NovelToon NovelToon

Dibuang Pak Jendral, Kunikahi Adiknya

Pernikahan Calon Suami

"Sah?" tanya seorang penghulu kepada semua orang yang ada di aula pernikahan mewah tersebut.

"Sah!" jawab semua orang serempak.

"Hapus air mata kamu," bisik Yulan. Bibi Amara, kakak tiri Sashi. "Jangan rusak suasana. Kamu itu harus sadar diri, Sashi. Kamu di keluarga Mas Hariyono hanyalah parasit. Kamu dipungut karena Mas Hari terlalu bulol sama ibu kamu."

Begitulah, kata-kata nyelekit dari orang di sekitar keluarga baru ibunya yang sudah menjadi makanan sehari-hari untuk Shashi sejak dia beranjak remaja.

"Tuh lihat. Azka itu lebih cocok sama Amara. Dia cantik, badannya bagus, mana seorang dokter. Wajar kalau Pak Jendral maunya dia bukan kamu. Amara itu nyaris sempurna."

"Tapi penyakitan," gumam Sashi.

"Apa?" tanya Yulan.

"Enggak papa!" jawab Sashi sambil tersenyum sok ramah, padahal dalam hati ia komat-kamit tak karuan.

"Dih, enggak jelas." Bibi Yulan berdecih. "Oh iya, jangan sebar gosip macem-macem, Amara enggak pernah rebut Azka dari kamu, kamunya aja yang sial."

Sakit memang, mulutnya Yulan, bukan hati Sashi, kalau hati Sashi, tidak dikatakan pun, dia sudah sangat hancur, kata sakit tidak bisa mendeskripsikan semuanya. Laki-laki yang sangat dia cintai, meninggalkannya dan memilih untuk menikah dengan kakak tirinya. Hanya karena dia seorang bidan dan kakaknya seorang dokter, dan katanya karena Pak Jendral dan ibunya sudah memiliki perjanjian sejak lama.

"Eh lihat, deh! Kasihan ya Bidan Sashi, masa dia enggak jadi nikah sama Mas Azka sih."

"Eumm, kasihan banget. Mana udah ngarep mau jadi menantu jendral, eh enggak jadi."

Para tamu undangan di ruangan itu terus berbisik-bisik membicarakan dan memojokkannya. Namun Sashi bisa apa selain melihat orang-orang yang saat ini ada di atas panggung terlihat begitu bahagia.

"Sha!" panggil seseorang sambil menepuk pundak sahabatnya. "Yang sabar, ya. Mungkin kamu emang bukan jodoh si Azka, emang enggak pantes kamu sama bos t0gel."

"Eumm."

"Kalau kamu mau, aku punya kenalan. Udah Mateng sih, Sha. Tapi masih mending lah daripada si Azka gendeng."

"Apan sih, Rin." Sashi menatap jauh ke arah pelaminan di mana, ibunya terlihat sangat bahagia setelah menyakiti hati putrinya sendiri.

"Beneran ih. Kalau kamu mau, aku bawa kamu temuin dia. Yuk, dia kayaknya butuh pewaris, ayolah. Orang kaya," ucap Rindu sambil menarik tangan Sashi untuk mendekati area tertentu di tempat itu. "Nah itu, itu orangnya!" tunjuk Rindu.

Saat menoleh, Mata Sashi membelalak, mungkin jika tidak langsung berkedip, b!J! matanya akan menggelinding.

"Rin, kamu serius mau jodohin aku sama aki-aki? Inalillahi, itu mah cocok buat jadi engkong aku, Rin."

"Eh, dia banyak duit, Sha."

"Ih, ogah. Enggak mau, Rin. Kakinya aja udah tiga, bapak aku aja cuma satu lho."

Saat itu, Sashi hendak lari, tapi si kakek di dekat meja VIP itu melambaikan tangan ke arah mereka.

"Ketemu, Kek. Ini orangnya, dia mau." Rindu memekik pelan membuat Sashi melotot tidak percaya.

"Rindu, Anji!r. Itu mah bukan Mateng, gosong, Rin. Kematengan. Aku enggak mau."

Bukannya mengerti, si kakek malah mendekati mereka. "Hai, lama sekali. Jadi siapnya kapan?" tanya si kakek saat mereka sudah mendekat. Sashi menoleh ke arah sahabatnya, bertanya apa maksud si kakek.

"Nikahnya. Kapan sahabat kamu ini siap, saya butuh b4yi secepatnya.".

