Mencintai dengan hati dan jiwa, tak akan mengenal perpisahan. Sebab pisah hanya bagi mereka yang mencintai dengan mata.
Maira menyisir rambutnya yang masih separuh basah di depan cermin. Segaris senyum tergurat di bibir mungilnya. Wajah lonjong berkulit cerah tampak sumringah. Seakan ada hal yang membuat dunianya tampak lebih benderang.
"Bundaaa ...."
Satu panggilan halus mengusik lamunan Maira.
"Aaaa..., jagoan bunda sudah bangun rupanya!" seru perempuan itu.
Segera Maira beranjak dari duduk, menghampiri anak laki-lakinya yang masih mengucek-ucek mata di atas ranjang.
"Ayah mana...?" tanya si anak laki-laki.
Maira meraih anak yang berumur hampir 5 tahun itu dalam pelukan. Dielus rambut ikal dan tebalnya dengan penuh kasih sayang. "Semalam ayah kan, sudah pamit sama Oza. Ayah berangkat tugas sebelum subuh tadi. Jadi ...."
"Ayaaah...Oza masih pengen main sama ayah....huhuhuhuu...!"
Kata-kata Maira terputus oleh rengekan Oza.
"Sttt...cup... cup... cup, Oza ganteng ndak boleh nangis. Masak calon prajurit Garuda cengeng, sih?" hibur Maira sambil mengelus punggung anaknya.
Oza masih terisak di pelukan Maira. Anak itu masih belum puas menikmati kebersamaan dengan ayahnya. Setelah hampir dua bulan mereka berpisah, pertemuan yang hanya dua hari terasa hanya seperti mimpi.
"Sekarang Oza ambil wudhu terus sholat, ya," saran Maira sambil menegakkan tubuh anaknya. "Doakan ayah supaya terjunnya lancar, selamat, dan sukses. Oke?"
Tatapan Maira lekat pada anaknya. Senyum tak lepas dari bibir. Kedua tangannya diletakkan di bahu Oza. Kekuatan penuh cinta mengalir lewat sentuhan hangat seorang ibu pada anaknya.
Sruuut...! Oza menarik ingus yang terlanjur keluar dalam satu tarikan nafas. Lalu tangan mungilnya sibuk mengelap hidung yang merah. Anak itu mengangguk sebelum beringsut ke tepi ranjang.
***
Sepanjang hari dilalui Maira dengan bermalas-malasan. Diajaknya Oza bermain dalam kamar. Anak itu asyik memainkan legonya di sudut ruangan. Sedangkan Maira sendiri rebahan di ranjang dengan gawai tergenggam di tangan.
Kadang perempuan itu tersenyum-senyum sendiri, melihat gawainya. Hampir seharian ini dia chat wa dengan Galang suaminya.
Tring.
[Sudah makan belum, Yang?] Wa dari Galang.
Maira tersenyum sambil mengetik balasan. [Sudah. Mas sendiri sudah isi perut belum?]
[Nasi goreng di kereta. Mahal dan gak seenak buatanmu]. Emoticon sedih dilampirkan Galang.
Maira membalas dengan emoticon tersenyum dan pipi merona. Ditambah banyak lambang cinta berwarna merah.
[Masak apa hari ini, Yang?]
[Gak masak. Males, gak ada yang dimasakin]
[Lhah, si Garuda kecil kamu kasih apa? Kok gak masak?]
[Beli Sop di Bu Fajar]. Emoticon nyengir mengiringi.
[Dasar, malas!]. Ditambah emoticon marah.
[Capek, tauuk...! Semalam kan, lembur]. Ada emoticon mata berkedip satu, nakal.
[Heleh, segitu aja capek. Gimana nanti kalau aku cuti selesai sekolah. Seminggu, lhoo.... KUAT?]
Maira tergelak.
"Bunda, kenapa?" Oza terusik dengan suara tawa Maira.
"Ndaaak..., Ini lho, si ayah."
"Ayah...ayah...,.Oza mau ngomong sama ayah!" seru anak itu sambil berlari mendekati Maira.
Seraut wajah bergaris tegas muncul di layar gawai Maira. Senyumnya lebar, ketika Oza menyapa.
