki ini memang sangat tampan hingga dia tanpa sadar berkali kali meliriknya.
Suasana di dalam mobil tetap hening, karena Rifanza agak ngeri kalo laki laki itu banyak bicara akan memperburuk keadaannya.
Ngga lama kemudian mereka sudah tiba di apartemen laki laki itu. Di depan pintu masuknya sudah ada seorang laki laki muda yabg berdiri di samping seorang satpam.
"Ini," ucapnya sambil mengulurkan kartunya
Shaka Argayasa Danendra, batinnya saat matanya seolah sengaja mengeja nama laki laki itu. Dia melakukannya spontan saja, seolah ada desakan halus dalam dadanya untuk kepo.
Rifanza menurunkan sebagian kaca mobilnya dan mengulurkan kartu itu. Seorang sekuriti mengambilnya. Anehnya laki laki muda itu juga ikutan melihatnya.
Yang mengagetkannya laki laki muda itu melongokkan wajahnya sambil memegang kartu itu
"Aku dokternya. Bisa aku masuk?"
"Rajata, masuklah," perintah laki laki asing yang bernama Shaka itu.
Rifanza mengunlock pintu mobilnya sehingga laki laki itu bisa duduk di belakangnya.
Laki laki asing kedua yang dipanggil Rajata itu menggelengkan kepalanya begitu tau keadaan temannya.
"Ada pelurunya ngga, bang? Aku ngga mungkin maen operasi operasian di kamar apartemenmu."
Haah, peluru? Rifanza ngga jadi menjalankan mobilnya.
"Ngga ada pelurunya. Cuma tergores," bantahnya.
"Mobilnya, kok, ngga jalan?" tanyanya lagi sambil menatap gadis di sampingnya
Oooh, batin Rifanza lega, kemudian menjalankan mobilnya.
Sabar, setelah ini dia akan langsung pulang. Mobilnya akan dimandiin dan dibaca do'a do'a agar kejadian ini ngga terulang lagi, batin Rifanza.
"Berhenti di sini saja, nona." Kali ini yang memberi perintah Rajata si dokter.
Rifanza menurut
'Kamu ini, bang, menyusahkan aku saja malam malam," omel Rajata lega setelah memastikan keadaan anak teman daddynya ngga seburuk perkiraannya.
Kemudian dia membuka pintu bersamaan dengan Rifanza.
Berjalan memutar bagian belakang mobil dan membukakan pintu untuk Shaka yang sudah membenarkan posisi kursinya.
"Makasih, ya," ucap Shaka saaat melihat gadis itu masih memperhatikannya.
Rifanza hanya mengangguk.
Tugasnya sudah selesai, kan?
Anehnya selama dua tahun di sini, kenapa dia ngga pernah bertemu dengan dua laki laki tampan ini. Mereka kemana aja? ringisnya dalam hati.
Rajata membantu Shaka keluar dari dalam mobil dan mulai memapahnya.
"Nona, bisakah ikut kita dulu? Mobilmu juga harus dibersihkan dari noda darah, tidak semua tempat menerima cuci mobil yang ada noda darah begitu. Bisa saja kamu diinterogasi polisi," ucap dokter itu panjang lebar ketika melihat Rifanza akan masuk ke dalam mobilnya.
Rifanza ingin menolak tapi yang dikatakan laki laki itu ngga salah juga. Dia bisa berurusan dengan pihak berwajib negeri ini. Mana dia sebatang kara lagi.
"Ikutlah, nanti mobilmu akan diurus temanku," ucap Shaka.
Karena ngga punya pilihan, Rifanza pun mengikuti keduanya.
Apartemen yang terkenal ditempati oleh beberapa artis artis papan atas ini memang sangat mewah.
Dia siapa? Mengapa bisa sekaya ini?
Saat memasuki kamar laki laki ini, Rifanza tau kalo.laki laki ini dan mungkin dokter ini pun bukan orang biasa. Kamarnya super mewah, berkali kali lipat dari kamar apartemennya.
