“Malam ini adalah momen yang kami tunggu, setelah beberapa tahun lalu pernah melewati hal membahagiakan sama persis ... kala putri kebanggaan keluarga Wiguna, yakni Arimbi menikah dengan Thariq Alamsyah,” kepala keluarga Wiguna, yakni Sigit Wiguna membuka acara dengan nada riang, menatap ramah para tamu undangan.
“Mari kita bersulang atas pertunangan resmi anak angkat kami, Sahira dengan Wira Tama, putra dari sahabat saya.” Gelas yang ada dalam genggamannya diangkat tinggi, langsung saja para tamu undangan melakukan hal sama.
Ucapan selamat membahana di dalam ruangan yang disulap demikian indah, bunga-bunga segar tertata rapi mengeluarkan harum semerbak, lampu hias mewah bersinar lembut, kursi dan meja dibalut kain berwarna gold dan putih.
"Nak, turunlah sapa para tamu!" titah Sigit Wiguna kepada wanita bergaun sederhana dan berwajah lugu, Sahira.
“Ayo ke sana!” Wira Tama menggenggam lembut jemari tunangannya, yang mana terdapat cincin lambang ikatan mereka, tinggal selangkah lagi menuju janji suci pernikahan.
Dua sejoli itu menuruni undakan tangga panggung pendek dengan saling bergandengan tangan.
Sahira menurut, melangkah menyamai ayunan kaki pemuda berjas hitam, berpostur idaman para wanita yang mendambakan pria berperut kotak-kotak, hasil dari rajin berolahraga.
“Selamat ya! Kalian terlihat sangat tidak serasi.” Jenny mengedipkan sebelah matanya, tersenyum penuh maksud tersembunyi, menatap remeh pada anak angkat sang paman yang malam ini memoles wajahnya dengan make-up tipis.
“Mau dipermak seperti apapun, aura wanita melarat begitu melekat padamu, Hira.” Bisiknya tepat di pusara telinga Sahira, lalu melerai pelukan mereka.
Sahira begitu tenang, tidak terprovokasi, dia tersenyum lembut, memperlihatkan raut polos.
“Dasar tak tahu malu!” Jenny mencibir, memutar malas bola matanya kala tidak mendapati ekspresi wajah murung, kesal, ataupun sedih seorang Sahira. Dia beralih memeluk dan mencium kedua pipi Wira Tama, yang disambut formal.
Beberapa tamu undangan lainnya mulai mendekati pasangan yang baru saja meresmikan hubungan mereka ke jenjang pertunangan.
Lagi-lagi Sahira enggan bersuara, hanya tersenyum simpul, sesekali mengangguk, ia layaknya manekin yang dipamerkan oleh sang tunangan. Wira terlihat begitu sempurna memainkan peran sebagai calon suami idaman, paras tampan, senyum hangat, gaya bicara ramah.
“Tanpa menilik lebih dalam, kita semua pasti tahu kalau yang paling beruntung itu Sahira, dia mendapatkan pria kaya, tampan, ramah, mana terlihat begitu cinta lagi. Lihatlah bagaimana Wira sangat menjaga calon istrinya yang jelas-jelas jelek, berpenampilan pun selalu salah kostum. Masa, mengenakan baju yang lebih pantas dipakai pada saat prosesi pemakaman,” ejek salah satu wanita yang dulu pernah satu kampus dengan Sahira.
“Jelas lah, kalau saja tidak lewat jalur perjodohan, mana mungkin sekelas Wira mau dengan wanita kumuh, dungu, macam Sahira … ha ha ha.” Jenny menimpali, menutup mulutnya dengan tangan. Yang langsung disahuti tawa terkikik para wanita seumuran Sahira, 24 tahun.
Meskipun alunan musik terdengar sedikit keras, tetap saja kalimat-kalimat ejekan itu masih dapat didengar oleh Sahira yang kini berdiri sendirian diantara kerumunan orang berpenampilan menarik, mewah dan elegan.