"Ayah...ayah..., ayah sampai mana?"
"Sampai mana ya, ini. Emmm...sampai di sawah-sawah," jawab Galang sambil mengalihkan kamera gawainya ke arah luar. Pemandangan sawah yang hijau tampak sekilas di layar gawai Maira.
"Sawah, ayah? Tempat main layang-layang ya, yah?"
"He em."
"Kapan ayah ajak Oza main layang-layang?"
"Emmm..., kapan, ya." Tampak Galang pura-pura menggaruk kepala kebingungan. "Nanti kalau ayah selesai sekolah, ya. Ayah dapat cuti, trus kita pulang ke rumah Eyang. Nanti kita main layangan sepuasnya di sana."
Mata Oza berbinar. "Bener, yah?"
Galang mengacungkan jempolnya.
"Jangan bohong lho, ya!" Telunjuk Oza menunjuk ke layar gawai. Bibirnya bersungut lucu.
"Ya, ndak lah. Masak bohong," jawab ayahnya sambil tertawa.
"Soalnya ayah sering bohong. Bilang mau pulang, tapi ndak pulang!"
Maira tertawa melihat kepolosan anaknya, dan Galang yang salah tingkah. "Ayah ndak akan bohong, sayang. Kalau ayah sering ndak jadi pulang, itu karena negara lagi butuh ayah. Kan, ayah Oza penjaga negara kita," jelas Maira, sambil mengelus rambut anaknya. Diciumnya ubun-ubun Oza dengan lembut dan sepenuh jiwa.
Jika orang terdekatmu adalah tentara, maka yang terdekat bagi dia bukan kamu, tapi negara.
***
"Bu Maira sakit?" tanya seorang anak perempuan berseragam TK. Rambut kuncir duanya bergoyang-goyang mengikuti gerak kepala.
"Oooh..., Kanya. Ndak..., ibu ndak sakit, kok," elak Maira sambil membetulkan letak duduknya.
"Soalnya dari tadi ibu diam saja. Mama Kanya kalau lagi sakit juga diam."
Analogi polos seorang anak usia TK membuat Maira tersenyum simpul. Dielusnya kepala anak itu.
"Kanya, kok ndak main sama temannya?" tanya Bu Diah yang sudah berdiri di samping tempat duduk Maira.
Kanya, murid Maira yang paling lincah itu mengangguk. Sejurus kemudian dia sudah berlari menuju ke arah teman-temannya yang bermain ayunan.
Maira menggeser duduk, memberi tempat untuk bu Diah, rekan kerjanya.
"Tapi, bener Bu Maira ndak sakit?" tanya Bu Diah. Tatap matanya menyelidik. Memandang wajah Maira dari samping. "Bu Maira terlihat pucat hari ini."
Maira tersenyum, menoleh pada Bu Diah. "Agak pusing sih, bu. Mungkin karena kurang tidur saja," jawabnya, sambil membetulkan letak jilbab.
Bu Diah bergeser mendekati Maira. "Memangnya om Galang ada di rumah?" bisiknya di telinga Maira. Mata Bu Diah mengerling penuh arti.
Maira tertawa kecil. "Ih, Bu Diah ini!" katanya, sambil mencubit pelan paha Bu Diah. "Aku memang bangunnya kepagian, gara-gara Mas Galang telpon jam tiga pagi. Padahal baru saja aku mau tidur lagi habis tahajud. Jadi ndak bisa tidur sampai pagi, Bu."
"Kangen, diaaa...!" goda bu Diah. "Masih sekolah terjun di Bandung, kan?"
Maira tersenyum sambil mengangguk. Matanya menerawang, menatap anak-anak didik yang bermain di halaman sekolah. Ingatannya melayang pada telepon Galang pagi buta tadi.
"Nanti aku loncat lagi, Yang," kabar Galang.
Maira menguap. "Heem...iya...." jawabnya sambil menahan kantuk.
"Eh, masih ngantuk, ya?" tanya Galang dari seberang sana. "Bangun, sholat tahajud dulu!"
"Sudaaah...! Ini lagi mau balik tidur lagi."