Laki laki itu pun dibaringkan di tempat tidurnya. Saat jas dan kemejanya dibuka, Rifanza memalingkan pandangannya.
Dia lebih memilih menatap koleksi sepatu dan jam tangan mahal milik Shaka. Sesekali melihat ponselnya.
Hatinya ngga tenang. Dia juga merasa kurang nyaman berada di apartemen laki laki ini.
Tadi di ruang tamu dia sempat melihat lukisan yang cukup besar.
Laki laki ini sepertinya mempunyai kembaran.
Ngga lama kemudian dokter itu selesai dengan tugasnya.
Saat Rifanza menoleh, dia melihat laki laki yang terluka itu sudah berganti pakaian dalam kondisi berbaring.
"Aku titip dia bentar, ya. Mau beli makanan dan kopi. Kamu mau nitip apa?"
HAAHH, Maksudnya ditinggal berdua aja? kaget Rifanza.
Dia lebih baik pulang.
"Em... Aku pulang aja," pamit Rifanza cepat
Dokter itu tertawa kecil sambil melirik temannya yang juga tersenyum miring.
Dia tidak tertarik denganmu, kecamnya.
"Tenang saja. Dia ngga akan bisa ngapa ngapain kamu."
Tetap saja nanti akan ada pihak ketiga, yaitu setan, batin Rifanza kesal melihat kedua orang ini yang tanpak meremehkannya.
"Aku pergi sebentar saja," ucap Rajata tetap cuek.
"Kamu bisa ke dapur atau ke ruang tamu, oke."
Dari tadi, kek, ngasih taunya, batin Rifanza kesal.
Shaka pun ikut keluar bersama Rajata.
"Nitip apa?" tanya Rajata sambil menahan pintu unit apartemen sambil menatap Rifanza.
Rifanza menggeleng. Dia malah ingin laki laki itu ngga lama lama di luar agar dia bisa segera pulang.
"Kopi aja, ya," putus Rajata sambil menutup pintu. Laki laki itu tidak menerima penolakan.
Kembalii Rifanza mengamati lukisan di depannya. Laki laki yang mirip dengan Shaka tapi mengenakan kaca mata. Di dekatnya ada seorang laki laki yang lebih muda lagi. Mereka terlalu tampan menurutnya.
Saat melihat kedua orang tua yang menghasilkan tiga bibit unggul ini Rifanza maklum. Orang tuanya juga tampan dan cantik sekali.
Ada juga foto kakek dan neneknya. Masih tetap tampak cantik walau sudah cukup dimakan usia.
Rifanza jadi teringat kakek neneknya. Dia jadi kangen.
"Mereka kakek nenekku. Masih gagah dan cantik, ya."
Hampir saja ponsel Rifanza terjatuh dari tangannya.
Laki laki itu sudah berada di belakangnya.
Kenapa dia jadi jantungan hanya karena mendengar suaranya saja!
'Kamu kenapa ngga istirahat aja?"
"Bosan."
"Memangnya udah ngga apa apa?"
"Sudah mendingan."
'Ooo..."
Sunyi.
Berdiri di dekat laki laki itu membuat Rifanza agak sulit bernafas. Oksigen seakan terbatas untuk dia hirup.
Ada kilatan petir terlihat di jendela kaca yang menghadap balkon.
"Sepertinya akan turun hujan." Shaka berjalan ke arah balkon dan menutup tirai jendelanya.
"Iya."
"Sudah hujan." Tunjuk Shaka pada rintik air yang nampak turun dari langit.
Kilatan kilatan di langit mulai lebih sering tampak.
Rifanza memperhatikan laki laki ini, dia tidak terlihat kesakitan
"Tadi itu siapa?" Rifanza jadi ingin tau, laki laki ini bermasalah apa sampai dikejar orang orang yang menurutnya ingin membu nuhnya.