“Kau jangan kemana-mana, tetap disini! Saya ada urusan sebentar.” Wira mendekati sang tunangan, sedikit membungkuk seraya berkata lirih tanpa menunggu jawaban apalagi persetujuan Sahira, ia melengos pergi.
Sahira sama sekali tidak menatap ke arah calon suaminya, sebaliknya dia memandang lekat sosok tinggi tegap, beraura pekat penuh intimidasi, yang kehadirannya mampu membuat orang disekelilingnya menatap sungkan bahkan menghentikan obrolan mereka.
Pria berkemeja biru muda, bercelana bahan hitam itu terlihat menyapa ayah angkat Sahira, hanya beberapa menit saja, kemudian dia pergi lagi dengan diikuti orang kepercayaannya.
Diam-diam, Sahira melangkah keluar ruangan, dia berjalan dalam senyap, menghindari kerumunan keluarga Wiguna. Sampai dimana kakinya membawanya pada parkiran mobil mewah yang malam ini dikhususkan untuk keluarga pemilik pesta.
“Ah … aku sudah tidak tahan lagi, Wira!”
Suara desahan bercampur nada frustasi menuntut pelepasan itu menarik minat wanita bergaun hitam longgar selutut.
“Menjijikan!” Di balik pilar penyangga area parkir, Sahira melihat dengan mata kepalanya sendiri. Pria yang belum ada satu jam lalu bertunangan dengannya, kini tengah mencumbui Jenny Mandala.
Bukannya lari melabrak ataupun pergi menjauh, wanita pemilik rambut sepunggung itu memilih melangkah pelan berpindah pada tiang penyanggah diseberang, lebih dekat pada dua sejoli tak bermoral.
“Naikkan kakimu pada kap mobil!” Wira membuka resleting celananya dengan tergesa-gesa, lalu menyerang bibir Jenny, melumat dengan gerakan kasar nan terburu-buru.
Jenny tidak mau kalah, dia mengimbangi dan menyentuh area sensitif pria yang sebenarnya adalah teman ranjangnya semenjak satu tahun lalu.
“Lebih cepat lagi!” pintanya saat merasakan dua jari sedang bermain sela-sela paha yang terbuka lebar.
Dua sosok beda jenis itu tak ubahnya hewan, bercumbu di area terbuka tanpa takut ketahuan. Saling mendesah, meracau menggunakan kata-kata kasar.
Bugh
Bokong Jenny dihempaskan pada kap mobil sedan, kakinya bersandar di bahu Wira. Hentakan demi hentakan begitu mereka dinikmati.
Tanpa mereka ketahui adegan menjijikan itu tersorot kamera cctv tersembunyi, dan Sahira tersenyum culas, dia tahu betul dimana saja letak cctv tambahan itu.
“Cukup!” Tangan yang semula terkepal erat perlahan terbuka, ia membuka clutch bag, mengambil obat tetes mata. Hilang sudah ekspresi lembut, binar mata hangat, tersisa raut datar, tatapan tajam bak ujung mata pisau.
Seperti kedatangannya dalam senyap, ia pun pergi menggunakan cara yang sama dengan berlinang air mata, kembali mengubah ekspresi seperti yang orang lain kenal selama ini.
Sahira melangkah gontai, tangannya tidak berkesudahan menghapus air mata palsu, bahunya bergetar hebat, sesekali mendongak menatap cctv. Wanita berbadan kurus itu terlihat seperti orang frustasi.
Sesekali berhenti tepat pada titik-titik kamera yang terpasang di sepanjang area basement sampai gerbang hotel.
Begitu sampai di gerbang terbuka. “Hah ... Argghh!!”
Tubuh Sahira luruh, ia menjerit sekuat-kuatnya, sampai dua orang security terlihat kebingungan melihat sosok rapuh berpenampilan acak-acakan, begitu didekati, Sahira langsung beranjak dan berlari kencang.
.
.
Hujan turun begitu derasnya, jalanan yang biasanya ramai lalu lalang kendaraan, malam ini terlihat lenggang.