Melongo, Sashi hanya bisa menatap pria keriput di depannya dengan tatapan tidak percaya. Andai itu bukan tempat yang sakral saat ini, dia pasti akan memukul kepala si kakek dengan centong sayur.

Satu minggu yang lalu .....

"Sashi," panggil Jenderal Wirantara, ayah Azka.

Sashi tersenyum dengan sopan. "Iya, Pak?"

"Sebetulnya, saya enggak pernah setuju kamu nikah sama anak saya, Azka."

"Maksud Bapak?"

"Dari dulu, saya maunya Azka nikah sama kakak kamu," lanjut Jenderal itu tanpa tedeng aling-aling. "Lagipula, ibu kamu juga sudah janji, yang bakal dijodohkan dengan anak saya adalah anaknya yang jadi dokter. Sedangkan kamu ...." Ia berhenti, kemudian menatap Sashi dari ujung kepala ke ujung kaki, "kamu cuma bidan."

Setengah napas Sashi tertahan. Dia tidak menyangka calon ayah mertuanya akan mengatakan hal seperti ini. "Tapi, Pak... undangan sudah mau disebar. Satu minggu lagi saya dan Mas Azka mau menikah."

"Saya tahu," jawab sang Jenderal dengan tenang, "tapi ini demi kebaikan kalian juga. Ibu kamu juga sudah setuju. Jangan memperumit keadaan. Tolong sadar diri. Saya maunya kakak kamu, bukan kamu. Jangan mempersulit urusan orang lain, saya juga enggak mau anak saya nanggung malu punga mertua cacat kayak ayah kamu."

Kata-kata itu seperti palu yang menghantam dadanya berkali-kali. Namun Sashi menunduk, ia tidak mau berdebat , Shasi berdiri kemudian membungkuk sopan, lalu berbalik meninggalkan halaman rumah itu dengan langkah limbung.

Titik-titik air mata mulai jatuh membasahi surat undangan yang belum sempat disebarkan itu. Yang dia pahami hanya dua bagian, Pak Jendral tidak mau memiliki besan yang cacat, juga merasa statusnya yang hanya seorang bidan tidak bisa bersanding dengan anaknya. Sashi cukup mengerti.

Sesampainya di rumah, Sashi bergegas masuk. Ia ingin bertemu ibunya, ingin menanyakan semua ini, mengapa? Mengapa ibu kandungnya sendiri ikut menyetujui pengkhianatan ini?

Namun langkahnya terhenti ketika melewati kamar kakaknya. Pintu kamar terbuka sedikit, dan dari celahnya terdengar suara tawa lirih bercampur tangis bahagia.

"Aku masih enggak nyangka, aku yang akhirnya akan menikah sama Mas Azka." Suara kakak tirinya, Amara, terdengar melambai-lambai, manja.

"Kasihan Sashi…," lanjut Amara, "aku takut dia marah, aku takut dia benci sama aku, Bu."

Lihat, dari serigala tapi bisa berubah menjadi kelinci tak berdaya. Tipu muslihat Amara selalu membuat Sashi kesal tanpa bisa berkata-kata.

"Ah, Sashi itu anak baik." Suara ibu mereka menyusul. "Dia enggak akan marah. Dia pasti ngerti. Lagipula, kamu kan sakit, Amara... Kamu lebih butuh pendamping. Kalau Azka yang jadi suamimu, ibu tenang."

Sashi membekap mulutnya sendiri. Tubuhnya gemetar, keningnya mengerut dalam. Amara adalah anak tiri ibunya, tapi kenapa, kenapa selalu Amara yang diutamakan sang ibu?

Baru beberapa langkah untuk pergi, ia malah bertemu dengan sepasang mata tajam. Ayah tirinya, Pak Hariyono.

"Kamu pasti udah tahu, kan?" tanyanya datar.

Sashi menunduk. Tak sanggup menjawab.

"Kamu harus tahu diri, Sashi. Dari umur tiga belas tahun kamu saya rawat. Saya yang biayai sekolahmu. Kalau bukan karena saya, kamu cuma jadi anak marbot masjid, hidup serabutan. Kamu enggak mungkin jadi bidan."

Sashi terangkat kepalanya sedikit. "Saya tidak pernah minta dirawat, Pak... Saya cuma ...."

"Ssst!" hardiknya tajam. "Jangan mulai membela diri. Kamu harus ngerti. Kakakmu itu sakit, dia lebih butuh perlindungan. Dan kamu? Kamu bisa bertahan. Kamu kuat. Jadi, mengalah itu bentuk terima kasih. Jangan pernah berpikir untuk membenci dia."