"Dokter, kan?"
"Bukan," bantah Rifanza penuh tekanan.
"Yang di minimarket."
Shaka tersenyum tipis setelah menutup tirai jendelanya.
Padahal Rifanza lebih suka kalo tetap dibuka karena dia bisa melihat pemandangan langit dan gedung gedung tinggi yang jarang terlihat, kecuali saat dia bermain di gedung mall tertinggi, yang seakan dekat dengan langit.
Tapi kilatan kilatan petir juga cukup menakutkan.
"Orang iseng."
"Tapi dia bawa pi stol loh." Rifanza ngga ngerti kenapa laki laki ini terlalu santai. Dia hampir saja kehilangan nyawa.
Shaka tersenyum sambil memperhatikan gadis di depannya.
Dandanannya seperti orang bangun tidur. Rambutnya pun dicepol seadanya. Dan anehnya bibirnya tanpa lipstik, hal yang jarang dilewatkan oleh wanita dewasa.
"Minimarket tadi dekat, yah, dengan apartemen kamu?" Shaka mengalihkan topik pembicaraan.
Hampir saja Rifanza keceplosan.
"Nggak," bohongnya.
Shaka tersenyum smirk.
"Kamu masih kuliah?" tebaknya lagi pada wajah innocent di depannya.
"Ya."
"Semester berapa?"
"Rahasia." Rifanza ngga akan mengatakan apa pun informasi tentangnya pada laki laki asing yang baru dikenalnya. Walaupun secara harfiah dia tertarik pada pandangan pertama.
Lagi pula laki laki ini tidak mau menjawab pertanyaannya dengan serius.
Shaka tertawa tanpa suara.
Shaka mengulurkan tangannya.
"Aku Shaka."
Rifanza agak ragu, tapi kemudian dia sambut juga tangan Shaka.
"Lea." Dia sengaja memberikan nama belakangnya
Shaka tersenyum melihat keraguan gadis itu, jabat tangan itu terurai ketika Shaka mendapat telpon.
Wajah Shaka terlihat serius. Dia menghela nafas berat ketika sambungan telpon sudah terputus.
"Ada apa?" Rifanza mendadak mendapatkan firasat buruk.
"Rajata mungkin agak lama. Ada kecelakaan beruntun, tiga mobil menutup ruas jalan. Katanya sedang menunggu kedatangan mobil derek."
"Kalo gitu aku pulang aja, ya. Kamu istirahat," ucapnya berpamitan.
"Ngga nunggu hujan berhenti?" Shaka melangkah ke arah jendela yang menghadap balkon dan membuka tirai jendelanya.
Ujan terlihat amat sangat deras dan kilat menyambar nyambar.
"Mungkin ada tempat banjir yang akan kamu lewati. Tunggulah ujan reda." Shaka melangkah pergi meninggalkan Rifanza dengan membiarkan jendela.yang terbuka.
Rifanza menyusul Shaka yang ternyata pergi ke arah dapur.
Dapur kering, pikir Rifanza. Kalo melihat sekomplit ini dapurnya, harusnya dia bisa masak.
Laki laki itu mengecek isi kulkasnya kemudian memperlihatkan wajah kecewanya.
Pantas Rajata ngotot pergi, karena tidak ada apa apa yang bisa dimakan.
Pasti dia sudah mengeceknya tadi.
"Aku habis belanja," ucapnya baru teringat aktivitasnya tadi sebelum bertemu laki laki ini.
"Aku ke mobil dulu, ya. Mau ngambil belanjaan."
"Aku ikut."
"Jangan. Nanti lukamu berdarah lagi," larang Rifanza cemas dan agak ngeri.
Spontan Shaka mengangkat kaos hitamnya. Sudah ada bercak darah pada perban yang melilitnya.
Pantasan perih, batinnya.
"Tuh, kan. Kamu harusnya berbaring." Rifanza mendekat.