"Aku Bersumpah! Akan menuntut balas sampai mereka bersujud memohon ampun!Lebih memilih mati daripada hidup seperti di neraka!"
Sahira terduduk di trotoar tepi jalan raya, tidak menghiraukan tubuhnya yang basah kuyup, melepas sepatu hak tinggi dan menaruh asal tas tangannya, menatap gemerlapnya lampu gedung tinggi.
Akhh!!
Teriakannya teredam derasnya air hujan, ia menjerit, menangis, meluapkan sesak di dada, mengingat kenangan buruk yang sangat kejam sekaligus mengerikan.
Tiba-tiba netranya silau oleh lampu tembak jauh sebuah mobil mewah, semakin dekat laju mobil, terbitlah senyum culasnya kala melihat nomor plat yang ia hapal diluar kepala.
“Mari kita mulai!”
Sahira berdiri, melompat turun ke jalan raya, merentangkan kedua tangan, menghadang laju mobil lumayan kencang.
Ciitt!
Bruk.
.
.
Bersambung.
Ban Mobil itu sampai berbunyi berdecit dikarenakan sang sopir menekan pedal rem penuh. Sedangkan sosok wanita kehilangan akal itu roboh.
“Tuan ….” napasnya tercekat dengan mata memandang lekat kedepan, berusaha melihat jelas. Ia mengubah kecepatan Washer pump mobil agar bergerak gesit membersihkan air hujan yang terus menghalangi penglihatannya.
“Periksalah!” titah sebuah suara dalam nan rendah tanpa melihat sang asisten merangkap sopir.
Tanpa diperintah dua kali dan memang jarang ada pengulangan kata, sosok berkacamata bening itu mengambil payung lipat di dashboard, bergegas membuka pintu samping kemudi, membuka benda yang dapat melindunginya dari derasnya air hujan.
Blam.
Pintu mobil kembali tertutup rapat, penumpang di belakang tetap tenang, sama sekali tidak peduli dengan apa yang terjadi.
“Dia masih hidup 'kan?” monolognya, berusaha membungkuk, memperhatikan wanita yang terbaring meringkuk, mata terpejam, gaun bagian bawah tersingkap hingga pertengahan paha.
“Masih bernapas,” gumamnya lirih, menarik kembali jemari telunjuk dan tengahnya yang ia gunakan untuk memeriksa denyut nadi di leher dan pergelangan tangan.
Sang asisten kembali mendekati mobil dan membuka pintu kemudi.
“Tuan, dia seorang wanita, tak sadarkan diri. Sepertinya mobil kita tak ada mengenainya, tidak ada luka. Mungkin saja ia begitu terkejut sehingga pingsan. Lantas harus bagaimana?” tanyanya ragu-ragu.
“Tinggalkan!”
Satu kalimat yang mampu menggerakkan tubuh si asisten duduk kembali pada jok kemudi, menaruh asal payung di lantai mobil, lalu mulai memundurkan laju mobil agar bisa tancap gas dan menghindari wanita tadi.
Baru tiga menit mobil melaju, sosok yang selalu terlihat berekpresi tegas, irit bicara itu bersuara tegas nan dalam. “Putar balik!”
Pria berkacamata melirik ke arah belakang pada sang tuan berparas tampan. Saat merasakan keheningan yang menyiksa dan aura intimidasi semakin pekat, ia memutar habis setir kemudi, laju mobil menjadi melawan arah, jaraknya belum lah jauh dari sosok tergeletak tak berdaya.
Mata elangnya memandang pada seonggok raga tak sadarkan diri, tergeletak dikelilingi genangan air.
“Damar, masukkan dia ke dalam mobil!” titahnya kepada sang asisten.
“Baik, Tuan.” Damar mengulang reka adegan yang belum lama dilakukannya, kali ini tanpa membuka payung, ia menembus hujan. Membuka pintu mobil bagian penumpang samping kemudi. Kemudian menghampiri sosok yang tetap bergeming dengan rona wajah semakin pucat dan bibir membiru.