"Eits, jangan!" cegah Galang. "Ndak baik balik tidur lagi. Ngaji Qur'an sana!"
"Ini masih jam tiga, maas...," Maira merajuk. "Besok aku harus ngajar. Bisa ngantuk di kelas nanti."
Galang tertawa. "Ya, sudah. Minta doanya saja ya, Yang. Mudah-mudahan terjunku hari ini lancar."
"Ya, pastilah selalu didoakan."
"Kamu juga jaga diri baik-baik, jaga kesehatan."
"Iyaaa...!" jawab Maira masih dengan sisa jengkel. Rasa kantuk menggelayut berat di matanya.
"Nitip Oza. Jaga baik-baik Garuda kecil kita," pesan Galang. "I love you...mmuuach!"
Tak sempat Maira menjawab, Galang sudah menutup teleponnya.
Maira menghela nafas. Tak biasanya Galang telepon sepagi itu. Meskipun suaminya itu sudah bangun untuk persiapan berangkat terjun, tapi dia tak pernah mengganggu Maira dengan telepon di pagi buta. Biasanya setelah istirahat siang, Galang baru menghubungi istrinya.
Maira bermaksud melanjutkan tidur setelah mendapat telepon dari Galang. Namun hingga pagi, matanya tetap tak mau terpejam. Menyisakan rasa pening di kepala.
Semakin siang kepala Maira semakin berdenyut. Tidak biasanya dia seperti ini. Meskipun kurang tidur, Maira tak pernah merasakan sakit kepala seperti sekarang.
Perempuan itu memutuskan untuk tidak pulang ke rumah dinas tempat tinggal mereka. Dia bermaksud menghabiskan hari di rumah orang tuanya. Setidaknya di sana akan ada yang membantu mengawasi Oza saat Maira tidur untuk meredakan sakit kepala.
"Hati-hati ya, Bu Maira!" pesan Bu Diah ketika Maira mulai melajukan motornya.
Oza tampak duduk tenang di kursi khusus boncengan anak. Dia asyik memegang kincir kertas hasil kegiatan prakarya di kelas tadi. Sesekali anak itu bertanya tentang beberapa hal yang dia lihat di jalan.
Rumah orang tua Maira berada di pinggiran kota Yogyakarta. Bertetangga dengan rumah orang tua Galang juga. Tak sampai setengah jam jaraknya dari rumah dinas di komplek Lanud Adisutjipto.
"Wuaaa..., Tole cucuku kesiniii...!" seru Bu kusno, ibu Maira. "Ada apa Mai, kok ndingaren kesini?" tanyanya, sambil mengangkat Oza dari boncengan.
Maira memijit-mijit kepalanya. "Agak pusing, Bu. Aku mau numpang istirahat di sini, sekalian nitip ngawasin Oza, ya Bu."
Tak perlu diminta dua kali, perempuan tua itu segera mengajak cucunya ke dapur untuk diambilkan makanan. Kalau sudah begini, anak perempuannya sendiri terlupakan. Maira menggeleng-gelengkan kepala.
Ibunya memang sangat sayang pada Oza. Anak itu satu-satunya cucu yang dimiliki ibunya sekarang. Karina, adik dan saudara kandung Maira satu-satunya, belum menikah.
Jam 14.13, gawai Maira berbunyi. Perempuan itu masih terpejam matanya, sementara tangan meraih gawai di atas nakas.
"Haloo...," sapanya dengan suara serak.
"Mbak Mai." Suara Karina terdengar dari seberang. Adik Maira itu bekerja di Jakarta.
"Heeem...," jawab Maira malas. Matanya masih tetap terpejam.
"Mbak sudah lihat tv belum?"
"Apa, to?" Maira jengkel. Matanya masih enggan terbuka. "Aku lagi tidur ini. Kepalaku pusing dari tadi pagi. Ini aku di rumah ibu."
"Mbak...coba, mbak lihat TV dulu!"
Mau tak mau mata Maira membuka. Dia bangkit dari tidur sambil menggerutu pelan. "Opo to, yooo...kamu ini ngganggu tidur mbak saja!"