"Kamu berbaring di sofa itu aja."
"Kamu ngga apa apa sendirian ke parkiran?"
Mata mereka bersitatap.
Sulit Rifanza alihkan karena tatapan laki laki di depannya sangat dalam dan tajam.
Tapi saat wajah Shaka mendekat, Rifanza reflek menjauh dengan memundurkan kakinya ke belakang.
Shaka tersenyum miring. Dia tambah penasaran. Hati kecilnya yakin kalo gadis ini tertarik dengannya. Di mobil saja tadi bukannya Shaka ngga tau kalo gadis itu cukup sering meliriknya.
Shaka melangkah dan pura pura akan terjatuh, sesuai dugaannya, gadis itu menahan tubuhnya.
'Hati hati," ucapnya pelan.
Shaka dapat merasakan debar cepat jantung gadis itu. Juga jantungnya.
Shaka merasa aneh dengan dirinya.
Selama ini hanya Sheila yang bisa mengaduk aduk perasaannya.
Penampilan Sheila sangat jauh bertolak belakang dengan gadis yang mengaku bernama Lea.
Sheila cantik dan modis. Sedangkan gadis di depannya tampak polos dan menurutnya jauh lebih muda berdasarkan analisisnya pada wajah innocent itu.
Tapi agak aneh perasaannya beda terhadapnya.
Shaka membalikkan tubuhnya hingga mereka berhadapan. Tangan Shaka merengkuh pinggang gadis itu membuatnya kaget.
Ramping ternyata, batin Shaka. Tubuh rampingnya tertutup kaos gedenya.
Keduanya kembali bertatapan dalam curah hujan dan kilatan petir yang ngga menentu.
Naluri kelelakian Shaka memintanya mencoba mengulang lagi perbuatannya tadi.
Siapa tau berhasil.
Tapi satu tangan menahan dadanya.
"Emm.... Kamu di sini aja, aku akan ke bawah."
Shaka ngga memaksa, dia melepaskannya.
Dia tau debar jantung gadis itu semakin cepat, wajahnya sangat memerah dan membuatnya seakan sedang memakai blush on yang memperindah tampilannya.
"Kuncinya di atas meja," ujarnya ketika melihat gadis itu terburu buru pergi.
Dasar masih kecil, tawanya dalam hati.
"I iya." Tanpa.menoleh, Rifanza bergegas pergi setelah mengambil kunci apartemen laki laki itu.
Setelah berada di luar kamar, Rifanza menyandarkan tubuhnya di pintu sambil memegang dadanya yang masih bergemuruh, mengalahkan suara petir yang masih bersahut sahutan.
Setelah agak tenang, dia mulai melangkah cepat. Dia akan pulang. Dia ngga mau terlibat dalam hubungan semalam yang besoknya akan dilupakan.
.
"Aku dititipin kunci kamar unit kamu sama sekuriti di bawah," ucap Rajata yang baru saja tiba di kamar Shaka.
"Kamu apain dia sampai kabur begitu?" kekeh Rajata sambil meletakkan gelas kopi yang dia beli di depan apartemen ke atas meja.
Karena sudah tau kalo gadis tadi sudah kabur, jatah kopinya dberikan untuk sekuriti itu.
Tadi Rajata pergi agak menjauh lebih dulu untuk membeli persediaan makanan di kulkas anak teman daddynya yang kosong melompong.
Apesnya dia terjebak dalam insiden kecelakaan beruntun hingga agak lama baru bisa pulang.
Shaka meraih kopi yang masih panas itu, menyesap perlahan. Kedatangan Rajata hampir satu jam dari kepergian Lea.
"Makanya jangan gragas sama perempuan. Ngga semua perempuan suka dengan laki laki matang," sarkas Rajata mengejek, kemudian tergelak.
"Dia suka, kok. Tapi masih malu," jawab Shaka cuek.