Pria bernama Damar itu menatap sekeliling, netranya melihat tas tangan yang ia duga milik si wanita, lalu mengambilnya. Kemudian membopong tubuh yang terasa ringan, lalu mendudukkan pada jok samping kemudi.
Selepasnya, Damar masuk ke bangku kemudi. Bukan cuma si wanita yang basah kuyup, dirinya pun sama.
Pada bagian kursi penumpang, sosok tenang itu memandangi saksama sisi wajah putih pucat, rambut basah meneteskan air hujan. Posisi duduk mereka saling berlawanan, sehingga dirinya leluasa menatap tanpa ekspresi apapun, selain datar.
“Pulang ke apartemen!” perintahnya seraya masih memandangi lengan kurus yang terkulai di samping jok.
“Baik, Tuan.”
Hujan masih turun, tapi tidak sederas tadi. Damar menambah laju mobil agar segera sampai di kawasan apartemen kelas atas perkotaan Medan, Sumatera Utara.
Setengah jam kemudian, mobil sedan berwarna hitam itu memasuki area parkir khusus.
Begitu melihat plat nomor yang dikenali, sang kepala keamanan mendekati, hendak membukakan pintu penumpang, tetapi gerakannya kalah cepat.
“Selamat malam, Tuan.” Sapanya sopan sembari menunduk.
“Malam. Perintahkan pihak keamanan untuk mematikan seluruh cctv yang beroperasi sampai hunian saya. Jangan ada jejak apapun yang menangkap keberadaan kami.” Langkahnya begitu tegas, menuju pintu yang terhubung dengan lift.
Meskipun tidak paham dan sangat penasaran, tapi sang kepala keamanan tahu bagaimana melindungi posisinya, ia memerintahkan kepada bawahannya melalui talkie walkie.
Belum juga selesai bertitah, netranya membulat melihat sosok lemas yang dibopong orang kepercayaan pemilik saham apartemen mewah ini.
Damar melangkah tanpa terlihat keberatan, wanita asing dalam gendongannya masih tidak sadarkan diri.
Di dalam lift yang akan membawa mereka ke lantai paling atas, hanya ada keheningan. Sang kepala keamanan begitu pelan menghela napas.
Ting.
Begitu gesit pria berumur berkisar 40 tahun itu menahan tombol buka lift, setelah sang tuan dan asistennya serta sosok misterius keluar, ia pamit undur diri. Tugas mengantar pun selesai sudah.
.
.
Sementara di lain tempat, kehebohan sedang terjadi. Keluarga kedua belah pihak sibuk mencari keberadaan Sahira yang menghilang di saat pesta belum usai.
“Apa yang kau lakukan sehingga Sahira kabur, hah?!” Sigit Wiguna terlihat begitu murka, ia seperti seorang ayah yang mencemaskan putrinya, menatap sinis calon menantunya.
“Saya hanya memintanya berdiam diri di ruang pesta, tak lebih!” Wira mencoba membela diri, melepaskan cengkraman tangan calon ayah mertua pada kerah kemejanya.
“Pembohong! Sahira bukanlah sosok pembangkang, dia begitu penurut. Pasti kau telah menyakiti hatinya dengan sengaja! Dasar Bedebah!”
Bugh!
Satu tinju menghantam rahang Wira. Membuat pemuda itu mundur satu langkah, tidak memperkirakan gerakan tiba-tiba Sigit Wiguna.
Suasana pun menjadi ricuh, beruntung area pesta sudah lenggang, para tamu undangan telah pulang, tinggal keluarga inti saja dari kedua belah pihak.
“Pa, sudah! Kita selesaikan dengan kepala dingin.” Widya Mandala, selaku istri dari Sigit Wiguna menarik lengan suaminya.
“Bagaimana dengan rekaman cctv?” tanya Widya.
“Sedang diperiksa oleh kepala keamanan yang berwenang,” jawab Wira, tangannya mengusap rasa nyeri di rahang.
‘Ku harap kau mati, wanita miskin!’ Jenny mendengus, diantara kerumunan orang, hanya dirinya yang terlihat sumringah sambil mengamati setiap wajah dirundung cemas.