"Cepet lah, mbak!"
Maira menyeret kakinya menuju ruang tengah. Gawai masih tertempel di telinga. Namun langkah perempuan itu terhenti tepat di depan TV. Dari ruang tengah di lihatnya ada tamu berseragam loreng tentara. Ibu dan bapak tampak duduk berhadapan dengan tamu itu.
Maira mengerjapkan mata, mencoba menajamkan penglihatan. "Om Bayu?" bisiknya.
Bayu adalah teman satu letting Galang. Bahkan juga teman akrab dan sudah dianggap saudara. Lelaki itu sering ke rumah dinas Galang, dan mengajak main Oza. Meski dia sendiri sampai sekarang memang belum menikah.
"Om Bayu, ada apa kesini?" seru Maira, sambil melangkah ke ruang tamu.
Sambungan telepon dengan Karina dia putuskan. Rencana menyalakan TV juga dia urungkan.
Bayu berdiri menyambut Maira. "Apa kabar, jeng?" tanya laki-laki itu sambil mengulurkan tangan.
Maira menyambut tangan Bayu dengan raut kebingungan. Perempuan itu semakin bertambah bingung ketika melihat kedua orang tuanya terlihat sembab matanya.
"Ada apa ini?" tanyanya, semakin penasaran bercampur panik.
Bayu menghela nafas. Dibimbingnya Maira supaya duduk di kursi.
"Jeng, sudah dengar kabar belum?"
"Apaaa?" seru Maira, semakin bingung.
Kembali Bayu menghela nafas. "Anu, jeng...pesawat...yang dinaiki Galang untuk latihan terjun...kecelakaan."
Kedekatan hati dan keterikatan emosi antara dua jiwa, kadang terbawa hingga ke raga dan rasa.
Sekilas Maira ingat telepon Galang pagi buta tadi. Telepon pada waktu yang tak biasa. Meninggalkan jejak sakit di kepala.
Maira sontak berdiri dari duduknya. Mulutnya ternganga, mata terbelalak menatap Bayu. Belum sempat satu kata pun terucap, terdengar suara mobil di luar.
"Nak Bayu, siapa itu?" tanya Pak Kusno, bapak Maira. Laki-laki itu berdiri. Tatap matanya menerobos jendela yang terbuka. Sebuah mobil sedan berwarna biru tua dengan plat nomor dinas berhenti di halaman rumah.
"Komandan Kesatuan, Pak," jawab Bayu singkat. Perhatiannya masih lekat tertuju pada Maira yang terkekang rasa terkejut.
"Om Bayuuu...., Terus gimana mas Galang?" pekik Maira akhirnya.
Tak ada jawaban yang keluar dari mulut lelaki berperawakan tinggi itu. Dia hanya tertegun dengan bibir bergetar.
Sementara Bu kusno menangis tersedu, memegang bahu anaknya. Perempuan itu mencoba mendudukkan kembali Maira di kursi.
Maira menepiskan tangan ibunya. Dikejarnya Bayu yang sekarang beranjak keluar rumah bersama pak Kusno.
"Om Bayu...!"
Di teras, pak Kusno dan Bayu menyambut kedatangan komandan dan istri. Maira bergegas menghampiri.
"Ijin bapak, ibu, bagaimana suami saya?" tanyanya tergesa dengan suara bergetar. Diulurkan tangan sekedarnya, menyalami komandan dan istri.
Istri komandan memeluk bahu Maira. Senyum lembutnya berusaha menyejukkan. "Mari, kita duduk di dalam dulu, ya!" ajaknya.
Maira berontak. Ditatapnya wajah komandan dengan menghiba. "Bapaaak...ijin bapak, bagaimana kondisi suami saya?" tanyanya dengan getaran suara yang semakin menjadi. Air mata yang tergenang sudah runtuh sepenuhnya. Bahunya tersengal menahan rasa.
Komandan menarik nafas dalam. Di tepuk-tepuknya bahu Maira, seakan hendak memberi kekuatan pada perempuan itu.
"Bapaaak...?" Maira tak sanggup melanjutkan. Tubuhnya limbung dalam pelukan ibu komandan.