"Kalo gitu ngapain dia pulang," tawa Rajata meremehkan. Tangannya mulai membuka tutup gelas kopinya.
"Biasa, kan, biar aku penasaran."
Hampir saja Rajata tersedak dengan kepercayaan diri Shaka yang over dosis.
"Dasar laki laki matang yang nggak laku laku. Ada aja alasannya," ejeknya lagi.
Shaka hanya tersenyum miring. Sudah biasa dia dikata-i seperti itu. Soalnya dia yang paling tua diantara yang lain.
Sebagian besar sudah menikah, termasuk kembarannya. Bahkan sudah punya anak.
Kini mereka berdua mulai konsen dengan kopi dan roti yang dibawa Rajata.
"Jangan bilang sama Oma Salma, ya. Nanti bisa tau semua," pesan Shaka mewanti wanti Rajata. Salma-omanya Rajata.
"Belum, sih. Tapi yakin kamu ngga bakal dicari mantannya Kimberly lagi? Udah aku bilang, jangan macam macam di sini," nasihat Rajata tegas. Walaupun usianya lebih muda tapi karena sudah tiga tahun ini selalu bersama, Rajata sudah ngga ada sungkan sungkannya.lagi.
"Aku ngga macam macam. Mantannya yang selalu datang. Salahku dimana?" tanya Shaka dengan tampang polosnya.
"Dasar. Senua cewe yang datang ditampung. Mahalan dikit kenapa, sih," ejek Rajata.
Baru Shaka terkekeh, kemudian meringis karena terasa nyeri di luka pada perutnya.
"Bang, jangan bilang lo belum move on, ya."
'Nggaklah. Ngawur," sangkalnya cepat.
"Bang Shakti sama Kak Sheila udah punya bayi, Bang Shaka masih jomblo," ejeknya lagi.
"Jombo ngatain jomblo." Shaka balas mengejek.
Rajata pun tergelak.
"Aku masih muda."
Shaka mendengus.
Beberapa menit kemudian.
"Raja, tolong cariin alamat apartemen gadis itu," ucap.Shaka tiba tiba. Taktik gadis itu manjur, sekarang dia sudah penasaran.
"Hah?"
"Bisa kelacak, kan, dari rekaman cctv atau plat mobilnya."
'Lama kalo gitu."
"Bentarlah, sehari juga bisa."
Dengan ogah ogahan Rajata mengeluarkan secarik kertas dari dalam dompetnya.
"Tadi aku nyuruh pengawalku nunggu di parkiran. Siapa tau musuh lo ke sini. Tapi dia malah ngasih tau lihat mobil gadis itu pergi. Aku suruh ngikutin aja."
Shaka tersenyum miring saat menerima secarik kertas yang terdapat tulisan nama apartemen dan lengkap dengan nomer unitnya.
Dia akui, anak teman daddynya memang gercep banget.
"Makasih."
"Sama sama." Rajata menyesap kopinya lagi.
"Kata oma....., om dan tante lagi nyariin jodoh buat kamu, bang. Soalnya udah kelewat matang tapi belum juga nikah nikah," lanjutnya lagi.
Shaka ngga menanggapinya. Dia masih mengingat penampilan gadis itu yang memang dia yakini, tinggalnya ngga jauh dari minimarket.
Rajata mencibir.
"Jangan maen maen, bang. Umur lo udah pantasnya punya anak."
Shaka tertawa tapi tertahan, karena luka di perutnya cukup terasa ngeri saat otot otot perutnya ketarik waktu tertawa.
*
*
*
Tiga tahun yang lalu.
"Shaka, kalo aku menikah dengan Sheila, kamu bakal sakit hati?" tanya Shakti saat dia sedang.cuti dari kerjaannya.
Orang tuanya memang melimpahkan wewenang semua perusahaan di luar negeri padanya. Sedangkan kembarannya Shakti berbagi perusahaan dengan Sean di dalam negeri
"Nggak. Kapan kamu mau nikahi Sheila?"