“Hasil cctv nya sudah dapat diakses, Tuan.” Orang kepercayaan Sigit Wiguna membuka ipad-nya, memperlihatkan adegan demi adegan dimana Sahira terlihat berjalan sempoyongan sembari menangis.
Namun, tidak ada satupun rekaman yang menampilkan tayangan penyebab Sahira meneteskan air mata.
“Dia keluar dari gedung perhotelan ini? Apa kau sudah menggerakkan anak buahmu?” gigi Sigit Wiguna bergemeletuk, nada suaranya menggeram.
“Sudah, Tuan. Orang kita sedang melakukan penelusuran.”
‘Apa gadis bodoh itu melihat ku dan Jenny sedang bercumbu?’ Wira mendengus, dalam hati terkekeh geli.
'Baguslah kalau iya. Siapa juga yang mau memperistri sosok layaknya tengkorak hidup sepertinya. Dan kalian ... sampai mati pun takkan mendapatkan bukti itu,’ sambungnya.
Wira Tama sangat percaya diri bila kelakuan tidak bermoral nya aman dari pantauan kamera ataupun mata-mata. Sebelumnya, dia sudah menyuap anggota keamanan yang berjaga di area basement.
“Ini sangat memalukan! Pesta harus dihentikan dikarenakan si wanita menghilang! Kau itu bisa tidak mendidik anak pungut mu, Sigit?!” papa nya Wira terlihat murka, dia merasa dipermalukan dan dipermainkan.
“Sebelum kau menuduh yang tidak-tidak, sebaiknya interogasi putramu yang terkenal suka bergonta-ganti pasangan itu!” Tunjukkan tepat di wajah Wira.
“Kita tunggu saja kabar selanjutnya, Sahira tidak mungkin berani melarikan diri setelah berhutang budi begitu besar,” ungkap ibu angkatnya Sahira.
Keadaan sedikit mencair, tidak lagi saling menyerang.
“Pastikan berita ini tidak sampai diketahui orang luar yang mengakibatkan nama baik keluarga tercoreng.” Sigit Wiguna melepaskan tangan istrinya yang bergelayut, dia memilih duduk pada kursi tamu.
***
“Namanya Sahira, putri angkat Sigit Wiguna, ayah mertua Anda, Tuan.” Damar membacakan data diri wanita yang tadi ditolongnya, mencari lewat tanda pengenal di dalam tas.
Kening Thariq Alamsyah mengernyit. “Sahira ....”
.
.
Bersambung.
Kening Thariq Alamsyah mengernyit, ia merasa tak asing dengan sosok yang belum pernah ditemui sebelumnya, hanya tahu sebatas nama saja. “Sahira ....”
“Anak yang diangkat ketika remaja?” tanyanya setelah beberapa detik terdiam.
Damar membetulkan letak kacamatanya, mereka duduk di sofa ruang tamu apartemen. “Betul, Tuan. Selama masa pendidikan, Sahira tinggal di asrama. Setelah menjadi Sarjana Seni Kuliner (Bachelor of Arts) dua tahun yang lalu, dia bekerja di restoran pusat keluarga Wiguna dan Tama, tanpa tercatat sebagai seorang karyawan.”
“Bagaimana dengan asal usul keluarganya?” Thariq menggoyang gelas berisi minuman beralkohol, menyesapnya sedikit demi sedikit.
Ketikan jari Damar terdengar nyaring pada ruangan sunyi yang hanya ditemani suara dentingan jarum jam.
“Tidak ada sama sekali,” monolognya keheranan sampai menyipitkan mata membaca ulang.
“Menarik.” Thariq meletakkan gelas diatas meja kaca, kemudian menyilangkan kakinya.
“Di sini hanya ditampilkan bila Sahira anak dari panti asuhan, sosoknya ditinggal didepan pintu gerbang. Tidak ada secuil pun informasi yang diberikan oleh orang tua kandungnya.”
Dua sosok yang hampir sebaya itu tenggelam pada pikiran masing-masing. Tentu mereka tidak bisa begitu saja percaya.