Bu Kusno menjerit dalam tangis.
***
Ketika takdir terasa sangat kejam, mungkinkah itu sekedar cara Tuhan mencarikan jalan lain menuju bahagia?
Jenazah Galang tiba di Jogja dua hari kemudian. Maira tak sempat melihat suaminya untuk terakhir kali. Lebih tepatnya, dia tak diperkenankan untuk melihat. Perempuan itu memaklumi dengan sepenuh rasa pilu. Dia tahu, kondisi jenazah korban pesawat jatuh bukan hal yang wajar untuk dibayangkan, apalagi dilihat.
"Ayaaah...ayaaaah...!"
Rengekan Oza semakin membuat pilu suasana. Anak itu meronta dalam gendongan Karina. Dia hendak menghampiri peti jenazah berselimut bendera merah putih.
Maira sendiri, terduduk lesu di kursi lipat samping jenazah, bersama para pelayat. Ibu komandan tampak selalu berada di sampingnya, memeluk bahunya, sambil sesekali membisikkan kata-kata penguat.
Tak ada lagi air mata mengalir di pipi Maira yang pucat. Pandangannya kosong menatap peti jenazah di depannya. Bibirnya bergetar, seakan hendak mengucap kata-kata.
"Kasihan Bu Maira," bisik Bu Diah pada teman di sebelahnya. Dia menatap prihatin pada rekan kerjanya yang duduk di depan sana. "Padahal sebelum kejadian itu om Galang baru saja telepon, pamit mau terjun dan minta di doakan."
"Iya to, Bu?" tanya temannya dengan mata terbelalak.
Bu Diah mengangguk. "Ya, gara-gara itu Bu Maira jadi pusing kepalanya. Wong, telponnya itu aneh, mosok jam 3 pagi sudah telpon."
"Wealaaah..., Firasat mungkin ya, Bu?"
Tepat jam 10.00, upacara pemakaman Sersan satu Galang Pambudi dilaksanakan di pemakaman kampung Maira dan Galang. Maira tak sanggup berdiri mengikutinya. Dia masih duduk di kursi lipat, diapit Bu komandan dan ibunya yang berdiri di sebelah kanan dan kiri Maira.
Tujuh tembakan salvo berdentum, Maira tertegun. Dipegang dadanya yang ikut berdebam. Setiap dentuman tembakan, seperti pukulan palu godam di dinding ruang hatinya.
Oza menjerit kencang ketika peti jenazah ayahnya diturunkan.
Maira pingsan seusai menerima lipatan bendera merah putih dari komandan.
***
Dua Minggu setelah meninggalnya Galang, Maira tampak duduk termangu di teras kelas. Matanya menatap murid-murid TK yang berlarian di halaman sekolah, tapi hatinya entah kemana.
"Bu Maira, kalau belum fit benar, ndak masuk dulu ndak apa-apa," tegur Bu Ida sambil duduk di sebelah Maira.
Maira tersenyum. "Tidak apa-apa, Bu. Aku sudah baikan, kok."
Bu Ida menghela nafas. "Masih di rumah eyangnya Oza, kan?"
Maira mengangguk. "Rencananya hari ini pulang sekolah aku mau ke rumah komplek, Bu. Mau bebenah barang-barang. Insyaallah secepatnya aku pindah ke rumah bapak ibu."
"Lhoh, kenapa? Kan, ndak buru-buru diusir, to?"
"Yo ndak sih, bu. Cuma ndak enak saja, bukan anggota kok, masih menempati rumah dinas." Suara Maira bergetar. Pandangannya kabur tertutup genangan duka.
Bu Diah menggenggam erat tangan Maira. "Yang sabar ya, Bu Maira," bisiknya lirih, berselimut rasa prihatin.
Siang terasa menyengat di penghujung kemarau. Maira memacu motornya pelan membelah jalanan komplek rumah dinas. Jarak sekolah milik Yayasan itu tak seberapa jauh dari rumah dinasnya.
Semakin dekat rumah, jantung Maira semakin berdebar. Laju motornya kadang tersendat kadang menghentak, seirama tarikan gas yang tak stabil oleh tangannya. Hingga tiba di depan rumah, ragu Maira membelokkan motornya masuk ke halaman.