"Sekarang. Mumpung kamu pulang."
"Oke."
Shaka menutupi perasaannya sangat rapat waktu itu.
Dia ngga terlalu sakit hati, karena setahun sebelumnya Sheila sudah mengatakan hubungannya dengan Shakti.
'Kita sudah lama saling mengenal. Aku pernah pergi dari kalian karena aku bingung, siapa sebenarnya yang ada di dalam hatiku. Tapi akhirnya aku lebih membutuhkan Shakti."
Waktu itu Shaka melebarkan senyumnya.
"Shakti itu baik, kamu akan bahagia jika bersamanya. Dia juga sudah siap berkomitmen."
Sheila terdiam beberapa saat lamanya sambil mengalihkan tatapnya dari Shaka yang sedang menatapnya.
"Kamu ..... masih belum mau berkomitmen?"
"Target menikahku umur tiga puluh lima."
"Oooh....."
Maaf, batin Shaka.
Setelahnya Shaka hanya bisa menyesalinya. Tapi dia juga ngga mungkin menjadi saingan Shakti.
Kebahagiaan Shakti juga kebahagiaannya. Hanya daddynya yang mengerti perasaannya.
Shaka tau Shakti sangat memuja.Sheila. Gadis itu hampir serba bisa. Bisa masak, bisa mengatur perusahaan, juga atlet berkuda.
Dulu Shaka juga sempat mau menjadi atlet berkuda juga, tapi dia mundur di detik terakhir. Semua olah raga yang menggunakan kekuatan yang dia kuasai, dia tinggalkan.
Dia lebih memilih golf agar bisa bersama Shakti. Shaka tau Shakti akan mencoba sampai batas yang dia punya untuk bisa seperti.dia. Dan Shaka ngga mau itu terjadi karena dapat membahayakan nyawanya.
Dia pun berubah semakin tengil dan berdekatan dengan banyak perempuan agar di mata Sheila, Shakti lebih baik darinya.
Jawaban Shaka yang asal asalan soal kapan menikah, kini hampir menjadi kenyataan. Sekarang umurnya sudah menginjak tiga puluh dua tahun.
Dia pun sudah punya beberapa orang keponakan, dari Shakti dan juga Sean yang bahkan melangkahi dia dan kembarannya.
Wajar maminya mulai sibuk mencarikan jodoh untuknya. Tapi Shaka sama sekali ngga minat. Dari dulu maupun sekarang.
Flashback on
"Memangnya ada, ya, mam, gadis gadis yang suka calon suaminya punya banyak pacar?" kekehnya waktu itu.
Maminya hanya tertawa.
"Dulu daddy juga begitu. Pasti nanti kamu akan ketemu juga yang bisa nerima kamu apa adanya."
"Tapi mami, kan, dulu pernah ninggalin daddy."
"Bukan karena daddy pemain perempuan, tapi ada alasan lain."
"Ooo... Tapi sekarang aku masih belum mau terikat dengan perempuan, mam.'
Edna-maminya menghela nafas.
"Jangan bilang sama mami kalo kamu patah hati karena Sheila." Hatinya bakal hancur, karena Sheila sudah dianggapnya sebagai anak perempuannya sejak lama. Sebelum dinikahi Shakti.
"Ya, nggaklah, mam. Sheila bukan kriteriaku."
Edna tersenyum.
"Syukurlah. Mami bisa sedih kalo kalian terlibat cinta segitiga."
Shaka menggenggam tangan maminya lembut.
"Mami ngga usah khawatir. Oke, mami boleh kenalin calon calon mami. Tapi aku berhak menolaknya kalo.ngga cocok, ya."
"Tentu, sayang." Edna mengusap puncak kepala putranya dengan lembut.
"Mami sayang banget sama kamu."
"So do I, mam."
Endflashback
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!