Selepas kepergian dokter wanita yang dipanggil untuk memeriksa keadaan wanita bernama Sahira, dan memastikan bila kondisinya baik-baik saja. Adapun pemicu tidak sadarkan diri disebabkan oleh kedinginan, kelaparan, rasa shock berlebihan.
Damar mulai sibuk mencari tahu tentang wanita yang masih terlelap dikamar tamu, akan tetapi tidak banyak yang didapatkannya.
.
.
Di dalam kamar bernuansa lembut, terlihat wanita yang tadi basah kuyup, tidak sadarkan diri, mulai mengerjapkan mata.
Auch.
Sahira mengurut kepalanya yang terasa berdenyut, netra sayu nya memindai sekitar, betapa terkejutnya ia kala tidak mengenali tempat asing ini.
“Di mana ini?” tanyanya pada diri sendiri, lalu pandangannya turun ke bawah, membuka selimut yang membungkus tubuhnya.
Ahhh!
Wanita yang rambutnya masih lembab itu berteriak kencang, mendapati bila dirinya hanya mengenakan kemeja kebesaran tanpa dalaman.
“Siapa yang mengganti pakaianku?!” rautnya terlihat panik, ia semakin mengeratkan selimut kala melihat dua sosok pria memasuki kamarnya.
'Thariq Alamsyah,' netranya membulat sempurna saat mengenali suami dari kakak angkatnya, Arimbi Wiguna. 'Kebetulan sekali.'
“Ke_napa saya bisa berada disini?” cicit nya, tidak berani mendongak.
Damar melangkah mendekat sampai lututnya menyentuh sisi ranjang, menatap awas pada sosok yang senantiasa menunduk. Sedangkan sang atasan berdiri di tengah-tengah kamar berukuran sedang.
“Mobil kami nyaris menabrak Anda yang berniat mengakhiri hidup, sayangnya hal tersebut tidak membuat Anda kehilangan nyawa, saya ikut menyesal atas kegagalan rencana bunuh diri itu,” sarkas Damar.
"Satu lagi, yang mengganti baju Anda, seorang dokter wanita," sambungnya.
Seketika Sahira mendongak menatap takut, ia berbisik lirih nyaris tidak terdengar. “Maaf … seharusnya jangan mengerem, langsung saja tabrak saya.”
“Ya, berakhir kami yang berurusan dengan pihak berwajib. Bila Anda ingin mati, mengapa tak memilih jalan yang mudah saja, minum racun ataupun melompat dari ketinggian, agar tidak merepotkan orang lain,” balas Damar tanpa perasaan.
Mendengar kalimat ketus itu, Sahira semakin menunduk, bahunya bergetar hebat. “Saya_ saya … sudah tidak ingin hidup lagi_”
“Baru juga diselingkuhi sudah ingin mati sia-sia, begitu murah kah harga dirimu? Mencintai dengan membabi buta, sampai rela kehilangan nyawa?” Thariq Alamsyah menatap dengan sorot mata mengejek.
'Ternyata benar yang dikatakan mereka, Thariq Alamsyah memiliki lidah beracun, insting tajam. Aku harus berhati-hati!' dalam hati, ia memperingati dirinya sendiri.
Sahira mengangkat sedikit wajahnya, menatap netra tegas itu, turun ke bawah memindai sosok nyaris sempurna bertubuh atletis. “Anda tidak mengerti, dia berselingkuh dengan _”
“Dengan Jenny Mandala, saudara angkat mu. Bukan dia wanita perebut kekasih orang lain, tapi kau lah yang menjadi pihak ketiga dalam hubungan mereka. Tunangan mu itu sudah lama menjadi teman ranjangnya sebelum menerima perjodohan kalian,” sela Thariq.
Tetesan air mata membasahi pipi Sahira, suara isak tangisnya terdengar pilu, ia meremas tepi selimut. “Tapi, mengapa dia mau bertunangan dengan saya bila sudah memiliki teman tidur?”