Tetangga kanan kiri sepi. Rumah mereka tertutup rapat. Di siang sepanas ini mungkin mereka menyamankan diri di dalam rumah, dalam buai hembusan kipas angin.
"Sini, Yang, motornya aku masukin!"
Tiba-tiba bayangan Galang terlintas. Saat suaminya itu tak sedang dinas, dia selalu menyambut Maira yang pulang dengan menaiki motor. Dia tak pernah membiarkan Maira menuntun motornya naik ke teras.
Maira tersentak pelan. Digelengkannya kepala, mengusir bayangan indah namun menyakitkan.
Pelan-pelan perempuan itu berjalan menuju teras. Rumah dinas berwarna biru langit itu serasa seperti rumah hantu. Membuat kaki melangkah ragu.
Dirogohnya kunci rumah dari dalam tas. Beberapa saat kemudian pintu rumah terbuka lebar. Bau pengap menyerobok ke dalam hidung Maira. Sudah dua minggu rumah itu tak dibersihkan.
Maira masuk dengan langkah terasa mengambang. Setiap jengkal lantai yang dia pijak, mengingatkan pada kenangan-kenangan manis yang sekarang pahit terasa.
"Yang, besok kita masak sop ikan, ya. Aku tadi pesan ikan kakap sama temanku yang dari Glagah."
Deg!
Bayangan itu kembali melintas. Saat siang seperti ini biasanya Galang pulang istirahat makan siang di rumah. Sambil makan dia akan usul masakan untuk esok hari.
Bahu Maira berguncang. Tangannya menutup mulut, menahan pekik kesedihan yang hendak melompat keluar.
Langkah Maira sampai di depan pintu kamar. Perempuan itu berhenti sesaat. Ragu-ragu dipegangnya handel pintu. Setelah menarik nafas dalam, dibukanya pintu kamar pelan.
Sprei polos warna coklat masih tergelar di atas ranjang. Warna kesukaan Galang. Di atasnya, dia dan Galang untuk terakhir kalinya bercengkerama dalam aroma cinta. Hangatnya malam terakhir sebelum Galang kembali ke Bandung bahkan masih terasa. Pelukannya masih terasa merengkuh tubuh Maira. Ciumannya masih terasa hangat di bibir Maira. Hembusan nafas lelaki itu, terdengar nyata di telinga Maira.
Perempuan itu mengangkat lengannya, memeluk tubuhnya sendiri yang bergetar. Sementara matanya terpejam, bibir mengulum rindu bercampur duka.
"Sayang, selesai sekolah terjun kita bikin adik buat Oza, ya," pinta Galang waktu itu.
Mata Maira mendadak terbuka. Tatap matanya nanar memandang ranjang. "Ohhh...!" pekik Maira, tak bisa menahan gejolak di dadanya. "Mas Galaaaaang...!"
Bruk!
Perempuan itu terjatuh di lantai kamar. Dukanya terlalu berat untuk disandang. Raganya belum kuat sepenuhnya menahan beban jiwa.
Prok...prok...prok...
Langkah kaki tergesa, berbalut sepatu lars terdengar di luar. Langkah itu masuk ke rumah melalui pintu depan yang dibiarkan terbuka.
"Astaghfirullah....jeng Mai....!"
(bersambung)
Mata Maira terbuka perlahan. Kelopaknya mengerjap-ngerjap, mengatasi silaunya cahaya. Bau minyak angin, tajam menyeruak ke dalam hidungnya. Dia terbatuk-batuk kecil.
"Alhamdulillaaah...., Sudah sadar!" seru seorang perempuan.
"Bundanya Oza, ya ampuuun...kenapa tadi. Kok, bisa pingsan di sini?" Suara lain terdengar.
Mata Maira sudah sepenuhnya terbuka. Pandangannya memindai sekeliling. Beberapa ibu-ibu tetangga tampak mengelilinginya yang tergolek lemah di ranjang.
"Ohh...."
Maira berusaha bangkit. Dua orang ibu-ibu yang duduk di dekat kepalanya membantu menegakkan badannya.