Air mata Sashi akhirnya meluncur juga, jatuh satu per satu tanpa bisa ditahan. Tapi ia tidak menangis keras. Ia menahan suaranya, menahan isaknya.

"Jadi... saya harus mengalah, karena saya kuat?"

Bukannya menjawab, Pak Hariyono malah berbalik.

"Oh iya!" kata Pak Hariyono lagi. "Nanti, kalau anak saya dan Azka menikah, jangan suruh ayah kamu datang, ya. Jangan buat keluarga saya malu."

Lagi-lagi Sashi tidak bisa mengatakan apa-apa. Hanya kedua tangannya saja yang mengepal kuat.

"Jangan lupa juga bayar uang bekas sekolah kamu, bulan ini saya minta double. Biar cepet lunas!"

Luar biasa bukan? Katanya Sashi harus berterima kasih karena sudah mereka rawat, tapi pada kenyataannya, semua biaya itu harus dia ganti.

Untuk saat ini sepertinya dia harus kabur, dia muak jika terus dipaksa melihat wajah orang-orang munafik di Rima tersebut. Tepat ketika ia membuka pintu, pria yang beberapa  tahun ini menjadi pacarnya ada di sana. Berdiri tegak sambil membawa buket bunga mawar merah yang sangat besar.

"Mas!" panggil Sashi sambil tersenyum.

"Mas Azkaaaa!" pekik Amara dari belakang Sashi, dia berlari sampai menyenggol lengan Sashi dan membuat Sashi hampir terbentur pintu.

Mata Sashi memerah ketika dia melihat pria yang sangat dicintainya memeluk kakaknya sendiri, sambil tersenyum dan sesekali meliriknya dengan lirikan meremehkan.

"Mas kenapa enggak bilang kalau mau ke sini?" tanya Amara manja.

"Mas kangen, Sayang." Matanya mengeliring menatap tajam ke arah Sashi.

"Sha!" Panggil Rindu sambil menggoyangkan tangan Sashi. Menatap sahabatnya dengan tatapan berbinar "Malah ngelamun. Gimana, mau enggak? Nikah doang, bikin anak, lahiran, terus dapet warisan? Mau?"

Balas Dendam

"Tapi, Rin ...."

"Enggak usah tapi-tapian," sahut si kakek. "Kamu bisa hidup enak kalau mau nurut sama saya."

"Kalau mau, saya temui kamu sekarang juga, sama anak bungsu saya!"

"Apa?" kaget Sashi.

"Ey. Kamu enggak mikir kalau saya yang mau nikah bukan?" tanya si kakek. "Saya Basuki Tjahaja Anggoro. Mau ya jadi menantu saya? Anak saya jomblo, kok. Yuk ikut."

"Tapi, Kek. Tunggu dulu!" kata Sashi sambil menahan tangan kakek tua yang menuntunnya.

"Udah sana! Aku yang urus keluarga kamu," kata Rindu sambil mengedipkan mata. Dia mendorong Sashi membuat Sashi tidak bisa berkutik. "Eyang Basuki bisa bantu ayah kamu, sok ikut! Beneran enggak bohong. Mereka orang baik."

Sebetulnya, di dalam hati, Sashi terus mendumel. Kalau memang Rindu sangat yakin mereka orang baik, Kalau Rindu begitu yakin jika Eyang Basuki adalah orang kaya, seharusnya dia sendiri yang menjadi cucu menantunya, malah menjualnya dengan cara seperti ini. Namun, saat mengingat bagaimana keadaan ayahnya dan cita-cita ayahnya, dia ingin mencoba. Entah mendapat bisikan dari mana, Sashi ingin menerima perjodohan ini.

** **

Hari itu ....

Ayah," panggil Sashi lirih.

Di sudut bangunan masjid besar, berdirilah seorang pria tua dengan sebelah kaki. Ia menyapu halaman dengan sabar.

Saat itu Sashi berdiri di depan gerbang masjid, diam tak mampu melangkah lebih dekat. Ia memandangi punggung itu. Pria yang pernah begitu kuat, begitu gagah, begitu penuh semangat dalam hidupnya. Dulu, sebelum malam kelam dan botol-botol keras merenggut segalanya. Dulu, sebelum sebuah pukulan di perkelahian mabuk membuat kaki kirinya remuk dan harus diamputasi.