“Saya kira Anda bukan orang yang bodoh, Nona Sahira. Jelas disebabkan karena Anda seorang chef handal, berkat keahlian yang Anda miliki, restoran milik Wiguna dan Tama berkembang pesat. Apapun hidangan yang berasal dari olahan tangan Anda begitu diminati,” Damar yang menjawab.
Betapa terkejutnya Sahira, rahasia besar yang ditutup rapat oleh keluarga Wiguna dan juga Tama, begitu mudah diakses oleh orang lain.
Sedetik kemudian, kembali Sahira memberanikan diri menatap pria yang dikenal memiliki sifat dingin. Kini dia paham, bahwa tak ada yang sulit bagi seorang Thariq Alamsyah.
Pria berumur 30 tahun yang menjalankan bisnis keluarga, mengelola pabrik eksport kulit kayu manis terbesar di Indonesia, dan penanam modal di perusahaan yang berpotensi mendatangkan keuntungan.
“Apa boleh saya meminta tolong, Tuan Thariq?” tanyanya takut-takut dengan air mata membasahi pipi.
Thariq terlihat enggan, tatapannya datar. “Saya tidak tertarik ikut campur urusan orang asing.”
"Saya akan melakukan apapun, asal Anda bersedia membantu saya, Tuan.” Tangannya tertangkup, tatapannya begitu memohon mengharapkan belas kasihan.
Namun sayang, Thariq tidak merespon sesuai keinginan Sahira. Dia berbalik badan hendak keluar dari kamar. “Besok pagi, pergilah dari sini!”
Sahira tidak begitu saja menerima penolakan, dia membuka selimut, tidak peduli lagi akan tubuh tanpa mengenakan dalaman, melompat dari ranjang dan duduk berlutut.
“Tuan, sayalah wanita yang dua tahun lalu Anda tiduri di Cambridge Hotel Medan, nomor kamar 505, pada pukul 11 malam.” Ia menunduk dalam, nada suaranya lirih tapi masih terdengar jelas.
Damar terkesiap, sangat terkejut sampai bokongnya terhempas di kasur, mulutnya menganga. “Tidak mungkin!”
Thariq Alamsyah kembali berbalik badan, menatap sosok yang bersimpuh, dengan belahan kancing kemeja memperlihatkan separuh paha berkulit putih mulus.
“Ya, saya wanita itu. Bila Tuan tetap tidak percaya, saya bisa membuktikannya … di atas kulit tulang panggul Anda, terdapat tato bertuliskan ‘Pangestu’.” Dengan berani dia memandang lekat pada bola mata yang terlihat bergetar samar.
Bila tadi Damar melongo, kali ini lebih dari itu. Kejutan ini sungguh luar biasa, bahkan dirinya yang sudah bekerja selama 6 tahun lamanya sama sekali tidak tahu menahu tentang tato tersebut.
Thariq meraih handuk kimono yang tergantung pada tiang di sebelah lemari pakaian.
“Kenakan itu! Saya tunggu di ruang tamu.” Ia menyampirkan handuk di bahu Sahira, tanpa menyentuh si empunya.
Damar mengikuti sang tuan, keluar dari kamar tanpa melihat Sahira.
.
.
“Tuan, nona Sahira sudah ditemukan!” ucap Wahyu, asisten Sigit Wiguna.
“Di mana dia? Ayo kita jemput!” Sigit beranjak dari duduknya, terlihat jelas kalau dia sangat antusias.
‘Mengapa dia harus kembali lagi! Bukankah lebih baik mati saja. Agar aku bisa sepenuhnya bersama Wira Tama,’ Jenny menatap tak suka pada sosok asisten pamannya.
“Mengapa kau tak beranjak? Cepat jemput Sahira! Dia harus klarifikasi atas kekacauan yang disebabkan olehnya!” Widya berseru lantang, meneriaki Wahyu yang enggan bergerak.
“Nona Sahira memang telah ditemukan, tapi keberadaannya ada di kamar jenazah rumah sakit swasta.”
“Apa?!”
.
.
Bersambung.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!