""Ini minum dulu, Bu!"
Bu Fajar tetangga sebelah rumah mengangsurkan segelas air putih. Maira meminumnya beberapa teguk.
"Ini tadi gimana ceritanya, kok, tiba-tiba pingsan di sini?"
"Kenapa nggak kabarin kita kalau mau balik kesini to, buuu..."
"Untung ada om Bayu. Kalau enggak kan, nggak ketahuan mamanya Oza pingsan di sini."
Bersahut-sahutan mereka mencoba menanyakan. Sambil tangan-tangannya memijit kaki, tangan dan bahu Maira.
Maira menghela nafas, tak menjawab. Tatapannya kini berarah ke pintu. Di sana ada Bayu yang berdiri menatapnya prihatin. Maira menganggukkan kepala sebagai tanda terima kasih.
"Gimana jeng Mai. Sudah baikan?" tanya Bayu dengan nada khawatir.
Sekali lagi Maira mengangguk. "Sudah, om, terimakasih." Lalu matanya beralih pada ibu-ibu yang duduk di sekelilingnya. "Maaf, ibu-ibu, bukan maksud saya merepotkan...."
"Ish laaah..., jangan gitu, Bu. Justru kami yang merasa bersalah, nggak tahu kalau ibu ke sini," jawab Bu Fajar. "Sudah makan belum? Saya ambilkan makanan dulu ya."
Maira buru-buru menahan tangan Bu Fajar yang hendak beranjak. "Tidak usah, Bu. Ini saya mau pulang ke eyangnya Oza saja dulu."
"Lhoh, jangan dong! Mama Oza belum kuat ini. Takut nanti pusing lagi di jalan," cegah Bu Farid.
Ibu-ibu yang lain mengiyakan.
"Emm...anu...biar saya antar saja, Bu," Bayu ikut nimbrung. "Motornya Bu Maira biar ditinggal di sini saja dulu."
"Woo...iya...iya, betul. Biar diantar om Bayu saja ya, Bu. Nanti pakai mobil saya saja," sahut Bu Fajar.
Tampak Maira ragu sejenak, sebelum akhirnya mengangguk pelan.
Maira berjalan dipapah Bu Fajar dan Bu Farid. Ibu-ibu yang lain mengiringinya dari belakang. Sedangkan Bayu sudah duluan menyiapkan mobil Bu fajar.
Beberapa waktu kemudian Maira sudah duduk di dalam mobil. Tangan Bu Fajar terulur memegang bahu Maira dari jendela.
"Lain kali kalau mau bebenah kesini kabari kami, ya. Biar kami bantu," pesan Bu Fajar.
Maira mengangguk sambil tersenyum. "Terimakasih atas bantuannya, ibu-ibu."
"Sama-sama, yang penting harus tetap sabar dan tabah ya, Bu Galang."
Deg!
Wajah Maira mendadak menegang. Di komplek mereka memang sering memanggil dengan nama suami masing-masing. Jarang ada yang tahu nama aslinya, karena jarang digunakan. Tapi saat ini, masih bolehkah Maira dipanggil dengan sebutan 'bu Galang'?
"Eh, maaf...mamanya Oza...." Bu Fajar menyadari kesalahannya. Ditelangkupkan kedua tangannya di depan dada.
"Tidak apa-apa, Bu." jawab Maira pelan. Dia ikut menelangkupkan tangan di depan dada. "Sekali lagi, terima kasih untuk bantuannya. Saya tak berangkat dulu ya, ibu-ibu."
Lambaian tangan ibu-ibu komplek mengiringi kepergian Maira dan Bayu. Sebelum kemudian mereka berlanjut ke agenda obrolan yang tak kalah penting dengan pembahasan mengenai kenaikan harga sembako. Pembahasan mengenai kehidupan orang di sekitar.
Tak banyak yang diobrolkan dalam perjalanan mengantar Maira pulang ke rumah orang tuanya. Maira lebih sering diam. Tubuhnya yang terlihat lebih kurus dari beberapa minggu lalu, disandarkan di jok mobil. Meski tak tidur, tapi matanya lebih sering terpejam.