Kini, pria itu adalah marbot masjid. Hidup dari gajinya sebagai pengurus masjid, tinggal di ruangan sempit di belakang bangunan utama. Namun, ketika ia menoleh dan melihat Sashi berdiri di sana, senyumnya merekah seperti fajar.

"Masyaallah, anak cantik ayah!" katanya sambil melompat, tapi karena terlalu bersemangat, Pak Hasan jatuh tersungkur, membuat Sashi menjerit menghampirinya.

"Ayahhhhh!"

Sashi menelan ludah. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya tumpah juga. Tapi ia segera mengusapnya, menggantikan tangis itu dengan senyum kecil penuh cinta.

"Ayah…," panggilnya lirih sambil membantu Pak Hasan untuk bangun. "Pelan-pelan atuh, Yah."

"Maaf, Neng. Ayah teh kangen banget sama kamu."

Sashi mengangguk. "Maafin Sashi, Yah. Sashi lagi sibuk di rumah sakit."

"Enggak papa, Ayah juga tahu. Tapi, kenapa kamu ke sini? Bukannya seharusnya kamu dipingit sekarang? Minggu depan nikah, kan?"

Sashi tersenyum hambar, duduk di bangku panjang tak jauh dari teras masjid, mencoba menyembunyikan duka yang masih mengendap di tenggorokannya. "Enggak, Yah. Nggak jadi."

Pak Hasan langsung mematung, ia bingung dan tidak mengerti.

"Apa… maksudmu, Neng?"

"Aku… batal menikah, Yah. Aku pikir, aku nggak cocok sama Mas Azka."

Ayah Hasan tahu dan mengerti, dia mengusap kepala Sashi, jemarinya kasar tapi lembut saat menyentuh kerudung anaknya. "Neng … kamu ini anak baik. Kamu cerdas. Kamu tulus dalam semua hal. Kamu kuat. Ayah yakin kamu akan baik-baik saja."

Mata Sashi memejam, merasakan betapa tulusnya pria ini. Andai, andai saja dia tidak harus membayar hutang-hutang bekas sekolahnya, dia akan mengajak ayahnya untuk tinggal berdua, mengontrak meskipun hanya di gang sempit.

"Kalau dia bukan jodohmu," lanjut Ayah Hasan pelan, "berarti Allah sedang menyelamatkanmu. InsyaAllah, akan datang jodoh yang jauh lebih baik. Ayah doakan tiap malam, Sashi. Semoga Allah dengar do'a ayah, Nak."

Air mata Sashi menetes lagi, membasahi telapak tangan ayahnya. Ingin sekali dia menyalahkan keadaan, dulu saat hidup mereka masih sangat-sangat enak, ayahnya yang bermasalah. Ayahnya sangat menyayanginya tapi ada hal-hal yang sebetulnya masih menjadikan jalan di hati Sashi.

Dia selalu berandai-andai, andaikan ayahnya dulu bukan pem4buk, andaikan dulu ayahnya tidak terlalu arogan, andaikan dulu ayahnya tidak suka main jud! online untuk bersenang-senang, mungkin kehidupan mereka tidak akan seperti ini.

Namun Roda kehidupan terus berputar, bahkan dari kejadian itu, hal baik yang terjadi adalah, ayahnya menjadi lebih dekat dengan Allah, sorot matanya lebih teduh, dan sekarang meskipun dengan fisik yang tidak sempurna, tapi mungkin ayahnya lebih sempurna di mata Allah dibandingkan orang-orang sepertinya.

"Ayah aku minta maaf, aku udah janji mau beliin ayah kaki palsu, tapi belum cukup uangnya, Yah." Sashi semakin menangis. Dia bekerja menjadi bidan pun sekarang belum lama, dia harus membayar semua biaya kuliahnya, meskipun Tak semuanya karena dia juga mendapatkan beasiswa.

Ayah Hasan memeluknya. Peluk seorang ayah yang tak sempurna, tapi mencintai anaknya lebih dari seluruh dunia yang pernah ia sesali.

** **

"Nak!" panggil Pak Basuki. "Masih belum rela, ya. Calon suami kamu diambil kakak kamu sendiri?"

Sebuah senyum tersungging di bibir Sashi, saat ini mereka sudah ada di sebuah restoran untuk menunggu seseorang.

"Ya udah, mending sama anak saya daripada sama cucu saya," kata sang kakek.

"Hah?" kaget Sashi. "Cucu? Maksudnya, Mas Azka cucu eyang, jadi, anaknya eyang paman Mas Azka?"

"Hei! Jangan panggil Eyang, panggil ayah saja. Kamu kan mau jadi menantu saya."

Mat!lah Sashi, rasanya dia benar-benar tercekik dalam situasi ini. Bagaimana mungkin? Maksudnya, dia harus menjadi adik ipar Pak Jendral yang sudah membuangnya? Dan juga menjadi Bibi dari mantan calon suaminya? Sungguh, ini benar-benar spektakuler ....

"Gacor ini mah," batin Sashi sambil tersenyum.

"Nah, itu dia, itu anak saya." Pak Basuki menoleh ke arah pintu masuk.

Menikah

Sashi menoleh ke arah pintu restoran. Seorang pria bertubuh tinggi dan tegap berdiri membelakanginya. Ia sedang berbicara di telepon.

Pak Basuki mengangkat tangannya untuk memanggil.

"Dirga!"

Namun, belum suaranya terangkat lebih tinggi, pria itu sudah melangkah pergi. Tidak menoleh sama sekali.

Sashi menunduk pelan. Ada rasa kecewa yang sulit ia sembunyikan. Apa mungkin dia ditolak lagi, sebegitu tidak baiknya dia sampai mereka enggan untuk melihat.

Pak Basuki menarik napas, lalu mengambil ponselnya dan menekan nomor.

"Kamu di mana, Nak? Kenapa enggak jadi masuk?"

"Ada keperluan mendadak, Yah. Kalau memang Ayah mau aku menikah, aku akan menikah dengan gadis pilihan Ayah."

"Dirga, kamu belum melihat calon istrimu. Kamu Belum tahu siapa dia," kata Pak Basuki.

"Enggak papa, Yah. Aku percaya sama Ayah."

Sashi, yang duduk di hadapannya, ikut mendengar. Ia menatap Pak Basuki ragu.

"Pak... mungkin sebaiknya kita tidak usah melanjutkan rencana ini. Mungkin putra Bapak memang tidak benar-benar berniat menikah."

"Kamu tidak perlu khawatir, Sashi. Dirga sudah menerima perjodohan ini. Minggu depan, kamu dan Dirga akan menikah."

Mata Sashi sedikit membesar, Bagaimana mungkin orang akan memutuskan untuk menikah atau tidak dengan cara seperti ini.

"Kalau kamu ragu karena masa lalumu dengan Azka, ayah ingin kamu tahu sesuatu," lanjut Pak Basuki. "Jenderal Wirantara itu anak saya. Dirga juga anak saya. Bahkan masih ada satu lagi, adiknya Wirantara."

"Jadi beneran ya, Pak?"

"Iya. Tapi dia beda ibu dengan Wirantara. Dulu waktu saya sakit, yang merawat saya cuma Dirga dan ibunya. Jadi saya memilih untuk tinggal bersama mereka."

Pak Basuki menarik napas panjang. "Anak-anak saya yang lain tidak suka. Mereka bilang Saya pilih kasih. Jadi hubungan kami kurang baik."

"Tapi... bolehkah menikah dengan cara seperti ini, Pak?" tanya Sashi ragu. Ini bukan ajang pencarian jodoh di TV yang tipu-tipu itu."

"Boleh," jawab Pak Basuki. "Niatkan semuanya untuk ibadah kepada Allah. Kalau niatmu sudah lurus, insya Allah, meskipun lewat perjodohan, tidak akan ada yang salah. Dan bukankah ini yang Islam ajarkan pada kita?"

Kepala Sashi terangguk, dia ingin sekali menolak tapi, apa yang kakek bilang juga ada benarnya juga. Lagipula, sepertinya lucu kalau dia tiba-tiba menjadi adik ipar Jendral sombong yang sudah membuangnya.

"Pak, Bapak tahu ayah saya?"

Ia mengangguk.

"Jadi Bapak tahu kalau ayah saya cacat?" Lagi-lagi Pak Basuki mengangguk. "Bapak enggak malu?"

"Lho, kenapa harus malu. Semua manusia itu sama di mata Allah, kamu tenang aja. Saya janji, kalau kamu mau menikah dengan anak saya, saya akan membuat hidup ayahmu sangat nyaman."

"Tapi, Pak. Kalau anaknya Bapak enggak cocok sama saya gimana?"