Sesekali Bayu mencuri pandang pada perempuan di sampingnya. Dia sendiri tak berani mengusik diamnya Maira. Hanya helaan nafas setiap kali dia melihat wajah cantik yang terlihat letih itu.
"Oza sehat kan, jeng Mai?" tanya Bayu, ketika melihat Maira membuka mata. Mereka sedang berhenti di perempatan lampu merah.
Maira menoleh pada Bayu, "Alhamdulillah sehat, om," jawabnya pelan.
Lalu mereka berdua kembali diam. Suasana kembali sepi. Hanya suara derum mobil yang kemudian terdengar, saat melaju melewati lampu lalu lintas yang sudah berubah hijau.
Tak berapa lama mereka telah sampai di rumah pak Kusno. Rumah berhalaman luas, dengan pohon mangga dan rambutan mengisi sudut-sudutnya, tampak sejuk dan nyaman. Tanaman aglonema berbagai jenis banyak berjajar di depan teras rumah.
"Kok, sepi, jeng?" tanya Bayu, melihat suasana rumah yang lengang.
"Mungkin Oza sedang bobok siang sama eyang putrinya," jawab Maira, sambil membenahi jilbabnya. "Kalau bapak, mungkin belum pulang kerja."
Bayu bergegas turun dari mobil dan bermaksud membukakan pintu untuk Maira. Tapi perempuan itu sudah terlebih dahulu membukanya sendiri. Perlahan Maira turun dari mobil. Bayu mencoba membantu memegang pergelangan tangan Maira. Tapi dengan pelan ditepiskan oleh perempuan itu.
Bayu menghela nafas. Lalu diikutinya Maira berjalan hingga ke teras rumah.
Bayu memang sangat dekat dengan keluarga almarhum Galang. Dengan almarhum atau pun Maira sudah seperti layaknya saudara. Apalagi dengan Oza. Anak itu sangat suka bermain dengan Bayu. Tak ada canggung ketika mereka bercanda. Bahkan Bayu sendiri sampai mempunyai panggilan khusus untuk Maira, 'Jeng Mai'. Dan Galang juga tak keberatan waktu itu.
Tapi kali ini situasinya berbeda. Tak ada lagi Galang di sisi Maira. Kecanggungan jelas terlihat ketika mereka dekat.
"Jeng Mai, kalau butuh apa-apa, hubungi aku saja, ya," kata Bayu sebelum balik ke mobilnya.
Maira mengangguk, sambil mengucapkan terimakasih. Tangannya melambai lemah ketika mobil Bayu meninggalkan halaman rumah pak Kusno.
"Itu siapa yang nganter si Maira, Yu?" tanya Bu Lupi pelan. Tetangga sebelah pak Kusno itu melongokkan kepala. Pandangannya menerobos pagar tanaman teh-tehan yang memisahkan rumahnya dan rumah pak Kusno.
Yu Ning yang sedang mengangkat jemuran menggelengkan kepala. "Mboten ngertos, bu!" serunya sedikit lantang.
Bu Lupi buru-buru menempelkan telunjuk di depan bibirnya yang maju satu centi. "Ssttttt..., jangan keras-keras!" tegurnya dengan suara setengah berbisik. Kedua alis bertaut, mata bulatnya agak memicing. Cukup sebagai peringatan pada yu Ning yang spontan menutup bibir.
"Sini!" perintah Bu Lupi masih dengan suara setengah berbisik. Jarinya yang penuh cincin melambai sekali, memberi isyarat memanggil.
Yu Ning bergegas menghampiri juragan putrinya itu. Kain jemuran sesak memenuhi bahu kanannya.
"Apa itu calonnya si Maira, ya?" bisik Bu Lupi di telinga yu Ning.
"Halah, buuu...wong ya, baru ditinggal meninggal kemarin kok, ibu ini ada-ada saja!" sungut Yu Ning, jengkel dengan kesimpulan sepihak Bu Lupi.
"Lhooo..., Lha yo sopo ngerti to yoo...!" Bu Lupi mengerling usil.
Yu Ning mencibir.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!