Pria tua itu tertawa, dia menepuk punggung tangan Sashi sambil tersenyum. "Anak saya itu spesial. Dia terlalu fokus sama pendidikan, jadi mungkin dia tidak memiliki kriteria tertentu. Lebih mudah bagimu untuk jatuh cinta padanya."

"Benarkah?"

"Insyaallah .... Dia sempat punya teman masa kecil, tapi temannya itu pergi ke luar negeri. Pindah sama orang tuanya. Selain itu, temen-temennya cowok semua."

"Alhamdulillah."

"Apa?" kaget Pak Basuki. "Jadi kamu bersedia?"

"Insyaallah, Pak," jawab Sashi tanpa keraguan sedikit pun. Dia tidak bisa terus terpuruk seperti sekarang. Dia juga butuh perlindungan. Dia tidak mau satu rumah lagi dengan ibu dan ayah tirinya.

** **

Enam hari kemudian .....

"Aku tuh sampai lupa waktu, Bu. Di Bali tuh semuanya seru banget! Kita coba semua dari diving sampai spa pasangan. Mas Azka sampe gosong!" Amara tertawa renyah, tangannya meremas mesra lengan Azka di meja makan.

"Habis, kamu nggak berhenti ngajak keliling. Padahal aku cuma mau tidur," sahut Azka sambil tersenyum, meski matanya sempat melirik ke arah Sashi yang diam memandangi piringnya.

Bu Azizah ikut tersenyum. "Yang penting kalian senang. Ibu senang lihat kalian bahagia."

"Syukurlah kalau bulan madunya lancar." Pak Hariyono mengangguk. Mereka berbicara seperti itu tanpa memikirkan perasaan Sashi sama sekali. Mungkin karena sejak dulu Sashi memang tidak pernah terlihat di mata mereka.

Tak berselang lama, Sashi meletakkan sendoknya perlahan.

"Bu... aku mau kasih tahu sesuatu," kata Sashi merebut perhatian. "Besok aku mau menikah."

Suara sendok Amara jatuh menimpa piring. Azka menoleh cepat, ekspresinya kaget. Sementara Azizah membelalak. Pak Hariyono hanya mengerutkan dahi.

"Apa?!" seru Amara. "Besok?! Kamu bilang apa barusan?"

"Aku menikah besok," ulang Sashi pelan.

"Ya Allah, Sashi!" Bu Azizah menutup mulutnya, shock. "Kenapa buru-buru? Ibu bahkan belum tahu siapa calonmu."

"Aku sudah putuskan, Bu. Ayah juga udah setuju.

Amara tertawa miring. "Ini pasti tentang desas-desus yang beredar itu, kan? Yang katanya kamu mau nikah sama... kakek-kakek?!"

"Amara," tegur Azka, tapi Amara mengangkat tangan.

"Enggak, aku serius. Kamu pikir ini lucu, Sa? Nikah sama orang tua demi apa? Uang? Kamu sadar gak sih ini bisa jadi bahan omongan satu kelurahan? Jangan bikin malu keluarga cuma karena kamu pengen buru-buru punya suami. Seumpama dia kaya, tetep aja itu enggak lazim!"

"Aku tahu apa yang aku lakukan. Aku bukan anak kecil, Kak Amara. Dan aku enggak menikah karena harta."

"Terus karena apa? Cinta?" Amara menyipitkan mata. "Sashi, kamu bahkan nggak pernah cerita kamu pacaran. Tiba-tiba bilang mau nikah sama... pria tua?"

Ingin sekali Sashi tertawa, sangat keras. Kakaknya ini lucu, memangnya kalau dia pacaran dan bercerita kepadanya, Amara akan merebutnya lagi, seperti itu?

"Dia bukan orang asing buat keluarga kita," jawab Sashi datar. "Dan besok akad serta resepsinya digelar bersamaan. Acaranya sederhana. Aku cuma minta kalian datang."

Bu Azizah masih menatap Sashi, seolah berharap anaknya bercanda.

"Sashi... kamu yakin? Tanpa perkenalan, tanpa proses?" tanya Bu Azizah.

"Aku sudah membuat keputusan. Mungkin tidak seperti orang lain kenal pasangannya, tapi aku percaya ini keputusan yang benar."

Mata Azka menatap Sashi dengan tatapan menusuk. Jadi, benar yang dia dengar. Sashi bersel!ngkuh? Selama ini, dia tidak pernah benar-benar mencintainya padahal, Azka sangat mencintai perempuan itu.

"Kita lihat, seperti apa laki-laki yang mau menikahi wanita mur4h4n sepertimu, Sashi."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!